Gamelan sekaten adalah jenis gamelan Jawa yang hanya dimainkan dalam pergelaran upacara adat Sekaten yang diselenggarakan di dua keraton pecahan Kesultanan Mataram, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Upacara adat tersebut diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Islam Muhammad. Pertama kali dikembangkan pada zaman Kesultanan Demak, gamelan tersebut dijadikan sebagai media dakwah yang digagas oleh Wali Sanga agar orang Jawa bersedia menganut agama Islam.

Abdi dalem wiyaga yang sedang menabuh gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu

Sejarah

Kesultanan Demak

Dalam cerita lisan turun-temurun di kalangan orang Jawa, dakwah Islam dengan menggunakan gamelan telah dilakukan oleh Wali Sanga pada abad ke-16.[1] Sebelumnya, orang Jawa telah mengenal Hindu dan Buddha, serta telah mengenal gamelan sebagai bagian dalam upacara adatnya. Masalah inilah yang menghambat Wali Sanga untuk melaksanakan tugasnya, yaitu meng-Islamkan Nusantara. Dalam sebuah musyawarah yang diselenggarakan oleh Dewan Wali Sanga Kesultanan Demak, Sunan Kalijaga yang kala itu hadir dalam majelis mengemukakan gagasan untuk menggunakan gamelan sebagai media dakwah.[2]

Terkait dengan spesifikasi teknis gamelan sekaten, penulis Pradjapangrawit menjabarkan ide Sunan Kalijaga terkait gamelan sekaten sebagai berikut:[3]

Untuk mewujudkan tujuan itu, perangkat gamelan sekaten dibuat lebih besar daripada gamelan biasa, sehingga menghasilkan suara yang sangat keras dan nyaring. Menurut Dewan Wali Sanga, dakwah dengan pendekatan kultural semacam ini diyakini akan menjadi langkah efektif untuk meng-Islamkan orang Jawa.[4]

Kesultanan Pajang

Spesifikasi teknis

Memainkan gamelan

Miyos dan kondur gangsa

Waktu permainan gamelan

Gamelan sekaten ditabuh selama 24 jam selama sepekan sejak miyos hingga kondur gangsa. Keraton Surakarta terus mempertahankan tradisi ini,[5] sedangkan Keraton Ngayogyakarta membatasi waktu permainan hingga pukul 00.00 sejak tahun 1970.[6] Setiap kali gamelan ditabuh, orang-orang di sekitarnya membakar kemenyan dan menaburkan bunga-bunga. Tabuhan gamelan dijeda ketika waktu muazin mengumandangkan azan hingga pelaksanaan salat berjemaah dan majelis taklim di Masjid Agung selesai. Ulama yang saat itu sedang bertugas di masjid kemudian mulai berdakwah. Materi dakwah yang disampaikan adalah dasar-dasar beragama Islam, yaitu memaknai dua kalimat syahadat. Bagi masyarakat yang benar-benar ingin masuk Islam, para ulama segera menuntun mereka dengan mengucap syahadat. Dengan banyaknya orang yang disyahadatkan, maka keramaian tersebut dikenal dengan istilah syahadatain, yang kemudian berubah pengucapannya menjadi sekaten.[7]

Iringan gendhing

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Sumarsam 2002, hlm. 136.
  2. ^ Daryanto 2015, hlm. 6.
  3. ^ Pradjapangrawit 1990, hlm. 25-26.
  4. ^ Daryanto 2015, hlm. 7.
  5. ^ P.D, Mariyana Ricky (2019-11-03WIB01:00:21+00:00). "Gamelan Ditabuh, Sekaten Solo Dimulai". Solopos.com. Diakses tanggal 2024-05-11. 
  6. ^ crew, kraton. "Gendhing Sekaten". kratonjogja.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-11. 
  7. ^ Atmosiswartoputra 2021, hlm. 260.

Daftar pustaka