Adipati

gelar kebangsawanan untuk kepala wilayah
Revisi sejak 9 Juli 2024 14.00 oleh Henrys Wirakusumah (bicara | kontrib) (== Adipati di Kesultanan Banjar == Di dalam Hikayat Banjar '''Adipati''' terdapat istilah '''Dipati''' dan '''Pangeran Dipati''', misalnya '''Dipati Sukadana''' sebutan untuk penguasa kerajaan Sukadana, '''Dipati Sambas''' sebutan untuk penguasa kerajaan Sambas, '''Dipati Martapura''' Sultan Banjar Pangeran Hidayat dan sebagai Mangkubumi adalah Adhipattie Mangkoe Nagara (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi ( Adipati [[Mangkub...)

Adipati (bahasa Sanskerta अधिपति, adhipati: "tuan, kepala, atasan; pangeran, tuan tertinggi, raja") adalah sebuah gelar kebangsawanan untuk orang yang menjabat sebagai kepala wilayah yang tunduk/bawahan dalam struktur pemerintahan kerajaan di Nusantara, seperti di Jawa dan Kalimantan. Wilayah yang dikepalai oleh seorang Adipati dinamakan Kadipaten.

Adipati Agung atau Haryapatih merupakan gelar yang lebih tinggi dari Adipati, sedangkan wilayah yang dikepalainya dinamakan Kadipaten Agung atau Keharyapatihan.

Adipati setara dengan jabatan Residen (pemimpin karesidenan di negara republik) ,sedangkan Haryapatih setara dengan Jabatan Gubernur Jendral (pemimpin negara republik persemakmuran)

Adipati di Jawa

Jabatan adipati mulai diketahui dipakai semenjak periode Islam dalam sejarah raja-raja di Jawa. Jabatan ini tampaknya dipakai untuk menggantikan sebutan "bhre" yang lebih dahulu dipakai dalam periode Buddha-Hindu. Adipati berbeda dengan bupati terutama dilihat dari kepentingan wilayah, luas wilayah, dan alasan strategi politik. Adipati dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada bupati. Suatu kadipaten dapat memiliki beberapa kabupaten.

Setelah terpecahnya wangsa Mataram, wilayah Kasunanan Surakarta harus menyerahkan hampir separuh wilayahnya kepada Keadipatian (Kadipaten) Mangkunegaran (1757). Mangkunegaran merupakan keadipatian otonom, dalam arti dapat mengurus wilayah kekuasaannya tanpa harus berkonsultasi dengan Kasunanan. Hal ini merupakan suatu hal yang baru dalam sejarah kekuasaan di Jawa. Sekitar enam puluh tahun kemudian (1813), giliran Kesultanan Yogyakarta harus menyerahkan sebagian kekuasaannya untuk menjadi Keadipatian Pakualaman, yang juga bersifat otonom. Ada juga kadipaten kecil yang merdeka dengan fungsi buffer state misal Kadipaten Dayeuhluhur di perbatasan wilayah Sunda dan Jawa.

Adipati di Kesultanan Banjar

Di dalam Hikayat Banjar Adipati terdapat istilah Dipati dan Pangeran Dipati, misalnya Dipati Sukadana sebutan untuk penguasa kerajaan Sukadana, Dipati Sambas sebutan untuk penguasa kerajaan Sambas, Dipati Martapura Sultan Banjar Pangeran Hidayat dan sebagai Mangkubumi adalah Adhipattie Mangkoe Nagara (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi ( Adipati Mangkubumi) Demang Lehman legitimasi (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi ( Adipati Mangkubumi) memegang pusaka kasultanan Banjar yaitu Keris Singkir dan sebuah tombak bernama Kaliblah yang berasal dari Sumbawa.[1][2]Sultan Hidayatullah HalilIllah Pada tanggal 10 Desember 1860, Sultan Hidayatullah HalilIllah melantik Gamar dengan gelar Tumenggung Cakra Yuda sebagai panglima perang Sabil terhadap Belanda dan menjadikan Gunung Pamaton sebagai basis pertahanannya. Rakyat di Gunung Pamaton menyambut kedatangannya dan mulai membuat benteng pertahanan sebagai usaha menghalau tentara Belanda yang akan menangkapnya.sebutan untuk penguasa kerajaan Martapura, Dipati Ngganding seorang adipati Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma, Pangeran Dipati Tuha, Pangeran Dipati Anom dan lain-lain.

