Perang Tiongkok–Jepang Pertama
Perang Tiongkok-Jepang Pertama (中日甲午战争/中日甲午戰爭 - Zhōngrì Jiǎwǔ Zhànzhēng); (日清戦争 Romaji: Nisshin Sensō) (1 Agustus 1894–17 April 1895) adalah sebuah perang antara Dinasti Qing Tiongkok dan Meiji Jepang dalam perebutan kendali atas Korea. Perang Tiongkok-Jepang merupakan simbol kemerosotan Dinasti Qing dan juga menunjukkan kesuksesan modernisasi Jepang sejak Restorasi Meiji dibandingkan dengan Gerakan Penguatan Diri di Tiongkok. Keberhasilan modernisasi Jepang pasca Restorasi Meiji tidak lepas dari semangat kuat setiap orang, mulai dari perdana menteri hingga masyarakat umum, setia kepada negara dan melakukan modernisasi secepat mungkin. Bahkan ada orang-orang di eselon atas angkatan laut yang rela bunuh diri demi mendapatkan dua kapal perang tambahan.
Perang Tiongkok-Jepang Pertama | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Perang Tiongkok-Jepang Pertama, peperangan besar dan pergerakan tentara | |||||||||
| |||||||||
Pihak terlibat | |||||||||
Dinasti Qing (Tiongkok) | Kekaisaran Jepang | ||||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||||
Kaisar Guangxu Li Hongzhang Yuan Shikai |
Kaisar Meiji Yamagata Aritomo | ||||||||
Kekuatan | |||||||||
630.000 men Tentara Beiyang Armada Beiyang |
240.000 men Tentara Jepang Angkatan Laut Jepang | ||||||||
Korban | |||||||||
35.000 meninggal atau terluka |
13.823 meninggal, 3.973 terluka |
Peperangan ini berakhir dengan kekalahan Dinasti Qing dan penandatanganan Perjanjian Shimonoseki pada tahun 1895 yang berakibat pada ganti rugi 30 juta tael kepada Jepang.
Pengaruh selanjutnya dari perang ini adalah pergantian dominansi regional Asia dari Tiongkok kepada Jepang dan merupakan pukulan telak untuk Dinasti Qing dan tradisi Tiongkok kuno. Kehilangan yang memalukan atas lepasnya Korea sebagai Negara pembayar upeti yang terhadap Tiongkok, memicu terjadinya kemarahan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Didalam negeri sendiri, kekalahan Tiongkok mendorong terjadinya beberapa pergolakan politik yang dipimpin oleh Sun Yat-Sen dan Kang Youwei. Revolusi Xinhai menjadi puncaknya pada tahun 1911.
Latar belakang
Setelah lebih dari dua abad menerapkan kebijakan mengasingkan diri dibawah pemerintahan Keshogunan, Jepang akhirnya membuka perdagangan luar negeri, dengan disetujuinya Persetujuan Kanagawa pada tahun 1854. Kejatuhan Keshogunan yang diikuti dengan Restorasi Meiji, membuat pemerintahan Meiji yang baru dibentuk, bisa memulai reformasi untuk menjadikan Jepang negara yang terpusat dan modern.[3] Jepang juga mengirimkan beberapa delegasi dan pelajar-pelajar Jepang ke seluruh dunia, untuk mempelajari dan menerima budaya serta ilmu pengetahuan bangsa barat, dengan tujuan untuk memajukan dan membuat Jepang sejajar dengan kekuatan Barat.[4] Reformasi ini membuat Jepang yang tadinya masyarakat feodal, menjadi negara industri yang modern.
Dinasti Qing di tiongkok juga mulai menerapkan reformasi politik dan militer, tetapi masih sangat jauh dari kesuksesan.
Selanjutnya, sebelum perang ini, Dinasti Qing mengunjungi Jepang dengan beberapa kapal perang untuk tujuan pemaksaan, dan Togo Heihachiro yang diundang naik kapal tersebut menyerahkan Kode Hukum Internasional kepada Ding Ruchang, Laksamana Angkatan Laut Tiongkok.
Politik Korea
Pada bulan Januari 1864, Raja Cheoljong meninggal tanpa ahli waris laki-laki, dan melalui protokol suksesi Korea, Raja Gojong naik takhta pada usia 12 tahun. Namun, karena Raja Gojong masih terlalu muda untuk memerintah, ayah raja yang baru, Yi Ha-ŭng, menjadi Daewongun atau penguasa istana besar, dan memerintah Korea atas nama putranya sebagai bupati.[5] Awalnya istilah Daewongun mengacu pada setiap orang yang sebenarnya bukan raja namun putranya naik takhta. Dengan kekuasaannya, Daewongun memulai serangkaian reformasi yang dirancang untuk memperkuat monarki dengan mengorbankan kelas Yangban. Ia juga menjalankan kebijakan isolasionis dan bertekad untuk membersihkan kerajaan dari ide-ide asing yang telah menyusup ke negaranya.[6] Dalam sejarah Korea, mertua raja mempunyai kekuasaan yang besar, akibatnya Daewongun sadar bahwa calon menantu perempuan mana pun dapat mengancam kekuasaannya. Oleh karena itu, ia berusaha mencegah kemungkinan ancaman terhadap pemerintahannya dengan memilih seorang gadis yatim piatu dari klan Yehoung Min, yang tidak memiliki koneksi politik yang kuat, sebagai ratu baru untuk putranya. Saat Ratu Min menjadi menantunya dan permaisuri kerajaan, Daewongun merasa aman dengan kekuasaannya. Namun, setelah ia menjadi ratu, Min merekrut seluruh kerabatnya dan mengangkat mereka ke posisi berpengaruh atas nama raja. Ratu juga bersekutu dengan musuh-musuh politik Daewongun, sehingga pada akhir tahun 1873 ia telah mengerahkan cukup pengaruh untuk menggulingkannya dari kekuasaan. Pada bulan Oktober 1873, ketika sarjana Konfusianisme Choe Ik-hyeon menyerahkan peringatan kepada Raja Gojong yang mendesaknya untuk memerintah dengan haknya sendiri, Ratu Min memanfaatkan kesempatan untuk memaksa ayah mertuanya pensiun sebagai wali. Kepergian Daewongun menyebabkan Korea meninggalkan kebijakan isolasionisnya.[7]
Pembukaan Korea
Pada tanggal 26 Februari 1876, setelah konfrontasi antara Jepang dan Korea, Perjanjian Ganghwa yang membuka Korea untuk perdagangan Jepang ditandatangani. Pada tahun 1880, Raja mengirimkan misi ke Jepang yang dipimpin oleh Kim Hong-jip, seorang pengamat yang antusias terhadap reformasi yang terjadi di sana. Saat berada di Jepang, diplomat Tiongkok Huang Zunxian memberinya sebuah penelitian berjudul "Strategi untuk Korea". Penelitan itu memperingatkan akan ancaman yang ditimbulkan oleh Rusia terhadap Korea dan merekomendasikan agar Korea menjaga hubungan persahabatan dengan Jepang, yang pada saat itu terlalu lemah secara ekonomi untuk menjadi ancaman langsung, bekerja sama dengan Tiongkok, dan mencari aliansi dengan Amerika Serikat sebagai penyeimbang bagi Rusia. Setelah kembali ke Korea, Kim menyerahkan dokumen tersebut kepada Raja Gojong, yang sangat terkesan dengan dokumen tersebut sehingga ia membuat salinannya dan membagikannya kepada para pejabatnya.[8]
