Kebun Jepang

Revisi sejak 24 September 2024 13.45 oleh Hysocc (bicara | kontrib) (recat (QuickEdit))
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Kebun Jepang (日本庭園, Nihon teien) adalah kebun yang dibangun dengan gaya tradisional Jepang. Prinsip dasar kebun Jepang adalah miniaturisasi dari lanskap atau pemandangan alam empat musim di Jepang. Elemen dasar seperti batu-batu dan kolam dipakai untuk melambangkan lanskap alam berukuran besar.

Kōraku-en, Kebun bergaya kaiyū di Okayama.
Kebun batu Jepang di Ryōan-ji, Kyoto.

Selain kebun Jepang yang dibuka untuk umum, kebun Jepang dibangun di hotel, kuil Buddha, bekas kediaman resmi daimyo, dan rumah besar milik pejabat atau pengusaha. Kebun sempit bergaya Jepang di halaman rumah milik rakyat biasa disebut tsuboniwa (kebun halaman kecil) atau nakaniwa (halaman dalam).[1] Tiga kebun Jepang yang paling terkenal adalah Kenroku-en di Kanazawa, Kōraku-en di Okayama, dan Kairaku-en di Mito, Prefektur Ibaraki.

Model dan gaya

sunting
  • Kebun shinden-zukuri (shinden-zukuri teien)
kebun gaya shinden-zukuri berasal dari Dinasti Tang, dan diperkenalkan di Jepang pada zaman Heian. Kebun dibangun di halaman tengah rumah kediaman bangsawan yang dibangun dengan gaya arsitektur shinden-zukuri. Kebun yang mewakili gaya shindenzukuri adalah Shinsen-en dan kebun di Daikaku-ji di Kyoto.[2]
  • Kebun gaya jōdo (jōdoshiki teien)
Situasi sosial yang tidak stabil pada zaman Heian menyebabkan meluasnya pemikiran Buddhisme Jōdo yang membuat orang Jepang mendambakan hidup di gokuraku. Ciri khas kebun ini adalah kolam yang ditanami seroja. Tata letak kebun dibuat menyerupai bentuk mandala dalam ajaran Jōdokyō. Kebun yang mewakili gaya ini di antaranya kebun di Byōdō-in, Jōruri-ji, dan Mōtsū-ji.[2]
  • Kebun batu Jepang (karesansui)
Di kebun batu Jepang, batu dipakai untuk menggambarkan air terjun, dan pasir berwarna putih dihamparkan untuk menggambarkan air mengalir. Air sama sekali tidak digunakan sebagai elemen kebun. Kebun batu Jepang hanya dimaksudkan untuk dilihat dari satu sudut pandang. Kebun jenis ini berkembang pada zaman Kamakura, zaman Muromachi, hingga zaman Sengoku. Daitoku-ji dan Ryōan-ji di Kyoto adalah dua kebun batu yang terkenal.
  • Kebun gaya shoin (shoinshiki teien)
Kebun gaya ini berkembang pada zaman Azuchi-Momoyama, dan merupakan gaya kebun Jepang yang paling umum. Kebun dibangun menghadap atau mengelilingi shoin (bangunan atau ruangan besar tempat menerima tamu). Ciri khas berupa batu-batu ukuran besar untuk menggambarkan pemandangan gunung di pedalaman.
  • Kebun teh (chaniwa atau roji)
Kebun teh adalah sebutan untuk kebun kecil yang dilengkapi jalan-jalan setapak yang dibangun di sekeliling rumah teh. Kebun gaya ini berasal dari zaman Azuchi-Momoyama. Batu pijakan (tobiishi) adalah elemen penting yang disusun di jalan setapak yang mengelilingi rumah teh. Susunan batu pijakan dimaksudkan untuk mengatur kecepatan langkah orang yang menuju ke rumah teh. Penempatan tanaman dan batu ditentukan oleh masing-masing aliran upacara minum teh. Kebun model ini dilengkapi dengan wadah batu berisi air (tsukubai) dan lentera batu.
  • Kebun gaya kaiyū (kaiyūshiki teien atau shisen kaiyū)
Desain kebun gaya kaiyū merupakan perpaduan dari kebun gaya shoin dan kebun teh. Kebun gaya ini berkembang pada zaman Edo. Ciri khas kebun adalah ukuran kebun yang besar dan dilengkapi kolam dan batu-batu. Di dalam kebun dibangun kebun-kebun teh berukuran kecil yang tersebar di beberapa tempat dan dibangun jembatan-jembatan untuk menghubungkannya. Kebun yang mewakili gaya ini adalah kebun Vila Kekaisaran Katsura di Kyoto, Kōraku-en di Okayama, Kairaku-en di Mito, Prefektur Ibaraki, Kenroku-en di Kanazawa, Prefektur Ishikawa, dan Suizen-ji Jōju-en di Prefektur Kumamoto.[2] Kobori Enshū adalah arsitek lanskap asal zaman Edo yang dikenal dengan desain kebun gaya kaiyū.
  • Kebun daimyo (daimyō niwa)
Kebun daimyo adalah sebutan untuk kebun-kebun luas yang dibangun daimyo di daerah-daerah pada zaman Edo, misalnya kebun Koishikawa Kōrakuen dan Rikugi-en di Tokyo. Lahan datar di kota sekeliling istana dibuat sebagai miniatur pemandangan terkenal di berbagai tempat di Cina dan Jepang. Di dalam kebun jenis ini hampir selalu dibangun kolam. Keindahan kebun dinikmati orang sambil berjalan di jalan-jalan setapak yang dibangun di dalam kebun.

