Perang Inggris–Skotlandia (1650–1652)

Invasi Inggris ke Skotlandia tahun 1650-1652

Perang Inggris-Skotlandia tahun 1650–1652 atau Perang Saudara Inggris III adalah konflik terakhir dalam Perang Tiga Negara, rentetan bentrok senjata dan intrik politik di antara faksi-faksi keagamaan dan politik dengan keberpihakan yang suka berubah-ubah di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia.

Perang Inggris-Skotlandia (1650–1652)
Bagian dari Perang Tiga Negara

Cromwell di Dunbar, karya Andrew Carrick Gow
Tanggal22 Juli 1650 – 1652
LokasiSkotlandia dan Inggris
Hasil Kemenangan Inggris
Perubahan
wilayah
Skotlandia disatukan dengan Persemakmuran Inggris
Pihak terlibat
Skotlandia Inggris
Tokoh dan pemimpin
Oliver Cromwell

Pada tahun 1650, pemerintah Persemakmuran Inggris mengerahkan Angkatan Perang Baru menyerbu Skotlandia demi menjegal upaya Raja Charles II menginvasi Inggris lewat pengerahan angkatan perang Skotlandia. Perang Saudara Inggris I dan II yang berkecamuk dari tahun 1642 sampai 1648 merupakan perang perebutan kekuasaan di antara golongan Royalis yang memihak Raja Charles I dan golongan Parlementer. Sesudah golongan Royalis terkecundang untuk kedua kalinya, pemerintah Inggris, yang kesal dengan sikap bermuka dua Raja Charles I dalam berunding, mengeksekusi mati sang raja pada tanggal 30 Januari 1649. Selain menjadi kepala negara Inggris, Raja Charles I juga adalah kepala negara Skotlandia, sebuah negara merdeka dan berdaulat pada masa itu. Skotlandia mendukung golongan Parlementer pada perang saudara yang pertama, tetapi mengerahkan angkatan perangnya untuk membantu Raja Charles I pada perang saudara yang kedua. Parlemen Skotlandia, yang tidak diajak bermusyawarah sebelum eksekusi mati tersebut dilaksanakan, mempermaklumkan putra mendiang, Charles II, sebagai Raja Britania.

Skotlandia pun bergegas membentuk angkatan perang pada tahun 1650. Lantaran merasa terancam, para petinggi Persemakmuran Inggris mengerahkan Angkatan Perang Baru yang dipanglimai Oliver Cromwell untuk menginvasi Skotlandia pada tanggal 22 Juli. Angkatan perang Skotlandia yang dipanglimai David Leslie mundur ke Edinburgh dan berusaha mengelak pertempuran. Sesudah sebulan bermanuver, tanpa disangka-sangka Cromwell memimpin angkatan perang Inggris melancarkan serangan dari Dunbar pada malam hari tanggal 3 September dan berhasil menimpakan kekalahan telak ke atas angkatan perang Skotlandia. Pejuang-pejuang Skotlandia yang selamat lantas menyingkir dari Edinburgh dan berlindung di Stirling, kota yang stategis letaknya di daerah tanah genting. Kendati sudah kuat bercokol di selatan Skotlandia, angkatan perang Inggris tak kunjung berhasil menembus pertahanan Stirling. Sesudah menyeberangi Kuala Forth dengan perahu-perahu yang dirancang khusus pada tanggal 17 Juli 1651, angkatan perang Inggris menggempur dan mengalahkan angkatan perang Skotlandia di Inverkeithing pada tanggal 20 Juli. Kemenangan Inggris membuat pasukan Skotlandia yang bertahan di Stirling tersekat dari sumber pasokan perbekalan maupun bala bantuan.

