Di ranah teologi Kristen, Sabelianisme adalah keyakinan bahwa hanya ada satu Oknum (hipostasis, istilah Yunani yang dipakai dalam kontroversi ajaran Arius pada abad ke-4) di dalam Ke-Allah-an. Sebagai contoh, teolog Richard Patrick Crosland Hanson mendefinisikan Sabelianisme sebagai "keingkaran untuk mengamini kewujudan tedas Oknum-Oknum."[1]:844 Ia mengemukakan pula bahwa "Eustatius dikutuk lantaran dianggap menganut Sabelianisme; keteguhannya dalam berpendirian bahwa hanya ada satu kenyataan tedas (hipostasis) di dalam Ke-Allah-an, dan kerancuannya dalam membedakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus, menjadikannya rentan dituding seperti itu."[1]:216 Lantaran dibidatkan, Sabelianisme ditolak oleh umat Kristen pada umumnya.

Monarkianisme

Sabelianisme pertama kali muncul pada abad ke-2 dalam wujud Monarkianisme. Meskipun para “pengusung ajaran ini menyebut dirinya kaum 'Monarkian', bapa-bapa Yunani menyebut mereka 'kaum Sabelian', sebab Sabeliuslah orang pertama yang mengemukakan ajaran ini dalam bentuk filsafatinya.”

Monarkianisme bertentangan dengan teologi-Logos. Lantaran sejak akhir abad ke-2, Kekristenan non-Yahudi didominasi oleh teologi-Logos yang mengajarkan dua-tahap kewujudan Logos, yaitu Logos senantiasa wujud di dalam diri Allah tetapi menjadi suatu wujud terpisah - suatu Kenyataan tedas - tatka Allah memutuskan untuk mencipta, kaum Monarkian pun menyatakan “bahwa teologi para Apolog menyiratkan adanya keterbelahan dalam kewujudan dan kemahaesaan Allah sehingga tidak dapat dibenarkan”, dan bahwa teologi-Logos mengajarkan kewujudan dua khalik dan dua Allah (biteisme) sehingga “tidak sejalan dengan monoteisme”.

Menurut Monarkianisme, “Bapa dan Putra adalah pengungkapan yang berlainan dari satu kewujudan yang sama, tanpa pembedaan pribadi di antara keduanya. Dengan kata lain, Bapa jualah Putra itu, dan oleh karena itu mengalami kelemahan-kelemahan insani Putra.” “Jika mengutip kata-kata Noetus, … Bapa … sendiri menjadi Putra-Nya.” “Itulah sebabnya Allah terlahir dari rahim seorang perawan dan mendaku diri kepada umat manusia sebagai Putra Allah. Di atas kayu salib, Allah menyerahkan roh-Nya kepada diri-Nya sendiri, tatkala Ia berlaku seakan-akan mati, tetapi sesungguhnya Ia tidak mati, kendati Ia bangkitkan diri-Nya sendiri pada hari yang ketiga.” Banyak pengikut aliran Pentakosta Keesaan juga sudah secara tegas membedakan kodrat kemanusiaan dari kodrat keilahian Yesus sebagaimana yang dilakukan kaum Nestorian[2] seperti pada contoh yang diperbandingkan dengan pernyataan Tertulianus di atas.

Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Yunani, dan golongan-golongan Kristen arus utama lainnya menganggap golongan Pentakosta Keesaan dan golongan-golongan modalis lainnya sebagai ahli-ahli bidat karena nyata-nyata menyangkal kewujudan Putra Terkasih Bapa dari Surga, termasuk Wujud-Nya yang kekal dan persekutuan-Nya yang intim dengan Bapa selaku Imam Besar, Pengantara, Syafi', dan Pembela; menafikan pewarisan langsung karunia-karunia dan wewenang rasuli melalui penahbisan uskup-uskup; mendustakan jati diri umat Kristen arus utama sebagai Badan yang terlahir dari Allah dan Gereja yang didirikan Kristus; serta menolak maklumat-maklumat keluaran konsili-konsili oikumene semisal Konsili Nikea dan Konsili Konstantinopel, termasuk maklumat tentang Tritunggal Mahakudus. Di mata khalayak Kristen arus utama, penolakan-penolakan semacam itu sama saja dengan Unitarianisme, buah dari bidat Kristologis. Sekalipun banyak di antara penganut Unitarianisme berpaham Arianisme, penganut Modalisme tampil beda dari penganut Unitarianisme yang berhaluan Arianisme maupun Semiarianisme karena mengimani Ke-Allah-an paripurna Kristus, manakala paham Arianisme maupun Semiarianisme menegaskan bahwa Kristus tidak sehakikat (bahasa Yunani: οὐσία, ousia) dengan Allah Bapa, dan oleh karena itu tidak setara dengan Allah Bapa. Dionisius, Uskup Roma, menjabarkan pemahaman tradisional Kristen mengenai Arianisme dan Sabelianisme di dalam risalahnya, Melawan Golongan Sabelius, sekitar tahun 262. Senada dengan Hipolitus, ia memaparkan bahwa kedua paham menyimpang itu adalah dua ekstrem yang saling berlawanan di dalam usaha untuk memahami Putra Allah. Arianisme di ekstrem yang satu menyimpangkan ihwal perbedaan Putra dari Bapa, sementara Sabelianisme di ekstren lainnya menyimpangkan ihwal kesamaan Putra dengan Bapa. Di dalam risalah yang sama, gagasan tentang tiga Allah juga ia bantah sebagai paham menyimpang.[3] Meskipun Arianisme tampaknya mutlak berseberangan dengan Sabelianisme, lantaran Arianisme menandaskan bahwa Kristus adalah ciptaan Allah sementara Sabelianisme menandaskan bahwa Kristus adalah Allah, kedua paham tersebut sama-sama mendustakan keimanan golongan berakidah Tritunggal bahwa Kristus adalah Allah Yang Mahakekal di dalam Kemanusiaan-Nya, dan bahwa keimanan tersebut adalah dasar bagi pengharapan umat manusia akan keselamatan. "Satu jua adanya, bukan oleh perubahan Ke-Allah-an menjadi daging, melainkan oleh pengentasan kemanusiaan menjadi Allah."[4]

Hipolitus meriwayatkan ekskomunikasi Noetus sebagai berikut:

Tatkala siar dakwahnya sampai ke telinga para presbiter nan mubarak, mereka pun memanggilnya menghadap Gereja, lantas mengujinya. Mula-mula dia menyangkal berpandangan demikian, tetapi kemudian, sesudah berlindung di antara beberapa orang, dan sesudah mengumpulkan di sekelilingnya beberapa orang lain yang sudah menganut kekeliruan yang sama, ia hendak mempertahankan dogmanya secara terang-terangan sebagai sesuatu yang benar. Hatta para presbiter nan mubarak sekali lagi memanggilnya menghadap, lantas mengujinya. Akan tetapi dia bangkit menentang mereka, begini katanya, “jadi, apatah jahatnya aku memuliakan Kristus?” Dan para presbiter menjawabnya, “kami pun tahu kebenaran akan satu Allah; kami tahu Kristus; kami tahu bahwa Putra menderita sebagaimana Ia menderita, dan wafat sebagaimana Ia wafat, dan bangkit kembali pada hari ketiga, dan kini duduk di sebelah kanan Bapa, dan akan datang untuk menghakimi orang hidup maupun orang mati. Dan perkara-perkara yang sudah kami pelajari ini kami permaklumkan.” Lalu, sesudah mengujinya, mereka mengusirnya dari Gereja. Dan dia menjadi sedemikian sombongnya, sehingga mendirikan sebuah perguruan.[5]

Organisasi-organisasi Pentakosta Keesaan dewasa ini menyempal dari organisasi induknya ketika muktamar para pemimpin umat Kristen Pentakosta secara resmi mengadopsi doktrin Tritunggal,[6] dan sejak saat itu telah mendirikan sekolah-sekolah teologi.