Prinsip dasar

sunting

Dalam kebun Jepang tidak dikenal garis-garis lurus atau simetris. Kebun Jepang sengaja dirancang asimetris agar tidak ada satu pun elemen yang menjadi dominan. Bila ada titik fokus, maka titik fokus digeser agar tidak tepat berada di tengah.

Secara garis besar, kebun Jepang mengenal dua ekstremitas: sakral dan profan. Di halaman bangunan sakral seperti kuil Shinto, kuil Buddha, dan istana kaisar hanya disebar pasir dan kerikil. Salah satu contohnya adalah halaman Kuil Ise. Sebaliknya, kebun yang dilengkapi kolam besar dan ditanami pepohonan, perdu, serta tanaman bunga dibangun di halaman bangunan yang dimaksudkan sebagai tempat memuaskan estetika keduniawian, misalnya rumah peristirahatan dan kediaman resmi. Kebun seperti ini diperindah dengan dekorasi seperti batu-batuan, lentera batu, dan gazebo. Berada di tengah-tengahnya antara sakral dan profan adalah kebun yang menggabungkan nilai-nilai sakral dan estetika profan, misalnya Vila Kekaisaran Katsura di Kyoto.

Kebun Jepang berukuran besar dilengkapi dengan bangunan kecil seperti rumah teh, gazebo, dan bangunan pemujaan (kuil). Di antara gedung dan kebun kadang-kadang dibangun ruang transisi berupa beranda sebagai tempat orang duduk-duduk. Dari beranda, pengunjung dapat menikmati keindahan kebun dari kejauhan.

Tidak semua kebun Jepang dirancang untuk dimasuki atau diinjak orang. Sejumlah kebun dimaksudkan untuk dipandang dari kejauhan seperti dari dalam gedung atau beranda. Di kebun yang dibangun untuk dipandang dari jauh, orang dapat melihat secara sekaligus semua elemen yang ada di dalam kebun.

