Daha
Daha atau (bahasa Jawa: ꦢꦲꦤꦥꦹꦫ, translit. Dahanapūra) berarti "kota api" adalah salah satu kota kuno di masa lalu yang berada di Jawa Timur dan pernah menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan Kadiri, dan Kerajaan Majapahit. Daha sekarang merupakan bagian dari Kota Kediri. Pada saat ini berdasarkan peta daerah kekuasaan kerajaan Majapahit dan peta Provinsi Jawa Timur, lokasi Daha diperkirakan berada di sekitar Kota Kediri saat ini yang memiliki situs-situs cagar budaya dan banyak ditemukan peninggalan arkeologis sampai sekarang.
Sejarah
suntingSebagai ibu kota Panjalu
suntingAirlangga merupakan pendiri kota api Dahanapura ("dahana" = api, "pura" = kota) sebagai pindahan dari kota terdahulu Kahuripan. Ketika ia turun takhta pada tahun 1042, wilayah kerajaannya dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.
Menurut Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapañca, seorang pujangga dan bekas pembesar agama Buddha masa Majapahit. Menyebutkan Airlangga yang telah berpindah ibu kota dan memerintah dari Daha di wilayah Panjalu.[1]
Selanjutnya berita dalam Serat Calon Arang, menerangkan bahwa saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan telah berpindah ke Dahanapura dan menyebut Airlangga sebagai raja Daha.
... 15. Sigra datang pwa sirêng sagara Rupěk, mantas ta sira ngkana, Sang Yogîswara Mpu Baradah. Tan lingěn pwa sirêng (h)ěnu lampah Sang Mahamuni ambramaga. Sigra datang ta sirêng nagarêng Daha, panggih ta sirâtmajanira Sang Maharaja Erlanggya sědang tinangkil...
... 15. Segera tiba di Sagara Rupek, beliau menyeberang di sana, Sang Pendeta Baradah. Tidak diceritakan perjalanan Sang Pendeta di jalan sangat cepat jalannya. Beliau segera tiba di kerajaan Daha, bertemu dengan putranya Sang Maharaja Erlangga yang sedang dihadap...
— (Lontar Calon Arang).
Daftar dari raja-raja Panjalu setelah pembelahan :
- Sri Samarawijaya
- Sri Maharaja Jitendra Kara
- Sri Maharaja Sri Bameswara
- Sri Maharaja Sri Warmeswara/Jayabhaya
- Sri Maharaja Sri Sarweswara
- Sri Maharaja Sri Aryyeswara
- Sri Maharaja Kroncaryyadipa Sri Gandra
- Sri Maharaja Sri Kameswara
- Sri Maharaja Srengga/Kertajaya (gugur tahun 1144 Saka)
Sebagai bawahan Tumapel
suntingKerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Tumapel, yaitu :
- Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
- Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
- Tohjaya kakak Guningbhaya
- Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari[2]
Sebagai ibu kota Kadiri
suntingJayakatwang adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292, Ia kemudian memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Tumapel. Jayakatwang lalu membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tetapi, pada tahun 1293 Ia dikalahkan Dyah Wijaya pendiri Majapahit.
Sebagai bawahan Majapahit
suntingSejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama bersama dengan Kahuripan. Raja yang memimpin bergelar sebagai Bhre Daha tetapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah[3]:
- Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2; Prasasti Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.
- Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
- Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21
- Suhita 1415-1429 ?
- Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Prasasti Waringin Pitu
- Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri
Pada masa kekuasaan Majapahit, penguasa Kota Daha menggunakan lambang kenegaraan berupa sadahakusuma, lambang yang bermakna bunga pemerintahan atau kembang api.
Sebagai ibu kota Majapahit
suntingMenurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Dayo (Daha) menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.
Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih terkenal dari pada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih terkenal dari pada Kadiri. Walaupun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana Dyah Ranawijaya raja Majapahit ketika itu masih menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatikta-Janggala-Kadiri.
Sumber sejarah
suntingPendukung sumber primer & sekunder
sunting- Prasasti Pamwatan (1042 M)
- Prasasti Mula Malurung (1255 M)
- Prasasti Kusmala (1350 M)
- Prasasti Jiyu (1486 M)
- Kronik Yuán Shǐ
- Kakawin Bhāratayuddha Karya Empu Sedah dan Empu Panuluh
- Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca
- Kitab Tantu Panggelaran
- Kitab Pararaton
- Serat Calon Arang
- Suma Oriental Karya Tome Pires
Catatan kaki
sunting- ^ http://www.spaetmittelalter.uni-hamburg.de/java-history/JavaNK/Java1365.Nagara-Kertagama.Canto.63-69.html
- ^ "PRASASTI MŪLA-MALURUNG DAN DAFTAR PARA TOKOH YANG TERTULIS PADA PRASASTI MŪLA-MALURUNG". sejarahjawaid.wordpress.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-17. Diakses tanggal 17 Desember 2021.
- ^ "Kitab Pararaton (terjemahan)". majapahitprana.blogspot.com. Diakses tanggal 19 Desember 2021.
Referensi
sunting- Boechari (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (dalam bahasa Indonesia dan Inggris). Jakarta: KPG ( Kepustakaan Populer Gramedia ). hlm. 425 – 436. ISBN 978-979-91-0520-2.
- Mulyana, Slamet (2006). Tafsir sejarah nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 17 dan 85 – 90. ISBN 978-979-2552-546.