Kiagus Muhammad Saleh Azmatkhan
Artikel ini perlu dirapikan dan ditata ulang agar memenuhi pedoman tata letak Wikipedia. |
KH. Kiagus Muhammad Saleh Azmatkhan atau disebut juga sebagai Kiai Saleh Lateng (Lahir di Kampung Mandar, Banyuwangi, Jawa Timur, 7 Maret 1862 - meninggal di Lateng, Banyuwangi, 20 Agustus 1952 pada umur 93 tahun) Beliau di Kabupaten Banyuwangi biasa disebut Kiai Saleh Lateng. Beliau adalah pendiri Gerakan Pemuda Ansor bersama dengan K.H. Abdul Wahhab Hasbullah, anggota tim 9 pendiri Nahdatul Ulama dan Pahlawan Kabupaten Banyuwangi.Beliau memiliki nama kecil Kiagus Muhammad Saleh. Ayahnya bernama Kiagus Abdul Hadi, sedangkan Ibunya bernama Aisyah berasal dari Panderejo, Banyuwangi. Silsilah keturunannya dapat dilacak hingga Amir Hamzah (Pangeran Abdullah) yang merupakan keturunan Sunan Kudus (Panglima Perang Kesultanan Demak ke-II) dan Rasulullah SAW.
Kiagus Muhammad Saleh Kiai Saleh Lateng | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Lahir | |
Meninggal | 20 Agustus 1952 (umur 91) |
Agama | Islam |
Kebangsaan | Indonesia |
Etnis | Melayu Palembang, Arab |
Almamater | - Pondok Pesantren Kebon Dalem Surabaya - Pondok Pesantren Syaikhona Khalil Bangkalan |
Pemimpin Muslim | |
Menginisiasi | Pendirian GP Ansor dan NU |
Keluarga
Pada sekitar awal abad 19, Kesultanan Palembang Darussalam telah kehilangan kontrol kekuasaan. Belanda berhasil memegang kendali wilayah kesultanan ini. Sultan Palembang, Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dibuang ke Manado, sedangkan kawasan Palembang dikendalikan oleh seorang Residen Belanda. Pada masa genting itu, sebagian besar bangsawan Kesultanan Palembang Darussalam memilih untuk menyingkirkan diri. Situasi yang tidak aman serta kekejaman Belanda menjadikan para keluarga kerajaan berusaha untuk mencari lokasi baru untuk tempat tinggal.
Kiagus Abdurrahman yang merupakan kakek Kiai Saleh ialah keturunan Amir Hamzah (Pangeran Abdullah) bin Sunan Kudus (Panglima Perang Kesultanan Demak ke-II) ialah satu dari sekian banyak bangsawan Kesultanan Palembang Darussalam yang memilih berhijrah bersama keluarganya (selain Kiagus Abdurrahman, ada juga keturunan Sultan Mahmud Badaruddin II yang ikut hijrah ke Jawa Timur). beliau pun kemudian singgah di sebuah daerah di Jawa Timur dan menikah dengan Najihah di Marengan Laok Sungai, Sumenep.[1] Pernikahan ini dikaruniai tiga keturunan, yaitu Kiagus Abdul Hadi, Kiagus Abdullah dan Kiagus Abdul Latief, tetapi hanya Kiagus Abdul Hadi yang dikaruniai anak yang bernama Kiagus Muhammad Saleh yang kelak meneruskan perjuangan Ki Agus Abdurrahman dalam berdakwah dan menggeluti ilmu keislaman.
Selang beberapa waktu, Kiagus Abdul Hadi hijrah ke Banyuwangi, Jawa Timur. Di kawasan Banyuwangi inilah, Kiagus Abdul Hadi memperoleh jodoh bernama Aisyah. Mereka berdua pun akhirnya menetap di kawasan Kota Mandar Banyuwangi, hingga melahirkan seorang putra bernama Kiagus Muhammad Saleh, atau yang dikenal dengan sebutan Kiai Saleh Lateng.