Dengan keyakinan bahwa satu-satunya pilihan lain adalah menyerah, Charles II melancarkan invasi ke Inggris pada bulan Agustus. Cromwell diuber-uber, beberapa tokoh Inggris berbalik memihak raja, dan pemerintah Inggris membentuk satu angkatan perang berkekuatan besar. Cromwell memancing sisa-sisa pejuang Skotlandia ke Worcester pada tanggal 3 September, menghancurkan kekuatan tempur mereka sampai tuntas, dan dengan demikian menyudahi Perang Tiga Negara. Charles II termasuk salah seorang di antara segelintir pejuang Skotlandia yang selamat. Kenyataan bahwa rakyat Inggris rela berjuang bahkan berjaya membela pemerintahan yang bertatanan republik kian mengukuhkan posisi rezim baru. Pemerintahan Skotlandia dibubarkan dan wilayahnya disatukan dengan wilayah Persemakmuran Inggris. Sesudah melewati berbagai konflik internal, Cromwell akhirnya tampil menjadi kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Persemakmuran Inggris dengan gelar Tuan Pelindung. Konflik internal yang timbul menyusul kematian Cromwell berakhir dengan dinobatkannya Charles II menjadi Raja Inggris pada tanggal 23 April 1661, dua belas tahun sesudah penobatannya di Skotlandia, dan dengan demikian paripurnalah perjuangan pemulihan daulat raja-raja wangsa Stuart.

Terminologi

Lantaran perang ini berkaitan erat serta timbul menyusul Perang Saudara Inggris I dan II, beberapa sejarawan menyebutnya Perang Saudara Inggris III.[1] Meskipun demikian, penamaan semacam ini sudah banyak disanggah. Bagi sejarawan John Philipps Kenyon dan Jane Ohlmeyer, konflik ini tidak semata-mata berkaitan dengan negara Inggris, dan oleh karena itu tidak dapat dianggap sebagai bagian dari Perang Saudara Inggris.[2] Bahkan bagi sejarawan Austin Woolrych, konflik ini nyaris murni merupakan bentrok senjata di antara angkatan perang Skotlandia dan angkatan perang Inggris. Selain itu, mengingat sedikit sekali prajurit Inggris yang berjuang di pihak raja dalam Pertempuran Worcester, maka "sungguh menyesatkan" jika menyebutnya sebagai Perang Saudara Inggris.[1] Kendati sudah pasti merupakan bagian dari Perang Tiga Negara, alih-alih kelanjutan dari Perang Saudara Inggris, sesungguhnya konflik ini adalah perang negara Persemakmuran Inggris melawan Kerajaan Skotlandia yang diperintah rezim golongan Pejanji di bawah pimpinan Raja Charles II.[2][3]

Latar belakang

Perang Uskup dan Perang Saudara Inggris

Pada tahun 1639, dan sekali lagi pada tahun 1640, Raja Charles I, kepala negara Skotlandia merangkap kepala negara Inggris, memerangi Skotlandia dalam Perang Uskup. Sengketa raja lawan kawula ini terjadi lantaran rakyat Skotlandia tidak bersedia menuruti kemauan Charles I untuk mereformasi gereja Skotlandia agar selaras dengan amalan-amalan keagamaan di Inggris.[4] Sang raja gagal mewujudkan niatnya, bahkan harus menandatangani kesepakatan yang mengukuhkan kekuasaan golongan Pejanji atas pemerintahan Skotlandia, mewajibkan semua pejabat maupun anggota parlemen dan rohaniwan untuk menandatangani Perjanjian Kebangsaan, serta memberi Parlemen Skotlandia wewenang untuk menyetujui atau memecat semua penasihat Raja Skotlandia.[5] Sesudah bertahun-tahun lamanya bersitegang, hubungan baik Raja Charles I dengan Parlemen Inggris akhirnya retak, sehingga berkobarlah Perang Saudara Inggris I pada tahun 1642.[6]

