Bahasa Proto-Melayik

bahasa proto yang direka ulang untuk bahasa-bahasa Melayik
Revisi sejak 30 November 2024 10.22 oleh DDG9912 (bicara | kontrib) (Pasca proto-Malayik)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)


Bahasa Proto-Melayik adalah bahasa proto yang direka ulang untuk bahasa-bahasa Melayik, yaitu bahasa-bahasa yang kini tersebar luas di Asia Tenggara Lautan. Seperti kebanyakan bahasa proto lainnya, bahasa Proto-Melayik tidak mempunyai bukti tertulis apa pun. Bahasa ini secara ekstensif dikaji di sebuah makalah yang berjudul Proto-Malayic: The Reconstruction of its Phonology and Parts of its Lexicon and Morphology, yang dilakukan oleh K. Alexander Adelaar di tahun 1992.

Proto-Melayik
Reka ulang dariBahasa-bahasa Melayik
WilayahLihat #Urheimat
Leluhur
reka ulang
L • B • PW
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Urheimat

sunting

Menurut kajian H. Kern di tahun 1917 yang berjudul Taalkundige gegevens ter bepaling van het stamland der Maleisch-Polynesische volkeren, Urheimat atau wilayah asal penutur bahasa Proto-Melayik diusulkan untuk berada di Semenanjung Malaya, yang didasarkan pada kata berbahasa Melayu selatan, diturunkan dari kata selat "selat: laut di antara pulau-pulau". Makalah lain yang berjudul Kerinci sound-changes and phonotactics oleh D. J. Prentice di 1978, percaya bahwa inti dari bahasa Melayu berada di kedua sisi Selat Melaka, walau di makalah itu tidak menyertakan bahasa-bahasa Melayik Dayak.

Namun, kini banyak linguis, termasuk Adelaar, menolak usulan Kern dan menyatakan bahwa penutur bahasa Proto-Melayik berurheimat di Borneo, sebab bahasa-bahasa yang ada di sana mempunyai pengaruh Sanskrit atau Arab yang sedikit.[1]

Fonologi

sunting

Bahasa Proto-Melayik mempunyai 19 konsonan dan 4 vokal. Konsonan lelangit (kecuali *y) dan letupan bersuara (*b, *d, *j, *ɡ) tidak dapat mengakhiri suatu kata, dan juga bahasa ini hanya membolehkan rangkaian konsonan yang berupa sengau-letupan yang homorganik (keduanya berada di letak pengucapan yang sama) serta rangkaian konsonan *ŋs. Adelaar mencantumkan bunyi *t sebagai konsonan gigi, bukan rongga-gigi.[2] Hentian celah suara , yang mana hanya terjadi di akhir kata, adalah konsonan yang paling baik dijaga dalam bahasa Iban, walau tidak ditunjukkan lasngsung dalam penulisan (Bahasa Iban pakuʔ, Bahasa Melayu paku*pakuʔ).[3]

Konsonan bahasa Proto-Melayik
Bibir (Dwibibir) Rongga gigi Lelangit Lelangit belakang Celah suara
Letupan Nirsuara *p *t *c *k
Bersuara *b *d *j
Sengauan *m *n
Geseran *s *h
Likuida (Hampiran sisi dan Getaran) *l *r
Hampiran *w *y
Vokal bahasa Proto-Melayik
Ketinggian Depan Madya Belakang
Tertutup *i *u
Tengah
Terbuka *a

Menurut Adelaar, bahasa ini hanya mempunyai 2 diftong: *-ay, dan *-aw. Namun, Anderbeck di 2012 mengajukan diftong lain, yaitu *-uy, yang mana hanya dipertahankan dalam bahasa Duano, dan digabung dengan -i di bahasa-bahasa Melayik lainnya.

Struktur kata

sunting

Leksem bahasa Proto-Melayik kebanyakan bersuku kata dua, dengan yang lainnya bersuku kata satu, tiga, hingga empat. Leksem-leksemnya mempunyai stuktur suku kata seperti berikut:[2]

* [C V (N)] [C V (N)] [C V (N)] C V C 

Catatan: C = konsonan, V = vokal, N = sengauan

Perubahan fonologis

sunting

Terhadap Proto-Melayik

sunting

Berikut adalah perubahan fonologis dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia ke Proto-Melayik.[4]

