Pengguna:Athayahisyam/Bak pasir

Revisi sejak 11 Juli 2024 05.36 oleh Athayahisyam (bicara | kontrib) (menambah kutipan langsung)

Pemikiran dan karya tulis

Hamid Fahmy Zarkasyi mengkritisi pengaruh pemikiran Barat dalam semesta pemikiran Islam[1], utamanya pemikiran Islam di Indonesia.[2] Ia menentang sekularisasi dan liberalisasi Islam di Indonesia.[3] Beberapa kajian utama Hamid Fahmy Zarkasyi adalah sebagai berikut.

Deliberalisasi dan Dewesternisasi

Istilah "Islam Liberal" mulai populer sejak tahun 2004 melalui kajian keislaman di kampus-kampus besar Islam di Indonesia.[4] Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa corak Islam Liberal sudah terlihat sejak tahun 1990 - 2000 dengan diskursus teologi rasional Mu'tazilah yang dikemukakan oleh Harun Nasution,[5] yang kemudian memperoleh kritik dari Mohammad Rasjidi.[6]

Leonard Binder menerangkan bahwa "Islam Liberal" adalah Muslim yang menganut faham penafsiran yang tidak tekstual terhadap Qur'an, melainkan menafsirkan dengan pencarian esensi makna yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.[7] Kurzman, dalam bukunya Liberal Islam (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Wacana Islam Liberal[8])—yang secara aktif dikaji oleh akademisi Indonesia[3]—berpendapat bahwa Islam Liberal adalah Muslim yang kritis terhadap tradisi Islam adat dan Islam Revivalis yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam, di samping dengan memiliki semangat untuk mengedepankan nilai Islam yang sejalan dengan nilai liberalisme barat seperti demokrasi, kemajuan ekonomi, hak asasi manusia dan lain sebagainya.[9]

Hamid Fahmy Zarkasyi mengkorelasikan antara pemikiran liberal cendekiawan Islam dengan tren pemikiran Barat untuk mewujudkan masyarakat sipil (civil society) dan menegaskan bahwa metodologi, kerangka kerja, konsep dan teori yang digunakan untuk mewujudkan gagasan masyarakat sipil bertentangan secara diametrikal dengan apa yang telah ada dalam tradisi intelektual Islam.[10] Ia menekankan bahwa pengkaji Islam Liberal terkesan "memaksakan" pembacaan Islam menggunakan metodologi dan teori Barat, tanpa proses epistemologis yang jelas.[10] Hamid kemudian merelasikan pemaksaan ini dengan teori Foucault mengenai ilmu dan kekuasaan. Menurut Foucault, ilmu merupakan kekuasaan dan saat digunakan ia akan mengatur perilaku orang lain.[11] Dalam pandangan Hamid, teori tersebut terpenuhi dalam pemaksaan pembacaan Islam menggunakan perspektif (metodologi dan teori) Barat[10]. Secara tersirat, ia menganggap bahwa liberalisasi Islam merupakan upaya melanggengkan penjajahan Barat yang sudah terejawantahkan sebelumnya dalam bentuk hegemoni keilmuan Orientalisme, sebagaimana yang dipaparkan oleh Said[12] dan kemudian Hallaq.[13]

Barat, menurut Hamid, menjadi peradaban yang "maju" namun,

...tanpa teks (kitab suci), tanpa otoritas teolog, dan last but not least tanpa Tuhan. Barat adalah peradaban yang meninggalkan Tuhan dari wacana keilmuan, wacana filsafat, wacana peradaban bahkan dari kehidupan publik.

Hamid menekankan bahwa konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Barat problematik, ia menulis,

Sejak awal era modern, Francis Bacon (1561-1626) menggambarkan mindset manusia Barat begini: Theology is known by faith but philosophy should depend only upon reason. Maknanya, teologi di Barat tidak masuk akal dan berfilsafat tidak bisa melibatkan keimanan pada Tuhan.

