Masjid Nabawi

masjid bersejarah di Madinah, Arab Saudi
Revisi sejak 22 Maret 2024 16.13 oleh Speedy both (bicara | kontrib) (copyedit)

Masjid Nabawi (bahasa Arab: المسجد النبوي pelafalan dalam bahasa Arab: [ʔælˈmæsʤɪd ælnabawī]) adalah sebuah masjid di kota Madinah, Arab Saudi. Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun dalam sejarah Islam dan menjadi masjid terbesar kedua di dunia. Masjid ini dianggap sebagai tempat suci oleh umat Islam selain Masjidil Haram di Makkah.[2]

Masjid Nabawi
المسجد النبوي
PetaKoordinat: 24°28′6.000″N 39°36′39.000″E / 24.46833333°N 39.61083333°E / 24.46833333; 39.61083333
Agama
AfiliasiIslam
KepemimpinanImam:
  • Abdur Rahman Al Hudzaifi
  • Salaah Al Budair
  • Abdulbari Awadh Al-Thubaity
  • Abdul Muhsin Al-Qasim
  • Hussain Abdul Aziz Aal Sheikh
  • Ahmad ibn Taalib Hameed
  • Abdullah Bu'ayjaan
  • Khaalid Bin Sulaiman Al Muhanna
  • Ahmad bin Ali Al Hudzaifi
Lokasi
LokasiAl-Haram, Madinah, Hejaz
NegaraArab Saudi Arab Saudi
Masjid Nabawi di Arab Saudi
Masjid Nabawi
Lokasi di Arab Saudi
Masjid Nabawi di Asia
Masjid Nabawi
Masjid Nabawi (Asia)
Masjid Nabawi di Bumi
Masjid Nabawi
Masjid Nabawi (Bumi)
AdministrasiPemerintah Arab Saudi
Koordinat24°28′6″N 39°36′39″E / 24.46833°N 39.61083°E / 24.46833; 39.61083
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturArsitektur Islam klasik dan kontemporer; Utsmaniyah; Mamluk
Dibangun olehMuhammad
Didirikan623; 1400 tahun lalu (623) CE (1 H)
Spesifikasi
Kapasitas1,000,000[1]
Menara10
Tinggi menara105 m (344 ft)
Situs web
wmn.gov.sa

Masjid Nabawi diyakini dulunya adalah rumah tempat tinggal Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah di tahun 622 Masehi. Bangunan awalnya dibangun tanpa diberi atap.

Awalnya Masjid Nabawi juga digunakan sebagai tempat acara sosial seperti pertemuan masyarakat dan digunakan sebagai sekolah agama (madrasah). Seiring pergantian penguasa di Madinah, pembangunan masjid pun terus dilakukan. Pada tahun 1909, area di Masjid Nabawi menjadi salah satu yang terang di Jazirah Arab karena telah menerima pasokan listrik.[3] Masjid ini diawasi dan dijaga oleh Penjaga Dua Tanah Suci.[4] Masjid Nabawi berada di tengah kota Madinah dan dekat dengan beberapa hotel beserta pasar di sekelilingnya. Masjid Nabawi menjadi destinasi utama para jemaah haji dan umrah.[4] Makam Nabi Muhammad yang berada di sekitar komplek masjid juga sering dikunjungi oleh para jemaah yang datang ke Madinah.[4]

Setelah perluasan besar-besaran di bawah Kekhalifahan Umayyah Al-Walid I, dibuat tempat di atas peristirahatan terakhir Nabi Muhammad beserta dua Khulafaur Rasyidin Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[5] Salah satu fitur terkenal Masjid Nabawi adalah Kubah Hijau yang berada di tenggara masjid,[6] yang dulunya merupakan rumah Aisyah,[5] dimana kuburan Nabi Muhammad berada. Pada tahun 1279, sebuah penutup yang terbuat dari kayu dibangun dan direnovasi sedikitnya dua kali yakni pada abad ke-15 dan pada 1817.[4] Kubah yang ada saat ini dibangun pada 1818 oleh Sultan Utsmaniyah Mahmud II,[6] dan dicat hijau pada 1837, sejak saat itulah kubah tersebut dikenal sebagai "Kubah Hijau".[5]