Pada masa Sultan Adam, dilantik seorang keponakan permaisurinya yaitu Kiai Adipatie Danoe Radja, untuk memimpin Banua Lima, yang merupakan suatu wilayah keadipatian dari Kesultanan Banjar yang merupakan gabungan dari lima lalawangan/distrik/katamanggungan. Pada masa kolonial Hindia Belanda, Kiai Adipati Danu Raja tetap memimpin wilayah yang sama dan dilantik sebagai wali penguasa dengan gelar Raden Adipati Danu Raja.

Lalawangan yaitu suatu wilayah yang dipimpin Kiai Tumenggung (setara dengan jabatan bupati di Jawa).

Adipati Agong di Kesultanan Brunei

Sulaiman (?–1511) adalah sultan ketiga Brunei Darussalam. Pada tahun 1432, naik takhta. Sultan yang menyambung usaha membangun Kota Batu. Berusaha meluaskan penyebaran Islam, terkenal dengan nama Adipati Agong atau Sang Aji Brunei. Ia turun takhta pada tahun 1485.

Adipati di Eropa

Gelar Adipati dan Haryapatih dipadankan dengan gelar dalam bahasa Inggris Duke dan Grand Duke untuk bangsawan di Eropa.

Seorang Adipati (Duke) atau Adipati wanita (Duchess) bisa merupakan seorang yang menguasai sebuah Kadipaten (Duchy) atau seorang anggota sebuah keluarga Bangsawan yang secara historis berada satu peringkat di bawah raja/ratu yang berkuasa. Istilah ini berasal dari bahasa latin yaitu dux yang berarti pemimpin yang digunakan pada masa Republik Romawi kepada seorang pemimpin militer tanpa suatu pangkat resmi (khususnya untuk yang memiliki keturunan Jermanik dan Kelt), lalu istilah ini kemudian digunakan kepada seorang panglima militer yang memimpin suatu provinsi Romawi.

Selama Abad Pertengahan gelar ini mulai menonjol pertama kali di antara kerajaan-kerajaan Jermanik. Para Adipati merupakan penguasa dari Provinsi dan atasan daripada Count di perkotaan lalu kemudian, dalam Monarki Feodalisme merupakan gelar bangsawan tertinggi setelah raja. Seorang Adipati secara ipso facto bisa saja atau bukan anggota dari kaum bangsawanan suatu negara: di Britania Raya dan Spanyol semua Adipati merupakan bangsawan kerajaan tersebut, sementara di Prancis ada yang merupakan bangsawan dan ada juga yang tidak.

Selama abad ke-19 masehi banyak negara-negara kecil di Jerman dan Italia diperintah oleh seorang Adipati juga Haryapatih (Grand duke). Namun saat ini, dengan pengecualian Keharyapatihan Luksemburg, tidak ada Adipati Eropa yang berkuasa. Saat ini gelar Adipati tetap merupakan gelar bangsawan tertinggi turun-temurun di Portugal, Skandinavia, Spanyol dan Britania Raya. Seorang Paus Vatikan, sebagai penguasa duniawi juga telah, meskipun jarang, memberikan gelar Adipati kepada seseorang untuk pengabdiannya terhadap Tahta Suci. Di beberapa kerajaan Eropa hubungan status antara gelar Pangeran dan Adipati sebagai gelar dari kebangsawanan bukan gelar untuk anggota wangsa yang berkuasa, bervariasi contohnya di Belanda dan Italia.

Gelar Haryapatih (Grand duke) digunakan di Eropa Barat terutama negara-negara Jermanik untuk penguasa dari suatu provinsi. Tingkat dari seorang Haryapatih berada di bawah Raja namun lebih tinggi dari seorang Adipati yang berkuasa. Wilayah yang diperintah oleh seorang Haryapatih dinamakan Keharyapatihan (Grand duchy).

Gelar Adipati Agung (Archduke atau Erzherzog) atau Adipati Agung Wanita (Archduchess atau Erzherzogin) dibawa oleh para penguasa wangsa Habsburg dari Kadipaten Agung Austria yang kemudian menjadi gelar untuk setiap anggota dari wangsa tersebut. Di Kekaisaran Romawi Suci tingkatan ini berada di bawah Raja dan di atas Adipati (herzog). Gelar ini berbeda dari Haryapatih (großherzog).

Galeri

  1. ^ (Belanda) "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde". 14. Perpustakaan Negeri Bavarian. 1864: 503. 
  2. ^ G. Kolff (1866). "Notulen van de algemeene en directie-vergaderingen" (dalam bahasa Belanda). 3: 80.