Lombok Karangasem (Bali:Aksara Bali:ᬮᭀᬫ᭄ᬩᭀᬓ᭄ᬓᬭᬗᬲᭂᬫ᭄; translit: Lombok Karaṅasĕm) adalah jajahan Kerajaan Karangasem di pulau Lombok yang mencakup bagian Lombok Barat, sebagian Lombok Utara dan Tengah. Jajahan ini didirikan setelah penaklukan kerajaan Karangasem atas Kerajaan Selaparang pada tahun 1675 ketika Karangasem di perintah oleh Anak Agung Ngurah Karangasem. Kekuasaan Karangasem smakin meluas di pulau Lombok Bahkan sempat menguasai keseluruhan pulau ini pada tahun 1839. Kekuasaan Karangasem di Lombok berlangsung selama 2 abad setelah Belanda menaklukkan Lombok dan Karangasem pada tahun 1894..[1][2][3] Sejak saat itu kebudayaan istana Bali juga turut berkembang di Lombok.[1]

Lombok Karangasem

Lombok Karaṅasĕm
ᬮᭀᬫ᭄ᬩᭀᬓ᭄ᬓᬭᬗᬲᭂᬫ᭄
1675–1894
Bendera Lombok Karangasem
Bendera
peta pulau Lombok dan Bali yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1718 ketika Karangasem memerintah di bagian barat pulau Lombok
peta pulau Lombok dan Bali yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1718 ketika Karangasem memerintah di bagian barat pulau Lombok
StatusKoloni Kerajaan Karangasem
Ibu kotaCakranegara
Bahasa yang umum digunakanBali (dinasti, resmi)
Sasak (diakui) Sumbawa
Agama
Hinduisme (dinasti)
Islam, Wetu Telu, Animisme
PemerintahanKoloni
Anak Agung Agung (Raja) 
• 1675–1692 (pertama)
Anak Agung Ngurah Karangasem
• 1890–1894 (terakhir)
Gusti Gede Jelantik
Pengurus Koloni (Gubernur) 
• ?–1691 (pertama)
Anglurah Nengah
• 1893–1894 (terkahir)
I Gusti Bagus Jelantik
Era SejarahIndonesia Prasejarah dan Era Kolonial
• Didirikan
1675
• Penaklukan Karangasem atas Selaparang
1675
• Koloni dibentuk
1675
1855–1871
1891
1894
• Dibubarkan
1894
Mata uangperak lokal, dan Uang kepeng China (pis bolong)
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Selaparang
Pagesangan
Hindia-Belanda
Sekarang bagian dari
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Seorang bangsawan bali di Lombok bersama cucunya dan satu gadis eropa antara tahun 1920 dan 1940

Penaklukan pulau Lombok oleh monarki Karangasem pada tahun 1740 hingga puncaknya secara keseluruhan pada 1839, turut memberi pengaruh yang signifikan pada pribumi Sasak pada bidang budaya-sosial di pulau itu. Setelah penaklukan, terdapat gelombang migrasi dari pulau Bali untuk bermukim di pulau Lombok, dimana pusat koloni tersebut dibangun di Mataram, Lombok Barat dan kini dikenal dengan wilayah Cakranegara.

Peta denah kuno Cakranegara, Cakranegara dibangun dengan tatakota yang rapi, sesuai dari keinginan penguasa Bali sebagai pusat koloni dan pemerintahan atas pulau Lombok.

Sejarah

Penduduk asli Pulau Lombok adalah Suku Sasak, yang memeluk Islam sejak abad ke-16. Kelompok-kelompok bangsawan Bali dari Kerajaan Karangasem kemudian mulai menguasai bagian barat pulau Lombok. Salah satu dari mereka, yaitu kelompok Bali-Mataram, berhasil menguasai lebih banyak daripada kelompok asal Bali lainnya, dan bahkan pada akhirnya menguasai keseluruhan pulau ini pada tahun 1839.[1][2][3] Sejak saat itu kebudayaan istana Bali juga turut berkembang di Lombok.[1]

Hubungan dengan Inggris mulai berkembang, diawali oleh G.P. King yang memegang semua mandat perdagangan luar negeri Inggris. Namun Belanda berhasil menghentikan pengaruh Inggris dengan menandatangani perjanjian dengan kelompok Bali-Mataram pada tahun 1843.[2] Kelompok Bali-Mataram adalah sekutu Belanda selama intervensi Belanda di Bali pada tahun 1849, dan atas bantuannya kelompok ini diberi kedudukan sebagai penguasa vasal atas wilayah Karangasem di Pulau Bali.[2]

Pemberontakan Sasak

 
Para pemimpin yang terlibat perang di Lombok tahun 1894: Anak Agung Ketut Karangasem, Mayor Jenderal P.P.H. van Ham (perwakilan),[2] Mayor Jenderal J.A. Vetter (komandan),[2] Residen M.C. Dannenbargh, dan Gusti Jelantik.