Sejarah

Tabel garis waktu

Perluasan Tahun Masa Pemimpin Luas (m2)[4] Penambahan Pintu Menara Keterangan
Pembangunan awal 1 Hijriah
622 M
Kenabian Nabi Muhammad 1,050 - 3 - Baru dibangun
Perluasan pertama 7 Hijriah
628 M
Kenabian Nabi Muhammad 2,475 136% 3 - Selesai setelah Pertempuran Khaibar
Perluasan kedua 17 Hijriah
638 M
Khulafaur Rasyidin Umar bin Khattab 3,575 44.4% 6 - Suku "Al-Buthaiha" keluar masjid
Perluasan ketiga 29 Hijriah - 30 Hijriah
649 M - 650 M
Khulafaur Rasyidin Utsman bin Affan 4,071 13.9% 6 - Perluasan utara
Perluasan keempat 88 Hijriah - 91 Hijriah
707 M - 710 M
Umayyah Umar bin Abdul Aziz
dengan perintah Al Walid bin Abdul-Malik
6,440 58.2% 20 4 Memasukkan kamar Nabi Muhammad ke dalam masjid
memperbarui minaret untuk pertama kalinya
memperbarui mihrab untuk pertama kalinya
Perluasan kelima 161 Hijriah - 165 Hijriah
779 M - 782 M
Abbasiyah Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi 8,890 38% 24 3 -
Perbaikan dan penghiasan 654 Hijriah
1275 M
Abbasiyah
penaklukan Mamluk
Al-Mu'tasim 8,890 0% 24 3
Perbaikan dan penghiasan 881 Hijriah
1476 M
Mamluk Ibnu Qutaibah 8,890 0% 24 3 -
Perluasan keenam 886 Hijriah - 888 Hijriah
1481 M - 1483 M
Mamluk Ibnu Qutaibah 9,010 1.3% 4 4 -
Perbaikan dan penghiasan 947 Hijriah
1540 M
Utsmaniyah Sulaiman Al-Qanun 9,010 0% 4 4 -
Perluasan ketujuh (al-Majidiyah) 1265 Hijriah - 1277 Hijriah
1849 M - 1860 M
Utsmaniyah Abdul Majid I 10,303 14.4% 5 5 Pencetus arsitektur Utsmaniyah pada masjid
Perluasan kedelapan 1372 Hijriah - 1375 Hijriah
1952 M - 1955 M
Kerajaan Saudi Abdul Aziz Alu Saud 16,327 58.5% 10 4 menghabiskan sedikitnya 50 juta Riyal
Perluasan kesembilan 1406 Hijriah - 1414 Hijriah
1985 M - 1994 M
Kerajaan Saudi Fahd bin Abdul Aziz 98,327
235,000
502% 41 10 Perluasan besar-besaran

Masjid Nabawi merupakan masjid kedua yang dibangun oleh Nabi Muhammad, setelah Masjid Quba yang didirikan dalam perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Masjid Nabawi dibangun di tempat unta tunggangan Nabi Muhammad menghentikan perjalanannya dan didirikan sejak waktu pertama Nabi Muhammad tiba di Madinah. Lokasi itu semula adalah tempat penjemuran buah kurma milik anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Nabi Muhammad untuk dibangunkan masjid dan tempat kediamannya.[7][8]

Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m.[9] Nabi Muhammad membantu membangunnya dengan tangannya sendiri, bersama-sama dengan para sahabat dan kaum muslimin. Tembok di keempat sisi masjid ini terbuat dari batu bata dan tanah, sedangkan atapnya dari daun kurma dengan tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka begitu saja. Selama sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari. Hanya di waktu Isya, diadakan sedikit penerangan dengan membakar jerami.[7]

Berkas:Rekonstruksi Masjid Nabawi 1.jpg
Miniatur dari rekonstruksi Masjid Nabawi sesuai bentuk asal di masa Nabi.
Berkas:Rekonstruksi Rumah Nabi 1.jpg
Miniatur dari rekonstruksi rumah nabi yang menempel di dinding masjid Nabawi.

