Ali bin Abi Thalib

Khalifah Kekhalifahan Rasyidin ke-4 (m. 656–661) dan Imam Syiah pertama.
Revisi sejak 9 Januari 2024 12.35 oleh Fazoffic (bicara | kontrib)

Ali bin Abi Thalib (Arab: عَلِيّ بْن أَبِي طَالِب, translit. ʿAlī bin Abī Ṭālib; c. 600–661) adalah sepupu dan menantu dari nabi Islam Muhammad dan penerus Muhammad (sebagai Khalifah dan Imam Syiah) setelah kematiannya, yang memerintah negara Islam pertama Kekhalifahan Rasyidin dari tahun 656 hingga 661. Lahir dari pasangan Abu Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad, Ali muda dibesarkan oleh sepupunya, Muhammad, dan menjadi salah satu orang pertama menerima ajarannya. Ali memainkan peran penting di tahun-tahun awal Islam ketika Muslim dianiaya dengan kejam di Makkah.

Ali bin Abi Thalib
عَلِيّ بْن أَبِي طَالِب
Amirul Mukminin
Abu Turab
Medali kaligrafi bertuliskan nama Ali di Hagia Sophia.
Khalifah Kekhalifahan Rasyidin ke-4
BerkuasaJuni 656 – Januari 661
PendahuluUtsman bin Affan
PenerusPosisi dihapuskan
Hasan bin Ali (sebagai khalifah)
Imam Syiah pertama
Masa jabatanJuni 632 – Januari 661
PendahuluJabatan dibentuk
PenerusHasan bin Ali
Informasi pribadi
Kelahiranc. 600 M
Makkah, Hijaz, Jazirah Arab
Kematianc. 28 Januari 661 CE
(c.  21 Ramadhan 40 H)
(usia c. 60/63 tahun)
Kufah, Kekhalifahan Rasyidin
Pemakaman
Dipercaya telah dimakamkan di Makam Imam Ali, Najaf, Iraq
31°59′46″N 44°18′51″E / 31.996111°N 44.314167°E / 31.996111; 44.314167
SukuQuraisy (Bani Hasyim)
AyahAbu Thalib bin Abdul Muthalib
IbuFatimah binti Asad
Pasangan
Istri
Anak
AgamaIslam
Nama Arab
Pribadi (Ism)ʿAlī
Patronimik (Nasab)ʿAlī bin Abī Ṭālib bin ʿAbd al-Muṭṭālib bin Hāshim bin ʿAbdu Manāf bin Quṣayy bin Kilāb bin Murrah
Teknonim (Kunyah)Abul Ḥasan

Setelah imigrasi (hijrah) ke Madinah pada tahun 622, Muhammad mengawinkan putrinya, Fatimah kepada Ali dan bersumpah persaudaraan dengannya. Ali menjabat sebagai sekretaris dan wakil Muhammad pada periode ini, dan merupakan salah satu pembawa bendera pasukan Islam. Banyak ucapan Muhammad yang memuji Ali, yang paling kontroversial diucapkan pada tahun 632 di Ghadir Khum, "Barangsiapa yang menganggap aku sebagai mawla, Maka Ali adalah mawla pula untuknya." Penafsiran kata polisemi Arab mawla masih diperdebatkan: Bagi Muslim Syiah, Muhammad memberikan Ali otoritas agama dan politiknya, sementara Muslim Sunni memandang hal ini hanya sebagai pernyataan persahabatan dan hubungan baik. Ketika Muhammad meninggal pada tahun yang sama, sekelompok Muslim mengadakan pertemuan tanpa kehadiran Ali dan menunjuk Abu Bakar ash-Shiddiq (m. 632–634) sebagai khalifah baru mereka. Ali kemudian melepaskan klaimnya atas kepemimpinan dan mengundurkan diri dari kehidupan publik pada masa pemerintahan Abu Bakar dan penggantinya, Umar bin Khattab (m. 634–644). Meskipun nasihatnya kadang-kadang diminta, konflik antara Ali dan dua khalifah pertama ditandai dengan penolakannya untuk mengikuti praktik mereka. Penolakan ini membuat Ali kehilangan peluangnya untuk menjadi khalifah hingga akhirnya jabatan khalifah jatuh ke tangan Utsman bin Affan (m. 644–656), yang kemudian ditunjuk untuk menggantikan Umar oleh dewan pemilihan. Ali juga sangat kritis terhadap Utsman, yang banyak dituduh melakukan nepotisme dan korupsi. Namun Ali juga berulang kali menjadi penengah antara khalifah dan para pemberontak tingkat provinsi yang marah atas kebijakan kontroversial khalifah.