Pada tahun 1880, mengikuti saran Tiongkok dan melanggar tradisi, Raja Gojong memutuskan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Setelah negosiasi melalui mediasi Tiongkok di Tianjin, Perjanjian Shufeldt yang berisi tentang perjanjian perdamaian, persahabatan, perdagangan, dan navigasi secara resmi ditandatangani antara Amerika Serikat dan Korea di Incheon pada tanggal 22 Mei 1882. Namun, ada dua masalah penting yang diangkat dalam perjanjian tersebut. Masalah pertama berkaitan dengan status Korea sebagai negara merdeka. Selama pembicaraan dengan Amerika, Tiongkok bersikeras bahwa perjanjian tersebut berisi sebuah artikel yang menyatakan bahwa Korea adalah bagian dari Tiongkok dan berpendapat bahwa negara tersebut telah lama menjadi negara "anak sungai" Tiongkok. Namun Amerika dengan tegas menentang pasal tersebut, dengan alasan bahwa perjanjian dengan Korea harus didasarkan pada Perjanjian Ganghwa, yang menetapkan bahwa Korea adalah negara merdeka. Sebuah kompromi akhirnya tercapai saat Shufeldt dan Li Hongzhang setuju bahwa Raja Korea akan memberi tahu presiden AS melalui surat bahwa Korea memiliki status khusus sebagai negara "anak sungai" Tiongkok. Perjanjian antara pemerintah Korea dan Amerika Serikat menjadi model bagi semua perjanjian antara pemerintah Korea dan negara-negara Barat lainnya. Korea kemudian menandatangani perjanjian perdagangan serupa dengan Inggris Raya dan Jerman pada tahun 1883, dengan Italia dan Rusia pada tahun 1884, dan dengan Perancis pada tahun 1886. Selanjutnya, perjanjian komersial dibuat dengan negara-negara Eropa lainnya.[9]
Reformasi Korea
Setelah tahun 1879, hubungan Tiongkok dengan Korea berada di bawah wewenang Li Hongzhang, yang muncul sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di Tiongkok setelah memainkan peran penting selama Pemberontakan Taiping, dan juga merupakan pendukung Gerakan Penguatan Diri. Pada tahun 1879, Li diangkat sebagai gubernur jenderal Provinsi Zhili dan komisaris kekaisaran untuk pelabuhan utara. Dia bertanggung jawab atas kebijakan Tiongkok terhadap Korea dan mendesak para pejabat Korea untuk mengadopsi program Penguatan Diri Tiongkok untuk memperkuat negara mereka dalam menghadapi ancaman asing, yang akhirnya diterima oleh Raja Gojong. Pemerintah Korea, segera setelah membuka negaranya terhadap dunia luar, menerapkan kebijakan pencerahan yang bertujuan untuk mencapai kemakmuran nasional dan kekuatan militer melalui doktrin tongdo sŏgi (cara Timur dan mesin Barat). Untuk memodernisasi negaranya, masyarakat Korea berusaha secara selektif menerima dan menguasai teknologi Barat dengan tetap melestarikan nilai-nilai budaya dan warisan negaranya.[9]
Pada bulan Januari 1881, pemerintah meluncurkan reformasi administrasi dan mendirikan T'ongni kimu amun (Kantor Urusan Luar Biasa Negara) yang mencontoh struktur administrasi Tiongkok. Di bawah organisasi menyeluruh ini, dua belas sa atau lembaga dibentuk. Pada tahun 1881, sebuah misi teknis dikirim ke Jepang untuk mensurvei fasilitas modernnya. Para pejabat melakukan perjalanan ke seluruh Jepang untuk memeriksa fasilitas administrasi, militer, pendidikan, dan industri.[10] Pada bulan Oktober, kelompok kecil lainnya pergi ke Tianjin untuk mempelajari pembuatan senjata modern, dan teknisi Tiongkok diundang untuk membuat senjata di Seoul.
Kegelisahan Jepang
Selama tahun 1880-an, diskusi di Jepang mengenai keamanan nasional terfokus pada isu reformasi Korea. Wacana politik kedua negara saling terkait; seperti yang dinyatakan oleh penasihat militer Jerman Mayor Jacob Meckel, Korea adalah "belati yang diarahkan ke jantung Jepang".[11] Apa yang membuat Korea menjadi perhatian strategis bukan hanya kedekatannya dengan Jepang tetapi juga ketidakmampuannya mempertahankan diri dari pihak luar. Jika Korea benar-benar merdeka, hal ini tidak akan menimbulkan masalah strategis bagi keamanan nasional Jepang, namun jika negara tersebut tidak berkembang maka negara tersebut akan tetap lemah dan akibatnya akan mengundang mangsa dominasi asing. Konsensus politik di Jepang adalah bahwa kemerdekaan Korea, seperti halnya Jepang Meiji, terletak melalui masuknya "peradaban" dari Barat.[11] Korea memerlukan program penguatan diri seperti reformasi pasca-Restorasi yang diberlakukan di Jepang. Kepentingan Jepang terhadap reformasi Korea tidak semata-mata bersifat altruistik. Reformasi ini tidak hanya akan memungkinkan Korea untuk menolak campur tangan asing, yang merupakan kepentingan langsung Jepang, namun dengan menjadi saluran perubahan, mereka juga akan memiliki kesempatan untuk memainkan peran yang lebih besar di semenanjung tersebut.
Jepang pada awal tahun 1880-an dalam kondisi lemah, akibat pemberontakan petani dan samurai pada dekade sebelumnya. Negara ini juga mengalami kesulitan finansial, dengan inflasi yang disebabkan oleh faktor-faktor internal ini. Selanjutnya, pemerintahan Meiji mengadopsi kebijakan pasif, mendorong monarki Korea untuk mengikuti model Jepang tetapi hanya menawarkan sedikit bantuan nyata kecuali pengiriman misi militer kecil yang dipimpin oleh Letnan Horimoto Reizo untuk melatih Pyŏlgigun. Hal yang mengkhawatirkan Jepang adalah Tiongkok, yang telah melonggarkan kekuasaannya atas Korea pada tahun 1876 ketika Jepang berhasil menetapkan dasar hukum kemerdekaan Korea dengan mengakhiri status "anak sungainya". Tindakan Tiongkok tampaknya menggagalkan kekuatan reformasi di Korea dan menegaskan kembali pengaruh mereka terhadap negara tersebut.[12]
Krisis 1882
Pada tahun 1882, Semenanjung Korea mengalami kekeringan parah yang menyebabkan kekurangan pangan, menyebabkan banyak kesulitan dan perselisihan di antara penduduknya. Korea berada di ambang kebangkrutan, bahkan mengalami keterlambatan pembayaran militer selama berbulan-bulan, sehingga menyebabkan kebencian yang mendalam di kalangan tentara. Ada juga kebencian terhadap Pyŏlgigun di pihak prajurit reguler Korea, karena formasi tersebut dilengkapi dan dirawat dengan lebih baik. Selain itu, lebih dari 1.000 tentara telah diberhentikan dalam proses perombakan angkatan bersenjata; kebanyakan dari mereka sudah tua atau cacat, dan sisanya belum menerima gaji berupa beras selama tiga belas bulan.