kebun Jepang mengenal permainan perspektif sebagai salah satu teknik untuk membuat kebun terlihat lebih besar dari luas sebenarnya. Teknik pertama dari beberapa teknik yang biasa digunakan adalah penciptaan ilusi jarak. Kebun akan terlihat lebih luas bila di latar depan diletakkan batu-batuan dan pepohonan yang lebih besar daripada batu-batuan dan pepohonan di latar belakang. Dalam teknik kedua berupa "tersembunyi dari penglihatan" (miegakure), tidak semua pemandangan di dalam kebun dapat dilihat sekaligus. Tanaman, pagar, dan bangunan digunakan untuk menghalangi pandangan isi kebun seperti air terjun, lentera batu, dan gazebo. Orang harus berjalan masuk sebelum dapat melihat isi kebun. Dalam teknik ketiga yang disebut lanskap pinjaman (shakkei), pemandangan kebun meminjam pemandangan alam di latar belakang seperti pegunungan, sungai, atau hutan yang berada di kejauhan. Bangunan seperti istana di luar kebun juga dapat dijadikan bagian integral dari kebun.

Walaupun elemen-elemen dasar dan prinsip yang mendasari desain kebun dapat berbeda-beda, tema-tema tertentu dapat dijumpai di berbagai jenis kebun, misalnya pulau kecil (disebut Hōraijima atau Pulau Hōrai) yang dibangun di tengah-tengah kolam. Di atas pulau kecil tersebut kadang-kadang diletakkan diletakkan sebuah batu besar yang melambangkan Sumeru dalam kosmologi Buddha atau Gunung Hōrai dalam Taoisme. Sebagai lambang utopia atau "tanah kebahagiaan", pulau kecil di kebun tidak untuk dimasuki orang. Antara pulau dan bagian kebun yang lain sengaja tidak dibangun jembatan.

Tema-tema lain yang umum adalah kombinasi dari elemen-elemen dasar seperti batu-batu, pulau kecil, dan pepohonan untuk melambangkan kura-kura dan burung jenjang yang keduanya merupakan lambang umur panjang di Jepang. Pulau kecil di tengah kolam dibangun seperti bentuk kura-kura atau diletakkan batu yang melambangkan kura-kura di tepian. Tema lain yang populer adalah Gunung Fuji atau miniatur lanskap-lanskap terkenal di Jepang.

Elemen dasar

sunting

Elemen dasar dalam kebun Jepang adalah air, batu, dan tanaman. Selain sebagai sumber kehidupan, air digunakan untuk menyucikan benda dari dunia profan sebelum memasuki kawasan sakral. Air dialirkan dari sungai untuk membuat kolam dan air terjun.

Tanaman

sunting

Bertolak belakang dari batu yang melambangkan keabadian, pohon, perdu, bambu, rumpun bambu, lumut, dan rumput adalah benda hidup yang tumbuh seiring dengan musim sebelum menjadi tua dan mati. Bertolak belakang dengan kebun gaya Eropa yang berfokus pada warna-warni semak dan bunga, kebun di kuil Zen hanya berupa hamparan pasir. Kebun rumah teh hanya menggunakan tanaman berdaun hijau dan pohon maple yang daunnya menjadi merah di musim gugur.

Perbedaan antara lereng gunung, padang rumput, dan lembah dinyatakan dalam pemakaian berbagai macam spesies pohon dan perdu yang dipotong dan dipangkas hingga menyerupai berbagai bentuk. Pohon dan perdu juga dipakai sebagai penghubung antardua lokasi pemandangan di dalam kebun. Bukit-bukit buatan dibangun dari gundukan tanah.

Batu-batu disusun untuk menyerupai bentuk-bentuk alam seperti pegunungan, air terjun, dan pemandangan laut, dan dipilih berdasarkan bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Batu adalah elemen terpenting dalam kebun karena dapat dipakai untuk melambangkan pegunungan, garis pantai, dan air terjun. Di kebun yang memiliki pulau kura-kura dan pulau burung jenjang di tengah kolam, batu-batu diletakkan untuk memberi kesan adanya kepala dan ekor.

