Suku Amungme

kelompok etnik dari Papua Tengah, Indonesia
Revisi sejak 4 Februari 2024 05.12 oleh Envapid (bicara | kontrib) (balikan vandalisme)

Suku Amung (juga dikenal sebagai Amui, Hamung, Amuy, Uhunduni, atau Amungme) adalah kelompok etnis dengan populasi sekitar 17.700 orang yang tinggal di dataran tinggi provinsi Papua Tengah, Indonesia. Kata Amungme memiliki arti "orang Amung".

Amung
Amungme
Jumlah populasi
17.700[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Papua Tengah (Indonesia)
Bahasa
Uhuduni (Amung-kal)
Agama
Kekristenan (didominasi), animisme
Kelompok etnik terkait
Damal, Dem


Suku Amung tinggal di beberapa lembah di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya, seperti lembah Noema, Tsinga, Hoeya, Bella, Alama, Aroanop, dan Wa, maupun di dataran rendah Agimuga dan Timika. Sebagian kelompok yang menetap di lembah Beoga disebut suku Damal (berdasarkan sebutan dari suku Dani).[2]

Bahasa

Bahasa mereka yang disebut oleh beberapa peneliti sebagai bahasa Uhunduni memiliki beberapa dialek, di wilayah bagian selatan disebut Amung-kal sedangkan bahasa mereka di daerah utara disebut Damal-kal (dituturkan oleh suku Damal). Selain itu, mereka juga memiliki bahasa simbolik yang disebut Aro-a-kal dan Tebo-a-kal. Bahasa Tebo-a-kal hanya diucapkan di daerah yang dianggap keramat.[2] Dapat diketahui "Damal" adalah istilah yang diberikan oleh suku Dani, sedangkan "Uhunduni" adalah sebutan oleh suku Moni.

Tradisi

Terdapat beberapa model kepemimpinan di adat suku Amungme seperti menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum. Posisi pemimpin tidak diwariskan oleh garis keturunan, melainkan secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis.

Keyakinan tradisional masyarakat Amungme yaitu animisme lokal. Orang-orang Amungme tidak memiliki gagasan tentang dewa yang terpisah dari alam di mana roh-roh dan alam adalah satu dan sama.[3] Walaupun suku Amungme memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah anak pertama dari anak sulung bangsa manusia, penakluk dan penguasa negeri Amungsa dari Nagawan-Into (Tuhan).[2]

Mereka mempraktikkan pertanian berpindah, melengkapi mata pencaharian mereka dengan berburu dan meramu. Masyarakat Amungme sangat terikat dengan tanah leluhur mereka dan menjadikan pegunungan sekitarnya adalah tempat yang disucikan.

Wilayah adat

Amungsa adalah wilayah hunian suku Amungme. berasal dari dua kata, yakni amung dan sa. Amung artinya "bentangan" dan sa artinya "wilayah". Ini berarti bahwa Amungsa adalah bentangan wilayah adat dari suku Amungme.

Berdasarkan Rapat Luar Biasa LEMASA pada tanggal 2–4 Februari 2007, ditetapkan wilayah Amungsa yang terdiri dari timur, barat, utara, dan selatan. Wilayah Amungsa sebelah timur perbatasan dengan Mbrum-Mbram. Mbrum-Mbram adalah wilayah Amungsa yang berbatasan dengan wilayah suku Nduga. Sedangkan wilayah Amungsa sebelah barat adalah Janama Tagal. Janama Tagal adalah wilayah Amungsa yang perbatasan dengan suku Mee. Di sebelah utara, Amungsa berbatasan dengan tanah ulayat suku Dani dan Damal, sedangkan di selatan wilayah Amungsa berbatasan dengan wilayah suku Kamoro.

Tambang Freeport

Perebutan atas tanah adat ini telah menyebabkan gesekan dengan pemerintah Indonesia dan perusahaan Freeport-McMoran, yang ingin mendayagunakan persediaan mineral yang luas yang terdapat di sekitarnya. Perubahan besar telah dialami oleh suku Amungme dari dataran tinggi dan suku Kamoro dari dataran rendah gaya hidup telah dibawa oleh tambang Grasberg, terletak di jantung wilayah Amungme dan dimiliki oleh Freeport-McMoRan, yang menjadi sumber mata pencaharian terbesar bagi wilayah tersebut. Emas dan tembaga telah mengubah lanskap alami wilayah tersebut, dan kehadiran tambang dan infrastruktur telah menarik banyak migran ekonomi lainnya dari berbagai wilayah di Indonesia termasuk dari wilayah lain di pulau Papua, beberapa telah mencoba untuk menetap di tanah tradisional Amungme. Ini mengakibatkan adanya sengketa tanah yang disebabkan mengenai hak tanah adat antara masyarakat Amungme terhadap pendatang dan perusahaan pertambangan Freeport Indonesia di Timika.[4]

Dalam 35 tahun terakhir, Amungme telah melihat gunung suci mereka dihancurkan oleh tambang, dan menyaksikan kerabat mereka yang terbunuh oleh konflik Tentara Nasional Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka, sementara bagi Kamoro memiliki masalah dengan adanya 200.000 ton limbah tambang yang dipompa ke sungai mereka setiap hari.[5] Semua faktor ini telah menciptakan tekanan sosial dan politik yang kompleks, dan menyebabkan protes dan konflik sosial, beberapa di antaranya telah ditekan keras oleh kepolisian dan juga militer Indonesia.[6]

Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama puncak Nemangkawi di Puncak Jaya. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas perang] perdamaian. Wilayah Amungme di sebut Amungsa.

Referensi

  1. ^ "Amung in Indonesia". Joshua Project. Diakses tanggal 2014-09-24. 
  2. ^ a b c "Papua - PDF". Scribd. 2021-08-05. Diakses tanggal 2022-10-25. 
  3. ^ Craig A. James (2010). The Religion Virus. John Hunt Publishing. ISBN 1-8469-4272-1. 
  4. ^ August Kafiar; Tom Beanal (2000). PT. Freeport Indonesia Dan Masyarakat Adat Suku Amungme. Forum Lorentz. 
  5. ^ Jeremy Seabrook (2004). Consuming Cultures: Globalization And Local Lives. New Internationalist. ISBN 1-9044-5608-1. 
  6. ^ Monash University. Castan Centre for Human Rights Law, United Nations. Global Compact Office, Prince of Wales International Business Leaders Forum, United Nations. Office of the High Commissioner for Human Rights (2008). Human Rights Translated: A Business Reference Guide. United Nations Publications. ISBN 0-9752-4425-6.