Pada bulan Juni tahun itu, Raja Gojong, yang diberitahu mengenai situasi tersebut, memerintahkan agar tunjangan beras selama satu bulan diberikan kepada para prajurit.[13] Ia mengarahkan Min Gyeom-ho, pengawas keuangan pemerintah dan keponakan Ratu Min,[14] untuk menangani masalah ini. Min kemudian menyerahkan masalah itu kepada pelayannya yang menyelewengkan tugasnya dengen menjual beras yang bagus dan menggunakan uang itu untuk membeli millet yang dicampur dengan pasir dan dedak. Akibatnya nasi menjadi busuk dan tidak bisa dimakan. Pembagian beras palsu tersebut membuat geram para prajurit. Pada tanggal 23 Juli, pemberontakan dan kerusuhan militer terjadi di Seoul. Tentara yang marah menuju kediaman Min Gyeom-ho, yang mereka curigai telah melakukan korupsi terhadap beras mereka. Min, setelah mendengar kabar pemberontakan, memerintahkan polisi untuk menangkap beberapa pemimpin kelompok dan mengumumkan bahwa mereka akan dieksekusi keesokan paginya. Dia berasumsi bahwa ini akan menjadi peringatan bagi para penghasut lainnya. Namun, setelah mengetahui apa yang terjadi, para perusuh masuk ke rumah Min untuk membalas dendam; karena dia tidak berada di kediamannya, para perusuh melampiaskan rasa frustrasi mereka dengan menghancurkan perabotan dan harta benda lainnya.[13]
Para perusuh kemudian pindah ke gudang senjata tempat mereka mencuri senjata dan amunisi, dan kemudian menuju penjara. Setelah mengalahkan para penjaga, mereka tidak hanya membebaskan orang-orang yang ditangkap hari itu oleh Min Gyeom-ho tetapi juga banyak tahanan politik.[13] Min kemudian memanggil tentara untuk memadamkan pemberontakan tetapi sudah terlambat untuk menekan pemberontakan tersebut. Jumlah asli para pemberontak telah bertambah karena warga kota yang miskin dan tidak terpengaruh; juga ikut serta melakukan pemberontakan.[13] Para perusuh kini mengalihkan perhatian mereka ke Jepang. Satu kelompok menuju ke tempat tinggal Letnan Horimoto dan membunuhnya. Kelompok lain yang beranggotakan sekitar 3.000 orang, menuju kedutaan Jepang, tempat tinggal dari Hanabusa Yoshitada, menteri Korea dan dua puluh tujuh anggota kedutaan. Massa mengepung kedutaan sambil meneriakkan niat mereka untuk membunuh semua orang Jepang di dalamnya. Hanabusa memberi perintah untuk membakar kedutaan dan dokumen penting. Saat api menyebar dengan cepat, para anggota kedutaan melarikan diri melalui gerbang belakang, lalu mereka melarikan diri ke pelabuhan dan menaiki perahu yang membawa mereka menyusuri Sungai Han menuju Chemulpo. Mereka berlindung pada komandan Incheon, kemudian mereka kembali terpaksa melarikan diri setelah tersiar kabar tentang kejadian di Seoul dan sikap warga lokal yang berubah. Mereka melarikan diri ke pelabuhan saat hujan lebat dan dikejar oleh tentara Korea. Enam orang Jepang tewas, sementara lima lainnya luka berat. Para penyintas yang membawa korban luka kemudian menaiki perahu kecil dan menuju laut terbuka dimana tiga hari kemudian mereka diselamatkan oleh kapal survei Inggris, HMS Flying Fish,[15] yang membawa mereka ke Nagasaki. Keesokan harinya, setelah penyerangan terhadap kedutaan Jepang, para perusuh memaksa masuk ke istana kerajaan di mana mereka menemukan dan membunuh Min Gyeom-ho, serta selusin perwira tinggi lainnya.[15] Mereka juga mencari Ratu Min. Namun sang ratu lolos, dengan berpakaian seperti nyonya istana biasa dan digendong di punggung seorang penjaga setia yang mengaku bahwa dia adalah saudara perempuannya.[15] Daewongun menggunakan insiden itu untuk menegaskan kembali kekuasaannya.
Tiongkok kemudian mengerahkan sekitar 4.500 tentara ke Korea, di bawah Jenderal Wu Changqing, yang secara efektif dapat memulihkan ketertiban dan memadamkan pemberontakan.[16] Sebagai tanggapan, Jepang juga mengirimkan empat kapal perang dan satu batalion pasukan ke Seoul untuk menjaga kepentingan Jepang dan menuntut reparasi. Namun, ketegangan mereda dengan Perjanjian Chemulpo yang ditandatangani pada malam tanggal 30 Agustus 1882. Perjanjian tersebut menetapkan bahwa para konspirator Korea akan dihukum dan ¥50.000 akan dibayarkan kepada keluarga dari orang Jepang yang terbunuh. Pemerintah Jepang juga akan menerima ¥500.000 sebagai permintaan maaf resmi, dan izin untuk menempatkan pasukan di kedutaan diplomatik mereka di Seoul. Setelah pemberontakan, Daewongun dituduh mengobarkan pemberontakan dan kekerasan, dan ditangkap oleh Tiongkok untuk dibawa ke Tianjin. Dia kemudian dibawa ke sebuah kota sekitar enam puluh mil barat daya Beijing, di mana selama tiga tahun dia dikurung di satu ruangan dan diawasi dengan ketat.[17]
Kudeta Gapsin
Dalam dua tahun sebelum insiden Imo, anggota Gaehwadang, partai reformis yang baru terbentuk di Korea, gagal mendapatkan jabatan penting di pemerintahan dan tidak mampu melaksanakan rencana reformasi mereka. Sebagai konsekuensinya mereka siap merebut kekuasaan dengan cara apa pun yang diperlukan. Pada tahun 1884, muncul peluang untuk merebut kekuasaan dengan melancarkan kudeta terhadap Sadaedang, partai konservatif yang lebih pro terhadap reformasi ala Tiongkok. Pada bulan Agustus, ketika permusuhan antara Prancis dan Tiongkok meletus terkait Annam (wilayah Vietnam), setengah dari pasukan Tiongkok yang ditempatkan di Korea ditarik.[18] Pada tanggal 4 Desember 1884, dengan bantuan menteri Jepang Takezoe Shinichiro yang berjanji akan memobilisasi penjaga kedutaan Jepang untuk memberikan bantuan, para reformis melancarkan kudeta dengan kedok jamuan makan yang diselenggarakan oleh Hong Yeong-sik, direktur Administrasi Pos Umum. Perjamuan itu untuk merayakan pembukaan kantor pos nasional yang baru. Raja Gojong diperkirakan akan hadir bersama beberapa diplomat asing dan pejabat tinggi, yang sebagian besar adalah anggota faksi Sadaedang yang pro-Tiongkok. Kim Ok-gyun dan rekan-rekannya mendekati Raja Gojong dengan berbohong dengan menyatakan bahwa pasukan Tiongkok telah menciptakan gangguan dan mengantarnya ke Istana Gyoengu kecil, di mana mereka menempatkan sang raja di tahanan penjaga kedutaan Jepang. Mereka kemudian membunuh dan melukai beberapa petinggi Fraksi Sadaedang.[18]
Setelah kudeta, anggota Gaehwadang membentuk pemerintahan baru dan merancang program reformasi. Proposal reformasi radikal yang terdiri dari 14 poin menyatakan bahwa syarat-syarat berikut harus dipenuhi: diakhirinya hubungan upeti Korea dengan Tiongkok; penghapusan hak istimewa kelas penguasa dan penetapan persamaan hak bagi semua; reorganisasi pemerintahan menjadi monarki konstitusional; revisi undang-undang perpajakan bumi; pembatalan sistem pinjaman gandum; penyatuan seluruh administrasi fiskal internal di bawah yurisdiksi Ho-jo; penindasan terhadap pedagang istimewa dan pengembangan perdagangan bebas dan perdagangan, penciptaan sistem kepolisian modern termasuk patroli polisi dan pengawal kerajaan; dan hukuman berat bagi pejabat yang korup.[18]
Namun, pemerintahan baru hanya bertahan tidak lebih dari beberapa hari.[18] Hal ini mungkin tidak dapat dihindari, karena para reformis didukung oleh tidak lebih dari 140 tentara Jepang yang menghadapi setidaknya 1.500 tentara Tiongkok yang ditempatkan di Seoul, di bawah komando Jenderal Yuan Shikai. Karena langkah-langkah reformasi menjadi ancaman terhadap kekuasaan klannya, Ratu Min diam-diam meminta intervensi militer dari Tiongkok. Akibatnya, dalam waktu tiga hari, bahkan sebelum langkah-langkah reformasi diumumkan, kudeta berhasil dipadamkan oleh pasukan Tiongkok yang menyerang dan mengalahkan pasukan Jepang dan mengembalikan kekuasaan ke faksi Sadaedang yang pro-Tiongkok. Dalam huru-hara berikutnya Hong Yeong-sik terbunuh, gedung kedutaan Jepang dibakar dan empat puluh orang Jepang tewas. Para pemimpin kudeta Korea yang masih hidup termasuk Kim Ok-gyun melarikan diri ke pelabuhan Chemulpo di bawah pengawalan menteri Jepang Takezoe. Dari sana mereka menaiki kapal Jepang untuk diasingkan di Jepang.[19]
Perdana Menteri Jepang Ito Hirobumi dalam upaya mengatasi posisi Jepang yang tidak menguntungkan di Korea Serta diikuti dengan kudeta yang gagal, mengunjungi Tiongkok untuk membahas masalah tersebut dengan mitranya dari Tiongkok, Li Hongzhang. Kedua pihak berhasil menyelesaikan Konvensi Tianjin pada tanggal 31 Mei 1885. Mereka juga berjanji untuk menarik pasukannya dari Korea dalam waktu empat bulan. Setelah kedua negara menarik pasukannya, mereka meninggalkan keseimbangan kekuatan yang genting di Semenanjung Korea antara kedua negara.[20] Sementara itu, Yuan Shikai tetap di Seoul, ditunjuk sebagai Residen Tiongkok, dan terus mencampuri politik dalam negeri Korea.[20] Kegagalan kudeta juga menandai penurunan drastis pengaruh Jepang terhadap Korea.[21]
Insiden Nagasaki
Peristiwa Nagasaki merupakan kerusuhan yang terjadi di kota pelabuhan Nagasaki Jepang pada tahun 1886. Empat kapal perang angkatan laut Kekaisaran Qing, Armada Beiyang, singgah di Nagasaki untuk melakukan perbaikan. Beberapa pelaut Tiongkok menimbulkan masalah di kota dan memulai kerusuhan. Beberapa polisi Jepang yang menghadapi para perusuh tewas. Pemerintah Qing tidak meminta maaf setelah kejadian tersebut, yang mengakibatkan gelombang sentimen anti-Tiongkok di Jepang.