Setelah pembunuhan Utsman pada tahun 656, Ali terpilih sebagai khalifah di Madinah. Dia segera menghadapi dua pemberontakan terpisah, kedua pemberontakan ini ditujukan untuk membalas kematian Utsman dan menuntut khalifah untuk menangkap pembunuhnya. Pemberontakan pertama dimulai oleh tiga serangkai Thalhah, Zubair, kedua sahabat Muhammad, dan jandanya Aisyah yang menguasai Basra di Mesopotamia Hilir; mereka berhasil dikalahkan oleh Ali dalam Pertempuran Jamal di tahun 656. Di tempat lain, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang baru saja disingkirkan Ali dari jabatan gubernur Suriah, berperang melawan Ali dalam Pertempuran Siffin pada tahun 657, yang berakhir dengan proses arbitrase yang gagal dan menyebabkan sebagian pendukung Ali mengasingkan diri. Mereka membentuk kelompok Khawarij, yang kemudian meneror masyarakat dan dihancurkan oleh Ali dalam Pertempuran Nahrawan pada tahun 658. Ali dibunuh pada tahun 661 oleh pemberontak Khawarij, Ibnu Muljam. Pembunuhan Ali membuka jalan bagi Muawiyah untuk merebut kekuasaan dan mendirikan dinasti Kekhalifahan Umayyah.

Dalam budaya Muslim, Tempat Ali dikatakan berada di urutan kedua setelah Muhammad. Ali dihormati karena keberaniannya, kejujurannya, pengabdiannya yang teguh pada Islam, kemurahan hati, dan perlakuan setara terhadap semua Muslim. Bagi para pengagumnya, ia telah menjadi pola dasar Islam yang tidak korup dan kesatriaan pra-Islam. Muslim Sunni menganggapnya sebagai Khulafaur Rasyidin (terj. har.'Khalifah yang mendapat petunjuk') terakhir, sementara Muslim Syiah menghormatinya sebagai Imam pertama mereka, yaitu penerus agama dan politik yang sah bagi Muhammad. Makam Ali di Najaf, Irak, adalah tujuan utama ziarah Syiah. Warisan Ali kini dikumpulkan dan dipelajari dalam berbagai buku, yang paling terkenal di antaranya adalah Nahjul Balaghah.

Riwayat Hidup

Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Kelahiran

Ali dilahirkan di Makkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, ia dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa ia dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad ﷺ. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Makkah.

Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad,[butuh rujukan] Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Muhammad karena dia tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Muhammad bersama istri dia Khadijah untuk mengasuhnya dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Muhammad sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Masa Remaja

Ketika Muhammad menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Muhammad sendiri. Pada titik ini, Ali berusia sekitar 10 tahun.[butuh rujukan]

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Muhammad karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Muhammad hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu Muhammad. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Muhammad khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Muhammad harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Muhammad kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zahir (eksterior) atau syariah dan batin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Makkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Muhammad untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Muhammad. Dia tidur menampakkan kesan Muhammad yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan Ali di Madinah

Pernikahan

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Muhammad. ia tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.[1]

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata ia sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggungnya sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Pertempuran yang diikuti pada masa Muhammad

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Muhammad. Banyaknya Quraisy Makkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepakat dia menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Muhammad mengatakan:

"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dia. Allah akan membukakan dan memenangkan pertempuran ini melalui tangannya".

