Pura

kuil agama Hindu Bali

Pura (Aksara Bali: ᬧᬸᬭ, Aksara Jawa: ꦥꦸꦫ) adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di Indonesia terutama terkonsentrasi di Pulau Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama Hindu.

Pura Besakih, pura terbesar di pulau Bali.

Etimologi

sunting

Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah gerbang, misal, angkasapura berarti Gerbang angkasa. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan di Bali.

Tata letak

sunting
 
Pelinggih Meru berbentuk atap bersusun tinggi serupa pagoda ini adalah salah satu ciri khas arsitektur pura.

Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa zona yang dikelilingi tembok. Masing-masing zona ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh ukiran.

Lingkungan atau zonasi yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih (tempat suci bersemayam Hyang), meru (menara dengan atap bersusun), serta bale (pendopo atau paviliun).

  1. Pelinggih (Aksara Bali: ᬧᬾᬮᬶᬗ᭄ᬕᬶᬄ)
    • Tempat suci di mana Hyang (dewa atau leluhur) bersemayam.
    • Berbagai jenis pelinggih dapat ditemukan di pura, termasuk Padmasana, Gedong, dan lainnya.
  2. Meru (Aksara Bali: ᬫᬾᬭᬸ)
    • Menara bertingkat yang biasanya digunakan untuk memuja dewa-dewa utama.
    • Atap meru biasanya terbuat dari ijuk atau daun lontar yang disusun berlapis-lapis, melambangkan tingkatan kosmis.
  3. Bale (Aksara Bali: ᬫᬾᬭᬸ)
    • Struktur terbuka seperti paviliun yang digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan dan sosial.
    • Contoh bale termasuk Bale Agung (untuk rapat adat), Bale Gong (untuk pertunjukan), dan Bale Kulkul (menara kentongan).

Struktur tempat suci pura mengikuti konsep Trimandala (Aksara Bali: ᬢ᭄ᬭᬶᬫᬦ᭄ᬤᬮ):

  1. Nista Mandala (Jaba Pisan) (Aksara Bali: ᬦᬶᬲ᭄ᬢᬫᬦ᭄ᬤᬮ)
    • Merupakan area yang lebih bebas dan digunakan untuk kegiatan sehari-hari atau umum
    • Zona terluar dari pura, berfungsi sebagai pintu masuk dari lingkungan luar.
    • Biasanya berupa lapangan atau taman, digunakan untuk pementasan tari dan persiapan upacara keagamaan.
  2. Madya Mandala (Jaba Tengah) (Aksara Bali: ᬫᬤ᭄ᬬᬫᬦ᭄ᬤᬮ)
    • Tingkatan tengah dari pura.
    • Merupakan area transisi antara nista mandala dan utama mandala.
    • Terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale Gamelan), Wantilan (Bale Pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
  3. Utama Mandala (Jeroan) (Aksara Bali: ᬉᬢᬫᬫᬦ᭄ᬤᬮ)
    • Tingkatan paling suci dari pura.
    • Area inti tempat bersemayamnya dewa-dewi.
    • Hanya digunakan untuk kegiatan suci dan upacara keagamaan.
    • Memuat beberapa bangunan suci seperti Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.[1]
 
Tangga menuju Candi Bentar yang membelah gapura Pura Penataran Agung Besakih

Meskipun demikian, tata letak zona Nista Mandala dan Madya Mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti Bale Kulkul atau Perantenan (dapur) pura dapat pula terletak di Nista mandala.

Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbang Candi bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan Nista mandala zona terluar kompleks pura.

Sedangkan gerbang Kori Agung /Gelung Agung atau Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar Universal Umum, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam atau Pribadi Private .

Ragam Pura

sunting

Ada beberapa jenis pura, masing-masing melayani fungsi tertentu dari ritual Bali di seluruh kalender Bali. Pura-pura Bali diatur sesuai dengan dunia fisik dan spiritual orang-orang Bali, yang sesuai dengan poros suci kaja-kelod (selatan-utara), dari gunung di puncak dunia para dewa, arwah hyang, dataran subur tengah di dunia manusia dan makhluk lain, sampai ke pantai dan lautan, dan banyak alam di Indonesia.