Pendahuluan Perang
Peristiwa Kim Ok-gyun
Pada tanggal 28 Maret 1894, seorang revolusioner Korea pro-Jepang, Kim Ok-gyun, dibunuh di Shanghai. Kim telah melarikan diri ke Jepang setelah keterlibatannya dalam kudeta tahun 1884, dan Jepang telah menolak tuntutan Korea agar dia diekstradisi.[22] Banyak aktivis Jepang melihat potensi perannya di masa depan dalam modernisasi Korea; namun, para pemimpin pemerintahan Meiji lebih berhati-hati. Setelah beberapa keberatan, mereka mengasingkannya ke Kepulauan Bonin (Ogasawara). Pada akhirnya, dia dibujuk ke Shanghai, di mana dia dibunuh oleh seorang Korea, Hong Jong-u, di kamarnya di sebuah penginapan Jepang di Permukiman Internasional Shanghai. Setelah ragu-ragu, pihak berwenang Inggris di Shanghai menyimpulkan bahwa peraturan yang melarang ekstradisi tidak berlaku terhadap korban dan menyerahkan jenazahnya kepada pihak berwenang Tiongkok. Jenazahnya kemudian dibawa ke kapal perang Tiongkok dan dikirim kembali ke Korea, di mana ia dipotong-potong oleh pihak berwenang Korea, ditempatkan dan dipajang di semua provinsi di Korea sebagai peringatan bagi pemberontak dan pengkhianat lainnya.[22][23]
Di Tokyo, pemerintah Jepang menganggap hal itu sebagai penghinaan yang keterlaluan.[22] Pembunuhan brutal Kim Ok-gyun digambarkan sebagai pengkhianatan oleh Li Hongzhang dan kemunduran bagi martabat dan harga diri Jepang.[22] Pihak berwenang Tiongkok menolak untuk mengajukan tuntutan terhadap si pembunuh, ia bahkan diizinkan untuk menemani jenazah Kim yang dimutilasi kembali ke Korea, di mana dia diberi hadiah dan kehormatan. Meskipun pemerintah Jepang dapat segera memanfaatkan pembunuhan Kim untuk keuntungannya, pemerintah Jepang menyimpulkan bahwa karena Kim meninggal di wilayah Tiongkok, perlakuan terhadap jenazah berada di luar kewenangannya.[24] Namun, pembunuhan mengejutkan terhadap orang Korea mengobarkan opini Jepang karena banyak orang Jepang menganggap tindakan yang didukung Tiongkok juga ditujukan terhadap Jepang. Bagi Jepang, Tiongkok juga menunjukkan penghinaan mereka terhadap hukum internasional ketika mereka membebaskan tersangka yang telah ditangkap oleh otoritas Inggris di Shanghai. Sesuai hukum yang berlaku, seharusnya tersangka yang diserahkan kepada Tiongkok harus diadili. Kelompok-kelompok nasionalis segera mulai menyerukan perang dengan Tiongkok.[24]
Pemberontakan Donghak
Ketegangan meningkat antara Tiongkok dan Jepang walaupun kemarahan di Jepang atas pembunuhan Kim mulai mereda. Namun, pada akhir April, Pemberontakan Donghak meletus di Korea. Para petani Korea bangkit dalam pemberontakan terbuka melawan penindasan perpajakan dan administrasi keuangan pemerintahan Joseon yang tidak kompeten. Ini merupakan pemberontakan petani terbesar dalam sejarah Korea.[25] Namun, pada tanggal 1 Juni, desas-desus sampai ke Donghak bahwa Tiongkok dan Jepang hampir mengirim pasukan sehingga para pemberontak menyetujui gencatan senjata untuk menghilangkan segala alasan bagi intervensi asing.[25]
Pada tanggal 2 Juni, kabinet Jepang memutuskan untuk mengirim pasukan ke Korea jika Tiongkok melakukan hal yang sama. Pada bulan Mei, Tiongkok telah mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan mobilisasi pasukan mereka di Provinsi Zhili, Shandong dan Manchuria sebagai akibat dari situasi tegang di Semenanjung Korea.[26] Namun, aksi tersebut lebih direncanakan sebagai demonstrasi bersenjata untuk memperkuat posisi Tiongkok di Korea daripada sebagai persiapan perang melawan Jepang. Pada tanggal 3 Juni, Raja Gojong, atas rekomendasi klan Min dan atas desakan Yuan Shikai, meminta bantuan dari pemerintah Tiongkok dalam menumpas Pemberontakan Donghak. Meskipun pemberontakan tersebut tidak seserius yang terlihat pada awalnya sehingga pasukan Tiongkok tidak diperlukan, akhirnya diputuskan untuk mengirim 2.500 orang di bawah komando Jenderal Ye Zhichao ke pelabuhan Asan, sekitar 70 km (43 mil) dari seoul. Pasukan yang menuju Korea berlayar dengan tiga kapal uap milik Inggris yang disewa oleh pemerintah Tiongkok, tiba di Asan pada tanggal 9 Juni. Pada tanggal 25 Juni, 400 tentara lainnya telah tiba. Akhirnya, pada akhir Juni, Ye Zhichao memiliki sekitar 2.800-2.900 tentara di bawah komandonya di Asan.[26][27]
Dengan mengamati dengan cermat kejadian-kejadian di semenanjung tersebut, pemerintah Jepang dengan cepat menjadi yakin bahwa pemberontakan tersebut akan menyebabkan intervensi Tiongkok di Korea. Akibatnya, segera setelah mengetahui permintaan bantuan militer Tiongkok dari pemerintah Korea, seluruh kapal perang Jepang di sekitarnya segera diperintahkan ke Pusan dan Chemulpo.[26] Pada tanggal 9 Juni, kapal perang Jepang berturut-turut singgah di Chemulpo dan Pusan.[28] Formasi yang terdiri dari 420 pelaut, dipilih dari awak kapal perang yang berlabuh di Chempulo, segera dikirim ke Seoul, di mana mereka bertugas sebagai penyeimbang sementara pasukan Tiongkok yang berkemah di Asan.[29] Pada saat yang sama, brigade yang diperkuat yang terdiri dari sekitar 8.000 tentara (Brigade Komposit Oshima), di bawah komando Jenderal Ōshima Yoshimasa, juga dikirim ke Chemulpo pada tanggal 27 Juni.[29]
Menurut Jepang, pemerintah Tiongkok telah melanggar Konvensi Tientsin dengan tidak memberi tahu pemerintah Jepang tentang keputusannya mengirim pasukan, namun Tiongkok menyatakan bahwa Jepang telah menyetujui keputusan tersebut.[43] Jepang membalas dengan mengirimkan pasukan ekspedisi ke Korea. Sekitar 400 tentara pertama tiba pada 9 Juni dalam perjalanan ke Seoul, dan 3.000 mendarat di Incheon pada 12 Juni.[30]
Namun, para pejabat Jepang membantah adanya niat untuk campur tangan. Akibatnya, raja muda Qing, Li Hongzhang, "terbujuk untuk percaya bahwa Jepang tidak akan berperang, namun Jepang sepenuhnya siap untuk bertindak". Pemerintah Qing menolak saran Jepang agar Jepang dan Tiongkok bekerja sama dalam mereformasi pemerintahan Korea. Ketika Korea menuntut Jepang menarik pasukannya dari Korea, Jepang menolak.
