Suku Ngalum

suku bangsa di Indonesia

Suku Ngalum adalah kelompok etnis yang mendiami Papua Pegunungan bagian timur. Di bagian Indonesia, mereka tinggal di Kabupaten Pegunungan Bintang, sementara di bagian Papua Nugini di Provinsi Sandaun dan Provinsi Barat.[3][5]

Ngalum
Jumlah populasi
53.116
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Papua Pegunungan)29.116[1][2]
 Papua New Guinea (Sandaun)24.000[3][1]
Bahasa
Ngalum
Agama
Kristen 84,63%[3]
Kelompok etnik terkait
Murop, Kupel, Lepki[4]

Identitas

Kata Ngalum adalah penyebutan terhadap kelompok masyarakat yang tinggal di lereng Puncak Mandala hingga ke arah timur sampai di Distrik Telefomin di Papua Nugini.[6] Istilah lain yang digunakan oleh antropologis adalah "Ok" yang berarti air dalam bahasa Ngalum. Hal ini karena masyarakat Ngalum selalu tinggal di tempat yang dekat dengan mata air seperti sungai. Banyak tempat di Pegunungan Bintang diberi nama dengan awalan ok.[7] Suku ini adalah mayoritas di Pegunungan Bintang, mencakup 42,61% total penduduk.[2]

Menurut mitos Aplim Apom Sibilki (anak Aplim Apom), leluhur suku Ngalum diciptakan oleh Atangki di Puncak Mandala sehingga gunung tersebut menjadi sakral bagi mereka. Laki-laki dilambangkan oleh Aplim sementara perempuan dilambangkan oleh Apom. Atangki dipercaya sebagai roh yang hidup bersatu dengan alam dan makhluk hidup di sekitarnya. Beberapa suku lain di Pegunungan Bintang juga memercayai mitos ini.[6][8] Sekarang, Atangki dipadankan dengan Allah dalam Kekristenan.[9]

Dalam sensus penduduk, suku Ngalum di Indonesia dimasukkan dalam kategori "Suku Asal Papua".[10]

Kepercayaan

Kepercayaan tradisional suku Ngalum berpusat pada penciptaan manusia Aplim Apom yang mengandung nilai filosofis dan ideologis sebagai landasan kehidupan mereka. Mereka mempunyai benda-benda keramat yang disimpan dalam iwol. Di iwol pula, mereka melakukan upacara-upacara relilgi. Mereka meyakini kehadiran pencipta (Atangki), pelindung (Onkor dan Kakalakonaki), dan roh-roh halus (Kaseng) yang jahat.[11]

Di masa kini, sebagian besar suku Ngalum menganut agama Katolik dan sebagian kecil Protestan. Hal ini dimulai sejak misi Katolik pada tahun 1956 di daerah mereka.[12] Tidak ada catatan resmi tentang agama yang dianut seluruh anggota suku tetapi di daerah Oksibil yang didominasi suku Ngalum, 80% penduduk beragama Katolik.[13]

Kehidupan sosial

Masyarakat Ngalum menganut sistem iwolmai yang bersifat patrilineal. Iwolmai terdiri dari beberapa keluarga dalam satu desa dan dipimpin oleh seorang iwolmai ngolki. Iwolmai merupakan bagian dari iwol atau kumpulan desa. Saat ini tercatat terdapat 417 iwolmai di Pegunungan Bintang.[14]

Dalam pelaksanaan upacara adat, terdapat pembagian peran pemimpin (ngolki), yaitu osangki berperan pada tari-tarian, om bonengki pada pengelolaan perkebunan dan bahan makan, ap iwol ngolki pada rumah adat pria, kaka nalkonki pada peperangan, dan jebulki pada penyimpanan barang warisan leluhur. Peran ini dapat diperoleh melalui beberapa proses, diawali dengan inisiasi adat (tena kamil). Orang yang telah mengikuti inisiasi tersebut dinamakan tukon.[15]

Terdapat tiga golongan dalam masyarakat Ngalum, yaitu golongan ngolki, orang biasa, dan non-Ngalum. Pembagian golongan ini baru telihat jelas dalam pelaksanaan upacara adat. Jika seorang warga melakukan pelanggaran, dia akan diadili oleh para tetua adat di bawah pimpinan Iwolmai-ngolki. Hukuman yang diberikan cukup berat seperti pemotongan tangan untuk pencuri. Hal ini menyebabkan tingkat kejahatan di daerah kediaman suku Ngalum kecil.[16]

