Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924), di bawah wangsa Utsmaniyah dari Kesultanan Utsmaniyah, adalah kekhalifahan Islam Sunni terakhir pada akhir Abad Pertengahan dan awal zaman modern. Pada zaman pertumbuhan Utsmaniyah, para penguasa Utsmaniyah mengklaim otoritas khalifah sejak Murad I merebut Edirne pada 1362.[1] Kemudian, melalui perebutan dan penyatuan wilayah Muslim, Selim I menjadi penguasa kota-kota Suci Makkah dan Madinah yang makin memperkuat klaim Utsmaniyah atas kekhalifahan di dunia Muslim.

Pembubaran Kekhalifahan Utsmaniyah terjadi karena pengikisan kekuasaan perlahan dalam kaitannya dengan Eropa Barat, dan karena akhir negara Utsmaniyah akibat pemisahan Kekaisaran Utsmaniyah oleh mandat Liga Bangsa-Bangsa. Abdul Mejid II, khalifah Utsmaniyah terakhir, memegang jabatan khalifahnya selama dua tahun setelah pemisahan, tetapi dengan reformasi sekuler Mustafa Kemal dan kemudian pengasingan keluarga Osmanoğlu dari Republik Turki pada 1924, posisi khalifah tersebut ditiadakan.

Sejarah

Pada tahun 1517, Sultan Utsmaniyah Selim I menang dalam Perang Utsmaniyah-Mamluk melawan Kesultanan Mamluk di Kairo. Khalifah terakhir Kairo, Al-Mutawakkil III, ditangkap dan dibawa ke Konstantinopel. Di sana, Al-Mutawakkil III menyerahkan gelar khalifah kepada Selim, yang membuat Sultan Utsmaniyah menjadi khalifah baru. Sejak itu, Utsmaniyah dianggap sebagai pemimpin dunia Islam. Para sultan Utsmaniyah memerintah dari Konstantinopel dan kekaisaran mereka mencakup wilayah luas seperti Anatolia, Timur Tengah, Afrika Utara, Kaukasus, dan Eropa Timur.

Namun, karena kepemimpinan buruk, kekaisaran Utsmaniyah tidak dapat merespons kemajuan Eropa dengan baik. Eropa kala itu menjadi kuat karena bersatu setelah Perjanjian Damai Westphalia dan [[Revolusi Industri. Karena itu, kekaisaran Utsmaniyah kehilangan kekuatan secara bertahap dan posisinya sebagai kekuatan besar utama terancam.

Penggunaan gelar khalifah untuk tujuan politik pertama kali terjadi pada tahun 1774. Ini terjadi ketika Utsmaniyah ingin menantang Rusia yang ingin melindungi umat Kristen Ortodoks di bawah kekuasaan Utsmaniyah. Sebagai respons, Utsmaniyah juga mengklaim perlindungan terhadap umat Muslim di Rusia. Inggris mendukung Utsmaniyah dalam hal ini dan bahkan mendapatkan dukungan dari khalifah Utsmaniyah untuk mengatur umat Muslim di India Britania agar patuh kepada pemerintah Britania.

Pada abad kesembilan belas, Kekaisaran Utsmaniyah mulai memodernisasi diri dengan Tanzimat. Ini membuat kekaisaran lebih kuat meskipun mereka kalah dalam beberapa perang melawan Kekaisaran Rusia, dan mereka kesulitan membayar utang pada tahun 1875–76 dalam krisis keuangan global.

Referensi

Daftar pustaka

  • Deringil, Selim. "Legitimacy Structures in the Ottoman State: The Reign of Abdulhamid II (1876-1909), International Journal of Middle East Studies, Vol. 23, No. 3 (August, 1991).
  • Haddad, Mahmoud. "Arab Religious Nationalism in the Colonial Era: Rereading Rashid Rida's Ideas on the Caliphate", Journal of the American Oriental Society, Vol. 117, No. 2 (April, 1997).
  • Kedourie, Elie. "The End of the Ottoman Empire", Journal of Contemporary History, Vol. 3, No. 4 (October, 1968).
  • Lewis, Bernard. "The Ottoman Empire and Its Aftermath", Journal of Contemporary History, Vol. 15, No. 1 (January, 1980).
  • Hussain, Ishtiaq. "The Tanzimat: Secular Reforms in the Ottoman Empire", Faith Matters (October 2011)

Pranala luar