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan anugerah kehormatan tersebut.Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang terkenal jagoan dan pemberani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan Lain

Hampir semua peperangan yang terjadi ia ikuti kecuali perang Tabuk karena ia mewakili Muhammad untuk memimpin kota Madinah.

Setelah kematian Muhammad

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Muhammad meninggal dnia. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah setelah kematian Muhammad. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.

Burut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'), malam hari Muhammad bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudi a berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali bin Abi Thalib Dalam khutbahnya itu antara lain dia berkata: "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya".

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Muhammad, Ahlul Bait, dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Muhammad. Ada yang meriwayatkan setelah Muhammad dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali membai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Muhammad demi mencegah perpecahan dalam ummat.

Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Kekhalifahan

Pemilihan

 
Baiat kepada Ali menjadi khalifah, setelah pembunuhan Utsman (diambil dari sebuah naskah Utsmaniyah akhir abad ke-16/awal abad ke-17)

Setelah Utsman terbunuh oleh para pemberontak Mesir pada tahun 656,[2] kandidat potensial untuk mengisi jabatan khalifah adalah Ali dan Thalhah. Bani Umayyah melarikan diri dari Madinah, kota dikuasai oleh pemberontak dan kaum Anshar. Talhah mendapatkan dukungan dari penduduk Mesir; sementara penduduk Basra dan Kufah—yang mendukung pendapat Ali untuk menghindari kekerasan—serta sebagian besar kaum Anshar mendukung Ali.[3] Beberapa penulis juga menuliskan bahwa (sebagian besar) kaum Muhajirin mendukung Ali.[4][5][6][7] Para kepala suku utama juga mendukung Ali pada saat itu.[8] Kelompok-kelompok tersebut menawarkan Ali menjadi khalifah,[5][4][9] tetapi ia menolaknya, mengatakan bahwa ia lebih suka menjadi seorang wazir (menteri).[10]

Penolakan Ali atas jabatan khalifah, dipandang oleh Reza Aslan, mungkin akibat keadaan masyarakat yang sudah terpolarisasi akibat kejadian pembunuhan Utsman.[11] Beberapa laporan awal menggarisbawahi bahwa Ali kemudian setuju menjadi khalifah setelah jelas baginya mendapatkan dukungan terbanyak.[9] Ali dilaporkan pula meminta diadakannya baiat di Masjid Nabawi.[12][10][13] Malik al-Asytar diperkirakan menjadi orang pertama yang berbaiat kepada Ali. Thalhah dan Zubair, sahabat Muhammad yang berambisi kepada jabatan tinggi,[14][15] juga berbaiat kepada Ali meskipun kemudian mengingkarinya.[16][14][7] Beberapa sumber awal mengatakan bahwa mereka berbaiat di bawah paksaan, meskipun sejarawan kontemporer cenderung menolak dan menganggap klaim ini dibuat-buat.[9][17][18] Ali sendiri tampak tidak memaksa siapa pun, sementara tokoh seperti Sa'ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Umar,[19] Sa'id bin al-Ash, Al-Walid bin Uqbah, dan Marwan memang lebih mungkin menolak berbaiat, beberapa disebabkan oleh dendam pribadi terhadap Ali.[12] Secara keseluruhan, Madelung memiliki gagasan bahwa terdapat lebih sedikit bukti adanya pemaksaan daripada masa Abu Bakar, meskipun banyak yang kemudian mengingkarinya, mengklaim bahwa mereka telah dipaksa untuk berbaiat.[20] Pada saat yang bersamaan, mungkin saja massa mayoritas yang mendukung Ali di Madinah membuat suasana menjadi mengintimidasi orang-orang yang menentang Ali.[21]

