Bahasa Melayu Kotawaringin

bagian dari rumpun bahasa Austronesia

Bahasa Melayu Kotawaringin (basa Teringin; Jawi: باسا تريڠين) adalah sebuah dialek bahasa Melayu yang dituturkan oleh masyarakat Melayu dan Dayak di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Lamandau, dan beberapa daerah di Kabupaten Sukamara.[1] Oleh penuturnya, bahasa ini dikenal dengan sebutan basa Teringin, Kutaringin, atau Waringin. Bahasa ini terdaftar di Program Merdeka Belajar Episode ke-17 Kemendikbud sebagai bahasa Melayu dialek Kotawaringin. Bahasa ini diperkirakan telah digunakan oleh masyarakat di Kesultanan Kotawaringin sejak abad ke-17 dan masih digunakan hingga saat ini.[2]

Bahasa Melayu Kotawaringin
basa Teringin
باسا تريڠين
Dituturkan diIndonesia
Wilayah
EtnisMelayu dan Dayak
Penutur
Dialek
Sungai Arut
Sungai Lamandau
Latin
Jawi
Kode bahasa
ISO 639-1msa
ISO 639-2msa (B)
msa (T)
ISO 639-3
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Sejarah

Bahasa Melayu Kotawaringin adalah penyebutan untuk bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Melayu dan Dayak di Kabupaten Kotawaringin Barat dan wilayah sekitarnya. Penuturnya lebih sering menyebutnya dengan basa Teringin, begitu pula dengan identitas mereka yang diakui sebagai urang Teringin. Bahasa Teringin memiliki banyak kesamaan dengan bahasa pada rumpun bahasa Ibanik, bahasa Teringin juga memiliki banyak kata serapan dari bahasa Banjar.[3] Penyerapan ini terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Kotawaringin di Kotawaringin Lama. Pengaruh bahasa Banjar tersebut bisa terjadi dikarenakan pendiri Kesultanan Kotawaringin adalah seorang Pangeran Kesultanan Banjar yang bernama Adipati Antakasuma, beliau adalah anak dari Sultan Banjar ke-4 Sultan Mustainbillah dan saudara dari Sultan Banjar ke-5 Sultan Inayatullah. Rombongan Adipati Antakasuma datang ke Kotawaringin untuk mendirikan sebuah kerajaan dan membuat perjanjian dengan masyarakat Dayak setempat, perjanjian itu dilaksanakan di desa Pandau antara Adipati Antakasuma dengan Demang Petinggi kepala suku masyarakat Dayak setempat pada masa itu, perjanjian tersebut dilakukan dengan bermaterai darah dari dua orang yang dikorbankan, hingga sekarang perjanjian itu dikenal dengan Panti Darah Janji Samaya yang monumennya masih dapat dijumpai di desa Pandau, kecamatan Arut Utara. Perjanjian tersebut akhirnya membuat rombongan Adipati Antakasuma yang mayoritas merupakan masyarakat Muslim Banjar dapat hidup berdampingan dengan masyarakat setempat, sehingga terjadilah akulturasi budaya.[4]

Bahasa Teringin sudah dituturkan sejak sebelum ibukota Kesultanan Kotawaringin dipindahkan ke Pangkalan Bun oleh Sultan Imanuddin, Sultan Kotawaringin ke-9 pada awal abad ke-19 (sekitar tahun 1806–1811), hal ini dibuktikan dengan masih berkembangnya bahasa Teringin di Kotawaringin Lama dan bahkan Kota Pangkalan Bun diresmikan oleh Sultan Imanuddin dengan nama Sukabumi Kutaringin Baru Pongkalan Bu'un, dimana nama Pongkalan Bu'un diambil dari nama Sungai Bu'un. Hingga kini, bahasa Teringin masih terus dituturkan di Pangkalan Bun bahkan penuturnya terus berkembang.[5]

Penulisan

Abjad Jawi (Arab-Melayu)

Sebagai bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Melayu dan dipengaruhi oleh bahasa Banjar, bahasa Teringin dapat dituliskan ke dalam abjad Jawi (Arab-Melayu). Walaupun akan terlihat sumbang jika bahasa teringin dituliskan ke dalam abjad Jawi, karena bahasa Melayu Kotawaringin yang banyak menggunakan huruf [o] akan susah dituliskan dengan huruf [و] dalam abjad Jawi, hal tersebut dapat menyebabkan miskomunikasi antara penulis dan pembaca misalnya بوسار yang seharusnya dibaca bosar bisa saja malah dibaca busar kemudian لوچو yang seharusnya dibaca loco bisa saja dibaca lucu.

