Sardjono
Sardjono (1897 – 19 Desember 1948) adalah seorang tokoh pergerakan nasional. Ketua Umum Partai Komunis Indonesia, dan Ketua organisasi Serikat Indonesia Baroe (SIBAR), yang merupakan organisasi nasionalis Indonesia di Australia pada masa Perang Dunia II.
Sardjono | |
---|---|
Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis Indonesia | |
Masa jabatan 20 Desember 1924 – 10 November 1926 | |
Presiden | Dirk de Graeff |
Masa jabatan 29 Maret 1946 – 19 Desember 1948 | |
Presiden | Sukarno |
Perdana Menteri | Mohammad Hatta |
Ketua Umum Serikat Indonesia Baroe (SIBAR) | |
Masa jabatan 6 Agustus 1944 – 15 Agustus 1945 | |
Pendahulu jabatan dibentuk Pengganti jabatan dihapuskan | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Sardjono ? |
Meninggal | 19 Desember 1948 Solo, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | |
Pekerjaan | Jurnalis |
Sunting kotak info • L • B |
Awal Hidup dan Aktivisme
Sardjono lahir di Sumenep pada tahun 1897. Ia sebelumnya aktif di Sarekat Islam dan pernah menjabat sebagai ketua cabang SI di Sukabumi pada tahun 1922. Di sana, dia juga menjadi seorang guru di sebuah sekolah SI, sebelum dilarang oleh Residen Priangan untuk mengajar pada tahun 1923 karena dianggap menyebarkan "pemikiran yang tidak dikehendaki".[1] Ia adalah tokoh komunis yang sangat berpengaruh. Ia menggantikan Aliarcham pada Desember 1924 setelah perdebatan panjang dalam tubuh partai mengenai posisi Sarekat Rakyat dalam PKI.
Sardjono adalah tokoh sentral yang menyusun pemberontakan di Jawa pada tahun 1926. Ia merupakan tokoh kunci disamping Winanta dan Herojuwono. Namun menjelang pemberontakan, pada 10 November, Kantor Pusat PKI cabang Bandung dan Priangan melantik Ketua Umum baru yang menentang pemberontakan, yaitu Suprodjo, namun semuanya sudah terlambat. Pemberontakan pecah di Jawa pada malam 12 November 1926 dan di Sumatera pada 1 Januari 1927.[2]
Pemberontakan berhasil diredam oleh satuan kepolisian dan tentara Hindia Belanda. Sardjono ditangkap dan ia diasingkan ke Boven Digoel hingga era Perang Dunia II. Setelah perang pecah, Belanda membawa para tahanan ke Australia, salah satunya adalah Sardjono. Di Australia, dengan bantuan mantan Gubernur Jawa Timur Charles van der Plas, pada 6 Agustus 1944, Sardjono memimpin organisasi pergerakan yang baru dibentuk, yaitu Serikat Indonesia Baroe. Organisasi ini masih banyak dikuasai oleh tokoh-tokoh komunis lama masa 1920-an.[3]
Pasca Proklamasi hingga Pemberontakan Madiun
Pada awal tahun 1946, Sardjono kembali ke Indonesia dan disambut oleh berbagai tokoh yang dahulu mengenalnya. Pada Maret 1946, kepemimpinan Mohammad Djoesoef dalam PKI goyah diakibatkan Pemberontakan PKI Cirebon 1946 dan digantikan oleh Sardjono.[4]
Sardjono juga memimpin front rakyat yang terbentuk setelah ditangkapnya tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan, yaitu Konsentrasi Nasional. Front ini bertujuan untuk menggabungkan kekuatan partai-partai politik dalam menentang kebijakan lunak pemerintah republik.
Menjelang pemberontakan Madiun, Sardjono sedang tidak didalam kota. Namun posisinya menjadi terancam ketika kabar mengenai jatuhnya Madiun kembali ke tangan Siliwangi menyebar, Sardjono terpaksa harus melakukan longmarch dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Amir Sjarifoeddin, Maruto Darusman, dan lainnya.
Akhir Riwayat
Ia berhasil ditangkap pada 26 November 1948, dan akhirnya dibawa ke Solo pada 19 Desember 1948 untuk dieksekusi, bersama dengan Amir Sjarifoeddin dan lainnya.[5]
Referensi
- ^ "Indonesische kandidaten voor de Tweede Kamerverkiezingen van de C.P.H." (PDF). Huygens ING – Den Haag. 1933.
- ^ McVey, Ruth T. (2006). The Rise of Indonesian Communism. Jakarta: Equinox Publishing. hlm. 326. ISBN 979-3780-36-3.
- ^ Poeze, Harry A. (2014). PKI SIBAR: Persekutuan Aneh antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia 1943-1945. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 27–30. ISBN 978-602-9402-47-6.
- ^ Poeze, Harry A. (2011). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 2: Maret 1946-Maret 1947. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 44–46. ISBN 978-979-461-730-4.
- ^ Poeze, Harry A. (2011). Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 297. ISBN 978-602-433-834-3.