 
Raja Charles I

Para pendukung Raja Charles I di Inggris, yakni golongan Royalis, harus menghadapi angkatan perang gabungan yang terdiri atas pasukan golongan Parlementer dan pasukan Skotlandia. Pada tahun 1643, Parlemen Inggris dan Parlemen Skotlandia menjalin hubungan kerja sama yang dimeteraikan dengan Persekutuan dan Perjanjian Mulia. Sebagai imbal balik bantuan militer Skotlandia, Parlemen Inggris menyatakan kesediaannya untuk mereformasi gereja Inggris agar sehaluan dengan gereja Skotlandia.[7] Sesudah empat tahun berperang, golongan Royalis akhirnya kalah dan Raja Charles I menyerah kepada Skotlandia pada tanggal 5 Mei 1646.[8] Parlemen Skotlandia dan Parlemen Inggris bersama-sama merancang usulan damai yang akan disodorkan ke hadapan raja. Dokumen yang disebut Rancangan Usulan Newcastle ini mewajibkan semua kawula raja di Skotlandia, Inggris, dan Irlandia untuk menandatangani Persekutuan dan Perjanjian Mulia, menyelaraskan gereja Inggris maupun gereja Skotlandia dengan perjanjian tersebut maupun dengan tradisi Kristen Presbiterian, dan mengalihkan banyak kewenangan memerintah yang disandang Charles I selaku Raja Inggris kepada Parlemen Inggris. Meskipun berbulan-bulan dibujuk orang-orang Skot, Raja Charles I tidak sudi mengesahkan rancangan usulan tersebut. Angkatan perang Skotlandia masih bercokol di Inggris seusai perang, menunggu cairnya dana subsidi dalam jumlah besar yang dijanjikan golongan Parlementer. Sesudah urusan keuangan dituntaskan, angkatan perang Skotlandia menyerahkan Raja Charles I kepada angkatan perang Parlementer Inggris dan bertolak meninggalkan negeri itu pada tanggal 3 Februari 1647.[9]

Raja Charles I selanjutnya disibukkan oleh perundingan-perundingan terpisah dengan berbagai faksi. Golongan Parlementer dan Parlemen Skotlandia yang beraliran Presbiterian menghendakinya mengesahkan Rancangan Usulan Newcastle yang sudah dimodifikasi, tetapi pada bulan Juni 1647, Raja Charles I ditawan Kornet George Joyce dari Angkatan Perang Baru,[10] dan didesak Dewan Angkatan Perang untuk mengesahkan Pokok-Pokok Usulan, yakni seperangkat persyaratan yang lebih lunak, karena tidak mengamanatkan reformasi Gereja Inggris agar berhaluan Presbiterian.[11] Sang raja juga menolak Pokok-Pokok Usulan dan malah menandatangani usulan lain yang dikenal dengan sebutan "Mufakat", yang dirembukkan bersama rombongan perutusan Skotlandia pada tanggal 26 Desember 1647. Raja Charles I menyatakan kesediaannya untuk meneguhkan Persekutuan dan Perjanjian Mulia lewat Undang-Undang Parlemen di Kerajaan Inggris maupun di Kerajaan Skotlandia, dan menerima akidah Presbiterian di Inggris, tetapi hanya untuk masa uji coba selama tiga tahun, sebagai imbal balik terhadap bantuan orang Skotlandia dalam menegakkan kedaulatannya di Inggris.[12]

Sesudah rombongan perutusan Skotlandia tiba di Edinburgh dengan membawa naskah Mufakat, orang Skotlandia justru terpecah menjadi golongan yang ingin dan golongan yang enggan meratifikasi syarat dan ketentuannya. Golongan yang mendukung pengesahannya, yang disebut "golongan Pemufakat", berpendapat bahwa Mufakat menawarkan peluang terbaik yang bisa didapatkan orang Skotlandia bagi penerimaan Persekutuan dan Perjanjian Mulia di ketiga-tiga negara, dan penolakan Mufakat dapat saja mendorong Raja Charles I untuk mengesahkan Pokok-Pokok Usulan. Mufakat ditolak oleh pihak-pihak yang yakin bahwa pengerahan angkatan perang ke Inggris dengan mengatasnamakan raja sama saja dengan melanggar Persekutuan dan perjanjian Mulia, dan Mufakat tidak dapat menjamin kelanggengan gereja Presbiterian di Inggris. Gereja Skotlandia bahkan bertindak lebih jauh lagi dengan menerbitkan sebuah maklumat pada tanggal 5 Mei 1648 yang mengutuk Mufakat sebagai pelanggaran hukum Allah.[13] Sesudah melewati pergulatan politik yang berlarut-larut, golongan Pemufakat berhasil menjadi golongan mayoritas di dalam Parlemen Skotlandia, manakala perang antara golongan Royalis melawan golongan Parlementer kembali meletus di Inggris. Pada bulan Juli, Skotlandia mengerahkan angkatan perangnya ke Inggris, dipanglimai Adipati Hamilton, untuk berperang atas nama raja, tetapi kalah telak melawan angkatan perang Inggris yang dipanglimai Oliver Cromwell dalam Pertempuran Preston.[14] Hancurnya angkatan perang bentukan golongan Pemufakat menimbulkan huru-hara politik di Skotlandia, dan lawan politik golongan Pemufakat berhasil merebut kembali kendali pemerintahan, dengan bantuan satu pasukan kavaleri Parlemen Inggris di bawah pimpinan Cromwell.[14][15]

