Heiho
Heiho (兵補 , Heiho, 'Tentara Pembantu') adalah pasukan yang terdiri dari bangsa Indonesia yang dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II.[1] Heiho juga termasuk salah satu organisasi militer yang dibentuk oleh Jepang selain PETA dan Giyugun. Akan tetapi, pemuda-pemuda Indonesia yang bergabung dalam Heiho tidak pernah diberi pangkat atau jabatan yang tinggi. Kondisi ini berbeda dengan pemuda yang tergabung dalam PETA atau Giyugun, yang selalu mendapatkan promosi kenaikan pangkat atau jabatan. Diskriminasi ini berlanjut ketika seluruh Heiho Angkatan Darat atau Angkatan Laut harus memberi hormat kepada warga Jepang, baik itu sipil maupun militer.[2]
Heiho | |
---|---|
兵補 | |
Aktif | 22 April 1943–1945 |
Negara | Kekaisaran Jepang |
Aliansi | |
Tipe unit | Auxiliary |
Peran | Mendukung usaha militer Jepang dalam Perang Pasifik |
Jumlah personel | ca 42.000 (1945) |
Himne | Lagu Tentara Heiho |
Pertempuran | Perang Pasifik |
Dibubarkan | 1945 |
Selain itu, ada juga perbedaan gaji, akomodasi, dan makanan dengan heitai (兵隊 , 'tentara') yang disesuaikan dengan strata sosial anggota Heiho sendiri. Dalam satu bulan, gaji seorang personel Heiho hanya 30,00 rupiah untuk bujangan dan 35,00 rupiah untuk anggota yang telah berumah tangga.[3] Padahal, para pemuda berharap perekrutan masuk Heiho dapat dijadikan pijakan karier militer untuk meningkatkan strata sosial dan menghindari sistem romusa.[4]
Pembentukan
Pasukan ini dibentuk berdasarkan instruksi Markas Besar Kekaisaran Jepang Bagian Angkatan Darat pada tanggal 2 September 1942 dan mulai merekrut anggota pada 22 April 1943.[4] Departemen Humas (宣伝部 , Sendenbu) mempropagandakan bahwa Heiho merupakan suatu kesempatan bagi para pemuda untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa. Syarat menjadi anggota Heiho adalah berusia 18-25 tahun, memiliki tinggi minimal 110 cm, berat badan 45 kg, sehat jasmani dan rohani, berperilaku baik, dan berpendidikan minimal tamatan sekolah dasar.[5] Para pemuda yang terpilih dijanjikan menjadi anggota Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.
Akan tetapi, pada kenyataannya, Heiho malah ditugaskan membantu pekerjaan kasar militer pada satuan angkatan perang Jepang, seperti membangun kubu, parit pertahanan, dan menjaga tahanan. Oleh karena itu, Heiho disebut juga barisan tenaga pekerja yang tidak diberi senjata kemiliteran lengkap. Senjata yang diberikan hanya satu taiken (隊剣 , 'sangkur') yang sudah menjadi bagian mutlak perlengkapan yang dipakai. Para anggota Heiho baru diberi senjata ketika Jepang sudah terdesak oleh pasukan Sekutu.[6] Mereka kemudian turut diikutkan untuk berperang bersama para serdadu Jepang di berbagai medan Perang Pasifik yang sesungguhnya, seperti di Filipina, Thailand, Morotai, Rabaul (kini bagian dari Papua Nugini), Balikpapan, dan Burma.[2] Lantaran masih kurangnya pelatihan, mereka lebih sering dijadikan tameng peluru atau martir bom bunuh diri ketika Jepang menyerah.
Setelah mendapat pelatihan beberapa bulan, pasukan Heiho dianggap memiliki kemampuan militer yang lebih baik daripada pasukan PETA. Atas dasar itu, pasukan Heiho banyak ditugaskan di unit-unit pertahanan udara, artileri medan, tank, mortir, dan logistik. Perekrutan Heiho pada Angkatan Darat Kekaisaran Jepang kemudian diikuti oleh perekrutan Kenpeiho (憲兵補 , 'Pembantu Polisi Militer') bagi Kempetai dan Kaigun Heiho (海軍兵補 , 'Tentara Pembantu Angkatan Laut') bagi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Heiho tidak memiliki komandan dari bangsa Indonesia, tapi berada di bawah komando tentara Jepang. Latihan yang diberikan tidak berkaitan dengan organisasi dan teori kemiliteran, melainkan berkaitan dengan stamina fisik, seishin (精神 , 'mental'), dan keberanian yang tidak mengenal rasa sakit dan tidak takut kematian.[7] Menjelang akhir pendudukan Jepang di Indonesia, jumlah pasukan Heiho diperkirakan mencapai 42.000 orang (Jawa 24.873, Timor 2.504, dan 15.000 di daerah lain) dengan lebih dari setengahnya terkonsentrasi di pulau Jawa. Heiho dibubarkan oleh PPKI setelah Jepang menyerah pada Belanda dan sebagian anggotanya dialihkan menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR).[8]
Referensi
- ^ "Hasil Pencarian - KBBI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-06. Diakses tanggal 2020-08-17.
- ^ a b Pringgodigdo, Prof Mr Ag (1991-01-01). Ensiklopedi Umum. Kanisius. ISBN 978-979-413-522-8.
- ^ Oktorino, Nino (2019-02-25). Nusantara Membara "Heiho" - Barisan Pejuang Indonesia yang Terlupakan. Elex Media Komputindo. hlm. 66. ISBN 978-602-04-9064-9.
- ^ a b Wirayudha, Randy (2015-04-22). "Kronik Heiho dari Front Pasifik Hingga Revolusi". Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-08. Diakses tanggal 2020-08-17.
- ^ Matang, Pozan (2016-06-09). "Semangat Juang Chik Lah, Eks Tentara Heiho". Pikiran Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-08. Diakses tanggal 2020-08-17.
- ^ Sihombing, O. D. P. (1962). Pemuda Indonesia menantang fasisme Djepang (dalam bahasa Melayu). Sinar Djaya. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-17. Diakses tanggal 2020-08-17.
- ^ Mhd, Syafaruddin Usman; Din, Isnawita (2009). Peristiwa Mandor berdarah. Media Pressindo. ISBN 978-979-788-109-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-17. Diakses tanggal 2020-08-17.
- ^ "Amat Jantan Indonesia". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 2020-08-17.