Istri dan Anak serta keturunannya
- istri: Khotimah (berasal dari Sumbawa), dikaruniai anak yang bernama Nyayu Masnah, Kiagus Abdul Kafie dan Kiagus Syarkawi
- istri: Sutrani (berasal dari Banyuwangi), dikaruniai anak yang bernama Nyayu Maimunah dan Kiagus Abdul Hadi
- istri: Sarah (berasal dari Banyuwangi), dikaruniai anak yang bernama Nyayu Asmah, Kiagus Abdul Hamid, Nyayu Djaenab, Nyayu Sapiyah, Kiagus Abdullah, Kiagus Alwi dan Nyayu Hunnah
- istri: Raden Siti Fatimah (berasal dari Banyuwangi), dikaruniai anak yang bernama Nyayu Hadijah, Nyayu Kulsum, Kiagus Abdul Azis
- cucu: Nyayu Suaibah dan Kiagus Muhammad Yusuf
- cicit: Nyayu Kasiyani, Kiagus Muhammad Ilyas Dasuki, Nyayu Fatimah
- canggah/ciut: Kiagus Rahman Zainuddin, Kiagus Gugik Gustamam, Kiagus Ahmad Yahya, Kiagus Muhammad Iqbal
Pendidikan
Ketika masih kecil, Kiai Saleh belajar mengaji dari kedua orang tuanya hingga mencapai usia 15 tahun. Setelah itu, beliau pergi mondok di beberapa Pondok Pesantren di bawah bimbingan Kyai Mas Ahmad di Kebon Dalem, Surabaya. Tak lama kemudian, beliau melanjutkan pendidikan ke Pesantren Syaikhona Khalil di Bangkalan, Madura.
Kiai Saleh memiliki banyak santri yang tidak hanya datang untuk belajar agama, tetapi juga banyak pemuda yang mengunjungi beliau untuk mempelajari ilmu kanuragan. Selain itu, Kiai Saleh pernah berguru kepada Tuan Guru Muhammad Said di Jembrana, Bali untuk mendalami ilmu agama. Bahkan, demi mengejar ilmu agama, beliau rela pergi ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan pendidikannya.
Kiprah dan Jasa
Setelah usia 38 Tahun, Kiai Saleh pulang ke kampung halamannya di Lateng untuk menyebarkan pemikiran agamanya hingga ke pelosok Banyuwangi. Dulunya Banyuwangi terkenal sebagai daerah yang penuh dengan pertikaian, namun dengan pencerahan terus menerus dari Kiai Saleh perkelahian itu dapat disingkirkan dan beliau juga telah membuat insaf bromocorah.
Kiai Saleh pernah mengikuti Jihad di Surabaya melawan Belanda bersama santrinya. Bahkan, beliau juga anti terhadap Belanda, Hal itu dapat dibuktikan dari sikap Kiai Saleh yang melarang keluarganya meniru kebiasaan Belanda, seperti memakai jas, celana, serta sekolah di sekolah Belanda.[2]
Van Der Plass yang notabenenya ialah Residen Belanda di Banyuwangi pernah mendatangi Kiai Saleh untuk memberikan bantuan terhadap pondoknya, Namun Kiai Saleh menolaknya dengan mentah-mentah. Beliau juga merupakan pencetus berdirinya Departemen Agama, karena Kiai Saleh saat itu men yumbang buku buatannya, yaitu Kitab Mu’jamul Buldan kepada Departemen Agama dan hingga saat ini masih menjadi rujukan.
Kiai Saleh Lateng merupaasabkan tipikal kyai penggerak. Beliau memegang peranan startegis dalam mengkonsolidasi jaringan ulama-santri untuk berdakwah dan mengawal kemerdekaan Indonesia. Kiai Saleh Lateng juga menjadi kyai penting pada masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, bersama Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Kyai Wahab Chasbullah, Kyai Bisri Syansuri dan beberapa kyai lainnya di penjuru Nusantara.