Kenaikan takhta Charles II

 
Gambaran pandangan orang Inggris terhadap tindakan orang Skotlandia yang mendesak Charles II untuk memenuhi berbagai tuntutan sebagai ganti dukungan mereka

Lantaran jengkel melihat sikap bermuka dua Charles maupun keengganan Parlemen untuk berhenti berunding dengan Charles dan mengabulkan tuntutan-tuntutan angkatan bersenjata, Angkatan Perang Baru akhirnya menyapu bersih Parlemen dan membentuk Parlemen Buntut. Parlemen baru ini membentuk suatu mahkamah khusus untuk mengadili Charles yang didakwa berkhianat oleh rakyat Inggris. Charles diputuskan bersalah dan dihukum mati pada tanggal 30 Januari 1649 .[16] Pada tanggal 19 Mei, dengan terbentuknya Persemakmuran Inggris, negara itu menjadi sebuah negara republik.[17] Parlemen Skotlandia, yang tidak dimintai pendapatnya sebelum hukuman mati dilaksanakan, memaklumkan putra mendiang, yang juga bernama Charles sebagai Raja Britania.[18][2] Sebelum mengizinkannya pulang dari pembuangan di Republik Belanda dan menduduki singgasananya, mereka menuntut Charles untuk menandatangani kedua-dua Perjanjian, yaitu mengakui kewenangan gereja Skotlandia dalam urusan agama, dan kewenangan Parlemen dalam urusan sipil.[19][20][21] Mulanya Charles II enggan menuruti tuntutan tersebut, tetapi sesudah Cromwell berhasil mengalahkan golongan Royalis dalam perang penaklukan Irlandia,[22] ia merasa harus memenuhi tuntutan-tuntutan Parlemen Skotlandia, dan akhirnya menandatangani Perjanjian Breda pada tanggal 1 Mei 1650. Parlemen Skotlandia pun buru-buru membentuk angkatan bersenjata untuk mendukung sang raja baru, sementara Charles bertolak menuju Skotlandia, dan mendarat pada tanggal 23 Juni.[23]

Inggris menginvasi Skotlandia (1650–1652)

Para pemimpin Persemakmuran Inggris merasa terancam melihat orang Skotlandia kembali membentuk angkatan perang. Mereka mendesak Thomas Fairfax, pemimpin umum Angkatan Bersenjata Ragam Baru, untuk melancarkan serangan pencegahan.[24] Fairfax menerima penugasan untuk memimpin pergerakan angkatan perang ke daerah utara dalam rangka membentengi Inggris dari kemungkinan diinvasi Skotlandia, tetapi ia tidak ingin menjadi pihak yang lebih dulu menyerang mantan sekutu, lantaran berkeyakinan bahwa Inggris dan Skotlandia masih terikat oleh Persekutuan dan Perjanjian Mulia.[24] Ketika perintah resmi untuk menyerang diturunkan pada tanggal 20 Juni 1650, Fairfax mengundurkan diri.[24] Satu komisi Parlemen yang juga beranggotakan Cromwell, sahabat karibnya, semalam suntuk berusaha membujuknya supaya mengubah pendirian, tetapi Fairfax bergeming dan meninggalkan gelanggang politik.[25] Cromwell mengambil alih jabatannya selaku Tuan Panglima, dan menjadi panglima tertinggi Angkatan Perang Baru. Ia menerima penugasan pada tanggal 28 Juni, dan langsung berangkat ke Skotlandia hari itu juga.[26] Diikuti 16.000 prajurit, Cromwell menyeberangi Sungai Tweed pada tanggal 22 Juli.[27][28]