Pada tahun 1891 terjadilah pemberontakan dari masyarakat muslim Sasak di Lombok Timur terhadap penguasa Bali-Mataram, yaitu Anak Agung Gde Ngurah Karangasem.[1][2] Pemberontakan ini, yang merupakan kelanjutan dari pemberontakan sebelumnya pada tahun 1855 dan 1871, yang sebelumnya berhasil ditumpas oleh penguasa Bali-Mataram. Hal itu terjadi karena penguasa Bali-Mataram tersebut meminta masyarakat Sasak mengumpulkan ribuan orang untuk membantunya menyerang Kerajaan Klungkung di Bali, dalam upayanya untuk menjadi penguasa tertinggi di Bali.[4]

Pada tanggal 25 Agustus 1891, putra penguasa Bali-Mataram yaitu Anak Agung Ketut Karangasem dikirim beserta 8.000 orang tentara untuk menumpas pemberontakan di Praya, yang termasuk wilayah Kerajaan Selaparang.[2] Pada tanggal 8 September, pasukan kedua di bawah putra lainnya Anak Agung Made Karangasem yang berkekuatan 3.000 orang dikirimkan sebagai pasukan tambahan.[2] Karena tentara kerajaan tampak dalam kesulitan untuk mengatasi keadaan, diminta lagi bantuan penguasa bawahan Karangasem, yaitu Anak Agung Gde Jelantik, untuk mengirimkan 1.200 orang pasukan elit untuk menuntaskan pemberontakan.[2] Perang berkecamuk berkepanjangan sejak 1891 hingga 1894, dan tentara Bali-Mataram yang lebih canggih persenjatannya dilengkapi dengan dua kapal perang modern, Sri Mataram dan Sri Cakra, berhasil menduduki banyak desa yang memberontak dan mengelilingi kubu perlawanan Sasak yang terakhir.[2]

Pada tanggal 20 Februari 1894, yang secara resmi Sasak mengirimkan utusan untuk meminta intervensi dan dukungan Belanda.[2] Belanda, yang melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk memperluas kendali mereka di Hindia Timur, memilih untuk memihak Sasak yang telah meminta perlindungan kepada mereka. Belanda segera saja mulai mengganggu impor senjata dan perlengkapan penguasa Bali-Mataram, yang selama ini mereka datangkan dari Singapura.[1][2]

Intervensi Belanda

 
Serangan dari Belanda terhadap benteng Karangasem di Lombok pada tahun 1894.
 
Jenderal P.P.H. van Ham, wakil panglima ekspedisi yang tewas pada pertempuran di bulan Agustus.

Blokade impor yang dilakukan Belanda ternyata tidak cukup untuk menghentikan perang, dan permintaan agar Mataram menyerah juga ditolak.[2] Pada Juli 1894, Belanda berkeputusan untuk mengirimkan ekspedisi militer dengan tujuan menggulingkan kekuasaan penguasa Mataram.[1] Tiga kapal dikirim dari Batavia, yaitu Prins Hendrik, Koningin Emma, dan Tromp, untuk mengangkut 107 perwira, 1.320 tentara Eropa, 948 tentara pribumi, dan 386 kuda.[2]

Sejak bulan Agustus 1894, pasukan Bali mulai menentang kehadiran militer Belanda dalam konflik tersebut. Pada malam hari tanggal 25 Agustus 1894, secara mendadak mereka menyerang kamp militer Belanda yang berpenghuni 900 orang yang didirikan di dekat Istana Mayura di Cakranegara, dan berhasil menewaskan lebih dari 500 orang tentara, pelaut, dan kuli yang berada di sana.[1][4] Di antara korban tewas serangan tersebut adalah Jenderal P.P.H. van Ham, panglima pasukan Belanda.[5] Belanda kemudian mundur dan berkubu dalam benteng di pinggir pantai.[5]

Bala bantuan Belanda (November 1894)

 
Penghancuran Cakranegara, 1894.

Belanda kembali dengan bala bantuan tambahan di bawah komando Jenderal Vetter. Mataram diserang hingga benar-benar hancur.[1][5] Pada tanggal 8 November 1894, Belanda secara sistematis menembakkan meriam kepada posisi pasukan Bali di Cakranegara, sehingga menghancurkan istana, menewaskan sekitar 2.000 orang Bali, sementara mereka sendiri kehilangan 166 orang.[3] Pada akhir November 1894, Belanda telah berhasil mengalahkan semua perlawanan Bali, dengan ribuan orang Bali menjadi korban tewas, menyerah, atau melakukan ritual puputan.[1]

 
Monumen ekspedisi Belanda 1894

Lombok dan Karangasem selanjutnya menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan pemerintahan dijalankan dari Bali.[1] Gusti Gede Jelantik diangkat sebagai regen Belanda pada tahun 1894, dan ia memerintah hingga tahun 1902.[6] Harta kekayaan kerajaan Lombok disita oleh Belanda, di antaranya termasuk 230 kilo emas, 7.000 kilo perak, dan perhiasan dan karya sastra (termasuk Negarakertagama).[2] Bangli dan Gianyar tidak lama kemudian juga mengakui kedaulatan Belanda, namun wilayah Bali selatan terus melawan sampai terjadinya intervensi Belanda di Bali (1906) berikutnya.[3]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East ..., Volume 3 by Keat Gin Ooi p.790ff
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Colonial collections revisited By Pieter ter Keurs p.190ff
  3. ^ a b c d Priests and programmers by John Stephen Lansing p.20
  4. ^ a b The rough guide to Bali & Lombok By Lesley Reader, Lucy Ridout p.494
  5. ^ a b c Bali handbook with Lombok and the Eastern Isles: the travel guide by Liz Capaldi, Joshua Eliot p.300
  6. ^ The rough guide to Bali & Lombok by Lesley Reader, Lucy Ridout p.298