Pada awalnya, Kiai Saleh Lateng menggerakkan Sarekat Islam. Hal ini merupakan hal yang lumrah, karena pada awal abad 20, pergerakan Sarekat Islam menjadi gerbong bagi para kyai-santri untuk menyuarakan kemerdekaan dan mengorganisasi diri. Meski pada akhirnya para kyai memisahkan diri dari pergerakan Sarekat Islam. Hal ini juga terjadi pada Kyai Wahab Chasbullah, yang pernah menjadi penggerak Sarekat Islam sewaktu mengaji di Hijaz. Ketika kembali ke tanah air, Kyai Wahab Chasbullah membentuk organisasi sendiri dengan merangkul kyai santri, dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, hingga kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama.
Kiai Saleh Lateng, yang pada awalnya menggerakkan Sarekat Islam di Banyuwangi, kemudian menjadi tokoh penting dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada 1913, Kiai Saleh Lateng memimpin Rapat Umum Sarekat Islam di Kawedanan Glenmore Banyuwangi. Dengan demikian, peranan Kiai Saleh dalam menggerakkan jaringan Islam di awal abad 20, diakui memiliki kontribusi penting. Ketika Komite Hijaz dibentuk, Kiai Saleh Lateng bergabung bersama barisan kyai. Ikatan emosional ketika mengaji di beberapa pesantren, terutama pesantren Bangkalan dan Makkah, menambah kekuatan komunikasi antara Kiai Saleh dengan beberapa kyai lainnya.
Kiai Saleh mendirikan GP Ansor dan Nahdatul Ulama
Ketika masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, yakni pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926, Kiai Saleh Lateng ditunjuk oleh Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy'ari dan Kyai Wahab Chasbullah menjadi anggota muassis-mukhtasar (formatur) pendirian Nahdlatul Ulama.
Pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi yang dipimpin oleh Kiai Saleh Lateng, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam (tanggal 24 April itulah yang kemudian dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor).
Kiai Saleh Lateng berpartisipasi dalam pendirian Kementerian Agama
dikisahkan, KH. Wahid Hasyim didapuk oleh Presiden Soekarno untuk memimpin Kementerian Agama. Sebagai negara baru merdeka dan sedang menyusun tata kelola pemerintahan, bukan tugas mudah mengemban tugas menjadi menteri. Lebih-lebih kementerian tersebut, bukanlah kementerian yang populer dalam sistem pemerintahan yang banyak berkembang.[3]
Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, Indonesia bukanlah negara sekuler, tapi juga bukan negara teokrasi. Nilai-nilai keagamaan tidak menjadi patokan utama bernegara, tapi tidak lantas ditanggalkan secara keseluruhan. Agama menjadi udara yang menginspirasi setiap kebijakan negara. Negara juga terlibat dalam mengembangkan kehidupan beragama. Untuk itulah, Kementerian Agama perlu didirikan di Indonesia. Suatu institusi kementerian yang tak banyak negara memilikinya kala itu.
Sebagai menteri agama, Kiai Wahid jelas perlu bencmark untuk mendesain kementeriannya tersebut. Di tengah kelangkaan akan contoh kementerian serupa, maka studi litelatur adalah jalan keluarnya. Menengok bagaimana kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah tempo dulu dalam menginstitusikan urusan keagamaan menjadi alternatif untuk dirujuk.
Dengan pemikiran demikian, Kiai Wahid membutuhkan referensi yang mengupas hal tersebut. Ia pun mengumpulkan berbagai literatur guna dihimpun dalam Maktabah Islamiyah (Perpustakaan Islami) Kementerian Agama. Di dalamnya akan dikumpulkan berbagai literatur sejarah pemerintahan sejak era Nabi hingga yang mutakhir. Dari berbagai pustaka itulah, akan menjadi pusat studi untuk menyusun Kemenag kedepannya.
Namun, mengumpulkan berbagai literatur tersebut, tidaklah mudah. Ada kitab-kitab yang mudah, namun juga ada kitab yang teramat sulit untuk mendapatkannya. Salah satunya kitab yang sulit dicari itu adalah karya Al-Halawi yang berjudul Mu'jamul Buldan (Ensiklopedi Negara-Negara). Kitab yang disusun selama 4 tahun (1242 1246) di ujung usianya Al-Halawi tersebut, banyak mengupas tentang kehidupan negara-negara kala itu. Mulai dari letak geografis, tata kelola pemerintahan hingga sejarah yang meliputinya. Mengatasi kesulitan mencari kitab tersebut, Kiai Wahid lantas membentuk tim khusus. Tim itu bertugas mencari kitab tersebut, di seluruh pesantren di Jawa. Barangkali ada salah seorang kiai yang memilikinya.