Begitu Perjanjian Breda ditandatangani, Parlemen Skotlandia mulai memapar orang-orang dalam rangka membentuk angkatan perang baru, dipanglimai David Leslie, panglima perang kawakan.[23] Parlemen Skotlandia bermaksud meningkatkan kekuatan tempur sampai lebih dari 36.000 prajurit, tetapi angka tersebut tidak kunjung tercapai.[26] Pada waktu Cromwell memasuki wilayah Skotlandia, Leslie hanya membawahi kurang dari 10.000 prajurit pejalan kaki dan 3.000 prajurit berkuda, kendati angka-angka tersebut berfluktuasi selama perang berlangsung.[29] Pemerintah Skotlandia membentuk komisi khusus untuk membersihkan angkatan perang baru itu dari setiap anasir yang dicurigai mendukung Mufakat, maupun yang dianggap berdosa atau tidak layak diikutsertakan.[keterangan 1][27] Langkah ini ditentang oleh banyak bangsawan Skotlandia dan sebagian besar pepimpin militer kawakan, termasuk Leslie, meskipun tidak digubris pemerintah. Pembersihan angkatan bersenjata membebastugaskan banyak prajurit maupun perwira kawakan, sehingga angkatan perang itu hanya beranggotakan orang-orang yang baru dipapar dengan sedikit latihan atau pengalaman tempur.[26]

Leslie mendirikan tanggul tanah untuk bertahan di antara Edinburgh dan Leith,[31] dan menerapkan kebijakan bumi hangus dari tanggul ini sampai ke garis perbatasan dengan Inggris.[26] Selanjutnya ia membiarkan pasukan Cromwell bergerak maju tanpa perlawanan.[26] Keterbatasan pasokan perbekalan, dan ketidaksukaan masyarakat setempat terhadap orang Inggris yang menyerbu masuk ke wilayah mereka membuat Cromwell terpaksa mengandalkan rantai pasokan lewat laut, dan demi kelancarannya ia merebut bandar Dunbar dan bandar Musselburgh.

Skotlandia menginvasi Inggris (1651)

Lokasi tempat-tempat terkait pada peta Inggris

Meskipun berkekuatan 12.000 prajurit, angkatan perang yang dipimpin Leslie dan Charles memasuki wilayah inggris benar-benar membutuhkan tambahan perbekalan dan persenjataan. Terbatasnya jumlah senapan lontak membuat banyak prajurit hanya dipersenjatai dengan dengan busur dan anak panah. Pasukan Skotlandia dengan cepat bergerak ke selatan dan pada tanggal 8 Agustus 1651 sudah berada di luar kota Carlisle. Kota itu menolak membuka gerbangnya bagi Charles[keterangan 2], sehingga pasukan Skotlandia pun bergerak masuk semakin jauh ke dalam wilayah Inggris. Cromwell mengerahkan dua pasukan, masing-masing terdiri atas kurang-lebih 4.000 prajurit berkuda, untuk membuat pasukan Skotlandia kelelahan, kemudian mengerahkan pasukan inti yang berkekuatan 10.000 prajurit. Pada tanggal 13 Agustus, pihak Parlementer berusaha keras mempertahankan jembatan di Warrington, tetapi akhirnya mundur sesudah pihak Skotlandia menyerbu dengan pengerahan pasukan yang cukup besar. Dua puluh dua hari sejak meninggalkan Stirling, angkatan perang Skotlandia tiba di Worcester, sesudah berbaris sejauh kurang lebih330 mil (530 km). Pasukan Skotlandia yang sudah kelelahan singgah di Worcester dan berharap para prajurit yang dipapar kubu Royalis dari Wales, Pinggiran Wales, dan West Country akan bergabung dengan mereka, tetapi yang datang hanya segelintir orang.[33][34]