Kebijakan administratif

Keadilan

Masa pemerintahan Ali dicirikan oleh peradilannya yang ketat.[22][23][4] Dalam pidato pengukuhannya, Ali menegur umat Islam karena menyimpang dari jalan lurus sepeninggal Muhammad,[24] dan mulai menerapkan kebijakan radikal.[25] Hal ini dimaksudkan untuk memulihkan visinya mengenai pemerintahan kenabian.[26][27] Ali segera memberhentikan hampir semua gubernur yang pernah mengabdi kepada Utsman,[28] mengatakan bahwa orang-orang seperti mereka tidak boleh diangkat dalam jabatan apa pun.[29] Ia menggantikan mereka dengan orang-orang yang ia anggap saleh,[30][31] sebagian besar berasal dari kaum Anshar dan Bani Hasyim.[30] Ali juga mendistribusikan dana perbendaharaan secara merata di kalangan umat Islam, mengikuti praktik Muhammad,[32] dan dikatakan tidak menoleransi perilaku korupsi.[33][34] Beberapa dari mereka yang terkena dampak kebijakan ini segera memberontak melawan Ali dengan dalih balas dendam untuk Utsman.[35] Di antara mereka adalah Muawiyah, gubernur petahana Suriah.[36] Beberapa orang mengkritik Ali karena kenaifan berpolitik dan sikap kakunya yang berlebihan;[37][38] sementara yang lain mengatakan bahwa Ali memerintah dengan kebenaran, bukan fleksibilitas politik.[35][27] Para pendukungnya mengidentifikasi bahwa keputusan serupa diambil oleh Muhammad,[39][40] dan menegaskan bahwa Islam tidak pernah mengizinkan untuk berkompromi demi alasan keadilan, dengan mengutip Quran Surah 68: 9,[40] "Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak. Maka, mereka bersikap lunak (pula)."[41][42][43] Beberapa pihak berpendapat bahwa keputusan Ali sebenarnya dapat dibenarkan pada tingkat praktis.[10][44][4] Misalnya, pemecatan gubernur yang tidak populer mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia bagi Ali karena ketidakadilan adalah keluhan utama para pemberontak.[10]

Pembunuhan dan pemakaman

Ali dibunuh pada tanggal 19 Ramadan 40 H, atau 28 Januari 661 M, saat salat Subuh di Masjid Agung Kufah. Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Dia terluka oleh pedang yang telah dilapisi racun. Ali meninggal sekitar dua hari kemudian. Dia berusia 62 atau 63 tahun pada saat kematiannya. Menurut beberapa catatan, Ali telah lama mengetahui nasibnya baik melalui firasat atau melalui Muhammad, yang mungkin mengatakan kepadanya bahwa janggutnya akan ternoda darah di kepalanya.[45] Sebelum meninggal, Ali meminta agar Ibn Muljam akan diberi pengampunan jika ia selamat atau diberlakukan qisas dengan perlakuan yang sama.[46] Hasan, putra tertua Ali, kemudian melakukan qisas tersebut sepeninggal ayahnya.[45]

Khawatir jenazahnya akan digali dan diperlakukan buruk oleh musuh-musuhnya, Ali kemudian dikuburkan secara diam-diam. Makamnya ditemukan pada masa kekhalifahan Abbasiyah Harun ar-Rasyid (m. 786–809) yang di sekitarnya berkembang kota Najaf, dekat Kufah. Tempat yang diyakini menjadi makamnya ini, menjadi tempat ziarah utama bagi umat Syiah.[37] Bangunan makam yang sekarang dibangun oleh penguasa Safawiyah Syah Safi (m. 1629–1642),[47] yang di dekatnya terdapat kuburan besar bagi kaum Syiah yang ingin dimakamkan di samping imam mereka.[37] Najaf juga merupakan rumah bagi beberapa perguruan tinggi agama dan ulama Syiah terkemuka.[37]