Alfabet Latin

Sampai saat ini, bahasa Teringin umum dituliskan menggunakan alfabet Latin. Namun tidak adanya bentuk baku dalam penulisan bahasa Teringin menyebabkan beberapa perbedaan dalam penulisannya di kalangan masyarakat. Bentuk paling umum adalah penulisan kata usik, isik, atau sik yang berarti 'tidak', pelafalan huruf [k] pada kata sik sama dengan pelafalan huruf [k] pada kata 'tidak', namun banyak juga masyarakat yang menuliskan kata sik dengan tulisan usi, isi, atau si dengan pelafalan yang sama.[6]

Seni sastra

Pantun seloka

Pantun seloka atau hanya disebut seloka merupakan sastra lisan yang hingga saat ini masih dilestarikan di Kabupaten Kotawaringin Barat dan sekitarnya. Kata seloka berasal dari bahasa Sansekerta 'sloka'. Seloka merupakan sebuah bait yang terdiri dari empat baris dan bersajak a-a-a-a serta dilantunkan dengan syair. Menurut Owen Sarumbi, salah satu budayawan Teringin, berpendapat bahwa seloka berawal dari kebiasaan orang-orang zaman dahulu, menurutnya orang-orang zaman dahulu memberikan nasihat ataupun sindiran berupa syair karena merasa malu atau sungkan untuk menyatakannya secara langsung.

Seloka dianggap sebagai seni budaya yang menjadi kebanggaan masyarakat Teringin, bahkan setiap tahunnya diadakan lomba seloka mulai dari tingkat pelajar hingga tingkat umum se-Kotawaringin Barat. Balai Bahasa Kalimantan Tengah juga rutin menyelenggarakan festival seloka setiap tahunnya di Pangkalan Bun guna melestarikan kesenian ini. Bahasa Teringin juga selalu diterapkan dalam susunan bait seloka dan dilantunkan dengan nada syair yang merdu dan khas sehingga menjadikannya sebagai kesenian tradisional masyarakat Teringin.

Tata bahasa

Kosakata

Berikut adalah beberapa contoh kosakata dalam bahasa Melayu Kotawaringin.

Melayu Kotawaringin Glosa
aku, kola, ulun aku
ikam, dika, pian kamu
dia dia
hundin kalian
sidaknya mereka
hiba bagaimana
sopa siapa
usik tidak
nggeh, heeh iya
tada tidak
nuhun sana
sini sini
damping dekat
dimona dimana
sega cantik
jahat jelek
menyadi saudara
honda mau
seko sendiri

Partikel

Partikel atau kata tugas sangat penting dalam penggunaan bahasa Melayu Kotawaringin. Jika suatu kalimat tidak menggunakan partikel, maka kalimat tersebut akan terdengar hiatus. Berikut ini beberapa contoh partikel yang digunakan dalam bahasa Melayu Kotawaringin.

