Hirohito
Hirohito[a] (29 April 1901 – 7 Januari 1989), juga dikenal dengan nama anumerta Kaisar Shōwa,[b] adalah kaisar Jepang ke-124, yang memerintah dari tahun 1926 hingga kematiannya pada tahun 1989. Masa pemerintahannya selama lebih dari 62 tahun adalah yang terpanjang dari semua kaisar Jepang dalam sejarah dan salah satu dari raja yang paling lama memerintah di dunia.
Dia adalah kepala negara di bawah Konstitusi Meiji selama ekspansi kekaisaran Jepang, militerisasi, dan Perang Dunia II. Di bawah kepemimpinan Hirohito, Jepang mengobarkan perang di Asia pada tahun 1930an dan 1940an.
Setelah Jepang menyerah, meskipun Jepang mengobarkan perang atas nama Hirohito, ia tidak dituntut atas kejahatan perang, karena Jenderal Douglas MacArthur berpikir bahwa kaisar yang berpura-pura kooperatif akan membantu pembangunan Pendudukan Sekutu yang damai dan akan membantu AS mencapai tujuan pascaperangnya.[1] Pada tanggal 1 Januari 1946, di bawah tekanan Sekutu, Kaisar secara resmi melepaskan wewenang keilahiannya.
Hirohito dan istrinya, Nagako, memiliki dua putra dan lima putri; ia digantikan oleh anak kelima dan putra sulungnya, Akihito. Pada tahun 1979, Hirohito menjadi satu-satunya raja di dunia yang bergelar "Kaisar".
Biografi
Hirohito merupakan anak pertama dari Kaisar Yoshihito (Taisho) dan Permaisuri Teimei (Sadako), dan kakak dari Pangeran Yasuhito Chichibu (1903-1953), Pangeran Nobuhito Takamatsu (1905-1987) serta Pangeran Takahito Mikasa (1915-2016). Sebelum naik takhta ia dikenal sebagai Pangeran Michi (迪宮, Michi-no-Miya). Masa kekuasaannya sebagai kaisar dikenal sebagai era Showa yang berarti damai, cerah budi. Namun ironisnya, justru pada saat itu, Jepang terlibat perang melawan RRT dan akhirnya dalam Perang Dunia II. Di Indonesia, ketika masa pendudukan Jepang (1942-1945) Hirohito dikenal sebagai Tenno Heika yang berarti "Yang Mulia Kaisar".
Hirohito mengenyam pendidikan awal di Gakushuin Peer's School dari April 1908 hingga April 1914, kemudian mendapatkan pendidikan khusus untuk putra mahkota (Togu-gogakumonsho) di Istana Akasaka dari tahun 1914 sampai Februari 1921. Mendapatkan karier sebagai letnan and sub-lieutnant (1st class) 9 Desember, 1912 pada Angkatan Darat Kekaisaran, kapten dan letnan (31 Oktober 1916, mayor dan wakil komandan (31 Oktober 1920 )letnan kolonel dan komandan (31 Oktober1923) dan kolonel dan komandan Angkatan Laut Kekaisaran (Kaigun) (31 Oktober 1924). Ia diangkat menjadi putra mahkota secara resmi pada tanggal 16 November 1916. Pada tahun 1922 ia mengadakan kunjungan ke Inggris dan sejumlah negara negara Eropa. Kunjungan ini dianggap kelompok sayap kanan kontroversial sehingga menewaskan Perdana Menteri Hamaguchi.
Hirohito memiliki pengetahuan tentang penelitian biologi laut dan beberapa hasil penelitiannya dituangkan dalam sejumlah buku di antaranya The Opisthobranchia of Sagami Bay dan Some Hydrozoans of the Amakusa Islands.
Ia dinobatkan menjadi kaisar pada tanggal 25 Desember 1926 setelah ayahnya Kaisar Taisho meninggal, dilantik secara resmi 10 November, 1928, di Tokyo.