Pura Kahyangan Jagad

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬓᬳ᭄ᬬᬗᬦ᭄ᬚᬕ​ᬤ᭄᭟​) Merupakan pura yang universal. Seluruh umat ciptaan Tuhan sejagat boleh bersembahyang ke sana. Pura Kahyangan Jagat tersebar di seluruh dunia. Di Bali karena berkaitan dengan sejarah yang berusia panjang, pura Kahyangan Jagat digolong-golongkan dengan beberapa kerangka (konsepsi). Misalnya kerangka Rwa Bineda, kerangka Catur Loka Pala dan sebagainya.[2] : Pura ini biasanya terletak di daerah pegunungan pulau, dibangun di atas lereng gunung atau gunung berapi. Gunung-gunung dianggap sebagai dunia magis suci dan berhantu, tempat tinggal para dewa atau hyang.[3] Pura kahyangan yang paling penting di Bali adalah kompleks Pura Besakih di lereng Gunung Agung. Contoh lain adalah Pura Parahyangan Agung Jagatkarta di lereng Gunung Salak, Jawa Barat.

Pura Tirta

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬢᬶᬃ​ᬢ᭟​) disebut juga "Kuil Air", sejenis pura yang selain berfungsi keagamaan, juga memiliki fungsi pengelolaan air sebagai bagian dari sistem irigasi Subak. Para pendeta di kuil-kuil ini memiliki wewenang untuk mengelola alokasi air di sawah di desa-desa yang mengelilingi candi. Beberapa kuil tirta terkenal karena air keramatnya dan memiliki 'petirtaan' atau kolam pemandian suci untuk ritual pembersihan. Kuil air lainnya dibangun di dalam danau, seperti Pura Ulun Danu Bratan. Contoh terbaik dari jenis pura ini adalah Pura Tirta Empul.

Pura Kahyangan Tiga

sunting

Pura Desa

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬤᬾ​ᬲ᭟​) Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Dewa Brahma dan para Dewa, yang terletak di dalam desa atau kota bersangkutan, berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan orang Bali.

Pura Puseh

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬧᬸᬲᬾᬄ) Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Dewa Wisnu

Pura Dalem

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬤᬍ​ᬫ᭄᭟​) Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Dewa Siwa, Dewi Durga, ibu pertiwi, Banaspatiraja (barong), Sang Bhuta Diyu, Sang Bhuta Garwa, dan dewa-dewa lainnya, Biasanya shakti Siwa, Dewi Durga, dihormati di pura ini. Dalam siklus hidup manusia, kuil ini terhubung dengan ritual tentang kematian. Adalah umum juga untuk pura dalem memiliki pohon besar seperti pohon beringin atau kepuh yang biasanya juga digunakan sebagai tempat suci. Pura Dalem biasanya terletak di sebelah kuburan (setra) para leluhur sebelum upacara 'ngaben' (kremasi) dan tempat pengabenan.[4]

Pura Prajapati

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬫ᭄ᬭᬚᬧ​ᬢᬶ᭟​) Pura ini terletak di setra (Kuburan Bali) yang didedikasikan untuk menyembah prajapati (penguasa orang) atau kekuatan gaib. Pura Prajapati ini merupakan tempat pemujaan Dewi Durga, sekaligus sebagai sthana Sang Hyang Panca Maha Bhuta, dalam wujud Bhuta Sweta, Bhuta Rakta, Bhuta Jenar, Bhuta Ireng, Bhuta Mancawarna, Bhuta Ulu Singha, Bhuta Ulu Gajah, Bhuta Brahma, Bhuta Yaksa, Bhuta Siwa Geni, Bhuta Udug Basur, yang merupakan unsur-unsur pembentuk alam semesta itu sendiri.[5]

Pura Segara

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬲᭂᬕ​ᬭ᭟​) "Kuil laut", sebuah pura yang terletak di tepi laut untuk menenangkan Dewa laut. Biasanya penting selama ritual Melasti. Salah satu contoh dari jenis pura ini adalah Pura Tanah Lot dan Pura Uluwatu.

Pura Dang Kahyangan

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬤᬗ᭄ᬓᬳ᭄ᬬᬗ​ᬦ᭄᭟​) Pura yang digunakan untuk Pemujaan kepada para Dang Guru Suci yang telah berjasa dalam penyebaran Agama Hindu di Bali seperti Pura Agung Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Silayukti, dll

Pura Swagina

sunting
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬲ᭄ᬯᬕᬶ​ᬦ᭟​) Pura yang memiliki keterikatan dengan karya/pekerjaan manusia sehingga sering disebut pura fungsional. Pemuja dari pura-pura ini disatukan oleh kesamaan di dalam kekaryaan atau di dalam mata pencaharian seperti; Pura Melanting untuk para pedagang, Pura Segara untuk nelayan, Pura Subak, Pura Bedugul, Pura Ulundanu, Pura Ulunsuwi untuk para Petani tanah basah maupun kering.

