Sudamala
Kakawin Sudamala (Jawa: ꦏꦏꦮꦶꦤ꧀ꦱꦸꦣꦩꦭ) adalah karya sastra berbahasa Jawa Kuno peninggalan Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-14 hingga ke-16 Masehi.[1] Naskah ini bercerita tentang kutukan yang menimpa Batari Uma (Umayi), istri Batara Guru (Siwa), akibat durhaka terhadap suaminya. Untuk membebaskan dirinya dari kutukan tersebut, ia harus diruwat oleh putra bungsu Pandu yang bernama Sadewa (Sahadewa).
Penokohan
Kisah ini merupakan karya asli pujangga Jawa, tetapi nama para tokoh utama dalam naskah ini (Durga, Siwa, Sadewa) diambil dari cerita Hindu dan wiracarita Mahabharata dari India, sementara beberapa tokoh pendamping (Kalantaka, Kalanjaya) tidak diambil dari cerita Hindu India. Kisah ini merupakan suatu interpolasi (cerita sisipan) karya pujangga Jawa yang tidak akan ditemukan dalam naskah-naskah Hindu dari India.[2]
Kisah
Dikisahkan bahwa Uma (Umayi) berubah menjadi raksasi (raksasa wanita) bernama Batari Durga atau Ra Nini karena ia tidak setia kepada suaminya, Batara Guru (Siwa). Ia pun diusir bersama dua gandarwa yang dikutuk, bernama Kalantaka dan Kalanjaya, lalu tinggal di Kahyangan Setragandamayit (Setragandamayu) dan hanya bisa kembali ke wujud asal apabila diruwat oleh putra bungsu Pandu, Sadewa. Durga pun pergi menemui Kunti, ibu Sadewa dan memohon agar ia menyerahkan anaknya untuk melancarkan proses ruwatan tersebut. Namun Kunti menolak sehingga Durga mencoba cara dengan perantara Batari Kalika, asisten setia Durga. Kalika masuk ke dalam raga Kunti, kemudian ia mengikat Sadewa di suatu pohon sampai proses ruwatan tiba.
Pada waktu yang ditentukan, Durga alias Ra Nini meminta agar Sadewa meruwatnya, tetapi Sadewa menolak karena merasa tidak mampu. Durga pun marah dan mengancam nyawa Sadewa. Peristiwa itu disaksikan oleh Batara Narada, yang segera melaporkannya kepada Batara Guru. Tidak ingin masalah itu berkelanjutan, akhirnya Batara Guru merasuki tubuh Sadewa. Setelah dirasuki Batara Guru, barulah Sadewa mampu menjalankan permintaan Batari Durga.
Sadewa pun mendapat julukan baru, yaitu Sudamala yang bermakna "menghilangkan penyakit" atau "pembersih dari kotoran dan kejahatan".[3] Atas petunjuk Batari Durga yang telah kembali menjadi Batari Uma, Sadewa pun pergi ke desa Pertapaan Prangalas menikahi putri seorang pertapa bernama Begawan Tambrapetra. Gadis itu bernama Dewi Endang Predapa.
Pengaruh
Kisah dalam Kakawin Sudamala tersebut memberi pengaruh dan inspirasi dalam seni rupa di Indonesia, terutama dalam pembangunan candi. Kisah ini diabadikan dalam bentuk panel relief yang ditemukan di sejumlah candi di pulau Jawa, di antaranya Candi Ceto, Candi Sukuh, dan Candi Tegowangi. Beberapa relief yang menggambarkan kisah Sudamala kini disimpan dan dirawat di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Kisah ini menyebar ke Bali yang didominasi umat Hindu, dan istilah "sudamala" dalam kakawin tersebut menjadi identik dengan "pembersihan secara spiritual" dalam masyarakat Hindu Bali.[3] Di Kabupaten Bangli, terdapat sebuah pura bernama Pura Tirta Sudamala yang sering dipakai sebagai tempat melukat (pembersihan secara jasmani dan rohani) dan ruwatan.
Referensi
- ^ Jan Mrazek, Morgan Pitelka (2008), What's the Use of Art?: Asian Visual and Material Culture in Context, University of Hawaii Press, ISBN 9780824830632
- ^ Ann R. Kinney, Marijke J. Klokke, Lydia Kieven (2003), Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java, University of Hawaii Press, hlm. 257, ISBN 9780824827793
- ^ a b Margaret J. Wiener (1995), Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali, University of Chicago Press, hlm. 119, ISBN 9780226885827