Batu-batu berukuran sedang digunakan sebagai batu pijakan (tobiishi, arti harfiah batu loncatan) yang dipasang bersela-sela di jalan setapak. Batu-batu yang menutup jalan setapak disebut batu ubin (shikiishi). Ketika berjalan di atasnya saat hari hujan, pakaian dan alas kaki akan terhindar dari percikan air, tanah, dan lumpur.

Di kebun batu Jepang, hamparan pasir dan kerikil diratakan dengan penggaruk menjadi pola-pola yang melambangkan benda yang mengalir seperti awan dan arus air. Butiran pasir dan kerikil yang dipakai tidak berukuran terlalu halus karena mudah diterbangkan angin atau dihanyutkan oleh air hujan. Sebaliknya, butiran pasir dan kerikil yang berukuran terlalu besar akan sulit ditata dengan penggaruk. Pemilihan pasir dan kerikil juga mempertimbangkan warna. Pasir berwarna putih memberi kesan murni dan cemerlang di bawah sinar matahari, sedangkan pasir berwarna gelap mengesankan keheningan.

Batu untuk kebun berasal dari pegunungan, pinggir laut, atau pinggir sungai, dan digolongkan menjadi tiga jenis: batuan sedimen, batuan beku, dan batuan malihan. Batuan sedimen biasanya memiliki permukaan yang halus dan bulat karena terkikis air. Batuan seperti ini dipasang di pinggir kolam dan sebagai batu pijakan di jalan setapak. Batuan beku berasal dari gunung berapi dan biasanya memiliki bentuk dan tekstur yang kasar. Batu seperti ini dipakai sebagai batu pijakan atau sebagai elemen yang menonjol, misalnya diletakkan untuk melambangkan puncak gunung. Batuan malihan adalah batu keras yang biasanya dipasang di sekeliling air terjun atau aliran air. Batu potong dari batuan sedimen juga populer untuk membangun jembatan, wadah batu berisi air, dan lentera batu.

 
Pagar bambu di Vila Kekaisaran Katsura.

Di kebun rumah teh dan kebun Jepang model kolam di tengah (shisen kaiyū), pagar dan bangunan gerbang merupakan elemen penting dalam lanskap. Pagar secara garis besar terdiri dari pagar hidup (ikigaki) dari tanaman perdu yang dipangkas dan pagar buatan dari kayu atau bambu.[3]

Pagar hidup berfungsi sebagai pembatas, penghalang pandangan, pelindung dari angin, api, dan debu, serta penghambat suara. Pagar bambu tembus cahaya (sukashigaki) disusun dari batang-batang bambu yang lebar-lebar jaraknya hingga pemandangan di balik pagar masih terlihat. Sebaliknya, pagar pembatas (shaheigaki) dibangun dari susunan bambu yang rapat dan membatasi pemandangan di baliknya.

Di dalam kebun tidak digunakan dinding dari tanah yang dikeraskan, kayu, atau batu. Dinding hanya dipakai sebagai dinding luar pembatas kebun.[3]

Lentera

sunting
 
Lentera batu di Kenroku-en.

Lentera (tōrō) berasal dari tradisi Cina untuk menyumbangkan lentera ke kuil Buddha. Sejak zaman Heian, lentera juga disumbangkan ke kuil Shinto untuk penerangan di malam hari dan sebagai hiasan. Lentera batu mulai dijadikan dekorasi standar di kebun rumah teh sejak zaman Muromachi.[4] Setelah menjadi mode di kebun-kebun rumah teh, lentera batu akhirnya dipasang di berbagai kebun Jepang karena keindahan dan kegunaannya.

Wadah air

sunting
 
Wadah air (tsukubai) di Tōfuku-ji.

