Pakistan Indonesia

Revisi sejak 17 Juli 2024 09.58 oleh 182.4.70.72 (bicara)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Pakistan Indonesia (Gujarati: ઇન્ડોનેશિયામાં પાકિસ્તાની; Urdu: انڈونیشیا میں پاکستانی) adalah penduduk Indonesia yang merupakan keturunan etnis Pakistan yang menetap di Indonesia dan/atau etnis Pakistan asli yang telah menikah dengan penduduk Pribumi Indonesia sehingga mempunyai keturunan Pakistan Indonesia. Etnis ini berbeda dengan etnis India Indonesia. Pakistan Indonesia biasa dikenal dengan sebutan Khoja, Koja, Kujo, dan Tambol. Orang Koja umumnya berasal dari daerah Cutch, Kathiawar, dan Gujarat, India yang beragama Islam tetapi mereka lebih memilih Pakistan daripada India karena faktor agama. Mereka berasal dari kasta Ksatria [butuh rujukan]. Pada mulanya orang Pakistan pergi ke Indonesia untuk keperluan berdagang dan menyebarkan agama Islam, tetapi lama-kelamaan justru betah dan memilih tinggal dan berkeluarga di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda, mereka dianggap sebagai orang Moor bersama dengan Arab Indonesia dan India Indonesia. Tapi seperti etnis Tionghoa, Arab, dan India, tidaklah sedikit orang Pakistan Indonesia yang berjuang membantu kemerdekaan Indonesia.

Pakistan Indonesia
ઇન્ડોનેશિયામાં પાકિસ્તાની
انڈونیشیا میں پاکستانی
پاڪستاني انڊونيشيا ۾
ਇੰਡੋਨੇਸ਼ੀਆ ਵਿੱਚ ਪਾਕਿਸਤਾਨੀ
پاکستان په اندونیزیا کې
باكستاني في اندونيسيا
Daerah dengan populasi signifikan
Medan, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya
Bahasa
Terutama: GujaratiIndonesia
Juga: UrduSindhiPunjabiPashtunArabbahasa daerah lainnya di Indonesia Inggris
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
India IndonesiaAryaPunjabiGujaratiSindhi

Sejarah Kedatangan

sunting
  • Abad ke-11

Masa ini adalah masa kedatangan para datuk dari Walisongo yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, Ia besama putra-putra berdakwah jauh ke seluruh pelosok Asia Tenggara hingga Nusantara dengan strategi utama menyebarluaskan Islam melalui pernikahan dengan penduduk setempat utamanya dari kalangan istana-istana Hindu.

  • Tahun 1880-an

Pada tahun 1877 pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara mulai dibangun secara modern, selanjutnya KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), sebuah perusahaan pelayaran Belanda dioperasikan tahun 1888 dengan rute EropaHindia Belanda, sehingga memungkinkan orang-orang dari India, Pakistan, Arab Yaman atau Arab Mesir, melakukan migrasi ke Nusantara secara berangsur-angsur mulai tahun 1870 hingga setelah tahun 1888. Gelombang kedatangan suku Pakistan dengan berbondong-bondong ke Nusantara sekitar tahun 1880-an. Tidak seperti Syeh Jamaluddin Akbar dengan strategi menyebarkan agama Islam dengan menikahi penduduk setempat, pada abad ini strategi menyebarkan Islam sambil berdagang di Nusantara. Kaum pendatang ini tidak banyak melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi-Nusantara, tetapi sebagian juga melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi-Nusantara.