Sad Kahyangan

sunting

(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬲᬤ᭄ᬓᬳ᭄ᬬᬗ​ᬦ᭄᭟​) Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad, adalah enam pura utama yang menurut kepercayaan masyarakat Bali merupakan sendi-sendi pulau Bali.[6] Menurut kepercayaan Bali, pura-pura ini adalah poin penting dari pulau itu, dan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan spiritual bagi Bali. Jumlah tempat-tempat suci yang paling sakral ini selalu bertambah hingga enam, tetapi tergantung pada wilayahnya, bait suci spesifik yang didaftar dapat bervariasi.[7] Daftar Sad Kahyangan dapat meliputi:[8]

  1. Pura Besakih di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem.
  2. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem.
  3. Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung.
  4. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung.
  5. Pura Luhur Batukaru di Kabupaten Tabanan.
  6. Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik) di Kabupaten Gianyar.

Selain pura-pura Sad Kahyangan tersebut di atas, masih banyak pura-pura di lainnya di berbagai tempat di pulau Bali, sesuai salah satu julukan pulau Bali sebagai Pulau Seribu Pura.

Dang Kahyangan

sunting

(Aksara Bali: ᬤᬗ᭄ᬓᬳ᭄ᬬᬗ​ᬦ᭄᭟​) Berdasarkan pengusiran Dwijendra Tattwa, yang dalam penelitian ditentukan sebagai sejarah Dang Hyang Nirartha, yang dalam masyarakat Bali biasa disebut juga Sejarah Gede, menyebutkan Pura Parama Dharma, yang berpura-pura sebagai pura Dang Kahyangan yang dibangun oleh Dang Hyang Nirartha atau dibangun oleh masyarakat untuk menghormati dan mengingat Dharmayatra (perjalanan suci agama) Dang Hyang Nirartha menyebutkan sejumlah 34 pura, beberapa di antaranya:[9]

Pura Kawitan

sunting

(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬓᬯᬶᬢ​ᬦ᭄᭟​) [10] Adalah tempat melakukan sembah bhakti yang ditentukan berdasarkan keturunan atau ikatan keluarga[11]. Pura ini umumnya terletak di dekat rumah penyungsungnya, misalnya:

  • Sanggah atau merajan, diusung oleh satu atau lebih keluarga yang mempunyai garis keturunan yang paling dekat
  • Pura Dadia, diusung oleh sejumlah keluarga yang mempunyai satu garis keturunan[12]. Umumnya masih berada dalam satu desa.
  • Pura Pedharman, diusung oleh sejumlah keluarga yang merupakan satu garis keturunan, dan keluarga tersebut telah berpencar ke berbagai desa atau kabupaten.[13]

Dataset Pura

sunting
Data Pura tiap Provinsi di Indonesia[14]
No. Nama Provinsi Jumlah Pura
1. Aceh 1
2. Sumatera Utara 82
3. Sumatera Barat 1
4. Riau 10
5. Jambi 2
6. Sumatera Selatan 235
7. Bengkulu 24
8. Lampung 336
9. Kepulauan Bangka Belitung 12
10. Kepulauan Riau 5
11. DKI Jakarta 17
12. Jawa Barat 36
13. Jawa Tengah 152
14. Daerah Istimewa Yogyakarta 37
15. Jawa Timur 524
16. Banten 14
17. Bali 4.837
18. Nusa Tenggara Barat 503
19. Nusa Tenggara Timur 33
20. Kalimantan Barat 21
21. Kalimantan Tengah 178
22. Kalimantan Selatan 349
23. Kalimantan Timur 44
24. Kalimantan Utara 3
25. Sulawesi Utara 170
26. Sulawesi Tengah 478
27. Sulawesi Selatan 84
28. Sulawesi Tenggara 252
29. Gorontalo 41
30. Sulawesi Barat 58
31. Maluku 25
32. Maluku Utara 1
33. Papua Barat 29
34. Papua Barat Daya 16
Total 8,572

Etika masuk Pura

sunting

Setiap desa adat di Bali memiliki aturan dan adat istiadat khusus yang mengatur kegiatan sehari-hari, termasuk etika masuk pura. Aturan ini biasanya diwariskan dari generasi ke generasi dan dihormati oleh masyarakat setempat. Untuk aturan bagi pengunjung yaitu: Pakaian:

  • Siapa pun yang berpakaian dengan benar dapat mengunjungi pura.
  • Jika mengenakan celana panjang atau rok panjang, selempang biasanya diperlukan.
  • Jika mengenakan celana pendek, Anda memerlukan sarung.
  • Pemandu wisata atau penjual tiket di banyak pura menyediakan selempang dan sarung, namun lebih baik membelinya sendiri di pasar lokal.
  • Selempang juga harus dikenakan untuk festival kuil apa pun. (butuh rujukan)