Kemudian melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman Nabi. Kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang digunakan sebagai tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak memiliki rumah.[7] Belakangan, orang-orang ini dikenal sebagai ahlussufah atau para penghuni teras masjid.

Setelah itu berkali-kali masjid ini direnovasi dan diperluas. Renovasi yang pertama dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 17 H, dan yang kedua oleh Khalifah Utsman bin 'Affan pada tahun 29 H. Di zaman modern, Raja Abdul Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m² pada tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Raja Fahd pada tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², di tambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jemaah.[9]

Masa awal

Masjid dibangun oleh Nabi Muhammad pada 622 setelah kedatangannya di kota Madinah.[10] Mengendarai seekor onta yang dinamai Qaswa, onta itu berhenti di tempat yang sekarang dijadikan masjid. Lahan tersebut dimiliki oleh Sahal dan Suhayl. Bagian dari lahan ini digunakan untuk lahan tempat pengeringan kurma; sedangkan bagian lainnya dijadikan taman pemakaman.[11] Menolak di sebut "menerima lahan sebagai sebuah pemberian", dia membeli lahan tersebut dan memerlukan waktu selama tujuh bulan untuk menyelesaikan konstruksi. Saat itu luasnya 305 meter (1.001 ft) × 3.562 meter (11.686 ft).[11] Atapnya, ditunjang oleh pelepah kurma, terbuat dari tanah liat yang dipukul dan dedaunan kurma. Tingginya mencapai 360 meter (1.180 ft). Tiga pintu masjid yaitu Bab-al-Rahmah ke selatan, Bab-al-Jibril ke barat dan Bab-al-Nisa ke timur.[11]

Setelah Pertempuran Khaibar, masjid "diperbesar".[12] Perluasan masjid untuk 4.732 meter (15.525 ft) pada salah satu sisi dan tiga ruas pilar dibangun disamping tembok bagian barat, yang menjadi tempat salat.[13] Masjid mengalami perubahan saat pemerintahan Khulafaur Rasyidin Abu Bakar.[13] Khalifah kedua Umar meratakan semua rumah dekat masjid kecuali rumah istri Nabi Muhammad untuk memperbesar masjid ini.[14] Dimensi ukuran masjid baru saat itu menjadi 5.749 meter (18.862 ft) × 6.614 meter (21.699 ft). Lumpur digunakan untuk dinding penutup. Selain ditaburi kerikil di lantainya, tinggi atap ditambah hingga 56 meter (184 ft). Umar sedikitnya membangun tiga konstruksi gerbang baru sebagai pintu masuk. Dia juga menambahkan Al-Butayha bagi masyarakat untuk membacakan puisi-puisi.[15]

Khalifah ketiga Utsman merobohkan masjid ini pada 649 M. Sepuluh bulan dihabiskan untuk membuat bentuk persegi panjang masjid yang menghadap ke Ka'bah di Makkah. Masjid baru tersebut berukuran 8.140 meter (26.710 ft) × 6.258 meter (20.531 ft). Jumlah gerbang disamakan pada bangunan sebelumnya.[16] Dinding pembatas terbuat dari lapisan bata dengan adukan semen. Tiang-tiang batang kurma digantikan oleh pilar batu yang disatukan dengan kempa besi. Kayu jati juga dimanfaatkan dalam rekonstruksi langit-langit.[17]