Wadah batu berisi air (tsukubai) adalah perlengkapan standar kebun rumah teh. Air dari tsukubai dipakai untuk mencuci tangan tamu sebelum mengikuti upacara minum teh. Tradisi menyediakan wadah batu berisi air di kebun rumah teh berasal dari tradisi menyediakan wadah batu berisi air dalam agama Buddha dan Shinto. Sebelum berdoa di kuil, orang berkumur dan membersihkan diri dengan air dari wadah batu yang disebut chōzubachi. Wadah batu yang diletakkan di tanah disebut tsukubai chōzubachi (disingkat tsukubai) karena orang yang mengambil air harus berjongkok (tsukubau).[5] Setelah banyak dipasang di kebun-kebun, tsukubai akhirnya dijadikan perlengkapan standar di kebun-kebun rumah teh.

Selain tsukubai terdapat dua bentuk lain wadah air dari batu. Wadah batu yang memungkinkan orang mengambil air sambil berdiri disebut tachi chōzubachi (chōzubachi berdiri). Wadah air yang diletakkan berdekatan dengan beranda bangunan disebut ensaki chōzubachi (chōzubachi beranda).

Jembatan

sunting
 
Jembatan di kebun Ritsurin, Takamatsu.

Dalam desain kebun dengan air sebagai subjek utama, jembatan adalah elemen dasar yang menambah harmoni dalam lanskap. Jembatan juga berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian kebun yang dipisahkan oleh air. Di kebun batu Jepang, jembatan batu dibangun untuk memberi kesan bahwa di bawah jembatan ada "air" yang mengalir.

Di kebun gaya Jōdo, jembatan melambangkan jembatan Sungai Sanzu yang harus diseberangi arwah orang yang meninggal untuk sampai ke akhirat.[6] Selain itu, jembatan berfungsi sebagai pemisah, seperti halnya fungsi gerbang tengah (chūmon) di kebun teh yang memisahkan kebun dalam (kawasan sakral) dan kebun luar (kawasan profan).

Sejarah

sunting

Dalam bahasa Jepang, istilah kebun (庭園, teien) terdiri dari dua aksara kanji, niwa () dan sono (). Istilah niwa mengacu kepada lahan berkerikil untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan upacara keagamaan, dan sono mengacu kepada lahan pertanian dan sawah berpengairan. Orang zaman Jōmon menamakan lahan tempat mereka melakukan kegiatan, upacara keagamaan, dan mengumpulkan makanan sebagai niwa. Benda-benda yang ada di lahan tersebut, seperti pohon, batu besar, air terjun, dan kerikil di pantai sering kali dipercaya sebagai benda sakral yang dihuni oleh arwah suci. Pasir, kerikil, atau batu dipakai untuk menandai tanah yang dipercaya sebagai tempat sakral untuk berdoa. Batu-batu di laut dan gunung dipercaya dihuni atau digunakan kami ketika turun dari langit (iwakura). Susunan batu digunakan untuk menandai tempat suci (altar) yang disebut iwasaka.

Naskah tertua yang menyebutkan tentang niwa adalah Manyōshū yang mengaitkan niwa dengan laut luas dan tempat orang memancing. Setelah orang Jepang mengenal cara bertani, niwa berarti halaman di depan rumah untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Setelah teknik pertanian dikenal orang zaman Yayoi, kata sono dipakai untuk menyebut lahan beririgasi yang ditanami padi.