Pada bulan Juli 1894, 8.000 tentara Jepang menangkap Raja Korea Gojong dan menduduki Gyeongbokgung di Seoul. Pada tanggal 25 Juli, mereka telah menggantikan pemerintahan Korea yang ada dengan anggota faksi pro-Jepang. Meskipun pasukan Qing sudah meninggalkan Korea setelah mereka merasa tidak dibutuhkan di sana, pemerintah baru Korea yang pro-Jepang memberi Jepang hak untuk mengusir pasukan Qing, dan Jepang mengirimkan lebih banyak pasukan ke Korea. Kekaisaran Qing menolak pemerintahan baru Korea karena dianggap tidak sah.
Peristiwa Selama Perang
Pada bulan Juli 1894, pasukan Tiongkok di Korea berjumlah 3.000–3.500 dan kalah jumlah dengan pasukan Jepang. Pasokan mereka hanya bisa dilakukan lewat laut melalui Teluk Asan. Tujuan Jepang pertama-tama adalah memblokade pasukan Tiongkok di Asan dan kemudian mengepung mereka dengan pasukan darat. Strategi awal Jepang adalah menguasai laut, yang sangat penting bagi operasinya di Korea. Komando laut akan memungkinkan Jepang untuk mengangkut pasukan ke daratan. Divisi Ke-5 Jepang akan mendarat di Chemulpo di pantai barat Korea, untuk melawan dan mendorong pasukan Tiongkok di barat laut semenanjung dan untuk menarik Armada Beiyang ke Laut Kuning, di mana mereka akan terlibat dalam pertempuran yang menentukan. Tergantung pada hasil pertempuran ini, Jepang akan mengambil satu dari tiga pilihan. Jika Armada Gabungan menang telak, sebagian besar tentara Jepang akan segera melakukan pendaratan di pantai antara Shan-hai-kuan dan Tientsin untuk mengalahkan tentara Tiongkok dan mengakhiri perang dengan cepat. Jika pertempuran tersebut berakhir imbang dan tidak ada pihak yang menguasai laut, tentara akan berkonsentrasi pada pendudukan Korea. Terakhir, jika Armada Gabungan dikalahkan dan akibatnya kehilangan komando laut, sebagian besar tentara akan tetap berada di Jepang dan bersiap untuk mengusir invasi Tiongkok, sementara Divisi Ke-5 di Korea akan diperintahkan untuk bertahan dan melawan pasukan dari belakang.
Tenggelamnya Kow-shing
Pada tanggal 25 Juli 1894, kapal penjelajah Yoshino, Naniwa dan Akitsushima dari skuadron terbang Jepang yang sedang berpatroli di Teluk Asan, bertemu dengan kapal penjelajah Tiongkok Tsi-yuan dan kapal perang Kwang-yi. Kapal-kapal ini berangkat dari Asan untuk menemui kapal angkutan Kow-shing yang dikawal oleh kapal perang Tiongkok Tsao-kiang. Setelah pertempuran selama satu jam, Tsi-yuan melarikan diri sementara Kwang-yi mendarat di bebatuan, tempat bubuk mesiunya meledak.
Kow-shing adalah kapal dagang Inggris seberat 2.134 ton milik Perusahaan Navigasi Uap Indochina London, dikomandoi oleh Kapten T. R. Galsworthy dan diawaki oleh 64 orang. Kapal tersebut disewa oleh pemerintah Qing untuk mengangkut pasukan ke Korea, dan sedang dalam perjalanan untuk memperkuat Asan dengan 1.100 tentara ditambah perbekalan dan peralatan. Seorang perwira artileri Jerman, Mayor von Hanneken yang juga penasihat Tiongkok berada di dalamnya. Kapal itu dijadwalkan tiba pada 25 Juli.
Kapal penjelajah Jepang Naniwa, di bawah Kapten Tōgō Heihachirō, mencegat Kow-shing dan menangkap pengawalnya. Jepang kemudian memerintahkan Kow-shing untuk mengikuti Naniwa dan memerintahkan agar orang Eropa dipindahkan ke Naniwa. Namun 1.100 orang Tiongkok di dalamnya, yang sangat ingin kembali ke Taku, mengancam akan membunuh kapten Inggris, Galsworthy beserta krunya. Setelah empat jam negosiasi, Kapten Togo memberi perintah untuk menembaki kapal tersebut. Sebuah torpedo meleset, namun serangan berikutnya menghantam Kow Shing, yang mulai tenggelam.
Dalam kekacauan tersebut, beberapa orang Eropa melarikan diri ke laut, namun kemudian ditembaki oleh orang-orang Tiongkok.[31] Jepang menyelamatkan tiga awak kapal Inggris (kapten, perwira pertama dan quartermaster) dan 50 orang Tiongkok, kemudian membawa mereka ke Jepang. Tenggelamnya Kow-shing hampir menimbulkan insiden diplomatik antara Jepang dan Inggris Raya, namun tindakan tersebut diatur sesuai dengan hukum internasional mengenai perlakuan terhadap pemberontak (pasukan Tiongkok). Banyak pengamat menganggap pasukan yang hilang di Kow-shing adalah pasukan terbaik yang dimiliki Tiongkok.[31]
Kapal perang Jerman Iltis menyelamatkan 150 orang Tiongkok, kapal perang Prancis Le Lion menyelamatkan 43 orang, dan kapal penjelajah Inggris HMS Porpoise menyelamatkan sejumlah orang yang tidak diketahui jumlahnya.[32]
Konflik di Korea
Pemerintah baru Korea yang pro-Jepang kemudan ditugaskan untuk mengusir paksa pasukan Tiongkok. Pada tanggal 25 Juli, Mayor Jenderal Ōshima Yoshimasa memimpin brigade campuran berjumlah sekitar 4.000 orang dalam gerakan paksa cepat dari Seoul ke selatan menuju Teluk Asan untuk menghadapi pasukan Tiongkok yang ditempatkan di Stasiun Seonghwan di timur dari Asan dan Kongju.
Pasukan Tiongkok yang ditempatkan di dekat Seonghwan di bawah komando Jenderal Ye Zhichao berjumlah sekitar 3.880 orang. Mereka telah mengantisipasi kedatangan Jepang dengan memperkuat posisi mereka dengan parit, termasuk membangun enam benteng yang dilindungi oleh abatis dan di kelilingi sawah di sekitarnya.[33] Namun bala bantuan Tiongkok yang diharapkan telah hilang di kapal transportasi Kowshing yang disewa dari Inggris. Unit pasukan utama Tiongkok dikerahkan ke timur dan timur laut Asan, dekat jalan utama menuju Seoul; posisi kunci yang dipegang oleh Tiongkok adalah kota Seonghwan dan Cheonan. Sekitar 3.000 tentara ditempatkan di Seonghwan, sementara 1.000 orang bersama Jenderal Ye Zhichao berada di markas besar di Cheonan. Pasukan Tiongkok yang tersisa ditempatkan di Asan sendiri.[33] Tiongkok telah mempersiapkan gerakan menjepit ibu kota Korea dengan mengerahkan pasukan di Pyongyang di utara dan Asan di selatan.[34]
Pada pagi hari tanggal 27–28 Juli 1894, kedua pasukan bertemu di luar Asan dalam pertempuran yang berlangsung hingga pukul 07:30 keesokan paginya. Pertempuran dimulai dengan serangan pengalih perhatian oleh pasukan Jepang, disusul dengan serangan utama yang dengan cepat mengepung pertahanan Tiongkok. Pasukan Tiongkok yang menyaksikan mereka dikepung, meninggalkan posisi bertahannya dan melarikan diri ke arah Asan. Pasukan Tiongkok perlahan-lahan kalah dari pasukan Jepang yang jumlahnya lebih banyak, dan akhirnya pecah dan melarikan diri menuju Pyongyang dengan meninggalkan senjata, amunisi, dan seluruh artileri mereka.[33] Jepang merebut kota Asan pada tanggal 29 Juli, mematahkan pengepungan Tiongkok di Seoul.[33] Pihak Tiongkok menderita 500 orang tewas dan luka-luka, sedangkan pihak Jepang menderita 88 korban jiwa.[35]
Deklarasi Perang
Pada tanggal 1 Agustus 1894, perang secara resmi diumumkan antara Tiongkok dan Jepang. Alasan, bahasa dan nada yang diberikan oleh penguasa kedua negara dalam deklarasi perang masing-masing sangat berbeda.