Charles berharap kubu Royalis akan mengobarkan pemberontakan besar-besaran, tetapi hanya segelintir warga Inggris yang bergabung dengan pasukannya. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena warga Inggris merasa tidak akan diuntungkan jika nanti hidup di bawah pemerintahan monarki yang terikat Perjanjian. Hanya ada sedikit dukungan militer dari Inggris untuk Charles, itu pun dengan segara diberantas oleh kubu Parlementer. Satu pasukan berkekuatan 1.500 prajurit dari Pulau Man berkumpul di Lancashire dipimpin Earl Derby dan berusaha bergabung dengan angkatan perang kubu Royalis, tetapi dihadang dan dikalahkan oleh pasukan kubu Parlementer di Wigan pada tanggal 25 Agustus. Pasukan tunggal paling besar dari Inggris yang bergabung dengan angkatan perang kubu Royalis hanya berkekuatan 60 prajurit.[35] Dewan negara Inggris sedapat mungkin menghimpun semua pasukan yang ada. Prajurit berhimpun dalam jumlah besar di Northampton, Gloucester, Reading, dan Barnet. Laskar-laskar terlatih London berhasil menghimpun 14.000 prajurit pada tanggal 25 Agustus, dan Fairfax mengamankan Yorkshire. Pasukan-pasukan kubu Parlementer dikonsentasikan di sekeliling angkatan perang Skotlandia, dan pada akhir bulan Agustus, Cromwell memimpin kekuatan tempur sebesar 31.000 prajurit menghadapi kekuatan tempur sebesar 12.000 prajurit yang dipimpin Charles.[36]

Pertempuran Worcester

 
Pertempuran Worcester, karya Machell Stace

Pihak Inggris tidak saja jauh lebih unggul daripada pihak Skotlandia dari segi jumlah personel, tetapi juga lebih terlatih, lebih lengkap persenjataannya, lebih baik pasokan perbekalannya, dan memotong jalur mundur pihak Skotlandia.[37] Worcester memang merukpakan tempat bertahan yang, baik karena kondisi alamnya maupun karena dibentengi dengan baik,[38] oleh karena itu Cromwell sengaja mengerahkan pasukannya ke kota itu. Pada tanggal 3 September, ia melancarkan serangan dari arah selatan. Pihak Skotlandia mati-matian melawan, tetapi Cromwell mengerahkan pasukan cadangan untuk memperkuat kembali sektor-sektor yang terimbas serangan lawan, sehingga pasukan Skotlandia akhirnya terdesak mundur. Angkatan perang Parlementer menerobos masuk ke dalam kota dan berhasil menguasainya sesudah bertempur dengan sengit dari rumah ke rumah.[39] Sejarawan Barry Coward mengemukakan di dalam bukunya bahwa "musuh yang dilawan Cromwell seusai pertempuran Dunbar dan yang dikalahkannya dengan telak di Worcester adalah musuh yang sudah tercerai-berai".[40]

Pihak yang kalah kehilangan lebih dari 2.000 korban tewas, dan lebih dari 6.000 pejuang kubu Royalis menjadi tawanan,[38] hampir semuanya berkebangsaan Skotlandia. Para tawanan dikaryakan di proyek-proyek pengerjaan drainase di daerah Fens atau diberangkatkan ke Amerika Utara untuk dijadikan buruh paksa.[41] Leslie dan hampir semua pemimpin pasukan kubu Royalis tertawan.[keterangan 3] Charles berhasil melarikan diri ke Eropa Daratan.[42] Seusai pertempuran, kota Worcester dijarah pasukan Parlementer.[41] Sekitar 3.000 prajurit kavaleri Skotlandia melarikan diri ke utara. Dalam perjalanan pulang ke Skotlandia, mereka dihadang warga Inggris setempat dan banyak yang tewas terbunuh.[38]