Zaman pertengahan

 
Masjid Nabawi pada masa Kesultanan Utsmaniyah

Pada 707, Khalifah Umayyah Al-Walid ibn Abd al-Malik merenovasi masjid. Renovasi ini memakan waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya. Bahan-bahan material berasal dari Bizantium.[18] Wilayah masjid diperbesar dari 5094 meter persegi pada masa Utsman bin Affan menjadi 8672 meter persegi. Sebuah tembok dibangun untuk memisahkan masjid dan rumah istri Nabi Muhammad. Masjid direnovasi dalam sebuah bentuk trapesium dengan panjang 10.176 meter (33.386 ft). Untuk pertama kalinya, beranda dibangun di masjid menghubungkan bagian utara struktur ke struktur terpentingnya. Untuk pertama kalinya pula, minaret dibangun di Madinah, ia membangun empat minaret.[19]

Khalifah Abbasiyah Al-Mahdi memperluas masjid ke utara sebanyak 50 meter (160 ft). Namanya juga ditulis pada dinding masjid. Dia juga mengusulkan untuk menghilangkan enam anak tangga menuju mimbar, tetapi usulan ini ditolak, karena hal ini dapat menyebabkan kerusakan yang merugikan.[20] Menurut tulisan Ibnu Qutaibah, khalifah ketiga Al-Ma'mun melakukan pekerjaan yang tidak menentu pada masjid. Al-Mutawakkil memimpin pelapisan makam Nabi dengan marmer.[21] Al-Ashraf Qansuh al-Ghawri membangun sebuah kubah di atas makam Nabi pada 1476.[22]

 
Kubah Hijau, dalam Richard Francis Burton Pilgrimage, pada 1850 M

Raudlah (merujuk pada al-Rawdah al-Mutaharah), mencakup kubah di sudut tenggara masjid,[6] dibangun pada 1817C.E. saat penguasaan Sultan Mahmud II. Kubah di cat hijau pada 1837 C.E. dan lebih dikenal dengan nama "Kubah Hijau".[5]

Sultan Abdul Majid I mengahabiskan waktu tiga belas tahun untuk membangun kembali masjid, yang di mulai pada 1849.[23] batu bata merah digunakan dalam material utama dalam rekonstruksi masjid. Luas lantai diperbesar hingga 1293 meter persegi. Pada dinding-dindingnya, ayat-ayat Al-Qur'an dilukis dalam bentuk kaligrafi Islam. Pada sisi utara masjid, sebuah madrasah dibangun untuk "bimbingan mengajar Al-Qur'an ".[24]

Saudi

Ketika Saud bin Abdul Aziz merebut Madinah pada 1805, para pengikutnya, Wahhabi, merobohkan setiap makam berkubah yang ada di Madinah dalam pandangannya pada pencegahan pemuliaan bangunan,[25] termasuk Kubah Hijau yang dikatakan akan segera dihancurkan.[26] Mereka tidak menghendaki orang-orang memuliakan kuburan dan tempat yang dianggap memiliki keajaiban supranatural yang berlawanan dengan tauhid.[27] Makam Nabi Muhammad dilepaskan dari hiasan emas dan berliannya, tetapi kubah tersebut menjadi salah satu yang masih dipelihara karena sebuah ketidaksuksesan percobaan untuk merobohkan struktur kerasnya, atau karena beberapa tahun sebelumnya Ibnu Abdul Wahhab menulis bahwa tidak berharap untuk melihat kubah dihancurkan pertentangannya pada orang-orang yang berdoa di sekitar makam.[25] Kejadian serupa terjadi pada 1925 ketika Ikhwan Saudi kembali merebut dan mengawasi kota Madinah.[28][29][30][31]