Biaya Masuk dan Sumbangan:

  • Semua kompleks candi dan kota bersejarah sekarang membebankan biaya masuk.
  • Jika tidak ada biaya masuk, mungkin diminta sumbangan kecil untuk membantu biaya perawatan.
  • Umum untuk menandatangani buku tamu.
  • Waspadalah terhadap buku tamu di mana angka nol telah ditambahkan ke semua angka sebelumnya, membuatnya tampak bahwa sumbangan sangat besar.

Penggunaan Kamera:

  • Gunakan kamera dengan bijaksana.
  • Jangan memanjat gedung atau dinding kuil, atau berdiri atau duduk lebih tinggi dari seorang pendeta.
  • Jika orang berdoa, hindari berada di antara mereka dan arah doa.
  • Mencuri tidak diperbolehkan.

Akses untuk Non-Hindu:

  • Non-Hindu mungkin tidak memasuki halaman paling dalam (jero) dari beberapa pura.
  • Perusahaan wisata mulai menjauhkan Pura desa dari tur atas permintaan penjaga pura.

Aturan Khusus untuk Wanita:

  • Menurut hukum kuno, wanita menstruasi dilarang masuk pura karena sanksi umum terhadap darah di tanah suci. Aturan ini masih berlaku hingga sekarang.

Aturan Tambahan untuk Pura di Desa-desa:

  • Pengunjung harus mengikuti aturan dan adat istiadat setempat.
  • Hormati pemuka agama dan penduduk Hindu setempat.
  • Jangan mengganggu aktivitas upacara keagamaan yang sedang berlangsung.
  • Tetap jaga kebersihan dan ketertiban di area pura dan sekitarnya.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Stuktur & Makna Pura di Bali berdasarkan Asta Kosala-Kosali". Blogger Bali (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-03. 
  2. ^ "Babad Bali - Pura Kahyangan Jagat". www.babadbali.com. Diakses tanggal 2019-07-08. 
  3. ^ "Babad Bali - Pura Kahyangan Jagat". www.babadbali.com. Diakses tanggal 2018-05-20. 
  4. ^ "Babad Bali - Pura Kahyangan Tiga". www.babadbali.com. Diakses tanggal 2024-12-03. 
  5. ^ Mardika, I. Putu. "Ini Makna Pura Prajapati dalam Yama Purana - Jembrana Express - Halaman 2". Ini Makna Pura Prajapati dalam Yama Purana - Jembrana Express - Halaman 2. Diakses tanggal 2024-12-03. 
  6. ^ "Sacred Sites of Bali". Sacred Sites. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 July 2010. Diakses tanggal 2010-07-20. 
  7. ^ "Etika Masuk Pura di Bali". www.balix.com. Diakses tanggal 2019-07-08. 
  8. ^ Nopen Sugiarta (16 April 2016). "Sad Kahyangan Jagat di Pulau Dewata". Diakses tanggal 30 June 2019. 
  9. ^ "Pura-Pura Dang Kayangan Warisan Dang Hyang Dwijendra". Dharmopadesa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-30. Diakses tanggal 30 June 2019. 
  10. ^ "Babad Bali - Babad Pasek Bendesa". www.babadbali.com. Diakses tanggal 2024-09-09. 
  11. ^ "Pratisentana bandesa manik mas (PBMM) dimana pun berada,". @smartDesa. Diakses tanggal 2024-09-09. 
  12. ^ disusun oleh Rsi Bintang Dhanu Manik Mas I.N. Djoni Gingsir (1996). Babad Bali Agung : K.G.P. Bendesa Manik Mas : asal usul pasek Gelgel, asal usul pasek Bali Mula, asal usul Catur Brahmana. Cetakan 1. Jakarta: Yayasan Diah Tantri, Lembaga Babad Bali Agung. 
  13. ^ Bajra, Ida Bagus (2021-01-01). "PURANA WANGSA BANDESA MAS DI SAMU". FEBRUARI. 
  14. ^ Gallery, Bootstrap. "Admin Templates - Dashboard Templates". Bootstrap Gallery (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-04. 

Daftar Pustaka

sunting
  • Sudharta, Tjok. Rai. Beda Sadkahyangan dengan Sadwinayaka, Kolom Tatwa. Majalah Sarad Bali, Ed. No. 69/Tahun VII, Januari 2006.

Pranala luar

sunting