Rumah dan perkampungan

 
Rumah Ap Iwol

Perkampungan tradisional suku Ngalum berbentuk lingkaran atau bundar dan terletak di perbukitan. Terdapat beberapa jenis rumah, yaitu rumah khusus para laki-laki disebut bokam iwol dan rumah khusus bagi perempuan disebut abib atau jingilabib (rumah inti). Seringkali jingilabib juga dihuni satu keluarga inti. Terdapat pula rumah sukam, dikhususkan bagi wanita yang sedang haid atau melahirkan. Pada umumnya, rumah-rumah tradisional hanya memiliki satu pintu dan tidak ada jendela. Pola perkampungan ini mulai ditinggalkan dan rumah-rumah dibangun memanjang mengikuti pola jalan.[1][4]

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama suku Ngalum adalah berkebun. Tanaman yang biasa mereka olah adalah talas, batatas, ubi rambat, sayur lilin, sayur yamen, dan sayur gedi. Beberapa tanaman lain seperti kacang merah, kedelai, wortel, kubis, dan tomat juga ditanam setelah diperkenalkan oleh para misionaris ke daerah mereka.[17]

Budaya

Perdagangan

Kegiatan perdagangan di daerah pegunungan Papua sulit dilakukan pada zaman dahulu karena keterbatasan akses hingga permulaan abad ke-20. Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh suku Ngalum dahulu hanya berjalan dengan suku-suku di daerah-daerah pesisir. Suku Ngalum menggunakan mata uang tradisional berupa kulit kerang yang disebut siwol. Mereka mendapatkan siwol dari pantai selatan Papua di wilayah Merauke. Nilai siwol bergantung pada warna dan ukurannya.[12]

Komoditas yang diperdagangkan dengan penduduk di sekitar perbatasan Papua Nugini maupun penduduk di sekitar hulu Sungai Digul adalah babi (kang), anak panah (ara), busur (ebon), kapak batu (papie), gigi anjing (anoniji), noken (men), bulu cenderawasih (kulep) serta hasil kebun. Apabila mereka berdagang ke selatan di Mindiptana dan Merauke, mereka memperoleh garam dan siwol.[12]

Sistem ekonomi dan uang modern mulai dikenal oleh orang Ngalum setelah masuknya pengaruh-pengaruh dari pihak gereja, diawali dengan misi Katolik pada tahun 1956.[1]

Pernikahan

Dalam pernikahan tradisional, pernikahan diawali oleh peminangan. Peminangan dapat dilakukan atas permintaan langsung orang tua, permintaan petatas oleh laki-laki, atau penggunaan pertanyaan kiasan, “Mena puka yepki nek ne nere” yang berarti 'noken muda itu bagus, berikan ke saya?'. Noken melambangkan perempuan karena perempuan selalu memegang noken ketika melakukan pekerjaan atau bepergian. Jika pinangan berhasil, pihak laki-laki akan mengumpulkan mahar untuk dibayarkan kepada pihak perempuan. Dahulu, jenis barang yang boleh dijadikan mahar adalah gigi anjing (anon ningil), kapak batu (takol papi), babi (kang), noken, dan siwol wan (kulit kerang). Pembayaran mahar terus berlanjut ketika anak lahir. Mahar ini dinamakan tena sibi dan wajib diberikan setiap kali seorang anak lahir. Pasangan yang ingin menikah tanpa paksaan orang tua juga dapat melakukan kawin lari (namal). Prosesnya adalah ketika para laki-laki menari, perempuan menonton dan memilih penari yang dia sukai dan mengikutinya ke rumah setelah tarian usai. Namal biasa dilakukan pada tarian oksang, yimne, bar, dan jambir.[18]

Pengobatan

Suku Ngalum memanfaatkan bahan alam untuk dijadikan obat. Bahan yang umum dikenal adalah sayur yamen, daun gatal, dan buah merah. Fungsinya bermacam-macam, yaitu untuk membantu proses kelahiran, demam, tidak enak badan, dan juga ketahanan tubuh dan peningkatan kesuburan.[19]

Babi sabagai simbol status

Secara keseluruhan di daerah Papua, babi merupakan simbol status. Semakin banyak babi yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah kampung, semakin tinggi pula statusnya. Pemotongan da penjamuan babi biasa dilakuan dalam upacara-upacara adat. Babi juga merupakan salah satu jenis mahar. Di daerah Oksibil, ibu kota Pegunungan Bintang, harga satu ekor hidup berkisar antara Rp10 sampai 40 juta per ekor dengan harga per kilogramnya sekitar Rp100.000.[20]

Kematian dan penguburan

Upacara kematian Suku Ngalum dibedakan berdasarkan status, yaitu upacara untuk ngolki dan upacara untuk orang biasa. Seorang ngolki yang meninggal dunia ditempatkan di dalam bangunan bokam iwol yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu. Bokam iwol tidak boleh dimasuki oleh perempuan dan anak muda yang belum diinisiasi. Setelah perkabungan, diadakan perjamuan makan babi yang disediakan oleh keluarga dan masyarakat. Satu kepala babi kemudian diletakkan ke dalam tempat jenazah bersama keladi. Kepala babi diletakan di sisi kanan mayat dan keladi pada sisi kiri mayat. Seluruh masyakat yang hadir dalam upacara membentuk iringan menuju ke tempat pemakaman. Di sepanjang jalan mereka meratap diikuti dengan lagu-lagu kematian. Sehari setelah pemakaman, bibit keladi ditanam di kebun milik keluarga. Pekerjaan menanam dilakukan oleh pihak keluarga, biasanya salah satu saudara laki-laki atau anak laki-laki tertua.[21]

Pemakaman untuk orang biasa tidak dikuti dengan peletakkan babi dan keladi di sebelah mayat. Tanda kedukaan dinyatakan dengan cara mencukur atau mengambil beberapa helai rambut dari orang yang telah meninggal, kemudian disimpan pada sebuah tempat khusus. Perkabungan berlangsung selama tiga hari setelah pemakaman.[22]

Penguburan orang Ngalum pada zaman dahulu adalah mayat dibalut dengan daun markon kemudian ditutupi dengan kulit kayu yang telah dirajut, lalu diikat dengan tali rotan. Dalam beberapa waktu, tempat tersebut akan lapuk sehingga tersisa kerangka mayat dengan posisi terlentang yang diletakan di lantai gua. Penggunaan peti kayu mulai dikenal saat misionaris masuk ke daerah ini sekitar tahun 1956 dan berlanjut hingga sekarang.[23]

Referensi

  1. ^ a b c d Papua & Penghubung.
  2. ^ a b Ananta & Utami.
  3. ^ a b c Project & Joshua.
  4. ^ a b Melalatoa 1995.
  5. ^ Sitokdana & Hiktaop.
  6. ^ a b Mimin 2019.
  7. ^ Sitokdana & Hiktaop, hlm. 60-61.
  8. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 27.
  9. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 123.
  10. ^ Na'im & Syaputra.
  11. ^ Sitokdana & Hiktaop, hlm. 135-136.
  12. ^ a b c Maryone 2010.
  13. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 25-26.
  14. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 31.
  15. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 32-33.
  16. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 34.
  17. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 63.
  18. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 38-39.
  19. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 44-48.
  20. ^ Kurniawan & Ayomi, hlm. 48-49.
  21. ^ Maryone 2012, hlm. 31.
  22. ^ Maryone 2012, hlm. 13-14.
  23. ^ Maryone 2012, hlm. 14.

Daftar pustaka

  • Hylkema, S. (1974). Mannen in het draagnet (dalam bahasa Belanda). Internet Archive. 's-Gravenhage: M. Nijhoff. 
  • Kurniawan, Aan; Ayomi, Ivon; et al. (2012). Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Etnik Ngalum Distrik Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. ISBN 978-602-235-228-0. 
  • Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm. 632. 
  • Na’im, Akhsan; Syaputra, Hendry (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. hlm. 27. ISBN 978-979-064-417-5. 
  • Sitokdana, Melkior N.N; Hiktaop, Kristianus; et al. (2020). Perdamaian Pegunungan Bintang [Untuk Membangun Peradaban Manusia Aplim Apom]. Salatiga: Satya Wacana University Press. ISBN 978-602-5881-68-8.