Karakter

Ali dianggap oleh para pengikutnya sebagai teladan dalam perbuatan kebaikan yang esensial, khususnya dalam hal keadilan.[48] Namun, catatan sejarah tentangnya sering kali memihak. Hal ini mungkin karena konflik-konflik awal Muslim yang melibatkan Ali telah diabadikan selama berabad-abad dalam tulisan-tulisan yang sektarian.[49] Misalnya, secara pribadi, Ali digambarkan dalam beberapa sumber Sunni sebagai sosok yang botak, bertubuh kekar, berkaki pendek, berbahu lebar, badannya berbulu, berjanggut putih panjang, dan mengalami radang mata.[37] Sementara itu, catatan Syiah tentang penampilan Ali sangat berbeda dan mungkin lebih cocok dengan reputasinya sebagai seorang pejuang ulung.[50] Ia juga kerap tampil positif dalam karya seni Syiah dan Sufi.[48] Dalam beberapa sumber Sunni, Ali juga ditampilkan sebagai orang yang kasar, keras, dan tidak ramah;[37] sedangkan sumber-sumber Syiah menggambarkan Ali sebagai orang yang murah hati, lemah lembut, dan ceria,[51][48] sampai-sampai propaganda pada perang Suriah tampaknya menuduhnya bersikap sembrono.[33] Sumber-sumber Syiah dan Sufi juga penuh dengan kisah-kisah tentang tindakan kebaikannya, terutama kepada orang miskin.[52] Kualitas-kualitas penting dalam diri seorang panglima, yang dijelaskan dalam sebuah surat tentang Ali, mungkin merupakan potret dirinya yang paling baik: tidak mudah marah, senang memaafkan, baik hati terhadap yang lemah, dan keras terhadap yang kuat.[53] Sahabat Ali, Sa'sa'a ibn Suhan, diriwayatkan menggambarkannya sebagai berikut.

Dia [Ali] ada di antara kita sebagai salah satu dari kita, dengan watak yang lembut, kerendahan hati yang kuat, memimpin dengan pendekatan halus, meskipun kami kagum padanya dengan rasa kagum yang dimiliki seorang tahanan yang terikat terhadap orang yang memegang pedang di atas kepalanya.[48][53]

Nama dan gelar

 
Kaligrafi Utsmaniyah abad ke-18 bergaya mirror writing menuliskan frasa 'Ali Waliyullah' di kedua arahnya.

Ali dikenal dengan banyak nama dan gelar dalam kebudayaan Islam, beberapa di antaranya hanya dapat ditemukan pada sumber-sumber Syiah. Gelar-gelarnya yakni Abu al-Hasan (terj. har.'bapak Hasan'),[54] al-Murtada (terj. har.'yang diridai oleh-Nya [Allah]'),[54] Asadullah (terj. har.'singa Allah'),[55] dan Haydar (terj. har.'singa', nama yang awalnya dipilihkan oleh ibunya kepadanya).[54] Khusus di kalangan Syiah, ia juga digelari antara lain Amirul Mukminin (terj. har.'pemimpin orang-orang yang beriman'), Imam al-Muttaqin (terj. har.'pemimpin orang-orang yang bertakwa'), serta Waliyullah.[54] Imamiyyah menganggap gelar Amirul Mukminin hanya diberikan kepada Ali.[56] Ia juga dikenal sebagai Abu Turab (terj. har.'bapak berdebu'), yang diperkirakan berawal dari ejekan oleh musuh-musuhnya,[37] atau juga merujuk pada saat ketika Muhammad mendekati Ali, mengusap debu dari pundaknya sambil memanggilnya, "Abū Turāb."[54]

Keluarga

Orangtua dan moyang

Ayah — 'Imran (sekitar 539 – sekitar 619). Lebih dikenal dengan nama Abu Thalib. Pemimpin Bani Hasyim. Salah satu pelindung utama Muhammad di Makkah. Terdapat perbedaan pendapat, utamanya antara kalangan Sunni dan Syi'ah, mengenai status keislamannya. Menurut Sunni, Abu Thalib tidak masuk Islam sampai akhir hayatnya, sementara Syi'ah memandang bahwa Abu Thalib adalah seorang Muslim.

IbuFatimah binti Asad.