  • *-əy, *-iw, > *-i; *-əw > *-u. Diftong *-uy dalam bahasa Proto-Melayik masih dipertahankan dalam bahasa Duano (məloŋoy < *mA-laŋuy "berenang").[5]
  • *z > *j (pengucapannya mirip, tapi penulisannya diubah), *-D-, *-j- > *-d-.
  • Penirsuaraan konsonan hentian akhir untuk *-b, *-d, dan *-g ke *-p, *-t, *-k, kecuali untuk *-D > *-r.
  • *-ə- sebelum *-h > *-a-, contoh *tanəq > *tanəh > *tanah "tanah".
  • *w- > *∅-, contoh *wahiR > *air "air".
  • *q > *h, contoh *puluq > *puluh "puluh".
  • *h > *∅, contoh *haŋin > *aŋin "angin".
  • *R > *r.
  • C¹C² (dengan konsonan pertamanya bukan sengauan) menjadi di perulangan (imbuhan-imbuhan lolos dari perubahan bunyi ini).
  • C¹C² (dengan konsonan pertamanya sengauan heterorganis, yaitu tidak seletak dengan konsonan berikutnya) diubah menjadi homorganis (seletak), contoh *DəmDəm > *dəndəm "dendam".
  • Vokal pepet menyebabkan sisipan sengauan sebelum letupan (apalagi letupan nirsuara), contoh *həpat > mpat "empat", dan *qəti > *hənti "henti".

Pasca proto-Malayik

sunting
  • Vokal pepet di akhir suku kata yang tertutup masih dipertahankan dalam bahasa Proto-Melayik (contoh *daləm "dalam"), tetapi hanya terus dijaga dalam bahasa Betawi (termasuk bahasa Indonesia gaul), Melayu Bangka dan bahasa Palembang (khususnya ragam Palembang Lama).[6][7] Di bahasa Melayik lainnya, ia digabung dengan vokal *a di letak tersebut (> *dalam).
  • Sisa-sisa vokal di bahasa Banjar dan Minangkabau umumnya digabung dengan vokal a [8]
  • Struktur bunyi *-aba- hanya dipertahankan dalam bahasa Iban, dan diubah menjadi *-awa- di bahasa Melayik lainnya (*laban > *lawan "lawan").[9]
  • Vokal *a di akhir kata kebanyakan masih dipertahankan di bahasa-bahasa Melayik di Borneo (terkecuali di bagian barat), tetapi di Sumatra atau Semenanjung Malaya, vokal tersebut bermutasi ke vokal lain, yaitu vokal /ə/, /o/, /e/, atau bahkan setinggi vokal /ɨ/ dan /u/. Hasilnya berbeda-beda di setiap dialek. Uri Tadmor mengklaim bahwa perubahan ini disebabkan oleh pengaruh bahasa Jawa.[10] Pengecualian jelas untuk perubahan ini adalah bahasa Haji di Sumatera Selatan, yang masih mempertahankan vokal *a di letak tersebut.[11]

Rujukan

sunting
  1. ^ Adelaar 1992, hlm. 206–207.
  2. ^ a b Adelaar 1992, hlm. 102.
  3. ^ Adelaar 1992, hlm. 63.
  4. ^ Adelaar 1992, hlm. 195.
  5. ^ Anderbeck, Karl (2012). "The Malayic speaking Orang Laut: Dialects and directions for research". Wacana: Journal of the Humanities of Indonesia. 14 (2): 265–312. Diakses tanggal 26 May 2019. 
  6. ^ McDowell & Anderbeck 2020, hlm. 14–15.
  7. ^ Nothofer 1995, hlm. 88–89.
  8. ^ Adelaar 1992, hlm. 40.
  9. ^ Adelaar 1992, hlm. 75.
  10. ^ Tadmor, Uri (2003). "Final /a/ mutation: a borrowed areal feature in Western Austronesia" (PDF). Dalam Lynch, John. Issues in Austronesian historical phonology. Pacific Linguistics 550. Canberra: Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. hlm. 15–36. 
  11. ^ Anderbeck, Karl (2007). "Haji: One language from twelve? A brief description of an interesting Malay dialect in South Sumatra". Reflections in Southeast Asian seas: Essays in honour of Professor James T. Collins: Book II. hlm. 51–91. 

Daftar pustaka

sunting
  • Adelaar, K. Alexander (1992). Proto-Malayic: The Reconstruction of its Phonology and Parts of its Lexicon and Morphology. Pacific Linguistics, Series C, no. 119. Canberra: Dept. of Linguistics, Research School of Pacific Studies, the Australian National University. hdl:1885/145782 . 
  • Nothofer, Bernd (1995). "The History of Jakarta Malay". Oceanic Linguistics. 34 (1): 87–97. JSTOR 3623113. 
  • McDowell, Jonathan; Anderbeck, Karl (2020). "The Malay Lects of Southern Sumatra" (PDF). Journal of the Southeast Asian Linguistics Society Special Publication. 13 (5).