Sekitar tahun 375, Epifanius mencatat (di dalam Melawan Bidat-Bidat 62) bahwa para pengikut Sabelius masih banyak jumlahnya, baik di Mesopotamia maupun di Roma.[7] Baptisan Sabelius dinyatakan tidak sah oleh Konsili Konstantinopel I tahun 381 di dalam kanon VII, dan oleh Konsili Konstantinopel III tahun 680 di dalam kanon XCV. Penafian keabsahan baptisan Sabelius tersebut mengindikasikan bahwa Sabelianisme masih tersebar luas pada masa itu.[7]

Patripasianisme

Pengecam utama Sabelianisme adalah Tertulianus dan Hipolitus. Di dalam risalahnya, Adversus Praxeas, Bab I, Tertulianus mengemukakan bahwa "Dengan demikian Prakseas sudah dua kali lipat melayani iblis di Roma. Dia menyingkirkan nubuat sekaligus memasukkan bidat; dia menghalau Paraklitus sekaligus menyalibkan Bapa."[8] Dengan nada yang sama, Hipolitus mengemukakan di dalam risalahnya sebagai berikutː

Tampakkah olehmu, demikian ujarnya, betapa Kitab Suci mempermaklumkan satu Allah? Dan lantaran perkara ini terpampang dengan jelas, dan ayat-ayat ini bersaksi membenarkannya, maka wajiblah saya, demikian ujarnya, lantaran satu yang diketahui, untuk menjadikan yang Satu ini pihak yang menderita. Sebab Kristus adalah Allah, dan menderita demi kita, Ia jua Bapa itu, supaya Ia dapat menyelamatkan kita.... Lihatlah Saudara sekalian, betapa gegabah dan lancangnya ajaran yang mereka dakwahkan itu, manakala tanpa malu-malu mereka berkata, Bapa jua Kristus itu, Ia jua Putra itu, Ia jua yang lahir, Ia jua yang menderita, Ia jua yang membangkitkan diri-Nya sendiri, padahal bukan demikian adanya.[5]

Dari pernyataan-pernyataan semacam inilah muncul istilah ejekan "Patripasianisme" yang dilekatkan kepada bidat tersebut, dari kata Latin pater yang berarti "bapa" dan passus yang berarti "menderita", lantaran menyiratkan bahwa Bapa menderita di atas kayu salib.

Perlu diingat bahwa sumber-sumber pustaka yang masih dapat ditelaah sekarang ini demi memahami Sabelianisme hanyalah sumber-sumber pustaka peninggalan pihak-pihak yang menentangnya. Para sarjana dewasa ini tidak sependapat mengenai apa yang sebenarnya diajarkan Sabelius maupun Prakseas. Tidak sulit untuk berprasangka bahwa Tertulianus dan Hipolitus, setidaknya sesekali, bisa saja keliru menafsirkan pendapat lawan-lawan mereka.[9]

Pandangan Ortodoks Timur

Kristen Ortodoks Yunani mengajarkan bahwa hakikat Allah tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun sebab Allah Bapa tidak berasal-usul, kekal, dan ananta. Oleh karena itu keliru jika wujud-wujud disifatkan "fisis" atau "metafisis", tetapi benar jika disifatkan "tercipta" atau "tak-tercipta." Allah Bapa adalah asal dan sumber Tritunggal, yang dari pada-Nya Putra diperanakkan dan Roh Kudus keluar, ketiga-tiganya Tak-tercipta.[10] Oleh sebab itu, kesadaran Allah tidak dapat diperoleh makhluk ciptaan baik semasa hidup di dunia ini maupun kelak di akhirat (lih. apofatisme). Melalui kerjasama dengan Roh Kudus (disebut teosis), umat manusia dapat menjadi baik (seperti Allah), bukan menjadi tak-tercipta, tetapi mengambil bagian di dalam kuasa ilahi-Nya (2 Petrus 1:4). Lewat jalan inilah umat manusia dapat dimaafkan memiliki Pengetahuan Tentang Yang Baik dan Yang Jahat yang ia peroleh di Taman Eden (lih. Kejatuhan manusia), dengan demikian hakikat tercipta manusia mengambil bagian di dalam hakikat tak-tercipta Allah melalui persemayaman kehadiran Putra Allah yang menjelma secara kekal dan Bapa-Nya (Filipi 3:21) melalui perantaraan Roh Kudus (Yohanes 17:22–24, Roma 8:11, Roma 8:16-17 16-17).