Elemen dasar, prinsip, dan tema-tema untuk kebun sudah dikenal orang Jepang sejak zaman Heian. Buku-buku klasik mengenai perkebunan hingga kini masih dijadikan pedoman sewaktu membangun kebun Jepang. Buku perkebunan tertua di Jepang adalah Sakuteiki (作庭記, Catatan Membuat kebun) yang ditulis pada pertengahan zaman Heian. Pengarangnya diperkirakan bernama Tachibana no Toshitsuna. Dalam Sakuteiki, prinsip-prinsip perkebunan dari Cina disesuaikan dengan estetika dan kondisi alam di Jepang. Konsep-konsep dalam Sakuteiki antara lain diterapkan di kebun lumut Saihō-ji di Kyoto. Tidak seperti halnya buku perkebunan dari zaman sesudahnya, Sakuteiki hanya berisi teks dan tidak dilengkapi ilustrasi. Di antara buku pedoman perkebunan dari zaman yang lebih modern terdapat buku yang diperkirakan ditulis tahun 1466, Sanzui Narabi ni Nogata no Zu (山水并野形図, Ilustrasi untuk Merancang Lanskap Gunung dan Air) dan Tsukiyama Teizōden (築山庭造伝, Catatan Pembangunan kebun Bukit Buatan) terbitan tahun 1735. Tsukiyama Teizōden disusun dari buku perkebunan yang lebih awal, termasuk Tsukiyama Sansuiden (築山山水伝, Catatan Bukit Buatan, Gunung dan Air) dan Sanzui Narabi ni Nogata no Zu.

Sepanjang zaman Nara, pengaruh budaya Cina diterima Jepang dari Dinasti Tang, termasuk di bidang arsitektur dan perkebunan. Dari ajaran Taoisme, orang Jepang mengenal legenda orang bijak bernama Sennin (Xian). Sennin konon hidup abadi dan tinggal di seberang lautan di Gunung Hōrai (Gunung Penglai). Sejak zaman Kamakura, di berbagai tempat di Jepang dibangun kebun dengan pulau kecil di tengah-tengah kolam. Pulau-pulau kecil tersebut dinamakan pulau burung jenjang (tsurujima) dan pulau kura-kura (kamejima). Pulau kecil di tengah kolam merupakan lambang pulau tempat tinggal Sennin, sekaligus bentuk harapan umur panjang dan hidup abadi. Di atas pulau kecil tersebut ditanam pohon tusam yang melambangkan umur panjang karena daunnya selalu hijau sepanjang tahun.

Pada zaman Muromachi, biksu Zen membangun kebun dari batu, pasir, dan kerikil (karesansui) yang mencerminkan konsep Zen mengenai disiplin, mawas diri, dan pencerahan. Kebun batu Zen dimaksudkan untuk meditasi, dan biasanya dibangun di sebelah selatan kuil. Hamparan pasir dan kerikil diatur dengan penggaruk bambu untuk membuat berbagai macam pola air seperti ombak, pusaran air, dan riak air.

Kebun dan gedung mewah yang terlihat agung dan mencolok merupakan ciri khas arsitektur zaman Azuchi-Momoyama. Sebagai reaksi dari kemewahan tersebut tercipta kesederhanaan dalam seni minum teh dan kebun rumah teh (roji).

Daftar pustaka

sunting
  • Young, Michiko (2005). The Art of the Japanese Garden. Tuttle Publishing. ISBN 0-8048-3598-5. 
  • Earle, Joe (2000). Infinite spaces: the art and wisdom of the Japanese garden Gardening Series. Tuttle Publishing. ISBN 0-8048-3259-5.  line feed character di |title= pada posisi 59 (bantuan)

Referensi

sunting
  1. ^ "坪庭・和風自分でも出来る庭園ガイド(Tsuboniwa, Wafū Jibun Demo Dekiru Teien Guide)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-11. Diakses tanggal 2009-10-10. 
  2. ^ a b c "時代と共に変化してきた日本庭園の様式(Jidai to tomo ni Henka shitekita Nihon Teien)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-20. Diakses tanggal 2009-10-10. 
  3. ^ a b "垣根(Kakine)". Traditional Japanese Garden Styles. Diakses tanggal 2009-10-10. 
  4. ^ "燈篭(Tōrō)". Traditional Japanese Garden Styles. Diakses tanggal 2009-10-10. 
  5. ^ "手水鉢(Chōzubachi)". Traditional Japanese Garden Styles. Diakses tanggal 2009-10-10. 
  6. ^ "橋(Hashi)". Traditional Japanese Garden Styles. Diakses tanggal 2009-10-10. 

Pranala luar

sunting