Gempa bumi Jawa 1867
Gempa bumi besar Jawa Tengah 1867 terjadi pada 10 Juni 1867, antara pukul 04.20 WIB. Gempa itu berpusat di Bantul di lepas pantai selatan pulau Jawa, Hindia Belanda dengan perkiraan magnitudo 7.8 Mw. Kehancuran yang meluas terjadi di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di mana sebanyak 700 hingga 1,000 orang tewas, termasuk 236 orang tewas di Surakarta. Gempa bumi intraslab dengan kedalaman menengah ini tidak menyebabkan tsunami. Gempa ini merupakan gempa bumi paling mematikan yang pernah melanda Yogyakarta sebelum peristiwa Gempa bumi Yogyakarta tahun 2006.[1]
Waktu setempat | 04:20 WIB |
---|---|
Lama | 80 detik |
Kekuatan | 7.8 Mw |
Kedalaman | 80 km (50 mi) |
Episentrum | 8°42′S 110°36′E / 8.7°S 110.6°E |
Jenis | Intraslab |
Wilayah bencana | DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur Hindia Belanda |
Intensitas maks. | IX (Hebat) |
Tsunami | Tidak |
Landslides | Banyak |
Korban | 700–1,000 tewas |
Gempa bumi
Guncangan utama, gempa bumi mungkin disertai dengan gempa pendahuluan yang tidak terlalu kuat, pada tanggal 17 Mei 1865, dan gempa susulan masing-masing pada tanggal 28 Maret 1875. Peristiwa ini dianggap mewakili peningkatanseismik di Lempeng Australia yang menunjam. Model simulasi gempa kerak dangkal dan zona subduksi besar tidak konsisten dengan laporan sejarah. Kurangnya pengamatan terhadap tsunami membantah teori gempa zona subduksi, sedangkan teori gempa kerak dangkal tidak sejalan dengan pemahaman tektonik pulau tersebut. Pemodelan gempa intraslab berkekuatan 7,8 pada kedalaman 80 km (50 mil) sesuai dengan laporan mengenai kerusakan yang meluas, berintensitas tinggi, dan berat.
Dampak
Kerusakan
Gempa dirasakan dari Banten, hingga Bali, sepanjang 900 km. Perkiraan (MMI VIII-IX) di Yogyakarta. Getaran gempa berlangsung selama 70 detik membuat kota Yogyakarta dan sekitarnya, porak poranda. Ribuan orang tewas dan puluhan ribu rumah rusak parah.
Monumen Golong Gilig (sekarang: Tugu Yogyakarta) pun ikut runtuh sebagian. Apalagi gempa Yogyakarta diiringi suara gemuruh bangunan bergerak yang sangat hebat. Semua orang di Yogyakarta mengenalnya sebagai tahun bencana.
“Keakraban” nusantara dengan gempa bumi bukan rahasia lagi. Kepulauan ini memang rawan gempa sejak dahulu kala. Catatan perjalanan para selebriti dunia, seperti Letnan Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1826) dan Naturalis Alfred Russel Wallace adalah beberapa di antaranya. Raffles mengamati, banyak candi-candi nusantara yang runtuh akibat gempa.
Wallace juga punya pendapatnya sendiri. Ia menyebutkan, dari sekian banyak tempat yang pernah ia kunjungi, wilayah nusantara merupakan wilayah yang paling rawan gempa bumi. Wallace mengamati hal tersebut saat ia melangkah ke Manado, (Sulawesi) pada tahun 1858.
Akibat bencana, di Surakarta dan Yogyakarta sekitar 372 rumah hancur atau rusak berat. Sebanyak 1.000 rumah hancur. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat rusak berat. Beberapa bangunan di kompleks istana Taman Sari hancur. Fitur air di area tersebut terkuras. Kompleks yang rusak akhirnya menjadi tempat tinggal para penghuni liar. Candi Sewu[2] di Klaten mengalami keruntuhan total pada struktur kubah utamanya.[3]
Sebelum peristiwa Gempa 1867, pada tahun 1865, Gunung Merapi sempat meletus selama beberapa minggu, mengeluarkan asap, abu, dan menandakan akan terjadi sesuatu yang buruk di seluruh Pulau Jawa. Dua tahun kemudian, pertanda buruk mulai terlihat: pada tanggal 10 Juni 1867, gempa bumi dahsyat melanda Yogyakarta dan menyebabkan kerusakan parah baik di kota maupun sekitarnya. Ribuan orang kehilangan nyawa dan banyak rumah serta bangunan di kota hancur,” ujar Werner Kraus dalam buku Raden Saleh: Hidup dan Karyanya (2018).[4]
Korban
Total korban tewas akibat gempa bumi Yogyakarta tahun 1867, bervariasi antara 700 hingga 1,000 orang tewas. Di Surakarta, sedikitnya 236 orang tewas. 12 korban jiwa diantaranya orang Eropa. Empat orang tewas tertimpa bangunan batu yang runtuh di sebuah kamp di Kabupaten Pekalongan. Kerusakan parah juga dilaporkan terjadi di Bantul. Di Salatiga, gempa menyebabkan jam berhenti pada saat kejadiannya: 04:21, namun goncangan berlangsung hingga pukul 04:22.
Di Gunung Merapi banyak terjadi tanah longsor.[5] Kerusakan sedang pada fasilitas pabrik dan industri dilaporkan terjadi di Bandjardjawa. Efek dari gempa tersebut juga dirasakan pada kapal yang berlabuh di Batavia yang terletak ratusan mil jauhnya. Ratusan rumah roboh di Kabupaten Semarang dan puluhan orang dilaporkan tewas. Terjadi tanah longsor besar di Wonosobo dan Purwokerto. Di Surabaya, sebuah gereja retak dan pabrik gula rusak.
Resiko gempa bumi
Berdasarkan hasil simulasi dari National hazard, jika terjadi gempa bumi dengan intensitas yang sama terjadi kembali, diperkirakan akan menyebabkan sekitar 60.000 korban jiwa.[6]
Lihat juga
Referensi
- ^ "Sejarah Hari Ini 10 Juni 1867: Yogyakarta Dilanda Gempa Maha Dahsyat 6.6 Skala Richter". amp.id. Diakses tanggal 15 November 2023. line feed character di
|title=
pada posisi 73 (bantuan) - ^ Dumarçay, Jacques (2007). Candi Sewu and Buddhist architecture of Central Java (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-91-0088-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-30. Diakses tanggal 30 June 2014.
- ^ "History Today 10 June 1867: Yogyakarta Was Hit By A Great Earthquake 8.0 On The Richter Scale". voi.id. Diakses tanggal 29 Januari 2022.
- ^ "Unraveling the Historical Tremors: The Devastating Yogyakarta Earthquake of 1867". mildreports (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 25 Januari 2024.
- ^ National Geophysical Data Center of the World Data Service (NGDC/WDS). "Global Historical Tsunami Database" (Data Set). NOAA National Centers for Environmental Information. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-26. Diakses tanggal 9 June 2022.
- ^ Nguyen, Ngoc; Griffin, Jonathan; Cipta, Athanasius; Cummins, Phil R. (January 2015). Indonesia's Historical Earthquakes Modelled examples for improving the national hazard map (Laporan). 10.11636/Record.2015.023. doi:10.11636/Record.2015.023. Diakses tanggal 17 June 2022.