Penganut dewasa ini

Saat berlangsungnya Rapat Perkemahan Sedunia II di Arroyo Seco pada tahun 1913, pendeta Injili asal Kanada, R.E. McAlister, dalam suatu kebaktian pembaptisan, berkhotbah bahwa para rasul hanya membaptis dalam nama Yesus saja, bukan dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Malam itu juga, John G. Schaeppe, seorang imigran asal Jerman, mengaku menyaksikan penampakan diri Yesus, lantas membangunkan seisi perkemahan dengan teriakan lantang, bahwasanya nama Yesus harus dimuliakan. Mulai dari saat itu, Frank J. Ewart mulai mewajibkan orang-orang yang sudah pernah dibaptis dengan rumusan Tritunggal untuk dibaptis ulang dalam nama Yesus “saja.” Dukungan terhadap pendirian semacam ini mulai merebak, bersamaan dengan keyakinan akan satu Oknum di dalam Ke-Allah-an, yang bertindak dalam modus atau kedudukan yang berbeda-beda.[11]

Pada bulan Oktober 1916, Sidang Raya Sidang Jemaat Allah diselenggarakan di St. Louis, Missouri, untuk mengukuhkan keimanan mereka kepada ortodoksi Tritunggal. Kubu Keesaan harus menghadapi kubu mayoritas yang mewajibkan penerimaan rumusan baptis Tritunggal dan doktrin ortodoks Tritunggal kalau tidak mau dianggap sudah sukarela keluar dari denominasi Sidang Jemaat Allah. Pada akhirnya sekitar seperempat dari pendeta Sidang Jemaat Allah meutuskan mengundurkan diri.[12]

Pentakosta Keesaan mengajarkan bahwa Allah adalah satu oknum, dan Bapa (roh) manunggal dengan Yesus (daging) menjadi Putra Allah. Meskipun demikian, Pentakosta Keesaan sedikit tampil beda dengan menolak Modalisme Sekuensial, dan dengan sepenuhnya mengamini kelahiran insani Putra, yang tidak khadim sifatnya, yakni insan Yesus yang dilahirkan, wafat di salib, lalu bangkit, dan bukan ilah. Kepercayaan semacam ini secara langsung bertentangan dengan keprawujudan Putra selaku salah satu modus prawujud, yang secara umum tidak ditentang Sabelianisme.

Golongan Pentakosta Keesaan percaya bahwa Yesus adalah "Putra" hanya selama menjadi manusia di muka bumi, tetapi adalah "Bapa" sebelum menjadi manusia. Mereka menyebut Bapa sebagai "Roh" dan menyebut Putra sebagai "Daging", tetapi mereka percaya bahwa Yesus dan Bapa pada hakikatnya adalah satu Oknum, kendati berkiprah dalam beragam "perwujudan" atau "modus". Golongan Pentakosta Keesaan mendustakan doktrin Tritunggal, karena menganggapnya bersifat pagan dan tidak Alkitabiah, serta menganut doktrin Nama Yesus terkait pembaptisan. Mereka sering dijuluki golongan "Modalis" atau golongan "Yesus Saja". Pentakosta Keesaan dapat diperbandingkan dengan Sabelianisme, dan dapat pula disifatkan sebagai keimanan kepada salah satu ragam dari Sabelianisme, karena sama-sama Awatritunggal dan sama-sama mengimani Yesus sebagai "Allah Yang Mahaperkasa dalam Wujud Manusia", meskipun kedua-duanya tidak persis sama.

Tidak dapat dipastikan apakah Sabelius memang mengajarkan Modalisme seperti yang diajarkan dewasa ini dengan nama doktrin Keesaan, karena hanya segelintir fragmen karya tulisnya yang masih ada, dan oleh karena itu segala sesuatu yang diketahui tentang ajaran-ajarannya bersumber dari karya-karya tulis para penentangnya.[13]

Kutipan-kutipan yang memperlihatkan beberapa ciri khas Sabelianisme purba di bawah ini dapat dicermati untuk dibandingkan dengan doktrin-doktrin gerakan Keesaan pada zaman modern:

  • Siprianus mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "...bagaimana caranya, apabila Allah Bapa tidak dikenal, bukan lagi, malah dihujat, dapatkah orang-orang di kalangan ahli bidat yang konon dibaptis dalam nama Kristus, diabsahkan sudah beroleh pengampunan dosa?[14]
  • Hipolitus (170–236) menulis tentang mereka sebagai berikutː "dan beberapa di antara mereka mengamini kaum bidat pengikut Noetus, dan bersikukuh bahwa Bapa jualah Sang Putra itu..."[15]
  • Paus Dionisius, Uskup Roma dari tahun 259 sampai 269, mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "Sabelius...menghujat Allah dengan mengatakan bahwa Putra itu sendiri adalah Bapa, demikian pula sebaliknya."[16]
  • Tertulianus menegaskan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "ia mengamanatkan kepada mereka agar membaptis orang dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, bukan dalam nama Allah yang berpribadi tunggal. Dan memang bukan hanya sekali, melainkan tiga kali, kita dibenamkan ke dalam tiga pribadi, tiap-tiap kali nama mereka dilisankan.”[17]