Tenor deklarasi perang Jepang, yang dikeluarkan atas nama Kaisar Meiji, setidaknya menarik perhatian komunitas internasional yang lebih luas dengan menggunakan frasa seperti 'Keluarga Bangsa-Bangsa', 'Hukum Bangsa-Bangsa' dan membuat referensi tambahan untuk perjanjian internasional. Hal ini sangat kontras dengan pendekatan Tiongkok terhadap hubungan luar negeri yang secara historis terkenal karena menolak memperlakukan negara lain dengan pijakan diplomatik yang setara, dan malah bersikeras agar kekuatan asing tersebut memberikan penghormatan kepada Kaisar Tiongkok sebagai bawahannya. Sesuai dengan pendekatan tradisional Tiongkok terhadap negara-negara tetangganya, deklarasi perang Tiongkok menyatakan penghinaan yang nyata terhadap Jepang. Kata atau istilah Wojen yang artinya 'kurcaci' ditulis berulang-ulang,[36] istilah kuno tersebut dianggap menghina dan merendahkan bagi orang Jepang.[36]
Penggunaan kata merendahkan untuk mendeskripsikan negara asing bukanlah hal yang aneh dalam dokumen resmi Tiongkok pada masa itu – Salah satu kata utama perselisihan antara Kekaisaran Tiongkok dan Kekuatan Perjanjian pada masa itu adalah penggunaan karakter Tiongkok 夷 ('Yi'...yang secara harafiah berarti 'barbar'), untuk merujuk pada mereka yang disebut sebagai 'Iblis Asing' yang biasanya menggambarkan kekuatan yang menduduki Pelabuhan perjanjian. Penggunaan istilah 'Yi' (夷) oleh pejabat Kekaisaran Tiongkok pada kenyataannya dianggap sangat provokatif oleh Kekuatan Perjanjian sehingga kumpulan kesepakatan kolektif yang dikenal sebagai Perjanjian Tientsin secara eksplisit melarang Pengadilan Kekaisaran Tiongkok menggunakan istilah 'Yi' untuk merujuk pada pejabat, subjek, atau warga negara yang berperang. Para penandatangan tampaknya merasa perlu untuk mengekstraksi permintaan khusus ini dari perwakilan Kaisar Xianfeng.
Setelah Deklarasi
Pada tanggal 4 Agustus, pasukan Tiongkok yang tersisa di Korea mundur ke kota utara Pyongyang, di mana mereka bertemu dengan pasukan yang dikirim dari Tiongkok. Sekitar 13.000–15.000 pasukan yang bertahan melakukan perbaikan pada pertahanan di kota tersebut, dengan harapan dapat menghentikan kemajuan Jepang.
Pada tanggal 15 September, Tentara Kekaisaran Jepang berkumpul di kota Pyongyang dari beberapa arah. Jepang menyerang kota tersebut dan akhirnya mengalahkan Tiongkok dengan serangan dari belakang; pasukan Tiongkok menyerah. Memanfaatkan hujan lebat semalaman, pasukan Tiongkok yang tersisa melarikan diri dari Pyongyang dan menuju timur laut menuju kota pesisir Uiju. Dini hari tanggal 16 September, seluruh tentara Jepang memasuki Pyongyang.
Jenderal Muslim Qing Hui Zuo Baogui, dari provinsi Shandong, tewas dalam aksi di Pyongyang akibat artileri Jepang pada tahun 1894 saat mengamankan kota tersebut. Sebuah tugu peringatan untuknya dibangun.
Kekalahan Armada Beiyang
Pada awal September, Li Hongzhang memutuskan untuk memperkuat pasukan Tiongkok di Pyongyang dengan menggunakan armada Beiyang untuk mengawal angkutan ke muara Sungai Taedong.[37] Sekitar 4.500 tentara tambahan yang ditempatkan di Zhili akan dikerahkan kembali. Pada tanggal 12 September, setengah dari pasukan berangkat di Dagu dengan lima angkutan sewaan khusus dan menuju ke Dalian di mana dua hari kemudian pada tanggal 14 September, mereka bergabung dengan 2.000 tentara lainnya. Awalnya, Laksamana Ding Ruchang ingin mengirim angkutan di bawah pengawalan ringan hanya dengan beberapa kapal, sedangkan kekuatan utama Armada Beiyang akan mencari dan beroperasi langsung melawan Armada Gabungan untuk mencegah Jepang mencegat konvoi tersebut. Namun kemunculan kapal penjelajah Jepang Yoshino dan Naniwa dalam serangan pengintaian di dekat Weihaiwei menggagalkan rencana ini. Pihak Tiongkok telah salah mengira mereka sebagai armada utama Jepang. Akibatnya, pada 12 September, seluruh Armada Beiyang berangkat dari Dalian menuju Weihaiwei, tiba di dekat Semenanjung Shandong keesokan harinya. Kapal perang Tiongkok menghabiskan sepanjang hari menjelajahi daerah tersebut, menunggu Jepang. Namun, karena tidak ada penampakan armada Jepang, Laksamana Ding memutuskan untuk kembali ke Dalian, mencapai pelabuhan pada pagi hari tanggal 15 September. Ketika pasukan Jepang bergerak ke utara untuk menyerang Pyongyang, Laksamana Ito dengan tepat menebak bahwa Tiongkok akan berusaha memperkuat pasukan mereka di Korea melalui laut. Pada tanggal 14 September, Armada Gabungan Jepang berlayar ke utara untuk mencari pantai Korea dan Tiongkok guna membawa Armada Beiyang ke medan pertempuran.[38]
Kemenangan Jepang di Pyongyang telah berhasil mendorong pasukan Tiongkok ke utara menuju Sungai Yalu, sekaligus mengusir seluruh kehadiran militer Tiongkok yang efektif di Semenanjung Korea. Sesaat sebelum keberangkatan pasukan, Laksamana Ding menerima pesan mengenai pertempuran di Pyongyang yang memberitahukan kepadanya tentang kekalahan tersebut. Selanjutnya pengerahan pasukan ke muara sungai Taedong tidak diperlukan lagi. Laksamana Ding kemudian dengan tepat berasumsi bahwa garis pertahanan Tiongkok berikutnya akan didirikan di Sungai Yalu, dan memutuskan untuk mengerahkan kembali tentara yang berangkat ke sana.[37] Pada tanggal 16 September, konvoi lima kapal pengangkut berangkat dari Teluk Dalian di bawah pengawalan kapal Armada Beiyang yang mencakup dua kapal perang tangguh Dingyuan dan Zhenyuan.[37] Sesampainya di muara Sungai Yalu, angkutan tersebut menurunkan pasukan dan operasi pendaratan berlangsung hingga keesokan paginya.