Kesudahan

Pertempuran Worcester adalah pertempuran-terarah berskala besar yang terakhir di dalam Perang Tiga Negara.[43] Sebelum Pertempuran Worcester, pemerintah Persemakmuran kian dimusuhi dunia internasional lantaran tindakan mereka menghukum mati Raja Charles I.[40] Kemenangan di Worcester mengukuhkan posisi mereka, karena dunia kini menyaksikan sendiri betapa rakyat Inggris rela maju ke medan laga demi membela pemerintahan republik, malah mampu melakukannya dengan efektif. Ketergantungan Raja Charles I kepada kekuatan tempur angkatan perang Skotlandia dalam usahanya untuk merebut kembali takhta Kerajaan Inggris membuatnya kehilangan simpati rakyat Inggris. Raja Charles I mafhum bahwa ia harus merebut hati rakyat Inggris kalau ingin kembali menduduki takhta Kerajaan Inggris.[44] Begitu tiba di Prancis, ia mengeluarkan pernyataan lebih baik mati di tiang gantungan daripada pulang ke Skotlandia.[45][keterangan 4] Penaklukan Skotlandia dan Irlandia melambungkan pamor pemerintah persemakmuran di mata negara-negara tetangga di Eropa Daratan. Pada awal tahun 1652, pemerintah Persemakmuran mendapatkan pengakuan dari pemerintah Prancis, Spanyol, Belanda, dan Denmark, dan angkatan lautnya pun leluasa menegakkan kedaulatan Inggris atas Kepulauan Channel dan Kepulauan Scilly, maupun daerah-daerah jajahan Inggris di Barbados dan Amerika Utara.[46] Ancaman invasi kubu Royalis yang sudah di depan mata berhasil dipatahkan.[40]

Selaku pihak yang dikalahkan, Kerajaan Skotlandia harus rela menerima nasib dibubarkan, dan wilayahnya disatukan dengan wilayah Persemakmuran oleh Parlemen Inggris.[47] Pemerintahan militer diberlakukan di Skotlandia. 10.000 prajurit Inggris diturunkan ke berbagai pelosok negeri Skotlandia guna melenyapkan ancaman pemberontakan.[48][46] Perundingan-perundingan antara para utusan Parlemen Inggris dan wakil-wakil daerah Skotlandia pun diselenggarakan untuk meresmikan penggabungan struktur hukum dan politik Skotlandia ke dalam negara Inggris yang baru.[49] Pada tahun 1653, dua orang wakil rakyat Skotlandia diundang menganggotai dan menghadiri sidang Parlemen Barebone.[47]

Sesudah melewati pertarungan antarfaksi di dalam tubuh Parlemen Inggris maupun Angkatan Perang Baru, Oliver Cromwell memerintah negara persemakmuran Inggris selaku Tuan Pelindung mulai bulan Desember 1653 sampai tutup usia pada bulan September 1658.[50] Sepeninggal Oliver Cromwell, anaknya yang bernama Richard menjadi Tuan Pelindung, tetapi Angkatan Perang Baru tidak begitu yakin ia mampu memimpin.[51] Pada bulan Mei 1659, tujuh bulan sepeninggal Oliver Cromwell, Angkatan Perang Baru menyingkirkan Richard dan menaikkan kembali Parlemen Buntut,[52] meskipun tidak lama kemudian membubarkannya lagi.[53] Jenderal George Monck, panglima tertinggi angkatan perang Inggris di Skotlandia ketika itu,[54] memimpin anak buahnya berkirab ke selatan, menyeberangi Sungai Tweed pada tanggal 2 Januari 1660, memasuki kota London pada tanggal 3 Februari, lantas menggelar pemilihan anggota parlemen baru. Langkah Jenderal George Monck ini melahirkan Parlemen Konvensi yang mengeluarkan pernyataan pada tanggal 8 Mei 1660 bahwa Charles II sudah menjadi kepala negara yang sah semenjak Raja Charles I mangkat dihukum mati.[55] Charles II pulang dari pembuangan dan dinobatkan menjadi Raja Inggris pada tanggal 23 April 1661,[keterangan 5] dan dengan demikian sempurnalah pemulihan daulat raja-raja wangsa Stuart.[58]