  • Kakek — Asad bin Hasyim
  • Nenek — Fatimah binti Qais

Pasangan dan keturunan

'Ali menikahi delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra.[1][57]

  • Fatimah (615–632). Putri bungsu Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid.
    • Hasan (624–670). Menjadi khalifah selama enam atau tujuh bulan pada tahun 661.
    • Husain (625–680). Menikah dengan Syahrbanu, putri Yazdegerd III, Kaisar Sasaniyah terakhir. Terbunuh dalam Pertempuran Karbala.
    • Zainab (626–681). Menikah dengan sepupunya, 'Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib.
    • Zainab As-Sughra (Zainab Kecil), juga dikenal dengan Ummu Kultsum. Menikah dengan Umar bin Khattab. Mahar untuk pernikahannya sebesar 40.000 dirham[58] dan mereka hidup sebagai suami istri pada tahun 638.[59] Tercatat Ummu Kultsum pernah memberikan hadiah parfum kepada Permaisuri Martina, istri Kaisar Romawi Timur Heraklius. Sebagai balasan, Martina menghadiahi kalung kepada Ummu Kulstum. Namun 'Umar yang percaya bahwa istrinya tak seharusnya ikut campur dalam urusan kenegaraan akhirnya menyerahkan kalung tersebut ke dalam perbendaharaan negara.[60] Dalam sudut pandang Syi'ah, pernikahan antara Ummu Kulstum dan 'Umar adalah kisah rekaan.[61]
    • Muhsin. Terlahir mati.
  • Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah. Saat masyarakat Yamamah menolak membayar zakat sepeninggal Muhammad, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka. Khaulah dan beberapa wanita lain ditawan sebagai budak dan dibawa ke Madinah. Saat sukunya mengetahui nasib Asma, mereka mendatangi 'Ali bin Abi Thalib untuk membebaskannya dari perbudakan dan melindungi martabat keluarganya. 'Ali kemudian membeli Asma dan membebaskannya, kemudian menikahinya.
  • Umamah binti Abi al-Ash bin ar-Rabi'. Ibunya adalah Zainab, putri tertua Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Abu al-Ash bin ar-Rabi' dari Bani Abdu Syams.
    • Muhammad al-Ausath
  • Fatimah binti Hizam. Juga dikenal dengan Ummul-Banin. Berasal dari Bani Kilab.
  • Laila binti Mas'ud
  • Asma' binti Umais. Secara keseluruhan, Asma menikah sebanyak tiga kali dan 'Ali adalah suami terakhirnya. Suami pertama Asma adalah saudara 'Ali sendiri, Ja'far bin Abi Thalib. Suami keduanya adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
    • Yahya
    • Aun
  • Ash-Shahba' binti Rabi'ah
    • 'Umar
    • Ruqayyah. Dikatakan mengungsi ke anak benua India dan mendakwahkan Islam di sana setelah Pertempuran Karbala.
  • Ummu Sa'id binti Urwah
    • Ummul Hasan
    • Ramlah Kubra
  • Mahabba binti Imru'ul Qais
    • seorang putri, meninggal ketika masih kecil
  • Ummu walad
    • Muhammad al-Ashghar

Banyak keturunan Ali yang tewas terbunuh dalam Pertempuran Karbala. Keturunannya yang masih ada saat ini merupakan para keturunan dari Hasan dan Husain (anak Fatimah), Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Khaulah), Abbas (anak Ummul Banin), dan Umar (anak Ash-Shahba').[1]