Pada tanggal 17 September 1894, Armada Gabungan Jepang menghadapi Armada Beiyang Tiongkok di muara Sungai Yalu. Pertempuran laut yang berlangsung dari pagi hingga senja, menghasilkan kemenangan Jepang.[38] Meskipun Tiongkok berhasil mendaratkan 4.500 tentara di dekat Sungai Yalu saat matahari terbenam, armada Beiyang berada di ambang kehancuran total – sebagian besar armada telah melarikan diri atau tenggelam dan dua kapal terbesar Dingyuan dan Zhenyuan hampir kehabisan amunisi. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang menghancurkan delapan dari sepuluh kapal perang Tiongkok, memastikan komando Jepang di Laut Kuning. Faktor utama kemenangan Jepang adalah keunggulannya dalam kecepatan dan daya tembak.[39] Kemenangan tersebut menghancurkan moral angkatan laut Tiongkok.[40] Pertempuran Sungai Yalu adalah pertempuran angkatan laut terbesar dalam perang tersebut dan merupakan kemenangan propaganda besar bagi Jepang.[41][42]
Invasi Manchuria
Dengan kekalahan di Pyongyang, Tiongkok meninggalkan Korea utara dan mengambil posisi bertahan di benteng di sepanjang sisi Sungai Yalu dekat Jiuliancheng. Setelah menerima bala bantuan pada 10 Oktober, Jepang dengan cepat bergerak ke utara menuju Manchuria.
Pada malam tanggal 24 Oktober 1894, Jepang berhasil menyeberangi Sungai Yalu tanpa terdeteksi dengan mendirikan jembatan ponton. Sore berikutnya tanggal 25 Oktober pukul 17:00, mereka menyerang pos terdepan Hushan, sebelah timur Jiuliancheng. Pada pukul 20.30 para pasukan Tiongkok meninggalkan posisi mereka dan keesokan harinya mereka mundur sepenuhnya dari Jiuliancheng.
Dengan direbutnya Jiuliancheng, Korps Angkatan Darat ke-1 Jenderal Yamagata Aritomo menduduki kota terdekat Dandong, sementara di utara, unsur-unsur Tentara Beiyang yang mundur membakar kota Fengcheng. Jepang telah membangun pijakan yang kokoh di wilayah Tiongkok dengan hanya kehilangan empat prajuri yang tewas dan 140 luka-luka.
Korps Angkatan Darat ke-1 Jepang kemudian dibagi menjadi dua kelompok dengan Divisi Provinsi ke-5 pimpinan Jenderal Nozu Michitsura maju menuju kota Mukden (sekarang Shenyang) dan Divisi Provinsi ke-3 pimpinan Letnan Jenderal Katsura Tarō mengejar pasukan Tiongkok yang melarikan diri ke barat menuju Semenanjung Liaodong.
Pada bulan Desember, Divisi Provinsi ke-3 telah merebut kota Tatungkau, Takushan, Xiuyan, Tomucheng, Haicheng dan Kangwaseh. Divisi Provinsi ke-5 berbaris selama musim dingin Manchuria yang parah menuju Mukden.
Korps Angkatan Darat ke-2 Jepang di bawah pimpinan Ōyama Iwao mendarat di pantai selatan Semenanjung Liaodong pada tanggal 24 Oktober dan dengan cepat bergerak untuk merebut Jinzhou dan Teluk Dalian pada tanggal 6–7 November. Jepang mengepung pelabuhan strategis Lüshunkou (Port Arthur).
Ilustrasi oleh kokunimasa Utagawa ini menunjukkan tentara Jepang mengeksekusi, sesuai dengan hukum internasional, 38 tentara Tiongkok yang menyerang rumah sakit Palang Merah dan membantai tentara Tiongkok yang sedang dirawat karena luka-luka mereka.
Jatuhnya Lüshunkou
Pada tanggal 21 November 1894, Jepang telah merebut kota Lüshunkou (Port Arthur) dengan sedikit perlawanan dan korban jiwa yang minim. Dengan dalih melihat sisa-sisa jenazah tentara Jepang yang dimutilasi, pasukan Jepang melanjutkan pembantaian terhadap warga sipil selama Pembantaian Port Arthur dengan jumlah ribuan korban. Peristiwa ini pada saat itu dipandang secara luas dengan skeptis, karena dunia pada umumnya masih tidak percaya bahwa Jepang mampu melakukan tindakan seperti itu – hal ini sepertinya hanya rekayasa propaganda pemerintah Tiongkok yang dilebih-lebihkan untuk mendiskreditkan hegemoni Jepang. Kenyataannya, pemerintah Tiongkok sendiri tidak yakin bagaimana harus bereaksi dan awalnya menyangkal bahwa Port Arthur telah jatuh ke tangan Jepang.
Saat kami memasuki kota Port Arthur, kami melihat kepala tentara Jepang dipajang di tiang kayu. Hal ini membuat kami marah dan ingin menghancurkan semua tentara Tiongkok. Kami membunuh siapapun yang kami lihat. Jalanan dipenuhi mayat, begitu banyak sehingga menghalangi jalan kami. Kami membunuh orang-orang di rumah mereka; pada umumnya, tidak ada satu rumah pun tanpa tiga hingga enam orang tewas. Darah mengalir dan baunya sangat menyengat. Kami mengirimkan regu pencari. Kami menembak beberapa, menusuk yang lain. Pasukan Tiongkok hanya menjatuhkan senjatanya dan melarikan diri. Menembak dan menggorok, itu adalah kenikmatan yang tak terbatas. Saat ini, pasukan artileri kami berada di belakang, memberikan tiga sorakan [banzai] untuk kaisar.
— Makio Okabe, diary[43]
Pada tanggal 10 Desember 1894, Kaipeng (sekarang Gaizhou) jatuh ke tangan Korps Angkatan Darat ke-1 Jepang.
Jatuhnya Weihaiwei
Armada Tiongkok kemudian mundur ke belakang benteng Weihaiwei. Namun, mereka kemudian dikejutkan oleh pasukan darat Jepang yang mengepung pertahanan pelabuhan melalui koordinasi dengan angkatan laut.[44] Pertempuran Weihaiwei adalah pengepungan selama 23 hari dengan pertempuran besar di darat dan laut yang terjadi antara tanggal 20 Januari dan 12 Februari 1895. Sejarawan Jonathan Spence mencatat bahwa "laksamana Tiongkok menyandarkan armadanya di balik tirai pelindung ranjau kontak dan tidak ambil bagian lagi dalam pertempuran itu."[45] Komandan Jepang mengerahkan pasukannya melintasi semenanjung Shandong dan mencapai sisi darat Weihaiwei, tempat pengepungan tersebut akhirnya berhasil bagi Jepang.[45]
Setelah jatuhnya Weihaiwei pada 12 Februari 1895, dan meredanya kondisi musim dingin yang keras, pasukan Jepang terus menekan Manchuria selatan dan Tiongkok bagian utara. Pada bulan Maret 1895, Jepang telah membentengi pos-pos yang memerintahkan pendekatan laut ke Beijing. Meskipun ini adalah pertempuran besar terakhir yang terjadi, banyak pertempuran kecil yang terjadi setelahnya. Pertempuran Yingkou terjadi di luar kota pelabuhan Yingkou, Manchuria, pada tanggal 5 Maret 1895.