Setelah pendirian Kerajaan Arab Saudi pada 1932, masjid mengalami modifikasi besar. Pada 1951 Raja Ibnu Saud (1932–1953) merencanakan penghancuran bangunan sekitar masjid untuk membuat sayap baru ke timur dan barat dari gedung peribadatan utama, dengan tetap kolom beton dengan sentuhan seni. Kolom tertua diperkokoh beton dan dipasangi cincin tembaga diatasnya. Minaret Suleymaniyya dan Majidiyya dipindahkan menjadi dua minaret bergaya Mamluk. Dua menara tambahan ditegakkan ke barat daya dan timur laut masjid. Sebuah perpustakaan dibangun sepanjang tembok bagian barat yang menjadi tempat koleksi Al-Qur'an bersejarah dan beragam teks keagamaan lainnya.[24][32]

Pada 1974, Raja Faisal menambahkan 40.440 meter persegi untuk luas masjid.[33] Perluasan masjid juga dilakukan pada masa kekuasaan Raja Fahd pada 1985. Bulldozer turut gunakan dalam penghancuran bangunan-bangunan sekitar masjid.[34] Pada 1992, ketika konstruksi ini selesai, wilayah masjid menjadi 1,7 juta kaki. Eskalator dan 27 halaman juga ditambahkan dalam perluasan masjid.[35]

Sebanyak US$ 6 miliar diumumkan untuk perluasan masjid pada September 2012. RT melaporkan bahwa setelah proyek selesai, masjid dapat menampung lebih dari 1,6 juta jamaah.[36] Pada Maret tahun berikutnya, Saudi Gazette menulis "95 persen penghancuran telah diselesaikan. Sekitar 10 hotel di sisi timur perluasan dihilangkan serta sejumlah rumah dan fasilitas lain untuk membuat jalur menuju perluasan."[37]

Arsitektur

Dua masjid bertingkat berbentuk persegi panjang tidak beraturan. Ruang salat bangunan Utsmaniyah menghadap ke selatan.[38] Bangunan ini memiliki atap rata dengan 27 kubah yang dapat di geser.[39] Lubang di atas langit-langit masjid merupakan salah satu kubah yang mengiluminasi interior. Atap juga digunakan untuk salat ketika memasuki masa puncak, ketika kubah bergeser di atas jalur besi menuju bagian pinggir atap, membuat cahaya tambahan masuk menuju ruang salat utama. Pada masa itu pula, halaman masjid Utsmaniyah juga di tambah dengan payung-payung yang membentuk pilar-pilar tunggal.[40] Atap masjid terhubung dengan tangga dan eskalator. Wilayah halaman sekitar masjid juga digunakan untuk salat, dilindungi oleh payung-payung besar.[41] Kubah bergeser dan payung yang dapat terbuka secara otomatis di rancang oleh arsitek Jerman Mahmoud Bodo Rasch beserta firmanya Rasch GmbH dan Buro Happold.[42]

Struktur

Makam Muhammad

 
Masjid Nabawi dari depan. Makam Muhammad terletak di bawah Kubah Hijau.

Muhammad dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar Aisyah, istrinya sendiri. Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua sahabat terdekatnya di tempat yang sama, yakni Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[43] Karena perluasan-perluasan Masjid Nabawi, ketiga makam itu kini berada di dalam masjid, yakni di sudut tenggara masjid. Sedangkan Aisyah dan kebanyakan sahabat yang lain, dimakamkan di pemakaman umum Baqi. Dahulu terpisah cukup jauh, kini dengan perluasan masjid, Baqi jadi terletak bersebelahan dengan halaman Masjid Nabawi.[4]

Riyadhul Jannah

Jantung dari Masjid Nabawi yang diistimewakan tetapi berukuran kecil bernama Riad ul-Jannah (Taman Surga). Tempat ini adalah bagian dari perluasan makam Muhammad hingga mimbarnya. Banyak jemaah haji yang ingin bersembahyang di sana, karena diyakini doanya akan dikabulkan. Masuk ke area ini cukup sulit, utamanya pada musim haji. Tempat ini hanya menampung maksimal seratus jemaah.