Partikel Penggunaan Makna Keterangan
/-am/ hiba am?, sopa am? lalu bagaimana?, lalu siapa? /-am/ adalah partikel yang paling sering digunakan dalam bahasa Melayu Kotawaringin. Biasanya partikel ini digunakan untuk menunjukkan masa lampau, perintah, dan pertanyaan.
/-we/, /-wi/, /-bi/ hiba we?, sopa bi? bagaimana ya?, siapa ya? /-we/ dan /-bi/ memiliki arti yang sama dengan partikel /-ya/ dalam bahasa Indonesia.
/-way/, /-bay/ hiba way?, sopa bay? bagaimanakah?, siapakah? /-way/ dan /-bay/ memiliki arti yang sama dengan partikel /-kah/ dalam bahasa Indonesia.
/-tay/, /-te/, /-ta/ hiba tay?, sopa te? bagaimana-bagaimana?, siapa-siapa? /-tay/ memiliki arti yang sama dengan partikel /-nah/ yang digunakan dalam bahasa Banjar. Partikel ini biasa digunakan untuk mempertegas kalimat dan masa lampau.
/-wa/, /-ba/ koma wa, samaan itu ba begitulah, seperti itulah /-wa/ dan /-ba/ memiliki arti yang kurang lebih sama dengan partikel /-lah/ bisa juga diartikan sebagai kata 'dong'.
/-ja/, /-gin/ hiba ja?, aku gin bagaimana sih?, aku saja /-ja/ bisa diartikan sebagai 'saja', tetapi /-gin/ tidak bisa digunakan untuk menyatakan kata 'saja' walaupun maknanya sama, karena sifatnya hanya sebagai partikel.
/-pa/, /-pan/ isik pa, hiba pan tidak, bagaimanapun Bentuk lebih panjangnya yakni /-apa/ atau /-apan/, maknanya kurang lebih sama dengan kata 'ma' dalam bahasa Melayu Kotawaringin.

Ciri khas

Penggunaan huruf [o]

Bahasa Melayu Kotawaringin memiliki ciri khas pada padanan katanya, yakni mengganti huruf [a] atau [e] pertama pada suku kata menjadi [o].

Melayu Kotawaringin Glosa
bosar besar
gondang gendang
lobih lebih
tongah tengah
ponuh penuh
kona kena
sorah serah
tobas tebas
koras keras
lomah lemah
torang terang
golap gelap

Namun tidak semua huruf [e] dan [a] pertama pada suku kata diganti menjadi huruf [o], ada yang tetap menggunakan huruf [a], seperti pada kata tega, sepak, dan rela. Juga terdapat huruf [e] pertama pada suku kata yang diganti menjadi huruf [a], seperti pada kata galas.

Penggunaan kata ma

Kata ma dapat diartikan sebagai 'saja' dalam bahasa Indonesia. Dalam percakapan bahasa Melayu Kotawaringin, kata ma hampir selalu terdengar dan menjadi ciri khasnya. Apabila seseorang bercakap di Sampit atau Palangka Raya, kemudian ia mengucapkan kata ma, lawan bicaranya dapat menebak kalau ia berasal dari Pangkalan Bun atau daerah sekitarnya. Dalam bahasa Banjar juga dapat ditemukan kata serupa, yakni mah. Perbedaannya terletak dalam penggunaan huruf [h], dalam bahasa Melayu Kotawaringin tidak menggunakan huruf [h] dibelakangnya. Penggunaan kata ma tidak hanya sebatas sebagai kata 'saja', akan tetapi penggunaanya lebih luas, seperti pada kalimat sik ma yang memiliki arti 'tidak kok' dan haja ma yang memiliki arti 'sengaja'.

Dialek

Karena penyebarannya yang tidak terlalu luas, bahasa teringin tidak memiliki banyak dialek dan walaupun ada, perbedaannya sangat sedikit dan terdengar sama antara satu dan lainnya, namun pembagian dialek bahasa teringin masih harus diteliti lebih lanjut karena belum ada penelitian resmi yang dilakukan selama ini. Berikut adalah perbedaan mencolok antara penutur bahasa teringin di daerah aliran Sungai Arut dan daerah aliran Sungai Lamandau.

Sungai Arut

Bahasa Teringin yang dituturkan oleh masyarakat teringin di Daerah Aliran Sungai Arut yang meliputi Kota Pangkalan Bun, Runtu, Kenambui, Sulung dan lain-lain ditandai dengan penggunaan partikel -tay dan -bay.

Sungai Lamandau

Bahasa Teringin yang dituturkan oleh masyarakat teringin di Daerah Aliran Sungai Lamandau yang meliputi Kotawaringin Lama, Rungun, Kondang dan lain-lain ditandai dengan masih banyaknya penggunaan partikel -tay dan -bay namun dengan menghilangkan huruf 'y' sehingga menjadi -ta dan -ba. Selebihnya penggunaan bahasa teringin diberbagai daerah cenderung sama dan seragam.

Referensi

Pranala luar