Pendudukan Pulau Pescadores
Bahkan sebelum perundingan perdamaian dimulai di Shimonoseki, Jepang telah memulai persiapan untuk merebut Taiwan. Namun, operasi pertama tidak ditujukan terhadap pulau itu sendiri, namun terhadap Kepulauan Pescadores, yang karena posisinya yang strategis di lepas pantai barat akan menjadi batu loncatan untuk operasi lebih lanjut terhadap pulau tersebut.[46] Pada tanggal 6 Maret, pasukan ekspedisi Jepang yang terdiri dari resimen infanteri yang diperkuat dengan 2.800 tentara dan baterai artileri berangkat dengan lima kapal angkut, dan berlayar dari Ujina ke Sasebo, tiba di sana tiga hari kemudian. Pada tanggal 15 Maret, lima kapal angkut, dikawal oleh tujuh kapal penjelajah dan lima kapal torpedo dari Armada ke-4, meninggalkan Sasebo menuju selatan. Armada Jepang tiba di Pescadores pada malam tanggal 20 Maret, tetapi menghadapi cuaca badai. Karena cuaca buruk, pendaratan ditunda hingga 23 Maret, ketika cuaca cerah.[47]
Pada pagi hari tanggal 23 Maret, kapal perang Jepang mulai membombardir posisi Tiongkok di sekitar pelabuhan Lizhangjiao. Sebuah benteng yang menjaga pelabuhan dengan cepat dibungkam. Sekitar tengah hari, pasukan Jepang mulai mendarat. Di luar dugaan, saat operasi pendaratan sedang berlangsung, senjata benteng kembali melepaskan tembakan yang menimbulkan kebingungan di kalangan pasukan Jepang. Namun mereka segera dibungkam lagi setelah ditembaki oleh kapal penjelajah Jepang. Pada pukul 14:00, Lizhangjiao berada di bawah kendali Jepang. Setelah memperkuat posisi yang direbut, keesokan paginya, pasukan Jepang bergerak ke kota utama Magong. Pasukan Tiongkok memberikan perlawanan dan setelah pertempuran singkat mereka meninggalkan posisi mereka, mundur ke Pulau Xiyu di dekatnya. Pada pukul 11:30, Jepang memasuki Magong, tetapi segera setelah mereka merebut benteng pantai di kota tersebut, mereka ditembaki oleh pasukan pesisir Tiongkok di Pulau Xiyu. Rentetan serangan tersebut tidak terbalas hingga malam tiba, karena Tiongkok telah menghancurkan semua senjata di Magong sebelum mereka mundur, dan kapal perang Jepang takut memasuki selat antara Kepulauan Penghu dan Xiyu karena potensi ancaman ranjau. Namun, hal itu tidak menimbulkan korban jiwa yang serius di kalangan pasukan Jepang. Pada malam hari, awak meriam angkatan laut kecil yang berjumlah 30 orang berhasil membuat salah satu senjata baterai pantai Magong beroperasi. Saat fajar, senjata mulai menembaki posisi Tiongkok di Xiyu, tetapi senjata Tiongkok tidak merespons. Selanjutnya, Jepang menyeberangi selat sempit tersebut, mencapai Xiyu, dan menemukan bahwa pasukan Tiongkok telah meninggalkan posisi mereka pada malam hari dan melarikan diri dengan kapal lokal.[47]
Kapal perang Jepang memasuki selat itu keesokan harinya dan, setelah mengetahui bahwa tidak ada ladang ranjau, mereka memasuki pelabuhan Magong. Pada tanggal 26 Maret, seluruh kepulauan berada di bawah kendali Jepang, dan Laksamana Muda Tanaka Tsunatsune diangkat menjadi gubernur. Selama kampanye, Jepang menderita 28 orang tewas dan terluka, sedangkan kerugian Tiongkok hampir 350 orang tewas atau terluka dan hampir 1.000 orang ditawan.[47] Operasi ini secara efektif mencegah penguatan pasukan Tiongkok di Taiwan, dan memungkinkan Jepang untuk memaksakan tuntutan mereka agar Taiwan menyerah dalam perundingan perdamaian.
Akhir Perang
Perjanjian Shimonoseki
Perjanjian Shimonoseki ditandatangani pada tanggal 17 April 1895. Tiongkok mengakui kemerdekaan total Korea dan menyerahkan Semenanjung Liaodong, Taiwan, dan Kepulauan Penghu kepada Jepang "untuk selama-lamanya".[108] Pulau-pulau yang disengketakan yang dikenal sebagai pulau "Senkaku/Diaoyu" tidak disebutkan namanya dalam perjanjian ini, namun Jepang menganeksasi pulau-pulau tak berpenghuni ini ke Prefektur Okinawa pada tahun 1895. Jepang menegaskan bahwa tindakan ini diambil secara independen dari perjanjian yang mengakhiri perang, dan Tiongkok menegaskan bahwa tindakan tersebut tersirat sebagai bagian dari penyerahan Taiwan.
Selain itu, Tiongkok harus membayar Jepang 200 juta tahil (8.000.000 kg/17.600.000 lb) perak sebagai pampasan perang. Pemerintahan Qing juga menandatangani perjanjian komersial yang mengizinkan kapal-kapal Jepang beroperasi di Sungai Yangtze, mengoperasikan pabrik manufaktur di pelabuhan-pelabuhan perjanjian, dan membuka empat pelabuhan lagi untuk perdagangan luar negeri. Rusia, Jerman dan Perancis dalam beberapa hari melakukan Triple Intervention, dan memaksa Jepang menyerahkan Semenanjung Liaodong dengan imbalan 30 juta tahil perak (setara dengan sekitar 450 juta yen).
Setelah perang, pemerintah Qing membayar 200 juta tahil Kuping, atau setar 311.072.865 yen, menjadikan perang tersebut menjadi keuntungan bersih bagi Jepang, karena dana perang mereka hanya 250.000.000 yen.[48]
Lihat pula
Referensi
- ^ Paine 2003, hlm. 303.
- ^ Kim 2012, hlm. 304.
- ^ Jansen 2002, hlm. 343.
- ^ Jansen 2002, hlm. 335.
- ^ Kim 2012, hlm. 279.
- ^ Kim 2012, hlm. 281.
- ^ Kim 2012, hlm. 285.
- ^ Seth 2011, hlm. 235.
- ^ a b Kim 2012, hlm. 289.
- ^ Kim 2012, hlm. 290.
- ^ a b Duus 1998, hlm. 49.
- ^ Duus 1998, hlm. 50.
- ^ a b c d Keene 2002, hlm. 373.
- ^ Kim 2012, hlm. 282.
- ^ a b c Keene 2002, hlm. 374.
- ^ Seth 2011, hlm. 236.
- ^ Keene 2002, hlm. 377.
- ^ a b c d Kim 2012, hlm. 294.
- ^ Kim 2012, hlm. 294; Paine 2003, hlm. 59.
- ^ a b Kim 2012, hlm. 295.
- ^ Paine 2003, hlm. 59.
- ^ a b c d Jansen 2002, hlm. 431.
- ^ James McClain, "Japan a Modern History", 297
- ^ a b Elleman 2001, hlm. 96.
- ^ a b Paine 2003, hlm. 113.
- ^ a b c Olender 2014, hlm. 42.
- ^ James Z. Gao, "Historical Dictionary of Modern China (1800–1949)", 120
- ^ Olender 2014, hlm. 42-43.
- ^ a b Olender 2014, hlm. 44.
- ^ Seth, Michael J (2010). A History of Korea: From Antiquity to the Present. Rowman & Littlefield Publishers. hlm. 225. ISBN 978-0-7425-6716-0.
- ^ a b Paine 2003, hlm. 133.
- ^ Sequence of events, and numbers of rescued and dead, taken from several articles from The Times of London from 2 August 1894 – 24 October 1894
- ^ a b c d Paine 2003, hlm. 158.
- ^ Paine 2003, hlm. 159.
- ^ Olender 2014, hlm. 56; Jowett 2013, hlm. 30.
- ^ a b Paine 2003, hlm. 137.
- ^ a b c Olender 2014, hlm. 60.
- ^ a b Evans & Peattie 1997, hlm. 42.
- ^ Evans & Peattie 1997, hlm. 44.
- ^ Paine 2003, hlm. 82.
- ^ Paine 2003, hlm. 182–183.
- ^ Perry, John Curtis (1964). "The Battle off the Tayang, 17 September 1894". The Mariner's Mirror. 50 (4): 243–259. doi:10.1080/00253359.1964.10657787.
- ^ Lone 1994, hlm. 155.
- ^ Evans & Peattie 1997, hlm. 46.
- ^ a b Spence, Jonathan (2013). The Search for Modern China. New York: W.W. Norton & Company. hlm. 2012. ISBN 978-0-393-93451-9.
- ^ Olender 2014, hlm. 163.
- ^ a b c Olender 2014, hlm. 164.
- ^ Paine, Sarah. 'The Sino-Japanese War of 1894–1895 – Perceptions, Power, and Primacy'. Cambridge University Press, 2002, pp. 269–270.