Pernikahan dan Keluarga
Hirohito menikah dengan Putri Nagako, putri sulung Pangeran Kuniyoshi pada tanggal 26 Januari 1924 dan dikaruniai 7 orang anak, Putri Teru Shigeko (1925-1961), Putri Hisa Sachiko (1927-1928), Putri Taka Kazuko (1929-1989), Putri Yori Atsuko (1931- ), Pangeran Akihito (1933- ), Pangeran Hitachi Masahito (1935 - ), Putri Suga Takako (1939 - ).
Masa bertakhta
Pada masa ia bertakhta, Hirohito menyaksikan pertentangan di dalam negeri dan peperangan yang diawali dengan kericuhan di dalam negeri akibat pertentangan antara kelompok moderat dengan golongan kanan ultranasionalis yang disokong militer khususnya Angkatan Darat sebagai kekuatan terbesar pada saat itu. Akibatnya sejumlah pejabat tinggi, pengusaha dan tokoh-tokoh penting negara terbunuh dan puncaknya adalah insiden militer 26 Februari 1936, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Saburo Aizawa serta 1500 prajurit. Peristiwa ini juga melibatkan pangeran Yashuhito Chichibu sehingga Kaisar Hirohito sendiri turun tangan dan memerintahkan pasukan Angkatan Bersenjata kekaisaran untuk menyelesaikan hal ini dan memastikan loyalitas dari seluruh keluarga kekaisaran. Meskipun demikian diam-diam insiden ini "direstui" oleh kalangan pimpinan Angkatan Darat terutama dari kalangan ultranasionalis. Oleh karena itu pada tahun 1930, klik ultranasionalis dan militer menguasai pimpinan pemerintahan.
Akhirnya, pada masa kekaisaran Hirohito Jepang tercatat terlibat peperangan di antaranya Insiden Manchuria 1931, Insiden Nanking 1937, dan Perang Dunia II dengan melancarkan serangan atas Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour 7 Desember 1941.
Hari Yang Terpanjang dan Akhir Perang
Menjelang akhir perang (1945), Jepang sudah praktis kalah perang. Angkatan Lautnya bisa dikatakan hampir habis dan Angkatan Daratnya kewalahan. Namun pihak Angkatan Darat masih ingin melanjutkan peperangan. Rapat 6 Besar (Angkatan Darat Jendral Umezu,Angkatan Laut Admiral Toyoda, Kementrian Peperangan Jendral Korechika Anami, Menteri Luar Negeri Shinegori Togo, Perdana Menteri Suzuki Kantaro, Kementrian Angkatan Laut Admiral Yonai Mitsumasa) macet. Muncul pula ancaman pemberontakan komunis yang dikhawatirkan beberapa pejabat teras kekaisaran. Lambannya penanganan masalah ini ditambah dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima (6 Agustus 1945), Nagasaki (9 Agustus 1945) serta pernyataan perang Uni Soviet (yang sebelumnya netral karena perjanjian Molotov-Matsuoka dengan batas akhir April 1946) sesaat setelah dijatuhkannya bom atom di Nagasaki, membuat Kaisar memerintahkan untuk menghentikan peperangan pada konfrensi 6 Besar yang dikatakan pada tanggal 10 Agustus 1945:
"Meneruskan peperangan hanya akan menambah kesengsaraan rakyat Jepang, kondisi negara tidak akan mampu untuk bertahan cukup lama dan kemampuan mempertahankan persisir pantai saja sudah diragukan. Sangat sulit melihat tentara yang setia dilucuti ..tetapi saatnya untuk menanggung apa yang tidak tertanggungkan. Saya menyetujui proposal untuk menerima proklamasi Sekutu (Potsdam) yang garis besarnya ada di menteri luar negeri"
Karena desakan kaisar inilah akhirnya Jepang menyatakan menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945.
Kaisar setelah perang
Setelah Perang Asia (Dai Toa Senso) selesai, banyak desakan agar kaisar Hirohito diadili sebagai penjahat perang. Ada banyak keterangan kontroversial mengenai keterlibatannya dalam perang baik sebelum maupun pada saat Perang Dunia II. Di antaranya adalah David Bergammi dalam bukunya Japan Imperial Conspiracy yang mengatakan bahwa kaisar terlibat dalam perencanaan perang. Namun banyak pula yang tidak setuju dengan alasan bahwa dia hanyalah sebagai simbol dan pemimpin agama sebagaimana kaisar-kaisar periode sebelumnya Shogun sekalipun pada saat itu berkedudukan sebagai komando tertinggi.