Keturunan Ali melalui putranya Hassan dikenal dengan Syarif, dan dari jalur Hussein dikenal dengan Sayyid. Sebagai keturunan langsung Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah. Keturunan Ali secara kesuluruhan dari para istrinya dikenal sebutan dengan Alawiyin atau Alawiyah.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c Sayyid Sulaiman Nadwi (2015). Ali bin Abi Thalib. Puspa Swara. hlm. 62. ISBN 978-979-1479-87-5. 
  2. ^ Madelung 1997, hlm. 127.
  3. ^ Madelung 1997, hlm. 141.
  4. ^ a b c d Poonawala 2011.
  5. ^ a b Momen 1985, hlm. 22.
  6. ^ Donner 2010, hlm. 157.
  7. ^ a b Jafri 1979, hlm. 63.
  8. ^ Lapidus 2002, hlm. 56.
  9. ^ a b c Gleave 2008.
  10. ^ a b c d Bahramian 2015.
  11. ^ Aslan 2011, hlm. 132.
  12. ^ a b Ayoub 2014, hlm. 81.
  13. ^ Madelung 1997, hlm. 142–143.
  14. ^ a b Momen 1985, hlm. 24.
  15. ^ Ayoub 2014, hlm. 70.
  16. ^ Madelung 1997, hlm. 141, 144–145.
  17. ^ Madelung 1997, hlm. 143.
  18. ^ Veccia Vaglieri 2021b.
  19. ^ Madelung 1997, hlm. 145.
  20. ^ Madelung 1997, hlm. 144–145.
  21. ^ Madelung 1997, hlm. 144.
  22. ^ Madelung 1997, hlm. 309–310.
  23. ^ Momen 1985, hlm. 25.
  24. ^ Madelung 1997, hlm. 150.
  25. ^ Tabatabai 1979, hlm. 43.
  26. ^ McHugo 2018, hlm. 53.
  27. ^ a b Ayoub 2014, hlm. 91.
  28. ^ Donner 2010, hlm. 158.
  29. ^ Madelung 1997, hlm. 148.
  30. ^ a b Donner 2010, hlm. 159–60.
  31. ^ Ayoub 2014, hlm. 83.
  32. ^ Tabatabai 1979, hlm. 45.
  33. ^ a b Shah-Kazemi 2022, hlm. 105.
  34. ^ Madelung 1997, hlm. 272.
  35. ^ a b Tabatabai 1979, hlm. 44.
  36. ^ Daftary 2014, hlm. 30.
  37. ^ a b c d e f g Veccia Vaglieri 1960.
  38. ^ Madelung 1997, hlm. 149–50.
  39. ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 89.
  40. ^ a b Tabatabai 1979, hlm. 46.
  41. ^ Terjemahan ayat oleh Quran Kemenag, Kementerian Agama Republik Indonesia.
  42. ^ Tabatabai 1979, hlm. 64.
  43. ^ Nasr et al. 2015, hlm. 3203.
  44. ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 89–90.
  45. ^ a b Veccia Vaglieri 1986.
  46. ^ Kelsay 1993, hlm. 92
  47. ^ Momen 1985, hlm. 26.
  48. ^ a b c d Haj Manouchehri 2022.
  49. ^ Veccia Vaglieri 1960, hlm. 385.
  50. ^ Abbas 2021, hlm. 63.
  51. ^ Glassé 2001, hlm. 41.
  52. ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 35–36.
  53. ^ a b Shah-Kazemi 2022, hlm. 104.
  54. ^ a b c d e Haj Manouchehri 2015.
  55. ^ Alizadeh 2015.
  56. ^ Gibb 1986.
  57. ^ The Life of Hadrat Ali
  58. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Smith, G. R. (1994). Volume 14: The Conquest of Iran, hlm. 101. Albany: State University of New York Press.
  59. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Juynboll, G. H. A. (1989). Volume 13: The Conquest of Iraq, Southwestern Persia, and Egypt, hlm. 109-110. Albany: State University of New York Press.
  60. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Humphreys, R. S. (1990). Volume 15: The Crisis of the Early Caliphate, hlm. 28. Albany: State University of New York Press
  61. ^ Umar's Marriage to Umm Kulthum in Shiite Narrations. (n.d) Retrieved from https://www.al-islam.org/critical-assessment-umm-kulthums-marriage-umar-sayyid-ali-al-husayni-al-milani/section-4-umars.

Bibliografi

Buku

Ensiklopedia

Encyclopaedia Iranica

Encyclopaedia of Islam

Encyclopaedia Islamica

Lainnya

Jurnal

Bacaan lanjutan

Pranala luar

Ali bin Abi Thalib
Cabang kadet Quraisy
Lahir: 15 September 601 Meninggal: 29 Januari 661
Jabatan Islam Sunni
Didahului oleh:
'Utsman bin 'Affan
Khalifah
20 Juni 656 – 29 Januari 661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali
Jabatan Islam Syi'ah
Jabatan baru Imam
632–661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali