John Waromi
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |
John Waromi atau Johnie Waromi adalah nama pena Fredie Johnie Waromi[1] (lahir dan besar di Hollandia, sejak tahun 1962 disebut Kota Jayapura, 06 Agustus 1960; umur 57 tahun)[2] adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia dari Papua. John Waromi berasal dari Suku Ambai.[3] Setelah menamatkan pendidikan di SMA Gabungan, sempat kuliah beberapa tahun (tidak selesai) di FIHES, (Fakultas Ilmu-Ilmu Hukum Ekonomi dan Sosial/jurusan Hukum) Universitas Cendrawasih Jayapura, Papua. Sebagai pramuka, tahun 1983 mengikuti training bersama Taruna AKABRI Laut di kapal latih TNI Angkatan Laut, KRI DEWA RUCI mengelilingi Indonesia, Filipina dan Jepang. Tahun 1986 hijrah ke Jakarta dan bekerja di Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan dikirim mengikuti pendidikan di Pusat Grafika Indonesia 1987. Di saat yang sama berkenalan dengan kelompok seniman Bengkel Teater dan pemimpinnya, penyair WS Rendra.[4]
Pada tahun 2001, dia sempat berhenti berkarya karena mengalami amnesia setelah menjadi korban kekerasan karena liputan investigasi terhadap kasus pembunuhan. Namun, pada tahun 2006, dia dapat menjadi peserta Ubud Writers Festival setelah salah satu tulisan yang ia buat selama berada di Bengkel Teater Rendra terpilih.[3] Di tahun 2008,dia menjadi peserta pada Northern Territory Writer Festival di Darwin, Australia.[5] Pada tahun 2015, John Waromi menjadi salah satu perwakilan Indonesia di Pameran Buku Frankfurt setelah diundang oleh Fauzi Bowo.[3] Tidak hanya itu, pada tahun 2019 Jhon, bersama penulis Nuril Basri mempromosikan buku mereka di Inggris, dengan dukungan British Council-Hibah NOC[6]
Tema penulisan
Papua menjadi latar belakang utama dalam setiap karya yang dibuat olehnya. Pada novel Anggadi Tupa Menuai Badai, dia menceritakan mengenai orang-orang yang berasal dari sukunya, Suku Ambai, dalam menjaga dan mempertahankan lingkungannya dari kerusakan yang tengah dialami.[7] Dalam novel Anggadi Tupa, Jhon Waromi bercerita tentang kehidupan sosial dan budaya suku Ambai di Papua. Suku Ambai menjaga kearifan lokal ekologis dengan selalu memelihara keberkelanjutan keanekaragaman alam. Anyaman cerita dalam novel menampilkan berbagai dilema yang muncul akibat kerusakan lingkungan yang berawal dari keserakahan. Hukum adat tidak lagi mampu melindungi hidup mereka. Jhon mengaku, proses penulisan novel ini pun terbilang singkat, tidak sampai dua bulan. Menurut John, materi dan bahan tulisan sudah ada dalam pikirannya. Mengendap sedemikian lama, menunggu masa tiba untuk membuncah keluar. “Itu karena sudah ada dalam pikiran.[8] Sedangkan pada karya kumpulan puisi Sulur-Sulur Sali, dia menggambarkan ketidakadlian yang dialami oleh John di Papua.[3]
Referensi
- ^ "Johnnie Waromi". Cordite Poetry Review (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-07. Diakses tanggal 2017-06-09.
- ^ Sarita,, Newson,. Anggadi tupa = Harvesting the storm : a fable from the shores of West Papua. ISBN 9789799985880. OCLC 931506058.
- ^ a b c d developer, mediaindonesia com (2016-03-20). "Seperti Ditarik Keluar dari Gua Batu". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2020-02-27.
- ^ "What is Poetry? | John Waromi". www.whatispoetry.net (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-06-09.
- ^ "John Waromi". idwriters.com. Diakses tanggal 7 Juni 2024.
- ^ "Indonesia Market Focus: Wraparound". literature.britishcouncil.org. 2019. Diakses tanggal 7 Juni 2024.
- ^ "Anggadi Tupa menuai Badai: Cerita Alam Tanah Papua, karya John Waromi | Dewan Kesenian Jakarta". Diakses tanggal 2020-02-27.
- ^ "Keprihatinan Seorang Suku Ambai". Media Indonesia. 2016. Diakses tanggal 7 Juni 2024.