Bundo Kanduang

Revisi sejak 18 Januari 2024 07.39 oleh Rahmatdenas (bicara | kontrib) (Bundo Kanduang dalam Kaba Cindua Mato)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Bundo Kanduang atau dapat diterjemahkan secara kasar ke dalam bahasa Indonesia sebagai Bunda Kandung, adalah personifikasi etnis Minangkabau sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan sulung atau yang dituakan dalam suatu suku (klan). Sebutan bundo kanduang hanya melakat pada seorang perempuan yang sudah berkeluarga.[1][2]

Para kaum ibu Minangkabau.

Etimologi

sunting

Secara harfiah, Bundo Kanduang berarti ibu sejati atau ibu kandung. Namun, secara makna bundo Kanduang adalah pemimpin wanita di Minangkabau, yang menggambarkan sosok perempuan bijaksana yang membuat adat Minangkabau lestari sejak zaman sejarah Minanga Tamwan hingga zaman adat Minangkabau.

Istri seorang datuk kadang-kadang juga disebut sebagai bundo Kanduang untuk tingkat klan atau suku.

Kini, istilah ini sering dipakai sebagai kata ganti untuk perempuan yang sudah berkeluarga secara umum. Pada masa Orde Baru, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau mendirikan organisasi Bundo Kanduang untuk mengimbangi organisasi wanita lain seperti Himpunan Wanita Karya (HWK).[2]

Sejarah

sunting

Sebagian pendapat menyatakan bahwa gelar ini pertama kali diberikan kepada Dara Jingga, seorang putri dari raja Tribuanaraja Mauliawarmadewa yang dinikahi oleh seorang bangsawan Kerajaan Singasari pada waktu ekspedisi Pamalayu, tetapi pendapat ini tidak mempunyai bukti yang kuat.

Di Lunang, Pesisir Selatan Sumatera Barat sekarang, ada Mande Rubiah yang dklaim sebagai keturunan Bundo Kanduang yang ketujuh.

Sementara itu di Kabupaten Lebong, Renah Sekalawi, seluruh rakyat Marga Suku VIII dan Marga Suku IX, keduanya pecahan dari Petulai Tubei, menuliskan dalam tembo-tembonya secara turun temurun nama rajo mudo yang bermenantukan kemenakannya Dang Tuanku Sutan Remendung sebagai menantunya dengan menikahi putrinya Puti Bungsu setelah melewati pertempuran dengan Imbang Jayo dalam kisah Cindur Mato. Saat ini keturunan Sutan Remendung sudah mencapai urutan ke-22 dan 23 yang tercatat di kedua marga.[3]

Bundo Kanduang dalam Kaba Cindua Mato

sunting

Dalam kaba Cindua Mato, Bundo Kanduang adalah seorang ratu yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung, mempunyai seorang putra bernama Sutan Rumandung bergelar Dang Tuanku. Ia mempunyai seorang adik laki-laki bergelar Rajo Mudo yang memerintah di daerah rantau timur Minangkabau direnah sekalawi (sekarang kab.lebong) Dan ia mempunyai seorang keponakan (anak dari adik perempuannya bernama Cindua Mato).

Ia naik tahta menjadi raja sepeninggal ayahnya sementara itu saudara laki-lakinya bukanlah figur yang cocok untuk menjadi raja. Diduga ia memerintah di saat terjadinya kevakuman di Pagaruyung (periode sekitar abad 15 - 16). Akibat serangan dari kerajaan di Timur, ia sekeluarga menyingkir ke arah barat daya Pagaruyung yaitu ke Inderapura atau Lunang.Dan menetap disana, dalam pelariannya Sultan Rumandung mempunyai dua anak Sutan Sarduni dan Putri Sariduni.

Tokoh Bundo Kanduang

sunting

Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyyah juga dijuluki sebagai Bundo Kanduang karena ketokohan dan perjuangannya.

Referensi

sunting
  1. ^ Arifin Zainal (2013). "Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang)". Antropologi Indonesia. 34 (2): 125. ISSN 1693-167X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-24. Diakses tanggal 2020-11-18. 
  2. ^ a b S, Amir M. (2007). Masyarakat adat Minangkabau terancam punah. Mutiara Sumber Widya. hlm. 48–51. ISBN 978-979-9331-60-1. 
  3. ^ Indah Sari Kencanawati (2009). Baso Jang Te. Tiga Serangkai.