Setelah melalukan pencarian kebeberapa tempat, tim yang terdiri dari dua orang tersebut tak kunjung menemukannya. Pesantren, ahli ilmu, dan para intelektual muslim kala itu tak seorang pun yang memiliki. Di saat dirundung frustasi, tim tersebut, mendapat kabar gembira dari Sayid Yahya Surakarta. Ia mengabarkan bahwa satu-satunya kiai yang memilikinya adalah Kiai Saleh Lateng di Banyuwangi.
Utusan pun berangkat ke ujung Timur Pulau Jawa tersebut. Ia mencari Kiai Saleh Lateng. Setibanya di Banyuwangi, utusan dari Kiai Wahid tersebut bertemu dengan Kiai Saleh langsung. Mereka bertemu dengan Kiai Saleh yang sedang bersembunyi dari kejaran Belanda di Desa Pakistaji, Kabat. Saat itu, Kiai Saleh ditemani oleh Sayyid Muhsin al-Haddar.
Tim tersebut lantas mengutarakan maksudnya untuk membeli kitab Mu'jamul Buldan milik Kiai Saleh untuk melengkapi pusat studi yang dikembangkan oleh Kemenag. Mendapat tawaran tersebut, Kiai Saleh berunding dengan Sayyid Muhsin al-Haddar.
Sayyid Muhsin menyarankan kepada Kiai Saleh untuk menjualnya seharga Rp. 1.500-. Untuk ukuran tahun 1946, uang tersebut cukuplah besar. Namun, hal itu setara dengan kwalitas kitabnya.
Namun Kiai Saleh berpendapat lain. Ia memotong harganya menjadi 950 rupiah saja. Akan tetapi, saat akan dibayar oleh dua orang utusan Kemenag tersebut, Kiai Saleh hanya mau menerima 475 rupiah saja. "Biarkan yang separuh sebagai amal jariyahku untuk negeri ini," ungkap Kiai Saleh sembari menyerahkan kitab tersebut.
Bahkan, Kiai Saleh juga menawarkan beberapa koleksi kitabnya yang langka, seperti kitab Dairatul Ma'arif. Ia rela untuk menyerahkannya jika Negara memang membutuhkannya.
Kiai Saleh Lateng menghembuskan napas terakhir pada malam Rabu, 29 Dzulqo'dah 1371 H/ 20 Agustus 1952 pada usia 93 tahun. Jenazahnya dikebumikan di sebelah musholla (Langgar), tempat Kiai Saleh Lateng biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya. Pada tahun 1956, DPRD Kabupaten Banyuwangi memberikan keputusan penggunaan nama Kiai Saleh Lateng untuk sebuah ruas jalan. Keputusan DPRD Banyuwangi ini untuk menghormati perjuangan dan pengabdian Kiai Saleh Lateng dalam mendidik warga sekaligus berjuang untuk negeri.
Kemiripan bentuk Pintu dan Mimbar Masjid dengan Masjid Agung Palembang
Jika diamati, maka bentuk dari pintu dan mimbar Masjid Kyai Saleh Lateng sangat mirip dengan pintu masuk Masjid Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo Palembang, baik dari segi warna maupun motif tulisan muhammad batungkup yang merupakan lambang dari Thariqah Syatariyah yang diamalkan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo Kesultanan Palembang hingga beberapa sultan Palembang Darussalam berikutnya. Bahkan, akhirnya thariqah ini juga diamalkan oleh Kyai Saleh sendiri dengan cara mencontoh pintu dan mimbar masjid yang ada di Masjid Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo Palembang.
Nasab
-
Peninggalan
-
Al-Qur'an Karya Kiai Saleh Lateng
Galeri
-
Tampak depan masjid KH. Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng Banyuwangi)
-
Gapura menuju pesantren dan masjid bersejarah KH. Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng Banyuwangi)
-
Tampak Depan Pesantren Kyai Saleh Lateng