Ahmad Dahlan

ulama Indonesia dan pendiri Muhammadiyah
Revisi sejak 18 November 2024 14.00 oleh F1fans (bicara | kontrib) (Rescuing 5 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Ahmad Dahlan (bahasa Arab: أحمد دحلان; 1 Agustus 1868 – 23 Februari 1923, lahir dengan nama Muhammad Darwis) adalah seorang Ulama Besar bergelar Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah putri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.


Ahmad Dahlan
أحمد دحلان
Fotografi
Potret Ahmad Dahlan, tanggal tidak diketahui
Ketua Umum Muhammadiyah ke-1
Masa jabatan
18 November 1912 – 23 Februari 1923
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada, jabatan baru
Pengganti
K.H. Ibrahim
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Muhammad Darwis

(1868-08-01)1 Agustus 1868
Meninggal23 Februari 1923(1923-02-23) (umur 54)
Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta, Hindia Belanda
MakamMakam Karangkajen, Yogyakarta
AgamaIslam
PasanganSiti Walidah
Anak7
Orang tua
  • Haji Abu Bakar (ayah)
  • Siti Aminah (ibu)
DenominasiSunni
Dikenal sebagaiPendiri Muhammadiyah
Pekerjaan
Pemimpin Muslim

Kehidupan awal

sunting
 
Silsilah keluarga Ahmad Dahlan

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Beliau merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Beliau termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[2] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kiai Ilyas, Kiai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).[3] Nasab dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim bersambung kepada Nabi Muhammad.[4]

Karier agama

sunting

Pada umur 15 tahun, Beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai belajar agama dengan melandaskan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyyah.[5] Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Muhammadiyah

sunting
 
K.H. Ahmad Dahlan

Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, dia sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari dan pendiri PERTI, Syekh Sulaiman Arrasuli. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan untuk mencapai cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan hadis. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga dia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad (ﷺ).

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Beliau dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun Belaiu berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[6] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.

Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[7] Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[8]

Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.[9]

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).

Karier lain

sunting

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, Beliau juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.

Kehidupan pribadi

sunting

Sepulang dari Makkah, Beliau menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[2] Di samping itu, Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Dia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik kiai Munawwir Krapyak. Dahlan juga mempunyai putra dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Dia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[10][11]

Kematian dan warisan

sunting
 
Makam K.H. Ahmad Dahlan di pemakaman Karangkajen

Dahlan meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta.[12][13]

Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

  1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
  2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
  3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
  4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Dalam budaya populer

sunting

Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah (2010) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional. Naskah film ini kemudian dialihmediakan menjadi novel berjudul sama yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral.

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting

Catatan Kaki

sunting
  1. ^ 1 abad Muhammadiyah : gagasan pembaruan sosial keagamaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2010. ISBN 978-979-709-498-0. OCLC 653499438. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-21. Diakses tanggal 2023-01-15. 
  2. ^ a b Kutojo dan Safwan, 1991
  3. ^ Yunus Salam, 1968: 6
  4. ^ "Walisongo Keturunan Nabi Muhammad SAW, Berikut Nasab Lengkapnya". SINDOnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 2022-12-16. 
  5. ^ aanardianto (2021-05-02). "Melacak Jejak Semangat Purifikasi dan Pembaharuan Kiyai Dahlan". Muhammadiyah (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-16. Diakses tanggal 2022-12-16. 
  6. ^ Bukan Ahmadiyyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Lihat: Mubarok, Aceng Husni (2010), Menziarahi Batu Nisan Tajdid: Refleksi Jelang Seabad Muhammadiyah, dalam "Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaharuan", Dawam Rahardjo, dkk.
  7. ^ Ini bukan Ikhwanul Muslimun Hasan al-Banna.
  8. ^ Kutojo dan Safwan, 1991: 33
  9. ^ Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Haedar Nashir, 2010
  10. ^ Yunus Salam, 1968: 9
  11. ^ Wahyudi, Jarot (2002). Burhanuddin, Jajat, ed. Nyai Ahmad Dahlan: Penggerak Perempuan Muhammadiyah. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 39–67. ISBN 978-979-686-644-1. 
  12. ^ Syoedja', Muhammad (1993). Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan Catatan Haji Muhammad Syoedja'. Jakarta: Rhineka Cipta. 
  13. ^ Sartono. "KH. A Dahlan, Wong Agung Dengan Makam Sederhana". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-03. Diakses tanggal 1 February 2015. 

Daftar pustaka

sunting
  • Salam, Yunus (1968). Riwayat Hidup KHA. Dahlan. Amal dan perjuangannya. Jakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah.
  • Kutojo, Sutrisno, Mardanas Safwan (1991). K.H. Ahmad Dahlan: riwayat hidup dan perjuangannya. Bandung: Angkasa.
  • Ricklefs, M.C. (1994). A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press.
  • Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-2. 

Pranala luar

sunting
Didahului oleh:
tidak ada
Ketua Umum Muhammadiyah
1912–1923
Diteruskan oleh:
KH Ibrahim