Penentangan dewasa ini

Meskipun golongan Pentakosta Keesaan berusaha membedakan akidahnya dari Sabelianisme purba, teolog-teolog modern semisal James R. White dan Robert Morey tidak mendapati perbedaan yang cukup berarti di antara bidat purba Sabelianisme dan akidah mutakhir Pentakosta Keesaan. Penilaian mereka didasarkan atas penyangkalan golongan Pentakosta Keesaan akan Tritunggal, lantaran percaya bahwa tidak ada perbedaan di antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[18] Bagi mereka, baik Sabelianisme, Patripasianisme, Monarkianisme Modalistis, Fungsionalisme, Yesus Saja, Bapa Saja, maupun Pentakosta Keesaan berakar pada doktrin filsafat Platon yang mengatakan bahwa Allah adalah Monas (tunggal) yang tak terbagi dan mustahil dipilah-pilah menjadi beberapa oknum berlainan.[19]

Baca juga

Rujukan

  1. ^ a b Hanson, Richard Patrick Crosland (1988). The Search for the Christian Doctrine of God: The Arian Controversy, 318-381. T. & T. Clark. ISBN 978-0-567-09485-8. 
  2. ^ Dulle, Jason. "Avoiding the Achilles Heels..." OnenessPentecostal.com. Diakses tanggal 28 May 2017. 
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Against Sabellians
  4. ^ "Athanasian Creed". Reformed.org. Diakses tanggal 29 May 2017. 
  5. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Against the Heresy of Noetus
  6. ^ Gill, Kenneth. "Dividing Over Oness". ChristianityToday. Diakses tanggal 29 May 2017. 
  7. ^ a b "Views of Sabellius, The Biblical Repository and Classical Review, American Biblical Repository". 1835. 
  8. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Against Praxeas, Chapter 1
  9. ^ "Monarchians, New Advent, Catholic Encyclopedia". 
  10. ^ Vladimir Lossky, The Mystical Theology of the Eastern Church, SVS Press, 1997, hlmn.50-59.(ISBN 0-913836-31-1) James Clarke & Co Ltd, 1991. (ISBN 0-227-67919-9)
  11. ^ "The Arroyo Seco Camp Meeting - 1913". Apostolic Archives International. The M. E. Golder Library and Research Center. Diakses tanggal 7 November 2020. 
  12. ^ Kerry D. McRoberts, “The Holy Trinity,” in Systematic Theology: Revised Edition, penyuntingː Stanley M. Horton (Springfield, MO: Logion Press, 2007), hlmn. 171–172.
  13. ^ Louis Berkhof, The History of Christian Doctrines (Grand Rapids, MI: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1949), 83.
  14. ^ Siprianus dari Kartago, “The Epistles of Cyprian,” dalam Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Novatian, Apendiks, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, penerjemahː Robert Ernest Wallis, jld. 5, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlm.383.
  15. ^ Hipolitus dari Roma, “Bantahan Segala Bidat,” dalam Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Novatian, Apendiks, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, penerjemahː John Henry MacMahon, jld. 5, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlmn. 123–124.
  16. ^ Dionisius dari Roma, “Melawan Golongan Sabelius,” dalam Fathers of the Third and Fourth Centuries: Lactantius, Venantius, Asterius, Victorinus, Dionysius, Apostolic Teaching and Constitutions, Homily, and Liturgies, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, jld. 7, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlm.365.
  17. ^ Samuel Macauley Jackson (penyunting), The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge: Embracing Biblical, Historical, Doctrinal, and Practical Theology and Biblical, Theological, and Ecclesiastical Biography from the Earliest Times to the Present Day (New York; London: Funk & Wagnalls, 1908–1914), hlm.16.
  18. ^ James R. White, The Forgotten Trinity (Minneapolis, MN: Bethany House Publishers, 1998), 153.
  19. ^ Robert A. Morey, The Trinity: Evidence and Issues (Iowa Falls, IA: World Pub., 1996), 502–507.

Pranala luar