Riad ul-Jannah terpisah dari Jannah (Surga). Ini dikisahkan oleh Abu Hurairah bahwa Muhammad bersabda, "Wilayah antara rumahku dengan mimbarku adalah salah satu taman surga, dan mimbarku itu berada di atas kolamku."[44]

Raudlah

Salah satu bagian Masjid Nabawi terkenal dengan sebutan Raudlah (Taman Surga). Doa-doa yang dipanjatkan dari Raudlah ini diyakini akan dikabulkan oleh Allah. Raudlah terletak di antara mimbar dengan makam (dahulu rumah) Muhammad, diterima dari Abu Hurairah, bahwa Muhammad bersabda:

"Tempat yang terletak di antara rumahku dengan mimbarku merupakan suatu taman di antara taman-taman surga, sedang mimbarku itu terletak di atas kolamku."

— H.R Bukhari[45]
 
Rekonstruksi Masjid Nabawi saat berumur 1 tahun.

Mihrab

Terdapat dua mihrab dalam Masjid Nabawi, satu dibangun Nabi Muhammad dan yang lainnya dibangun oleh Khulafaur Rasyidin ketiga Utsman. [46] Di samping mihrab, masjid juga memiliki tempat suci lain lain yang mengindikasikan sebagai tempat salat. Ini termasuk mihrab al-tahajjud yang dibangun oleh Nabi Muhammad untuk tahajjud, serta mihrab Fatimah.[47]

Mimbar

Mimbar asli yang digunakan Nabi Muhammad hanya sebuah "balok kayu kurma". Mimbar ini berdimensi 50 sentimeter (0,50 m) x 125 meter (410 ft). Juga pada tahun 629, tiga anak tangga di tambah. Khalifah pertama, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab tidak menggunakan anak tangga ketiga "karena mengikuti Sunnah", tetapi Khalifah ketiga Utsman bin 'Affan menempatkan sebuah kubah kain di atasnya dan kursi yang terbuat dari eboni. Mimbar dipindahkan oleh Baybars I pada 1395 dan kemudian oleh Sheikh al-Mahmudi pada 1417. Ini juga dipindahkan oleh Ibnu Qutaibah pada akhir abad ke lima belas, yang pada Agustus 2013, tidak lagi digunakan dalam masjid.[47]

Minaret

 
Salah satu minaret Masjid Nabawi

Minaret-minaret pertama (jumlahnya empat) 26 kaki (7,9 m) dibangun oleh Umar. Pada 1307, sebuah minaret dijuluki Bab al-Salam ditambahkan oleh Muhammad bun Kalavun yang direnovasi oleh Mehmed IV. Setelah proyek renovasi 1994, terdapat sepuluh minaret yang tingginya 104 meter (341 ft). Bagian bawah, dasar dan dan atas berbentuk silinder, segi delapan yang terlihat menarik.[47]

Keutamaan

Keutamaan Masjid Nabawi dinyatakan oleh Muhammad, sebagaimana diterima dari Jabir r.a:

Satu kali salat di masjidku, lebih besar pahalanya dari seribu kali salat di masjid yang lain, kecuali di Masjidil Haram. Dan satu kali salat di Masjidil Haram lebih utama dari seratus ribu kali salat di masjid lainnya.

— H.R Ahmad[48]

Diterima dari Anas bin Malik bahwa Muhammad bersabda:

Barangsiapa melakukan salat di masjid ini sebanyak 40 kali tanpa luput satu kali salat pun, maka akan dicatat kebebasannya dari neraka, kebebasan dari siksa dan terhindarlah dia dari kemunafikan.

— H.R Ahmad dan Thabrani[48]

Dari Sa'id bin Musaiyab, yang diterimanya dari Abu Hurairah, bahwa Muhammad bersabda:

Tidak perlu disiapkan kendaraan, kecuali untuk mengunjungi tiga buah masjid: Masjidil Haram, masjid ini, dan Masjidil Aqsa.