Baca juga

Keterangan, kutipan, dan sumber

Keterangan

  1. ^ Komisi untuk Pembersihan Angkatan Perang, dibentuk pada tanggal 21 Juni.[30]
  2. ^ Saat itu Carlisle memang dapat menolak masuknya pasukan Skotlandia karena memiliki segarnisun prajurit dan dibentengi dengan baik.[32]
  3. ^ Leslie mendekam di Menara London sampai Charles II dikembalikan ke singgasana pada tahun 1660.[42]
  4. ^ Raja Charles II memegang teguh ucapannya sendiri, ia tidak pernah lagi memijak bumi Skotlandia semenjak kabur dari Worcester.[45]
  5. ^ Ia sudah dinobatkan menjadi Raja Skotlandia dua belas tahun lebih dulu pada tanggal 1 Januari 1651 di Scone,[56] tempat penobatan tradisional raja-raja Skotlandia.[57]

Kutipan

  1. ^ a b Woolrych 2002, hlm. 496.
  2. ^ a b c Kenyon & Ohlmeyer 2002, hlm. 32.
  3. ^ Atkin 2008, hlm. 8.
  4. ^ Kenyon & Ohlmeyer 2002, hlm. 15–16.
  5. ^ Stewart 2016, hlm. 124–125.
  6. ^ Kenyon & Ohlmeyer 2002, hlm. 26–28, 32.
  7. ^ Woolrych 2002, hlm. 271.
  8. ^ Woolrych 2002, hlm. 329–330.
  9. ^ Woolrych 2002, hlm. 340–349.
  10. ^ Woolrych 2002, hlm. 364.
  11. ^ Gentles 2002, hlm. 144–150.
  12. ^ Stewart 2016, hlm. 258–259.
  13. ^ Stewart 2016, hlm. 258–261.
  14. ^ a b Furgol 2002, hlm. 64.
  15. ^ Young 1996, hlm. 215.
  16. ^ Woolrych 2002, hlm. 430–433.
  17. ^ Gentles 2002, hlm. 154.
  18. ^ Dow 1979, hlm. 7.
  19. ^ Furgol 2002, hlm. 68.
  20. ^ Woolrych 2002, hlm. 481.
  21. ^ Dow 1979, hlm. 7–8.
  22. ^ Ohlmeyer 2002, hlm. 98–102.
  23. ^ a b Furgol 2002, hlm. 65.
  24. ^ a b c Woolrych 2002, hlm. 482.
  25. ^ Woolrych 2002, hlm. 482–483.
  26. ^ a b c d e Woolrych 2002, hlm. 483.
  27. ^ a b Dow 1979, hlm. 8.
  28. ^ Reese 2006, hlm. 26–27.
  29. ^ Reid 2008, hlm. 39–40.
  30. ^ Reid 2008, hlm. 27.
  31. ^ Hutton & Reeves 2002, hlm. 221.
  32. ^ Woolrych 2002, hlm. 495.
  33. ^ Woolrych 2002, hlm. 494–497.
  34. ^ Furgol 2002, hlm. 70.
  35. ^ Woolrych 2002, hlm. 494–495, 497.
  36. ^ Woolrych 2002, hlm. 495–497.
  37. ^ Royle 2005, hlm. 629–631.
  38. ^ a b c Woolrych 2002, hlm. 498.
  39. ^ Royle 2005, hlm. 633.
  40. ^ a b c Coward 2003, hlm. 249.
  41. ^ a b Atkin 2004, hlm. 144–147.
  42. ^ a b Woolrych 2002, hlm. 498–499.
  43. ^ Kenyon & Ohlmeyer 2002, hlm. 40.
  44. ^ Wheeler 2002, hlm. 243.
  45. ^ a b Woolrych 2002, hlm. 499.
  46. ^ a b Wheeler 2002, hlm. 244.
  47. ^ a b MacKenzie 2009, hlm. 159.
  48. ^ Dow 1979, hlm. 23.
  49. ^ Dow 1979, hlm. 35.
  50. ^ Sherwood 1997, hlm. 7–11.
  51. ^ Keeble 2002, hlm. 6.
  52. ^ Keeble 2002, hlm. 9.
  53. ^ Keeble 2002, hlm. 12.
  54. ^ Woolrych 2002, hlm. 572.
  55. ^ Keeble 2002, hlm. 48.
  56. ^ Woolrych 2002, hlm. 492.
  57. ^ Rodwell 2013, hlm. 25.
  58. ^ Lodge 1969, hlm. 6.

Sumber