Perkembangan di Indonesia

sunting

Komunitas warga Pakistan-Indonesia kebanyakan bermukim di kota Semarang Jawa Tengah. Pada awalnya terkonsentrasi di kawasan Pekojan dan Petolongan, namun kini juga tersebar di kawasan sekitar Jl. Mt. Haryono (Mataram) bagian utara kota Semarang, yakni di Jeruk Kingkit, Bonarum, Wotprau, Suburan, Pandean, Progo, Pemali, dan Pesanggrahan. Saat ini etnis Koja sudah banyak yang menyebar kedaerah lain di Indonesia contohnya Jakarta, Solo, Surabaya, Kalimantan bahkan sampai Papua. Mereka memiliki tradisi tersendiri setiap Lebaran, hari-hari besar Islam, dan pernikahan. Karena kedatangan etnis Pakistan-Indonesia pada awalnya sebagai pedagang, maka mereka meneruskan pekerjaan dan keahliannya tersebut untuk berdagang sampai sekarang. Perdagangann yang mereka geluti adalah di bidang optik, konveksi (kain), arloji, electrik, dan rempah-rempah. Hal ini bisa di temukan di daerah sekitar jalan MT. Haryono dan Kawasan Perdagangan Johar. Perdagangan tersebut mereka wariskan secara turun temurun kepada anak-anaknya, hal ini bertujuan agar usaha yang mereka miliki tetap berjalan.

Budaya Pakistan-Indonesia

sunting

Kekerabatan

sunting

Pola Perkawinan

sunting

Dulu, orang-orang Koja yang ada di daerah Semarang ketika masih ada keturunan asli atau pendatang Pakistan yang kemudian menetap di daerah persinggahan melakukan perkawinan dengan orang yang masih sama keturunan Pakistan juga. Hal ini disebabkan orang-orang Koja tersebut sangat menghargai nilai-nilai kekeluargaan tradisional yang sangat kuat. Maka dari itu, kebanyakan orang Koja zaman dulu banyak yang dijodohkan oleh orang yang dituakan dengan persetujuan dari mempelai pria dan mempelai wanita. Tetapi pada perkembangan yang sekarang, masyarakat Koja sudah ada yang melakukan perkawinan campuran dengan orang-orang di luar orang Koja.

Pola Menetap

sunting

Pola menetap yang dilakukan oleh orang Koja di daerah Pekojan dan sekitarnya adalah patrilokal, dimana kehidupan setelah menikah, istri lebih memilih untuk tinggal di dalam lingkungan suami. Adanya pola yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Koja setelah menikah seorang istri mengikuti suaminya. Anggapan suami sudah menjadi kepala keluarga dan masyarakat Koja di daerah tersebut menganggap bahwa suami adalah imam atau pemimpin yang harus diikuti oleh istrinya.

Dialek

sunting

Masyarakat Koja yang bermukim di Semarang dulunya menggunakan dialek-dialek India atau Pakistan dalam berkomunikasi. Tetapi seiring bejalannya waktu, sampai generasi ke lima ini sudah tidak menggunakan dialek-dialek India atau Pakistan, mereka terpengaruh dengan bahasa Arab misalnya memanggil ayah dan ibu dengan sebutan 'abah' dan 'umi'. Disini walaupun dalam keseharian mereka sudah tidak menggunakan bahasa India atau Pakistan tetapi mereka masih melestarikannya dengan cara pada saat mereka bertemu sanak keluarga mereka, mereka masih menggunakan bahasa Pakistan sebagai alat komunikasi mereka. Ketika mereka berkomunikasi dengan keluarga dekat bahasa Pakistan masih sering mereka gunakan misalnya nala yang berarti enak, paitan yang berarti pergi dan soru yang artinya makan.
Kamus Bahasa Dialek Khoja : Enak (Nala), Tidak Enak (Nalailik), Kecil (Korcil), Banyak/Besar (Meto), Buang Air Besar (Maedan), Buang Air Kecil (Maedan Tani), Habis (Pocuk) Uang (Sali), Hutang (Kardan), Makan (Soru), Tidur (Tonggre), Bohong/Menipu (Cempli), Nasi (Arsi), Lapar (Pesgi), Orang (Per), Melihat (Pakeran), Kerja (Suhul), Mahal (Micem), Murah (Malio), Gila/Edan (Paiti), Pergi (Paetan), Nikah (Zuat), Anak (Pole), dll.