Akibatnya, intelektualitas di peradaban Barat tidak bisa rukun dengan diskusi filsafat dan sains. Hamid menandaskan hal tersebut sekaligus akibat dari problematika ini.

...Tuhan tidak lagi berkaitan dengan ilmu, dunia empiris...Akhirnya Barat kini, dalam bahasa Nietzsche, sedang "menempuh ketiadaan yang tanpa batas."

Untuk "membalik" efek liberalisasi dan westernisasi ini, Hamid mengajukan dewesternisasi dan deliberalisasi dengan program Islamisasi[14] yang berasal dari pandangan hidup (worldview) Islam.[15]

Pandangan hidup dan epistemologi Islam

Istilah pandangan hidup (worldview), sejauh literatur menyebutkan[16][17], pertama kali digunakan oleh Immanuel Kant dalam bukunya Kritik atas Nalar Murni (Critique of Pure Reason) dengan istilah Weltanschauung[18][19] (bahasa Jerman: pandangan-dunia). Istilah ini kemudian dikembangkan oleh ragam pemikir, seperti Hegel[20], Dilthey[21], dan Husserl[16]. Pandangan hidup terbentuk dari akumulasi pengetahuan dalam pikiran manusia, baik pengetahuan a priori maupun a posteriori, konsep-konsep, serta sikap mental yang ia kembangkan semasa hidupnya.[22] Akumulasi pengetahuan ini—disebut Thomas F. Wall disebut sebagai epistemological beliefs—membentuk pandangan hidup, bersama dengan peranan besar dari kepercayaan metafisik (metaphysical beliefs) yang ia anut.[23] Menurut Alparslan Açikgenç, pandangan hidup lahir dari kristalisasi konsep-konsep dalam pikiran manusia yang membentuk kerangka berfikir (mental framework).[24] Hamid Fahmy Zarkasyi menyimpulkan, bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu terdiri dari ide-ide, kepercayaan, aspirasi, dan lain sebagainya yang seluruhnya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasi dalam sebuah jaringan dalam pikiran manusia.[22] Pengetahuan ini, dalam tradisi intelektual Islam, adalah terbantuk dari konsep dan ajaran dalam agama Islam. Mengikuti Alparslan[24], Hamid berpendapat bahwa pandangan hidup Islam adalah termasuk pandangan hidup transparan (transparent worldview[a]) karena ia tidak lahir di antara masyarakat ilmiah yang memiliki mekanisme canggih untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Pandangan hidup Islam, muncul dari wahyu Ilahi (divine revelations) yang diterima oleh Muhammad, dan kemudian olehnya dijelaskan dan disebarkan ke masyarakat.[22]

Catatan

  1. ^ Alparslan membagi pandangan hidup menjadi dua, berdasarkan bagaimana ia muncul. Pandangan hidup pertama disebut dengan pandangan hidup alami (natural worldview) yang merupakan hasil kerja akal tanpa disadari, mengikuti keadaan mental berfikir, kebudayaan dan kehidupan masyarakat. Pandangan hidup kedua disebut dengan pandangan hidup transparan (transparent worldview) yang merupakan hasil kerja akal yang disadari untuk mencari pengetahuan, sehingga ia secara sadar memikirkan konsep-konsep yang dapat dilihat (transparan) bagi akalnya.[25]

Referensi

  1. ^ Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago (dalam bahasa Inggris). The Other Press. ISBN 978-983-9541-74-8. 
  2. ^ Husaini, Adian (2005). Wajah peradaban Barat: dari hegemoni Kristen ke dominasi sekular-liberal. Gema Insani. ISBN 978-979-561-992-5. 
  3. ^ a b Nasrul, Erdy (2022-02-16). "Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk di Tengah Liberalisasi Islam". Republika. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-07-09. Diakses tanggal 2024-07-09. 
  4. ^ Dzulhadi, Qosim Nursheha (2013). Membongkar kedok liberalisme di Indonesia: study kritis pemikiran sekularisme, pluralisme & liberalisme. Cakrawala Publishing. ISBN 978-602-205-011-7. 
  5. ^ Nasution, Harun (1979). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Universitas Indonesia. 
  6. ^ Rasyidi, M. (1977). Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Bulan Bintang. 
  7. ^ Binder, Leonard (1988-08-15). Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-05147-5. 
  8. ^ Kurzman, Charles (2001). "Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global". Jakarta: paramadina. 
  9. ^ Kurzman, Charles (1998). Liberal Islam. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-511621-2. 
  10. ^ a b c Zarkasyi, Hamid Fahmy; Salim, Mohammad Syam'un (2021). Rasional tanpa menjadi liberal: menjawab tantangan liberalisasi pemikiran Islam. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization. ISBN 978-602-52894-4-6. 
  11. ^ Foucault, Michel (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison (dalam bahasa Inggris). Vintage Books. ISBN 978-0-679-75255-4. 
  12. ^ Said, Edward W. (2014-10-01). Orientalism (dalam bahasa Inggris). Knopf Doubleday Publishing Group. ISBN 978-0-8041-5386-7. 
  13. ^ Hallaq, Wael B. (2018-07-03). Restating Orientalism: A Critique of Modern Knowledge (dalam bahasa Inggris). Columbia University Press. ISBN 978-0-231-54738-3. 
  14. ^ Salim, Moh. Syam'un (2022-02-12). "Prof. Hamid: Cerminan Imbangnya Kekayaan Turats dan Penguasaan Wacana Kontemporer". INSISTS. Diakses tanggal 2024-07-09. 
  15. ^ Zarkasyi, Hamid Fahmy (2020). Minhaj berislam: dari ritual hingga intelektual. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization. ISBN 978-602-52894-3-9. 
  16. ^ a b Naugle, David K. (2002-07-16). Worldview: The History of a Concept (dalam bahasa Inggris). Wm. B. Eerdmans Publishing. ISBN 978-0-8028-4761-4. 
  17. ^ Englert, Alexander T. (2023-04-25). "The Conceptual Origin of Worldview in Kant and Fichte". Journal of Transcendental Philosophy (dalam bahasa Inggris). 4 (1): 1–24. doi:10.1515/jtph-2022-0007. ISSN 2626-8310. 
  18. ^ Kant, Immanuel; Kant, Immanuel (2007). Weigelt, Marcus, ed. Critique of pure reason. Penguin classics. Diterjemahkan oleh Müller, Friedrich Max. London: Penguin Books. ISBN 978-0-14-044747-7. 
  19. ^ Grimm, Jacob; Grimm, Wilhelm (20). Deutsches Wörterbuch. Dtv (edisi ke-Nachdr). München: Dt. Taschenbuch-Verl. [u.a.] ISBN 978-3-423-05945-9. 
  20. ^ Ashmore, Jerome (1966). "Three Aspects of Weltanschauung". The Sociological Quarterly. 7 (2): 215–228. ISSN 0038-0253. 
  21. ^ Makkreel, Rudolf (2008-01-16). "Wilhelm Dilthey" (dalam bahasa Inggris). 
  22. ^ a b c Muslih MK, et al. (2021). Epistemologi Islam (PDF). Ponorogo: Universitas Darussalam Gontor Press. 
  23. ^ Wall, Thomas F. (2001). Thinking Critically about Philosophical Problems (dalam bahasa Inggris). Wadsworth/Thompson Learning. ISBN 978-0-534-57420-8. 
  24. ^ a b Açikgenç, Alparslan (1996). "The Framework for A History of Islamic Philosophy". Al-Shajarah. 1 (1): 10. 
  25. ^ Açıkgenç, Alparslan (October 2021). "Worldview Projected From the Qur'anic Outlook" (PDF). The Straight Path: 1-36. Diakses tanggal 11 Juli 2024.