— H.R Bukhari, Muslim dan Abu Dawud[49]

Berdasarkan hadits-hadits ini, dapat dipahami bahwa kota Madinah, terutama Masjid Nabawi ramai dikunjungi umat Muslim yang sedang menjalankan amal sunah dengan berhaji atau umrah.

Sunah

Masjid Nabawi dibangun dengan prinsip kesederhanaan oleh dua khalifah, yakni Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Mereka membangun Masjid Nabawi dengan sederhana agar tidak menimbulkan fitnah dan sifat membangga-banggakan masjid. Arsitektur Masjid Nabawi dibuat kurang lebih sama dengan bangunan-bangunan di zaman Muhammad hidup. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, bagian atap diganti. Awalnya, atap Masjid Nabawi terbuat dari pelepah pohon kurma, lalu diganti dengan kayu jati.[50]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "WMN". Diakses tanggal 26 November 2020. 
  2. ^ Trofimov, Yaroslav (2008), The Siege of Mecca: The 1979 Uprising at Islam's Holiest Shrine, New York, hlm. 79, ISBN 0-307-47290-6 
  3. ^ "The History of Electrical lights in the Arabian Peninsula". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-01. Diakses tanggal 2017-02-09. 
  4. ^ a b c d e f بوابة الحرمين الشريفين: عمارة وتوسعة المسجد النبوي
  5. ^ a b c d Ariffin, Syed Ahmad Iskandar Syed (2005). Architectural Conservation in Islam : Case Study of the Prophet's Mosque. Penerbit UTM. hlm. 88–89,109. ISBN 978-983-52-0373-2. 
  6. ^ a b c Petersen, Andrew (2002-03-11). Dictionary of Islamic Architecture. Routledge. hlm. 183. ISBN 978-0-203-20387-3. 
  7. ^ a b c Haekal, M. Husain. 1994. Sejarah Hidup Muhammad. (Terj.) Cet. ke-17. Penerbit Litera AntarNusa, Jakarta. Hal. 191-194
  8. ^ Qol’ahji, M. Rawwas. 2007. Sirah Nabawiyah, sisi politis perjuangan Muhammad. Penerbit Al Azhar Press, Bogor. Hal. 154-155
  9. ^ a b Abdul Ghani, M. Ilyas. 2005. Sejarah Madinah Munawwarah bergambar. (Terj.) Al Rasheed Printers, Madinah. Hal. 29-31.
  10. ^ "The Prophet's Mosque [Al-Masjid An-Nabawi]". Islam Web. Diakses tanggal 17 June 2015. 
  11. ^ a b c Ariffin, hlm. 49.
  12. ^ Ariffin, hlm. 50.
  13. ^ a b Ariffin, hlm. 51.
  14. ^ Atiqur Rahman. Umar Bin Khattab: The Man of Distinction. Adam Publishers. hlm. 53. ISBN 978-81-7435-329-0. 
  15. ^ Ariffin, hlm. 54.
  16. ^ Ariffin, hlm. 55.
  17. ^ Ariffin, hlm. 56.
  18. ^ NE McMillan. Fathers and Sons: The Rise and Fall of Political Dynasty in the Middle East. Palgrave Macmillan. hlm. 33. ISBN 978-1-137-29789-1. 
  19. ^ Ariffin, hlm. 62.
  20. ^ Munt, hlm. 116.
  21. ^ Munt, hlm. 118.
  22. ^ Wahbi Hariri-Rifai, Mokhless Hariri-Rifai. The Heritage of the Kingdom of Saudi Arabia. GDG Exhibits Trust. hlm. 161. ISBN 978-0-9624483-0-0. 
  23. ^ Ariffin, hlm. 64.
  24. ^ a b Ariffin, hlm. 65.
  25. ^ a b Mark Weston (2008). Prophets and princes: Saudi Arabia from Muhammad to the present. John Wiley and Sons. hlm. 102–103. ISBN 978-0-470-18257-4. 
  26. ^ Doris Behrens-Abouseif; Stephen Vernoit (2006). Islamic art in the 19th century: tradition, innovation, and eclecticism. BRILL. hlm. 22. ISBN 978-90-04-14442-2. 