Menteri Peperangan Amerika Serikat Henry Stimson mengatakan "Tidak menurunkan kaisar Jepang dari takhtanya akan memudahkan proses penyerahan dan menghindarkan peperangan yang dapat merugikan khususnya pasukan pendudukan, yang kita lakukan terhadap Kaisar Jerman pasca Perang Dunia I sehingga publik menganggap kaisar Jerman adalah musuh, setan (devil), mengakibatkan kekosongan kekuasan dan tata pemerintahaan di wilayah itu sehingga memunculkan Adolf Hitler".
Sekalipun banyak desakan dari berbagai pemimpin dunia agar Kaisar Hirohito diadili, termasuk diantaranya Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman meskipun akhirnya Presiden Truman setuju untuk mempertahankan kedudukan kaisar. Panglima pendudukan, Jendral Douglas McArthur juga tetap menempatkan Hirohito pada tahtanya sebagai simbol dan memperlancar pembangunan kembali Jepang dan simbol keterpaduan Kaisar dengan rakyatnya terutama pada masa pendudukan. Kedudukan Kaisar pada takhtanya didasarkan pada konstitusi baru yang diterapkan 3 Mei 1947 yang dinamakan Konstitusi Jepang atau konstitusi pasca perang yang menetapkan kaisar sebagai lambang atau simbol dan kepala negara sebagaimana kerajaan atau monarki konstitusional. Konstitusi ini menggantikan Konstitusi Meiji pada era Meiji dimana kaisar sebagai pemegang komando dan kekuasaan tertinggi.
Kaisar Hirohito menyaksikan kemajuan pembangunan Jepang pasca-perang. Ia mengunjungi kembali beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat dan bertemu Presiden Richard Nixon pada tahun 1971.
Kematian
Kaisar Hirohito meninggal pada tanggal 7 Januari 1989 akibat penyakit kanker usus dua belas jari (duodenum) yang dideritanya. Pemakaman kenegaraannya dihadiri oleh para pemimpin dunia di antaranya Presiden Amerika Serikat George Bush, Presiden Prancis Francois Mitterand, HRH Duke of Edinburgh dari Inggris, dan Raja HM Baudouin dari Belgia, pada tanggal 24 Februari 1989. Jenazahnya dimakamkan di Mausoleum Kekaisaran Musashino, di samping makam Kaisar Taisho. Kedudukannya digantikan oleh Putra Mahkota Akihito.[2]
Galeri
-
Kaisar Showa bersama Pangeran Mikasa, Nobuhito, dan Yasuhito
-
Hirohito memakai Baju Kaisar
-
Hirohito (1902)
-
Hirohito dan Lloyd George (1921)
-
Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kojun
-
Kaisar Showa dan Shirayuki
-
Tentara dan Kaisar Showa (8 Januari 1938)
-
Hirohito adalah Kepala Jendral Imperial 1943
-
Keluarga Hirohito (7 Desember 1941)
-
Kaisar Showa dan Jendral McArthur
-
Hirohito di Hiroshima
-
Gerald dan Betty Ford bersama Kojun dan Showa
-
Ronald Reagan dan Kaisar Showa
Lihat pula
Referensi
- ^ Rich 2018.
- ^ "Hirohito's survivors". Los Angeles Times. 7 January 1989. Diakses tanggal 3 December 2016.
Pranala luar
- Imperial Family of Japan
- Japan Longest Day Diarsipkan 2011-02-25 di Wayback Machine.
Hirohito Lahir: 29 April 1901 Meninggal: 7 Januari 1989
| ||
Gelar | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Yoshihito, Kaisar Taishō |
Kaisar Jepang 25 Desember 1926 – 7 Januari 1989 |
Diteruskan oleh: Akihito |
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan