Macapat

Revisi sejak 10 Desember 2024 19.47 oleh Knightwell20 (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Macapat (bahasa Jawa: ꦩꦕꦥꦠ꧀) adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra. Setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.[1]

Anak-anak dari Pasinaon Omah Kendheng membawakan macapat pada Festival Cipta Media Ekspresi di Taman Budaya Yogyakarta.

Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali,[2] Sasak,[3] Madura,[4][5] dan Sunda. Selain itu, macapat juga pernah ditemukan di Palembang[6] dan Banjarmasin.[7]

Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, tetapi hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[8] Sebab, di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[8] Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.[9] Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra, tetapi hanya semacam "daftar isi" saja.[9] Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama,[10] Serat Wulangreh,[11] dan Serat Kalatidha.[12]

Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan, dan tembang gedhé.[13] Macapat digolongkan kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuno, tetapi dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.[13] Di sisi lain, tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, yakni puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.[14]

Jika dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa, karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta. Dalam macapat, perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.[13]

Etimologi

sunting

Pada umumnya, kata macapat berasal dari lakuran maca papat-papat (membaca empat-empat), maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.[15] Namun, ini bukan satu-satunya arti.[15] Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in Two Traditions.[15]

Selain yang telah disebut di atas, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritik (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.[15] Kemudian, menurut Serat Mardawalagu yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".[15] Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu, dan maca-tri-lagu.[15] Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para dewa dan diturunkan kepada Pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.[15] Ternyata, ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé.[15] Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé, di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat, sementara jumlah suku kata dalam setiap bait tidak selalu sama. Tipe ini diciptakan oleh Yogiswara.[15] Maca-tri adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.[15] Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.[15]

Sejarah macapat

sunting

Secara umum, diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, tetapi hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[8] Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[8] Sebagai contoh, ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.[13] Namun, di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.[16]

Sementara itu, mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin dan mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara.[17] Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini, macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka, macapat baru muncul setelah pengaruh India makin pudar.

Struktur macapat

sunting

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada.[9] Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.[9]

Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.[9] Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra.[9] Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda.[9] Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.[9]

Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan.[9] Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.[9]

Jenis metrum macapat

sunting

Jumlah metrum baku macapat ada lima belas buah. Lalu, metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum, dan tembang gedhé satu metrum.

Ada beberapa jenis tembang macapat. Masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan yang berbeda-beda. Ada 11 jenis tembang macapat yang umumnya dikenal, yaitu:

Pangkur

sunting

Pangkur[18] (Hanacaraka: ꦥꦁꦏꦸꦂ) berarti buntut atau ekor. Pangkur juga erat kaitannya dengan kata mungkur yang bermakna membelakangi, karena dalam filosofi Jawa adakalanya manusia itu harus membelakangi segala hiruk-pikuk dunia atau amalan yang cenderung tidak disukai Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pangkur biasa dipakai di nama kepunggawaan dalam kalangan kependetaan Jawa-Islam dan beberapa kebudayaan Hindu, seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa Jawa Kuno.

Ciri khas dari pangkur adalah terkadang cenderung diberi sasmita atau isyarat yang diletakkan di awal, di tengah, atau di akhir lagu yang ditembangkan. Contohnya, dari beberapa sasmita tersebut adalah tut pungkur (mengekor), tut wuntat (mengikuti), mingkar-mingkur (bolak-balik), mingkar-mungkur (berbalik dan membelakangi sekuat tenaga), dan sasmita lain yang berhomofon dan berhomonim dengan kata pangkur.

Maskumambang

sunting

Maskumambang (Hanacaraka: ꦩꦱ꧀ꦏꦸꦩꦩ꧀ꦧꦁ) berasal dari gabungan dua kata, yakni "mas" (emas) dan "kumambang" dari kata kambang (mengambang). Sementara itu, dalam ritus kebudayaan Hindu, mas dimaknai dari kata "premas" yaitu punggawa dalam upacara syamanistis dan "kumambang" dari kata kambang yang diberi infiks -um-. Kambang selain berarti terapung, juga berarti kamwang atau kembang. Ambang juga ada kaitannya dengan ambangse yang berarti menembang atau mengidung. Dengan demikian, maskumambang dapat diberi arti punggawa yang melaksanakan upacara syamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, maskumambang diberi arti "ulam toya" (ikan air tawar) sehingga kadang-kadang diisyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.

Sementara itu, dalam filosofi hidup orang Jawa, maskumambang identik dengan kemunculan jabang bayi dalam kandungan. Kehidupan yang akan muncul ditafsirkan sebagai mas (emas) atau embrio yang kumambang ("mengambang") atau bersemayam dalam suatu tempat, yakni rahim ibu yang sedang mengandung.