  27. ^ Peskes, Esther (2000). "Wahhābiyya". Encyclopaedia of Islam. 11 (edisi ke-2nd). Brill Academic Publishers. hlm. 40, 42. ISBN 90-04-12756-9. 
  28. ^ "History of the Cemetery Of Jannat Al-Baqi". Al-Islam.org. 
  29. ^ Mark Weston (2008). Prophets and princes: Saudi Arabia from Muhammad to the present. John Wiley and Sons. hlm. 136. ISBN 978-0-470-18257-4. 
  30. ^ Vincent J. Cornell (2007). Voices of Islam: Voices of the spirit. Greenwood Publishing Group. hlm. 84. ISBN 978-0-275-98734-3. 
  31. ^ Carl W. Ernst (2004). Following Muhammad: Rethinking Islam in the Contemporary World. Univ of North Carolina Press. hlm. 173–174. ISBN 978-0-8078-5577-5. 
  32. ^ "New expansion of Prophet's Mosque ordered by king". Arab News. Diakses tanggal 19 June 2015. 
  33. ^ "Masjid Nabawi mengakomodasi dua juta jamaah setelah perluasan". Arab News. Diakses tanggal 19 June 2015. 
  34. ^ "Expansion of the Prophet's Mosque in Madinah (3 of 8)". King Fahd Abdulaziz. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 19 June 2015. 
  35. ^ "Expansion of the two Holy Mosques". Saudi Embassy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 19 June 2015. 
  36. ^ "Saudi Arabia plans $6bln makeover for second holiest site in Islam". RT. Diakses tanggal 19 Juni 2015. 
  37. ^ "Prophet's Mosque to house 1.6m after expansion". Saudi Gazette. Diakses tanggal 19 Juni 2015. 
  38. ^ "Holy places: The Prophet's Mosque, Medina". Daily Monitor. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-19. Diakses tanggal 19 June 2015. 
  39. ^ Frei Otto, Bodo Rasch: Finding Form: Towards an Architecture of the Minimal, 1996, ISBN 3-930698-66-8
  40. ^ "Archnet". archnet.org. 
  41. ^ MakMax (Taiyo Kogyo Group). "Large scale umbrellas (250 units) completed, covering the pilgrims worldwide with membrane architecture : MakMax". makmax.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-26. Diakses tanggal 2017-02-11. 
  42. ^ Walker, Derek (1998). The Confidence to Build. p 69: Taylor & Francis. hlm. 176. ISBN 0-419-24060-8. 
  43. ^ Abdul Ghani, M. Ilyas. 2005. op cit. Hal. 39-41.
  44. ^ Islam-QA: "Islamic Guidelines for Visitors to the Prophet's Mosque" Islam-QA website section 5- It is prescribed for the one who visits the Prophet's Mosque to pray two rakats in the Rawdah or whatever he wants of supplementary prayers, because it is proven that there is virtue in doing so. It was narrated from Abu Hurayrah that the Prophet said, "The area between my house and my mimbar is one of the gardens of Paradise, and my mimbar is on my cistern (hawd)." Narrated by al-Bukhari, 1196; Muslim, 1391.
  45. ^ Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih sunnah. (Terj.) Cet. ke-12. Penerbit Almaarif, Bandung. Jil. 5:252
  46. ^ Ariffin, hlm. 57.
  47. ^ a b c "Tyhe Prophet's Mosque". Last Prophet. Diakses tanggal 12 April 2017. 
  48. ^ a b Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih sunnah. (Terj.) Cet. ke-12. Penerbit Almaarif, Bandung. Jil. 5:248
  49. ^ Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih sunnah. (Terj.) Cet. ke-12. Penerbit Almaarif, Bandung. Jil. 5:247
  50. ^ Adil 2018, hlm. 84.

Daftar pustaka

Pranala luar