Tradisi

sunting

Tradisi yang masih melekat hingga saat ini

Malam pacar

sunting

Malam pacar adalah malam yang dilakukan oleh keluarga dari mempelai putri, sebelum menjalankan akad nikah. Malam itu biasanya diisi dengan menghias tangan mempelai putri dengan menggunakan hena (kutek pacar). Setelah acara itu selesai dilanjutkan dengan tari-tarian oleh gadis-gadis yang merupakan teman dari mempelai wanita. Tarian ini mempunyai makna bahwa mempelai wanita bahagia akan segera melepas masa lajangnya, tarian tersebut dilakukan di kamar mempelai wanita dan yang berada dalam kamar itu hanya para wanita saja, sedangkan laki-lakinya berada di luar rumah. Malam pacar juga diiringi dengan acara pembacaan doa-doa islam dan pengajian yang dilangsung dipimpin oleh seorang pemuka agama. Setelah acara malam pacar selesai dilanjutkan dengan acara ijab yang hanya dihadiri oleh keluarga mempelai pria dan para kaum laki-laki yang merupakan teman dari mempelai laki-laki hingga acara ijab selesai sedangkan mempelai wanita berada dikamar.

Khitanan Massal

sunting

Acara khitanan ini dilakukan rutin setahun sekali, acara ini juga merupakan warisan dari keturunan pakistan sehingga warga koja yang berada di Pekojan Semarang melestarikan budaya ini setiap bulan Maulid.

Lebaran

sunting

Masyarakat Koja yang berada di luar daerah Pekojan, Semarang, setiap Lebaran menyempatkan pulang ke kampung halaman, Pekojan, untuk melakukan sonjo (silaturahmi). Lebaran di Kampung Pekojan, dan kemudian saat malam dilanjut sonjo (silaturahmi) Lebaran ke Wotprau, Jerukkingkit, Suburan, Pandean, Progo, Pemali yang merupakan juga daerah basis keturunan Pekojan. Dalam perjalanannya, di akhir tahun 2019 para generasi keturunan Khoja di Semarang mendirikan Komunitas Budaya Khoja Semarang (KHOJAS) diketuai Muhammad Sholeh Emde (Ketua Umum)bersekretariat di Jalan MT Haryono Kp Wotprau No 7 Semarang. Tujuan berdirinya komunitas KHOJAS untuk melestarikan budaya Khoja, yang merupakan paduan budaya Gujarat-Indonesia (Semarangan). Salah satu yang dipertahankan sampai kini adalah Adat pengantin Semarangan bagi warga Pekojan. Adat Pengantin Semarangan banyak dipengarugi budaya KHOJA, terlihat tampak pada pakaiannya yang mengenakan Kurta (mirip Jubah) dengan topi Turban (mirip Sorban). Pengantin Semarangan tidak mengenakan keris, melainkan pedang ala Gujarat (bukan Samurai). Pada Saat lebaran, makanan khas KHOJA yang menjadi sugatan yang terkenal adalah : Dadar Saus, Tar Nanas dan Coklat Piring (dipanggang diatas dan sebesar piring), ketan Punar, Ketan Enten-enten, Sagon, Pis Tuban, Bolu Lapis 50 telor, dll.

TOKOH KHOJA SEMARANG Ahmad Rafiq atau dikenal A Rafiq adalah kelahiran Kp Wotprau Semarang, keturunan Khoja. Sejak kecil hingga besar A Rafiq hidup di kawasan Pekojan, termasuk sekolah di Mahad Islam dan aktif di Masjid Jami pekojan, Jalan Tolongan Semarang. Di Kampung Wotprau A Rafiq tergabung dalam perkumpulan Orkes Melayu (OM) Sinar Mutiara pimpinan Arief Fadilah (kakek M Sholeh Emde) pada tahun 1960an. Jebolan OM Sinar Mutiara Muda ini kemudian bergabung di OM Sinar Kemala Surabaya pimpinan A Kadir, sebelum akhirnya tenar sebagai penyanyi Melayu dan aktor di Jakarta. Anas Salim dikenal sebagai sesepuh Persatuan Artis Film Indonesia Semarang. Pada tahun 1970an hingga 1980an Anas Salim dikenal sebagai pemain teater dan aktor. Peran yang sering dilakonkan sebagai ulama dalam film-film horor.

Lihat pula

sunting

Etnis peranakan lain