Sinom (Hanacaraka: ꦱꦶꦤꦺꦴꦩ꧀) berhubungan dengan kata sinoman, yaitu budaya perkumpulan para pemuda untuk membantu orang yang menyelenggarakan pesta atau hajatan. Pendapat lain menyatakan bahwa sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara keagamaan bagi anak-anak muda pada zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, sinom diberi arti sekaring rikma atau anak rambut. Selain itu, sinom juga diartikan sebagai daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan pelukisan daun muda.

Pemaknaan sinom dalam budaya Jawa dewasa ini berasal dari kata "si" (sang) dan "(a)nom" (muda). Bilamana keduanya digabung, maka bermakna "dia sang pemuda" atau "dia yang masih muda". Oleh karenanya, dalam filosofi kebudayaan Jawa, sinom digambarkan sebagai watak dari pemuda yang ingin banyak tahu akan perkara dunia, tak kenal takut, dan selalu ceria.

Asmarandana

sunting

Asmarandana (Hanacaraka: ꦄꦱ꧀ꦩꦫꦟ꧀ꦝꦤ) berasal dari kata asmaradhahana, yang ketika dipenggal menjadi "asmara" (cinta) dan "dhahana" atau "dhana" (api). Dalam mitologi dan kebudayaan Hindu, Hyang Asmara adalah nama dewa percintaan di pewayangan Jawa-Bali. Nama Asmarandana berkaitan dengan peristiwa hangusnya Asmara oleh sorot mata ketiga Siwa seperti yang disebutkan dalam Kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, smarandana diberi arti "remen ing paweweh" yang bermakna suka memberi.

Dalam falsafah Jawa, asmarandana adalah tembang yang menggambarkan gejolak cinta seorang pemuda yang kian membara atau berapi-api. Oleh karnanya, di sepanjang pulau Jawa, tembang Jawa Kuno Asmarandana tidak mungkin membawakan kisah kematian atau kesedihan, karena bergesekan dengan pakem rasa atau sudah menjadi selera kukuh orang Jawa.

Dhandhanggula

sunting

Dhandhanggula[19] (Hanacaraka: ꦝꦟ꧀ꦝꦁꦒꦸꦭ) diambil dari nama Raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis atau Rakai Prabu Dhandhanggula yang terkenal sesudah Prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, dhandhanggula berarti "ngajeng-ajeng kasaean" (menanti-nanti kebaikan).

Sementara itu, dalam falsafah Jawa, dhandhanggula bermakna panci dandang yang berisi gula. Hal ini menggambarkan sesuatu yang dikerubungi semut dan mengibaratkan kondisi apabila seseorang yang baik dalam rupa, lahir-batin, serta tingkah lakunya, tentu akan "dikerubungi" (diminati) oleh banyak orang.

Durma (Hanacaraka: ꦢꦸꦂꦩ) adalah lakuran dari "mundur Ma lima". Moh limo atau ma lima adalah filosofi Jawa mengenai sikap menjauhi atau menolak (moh) lima bentuk "ma" (ꦩ), yaitu madhat (terj. har.'candu', maksudnya mabuk akan zat), madon (terj. har.'perempuan', maksudnya berzina atau melakukan hubungan dengan bukan mahramnya), main (terj. har.'bermain', maksudnya permainan yang bersifat judi), minum (terj. har.'meminum', maksudnya mabuk akan minuman beralkohol atau khamr), dan maling (terj. har.'mencuri').

Tembang durma juga berwatak atau biasa digunakan dalam suasana galak, seram, atau berani. Selain itu, "durma" juga identik dengan kata "derma" (memberi). Berdasarkan makna homofon tersebut, durma memiliki substansi petuah, nasihat, atau kabar menakutkan untuk meningkatkan ketaatan beragama dan sebagainya. Durma memiliki makna pengibaratan, "hanya memberi tak harap kembali" atau "anut sukur, ora anut nyong ora rugi" (bahasa Jawa Banyumasan: (bila) patuh syukur, (bila) tidak patuh saya tidak rugi).[butuh rujukan]

Dalam falsafah Jawa, durma identik ditembangkan oleh orang yang sudah berumur kepada para pemuda supaya menjalani kehidupan dengan lebih baik dan benar serta tidak menyalahi larangan Tuhan.

Mijil (Hanacaraka: ꦩꦶꦗꦶꦭ꧀) berasal dari kata wijil (biji). Mijil bermakna biji yang keluar. Dalam kebudayaan Jawa, mijil adalah pengibaratan atas bayi yang keluar dari rahim ibunya menuju dunia luar yang luas. Biji yang keluar adalah cikal-bakal kehidupan yang berharga, yakni fase dari yang tidak ada, kemudian diadakan, hingga dilahirkan, sebagai bentuk anugerah Tuhan yang amat besar.

Menurut filosofi Jawa-Islam, wijil juga diartikan sebagai pintu/gerbang tercatatnya pahala seseorang yang perlu dipelihara hingga ia kanak-kanak dan beranjak dewasa dan siap menghadapi kehidupan.

Kinanthi

sunting

Kinanthi (Hanacaraka: ꦏꦶꦤꦟ꧀ꦛꦶ) berarti menimang, bergandengan, atau berteman mesra. Dalam metafora Jawa, kinanthi digambarkan sebagai kedua orang tua yang terkelu namun bahagia sembari melihat buah hatinya setelah kelahiran hingga sesaat sebelum ia mengalami keremajaan (yang ditandai dengan akil balig dan munculnya romansa cinta). Oleh karenanya, kinanthi menggambarkan harapan orang tua supaya anak menjadi seseorang yang membanggakan dan berbakti kepada orang tua, suku, bangsa, negara, dan agamanya. Dari arti itu, tembang kinanthi berwatak suasana mesra dan senang penuh harap.

Gambuh

sunting

Gambuh (Hanacaraka: ꦒꦩ꧀ꦧꦸꦃ) berasal dari kata jumbuh (tepat atau sesuai selera). Gambuh adalah metafora dari anak kecil yang cenderung lugu, polos, dan punya banyak hobi serta tak suka dibantah keinginannya. Oleh karenanya, tembang gambuh berwatak suasana tidak ragu-ragu atau melakukan segala sesuatu sesuai keinginan.

Pucung

sunting

Pucung[20] (Hanacaraka: ꦥꦸꦕꦸꦁ) bermakna biji kepayang. Pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan kesegaran. Dalam Serat Purwaukara, pucung berarti "kudhuping gegodhongan" (kuncup dedaunan) yang biasanya tampak segar.

Selain itu, kata "cung" dalam pucung mengacu pada hal-hal bersifat lucu yang menimbulkan "kesegaran suasana", misalnya kuncung dan kacung sehingga tembang pucung berwatak dasar fleksibel, santai, dan penuh keingintahuan. Hal ini ditunjukkan dengan isi tembang pucung yang rata-rata berisi tebak-tebakan yang sebelumnya sudah diberi petunjuk. Permainan tebak-tebakan Jawa Kuno cenderung menggunakan lagu pucung sebagai pengantar petunjuknya untuk kemudian ditebak. Ketika dijadikan tebak-tebakan, lagu tersebut cenderung selalu mengandung kata "bapak pucung/pocung" sebagai awalannya.

Megatruh

sunting

Megatruh (Hanacaraka: ꦩꦼꦒꦠꦿꦸꦃ) berasal dari awalan am-, pegat, dan ruh. Pegat berarti putus, tamat, pisah, atau cerai dan ruh berarti roh. Dalam Serat Purwaukara, megatruh diberi arti "mbucalken sarwa ala" (membuang semua yang serba jelek).

Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana atau tempat tinggal; pameget atau pamegat yang berarti jabatan; dan samgat atau samget berarti jabatan ahli atau guru agama. Dengan demikian, megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat menurut kebudayaan Bali-Hindu.

Sementara itu, dalam sudut pandang Jawa-Islam, megatruh adalah penggambaran lepasnya roh dari raga yang kemudian akan disiapkan untuk kehidupan selanjutnya, yakni apakah roh akan memasuki alam barzakh (alam untuk orang beramalan biasa), alam mulkiyah (alam untuk orang saleh yang berbakti kepada Allah dan rasulnya), atau alam nur (alam untuk para nabi dan rasul). Dalam substansinya, tembang ini berisi kabar gembira dan menyenangkan. Adapula versi lain yang menggambarkan kisah orang meninggal secara husnul khathimah (berakhir bahagia) atau bukan.

Wirangrong

sunting

Wirangrong (Hanacaraka: ꦮꦶꦫꦁꦫꦺꦴꦁ) berarti trenyuh (sedih), nelangsa (penuh derita), dan kapirangu (ragu-ragu). Namun, dalam teks sastra, wirangrong justru digunakan dalam suasana berwibawa.

Jurudhemung

sunting

Jurudhemung[21] (Hanacaraka: ꦗꦸꦫꦸꦝꦼꦩꦸꦁ) berasal dari kata juru yang berarti tukang dan dhemung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, jurudhemung berarti penabuh gamelan. Dalam Serat Purwaukara, jurudhemung diberi arti "lelinggir kang landep" (pisau yang tajam).

Girisa

sunting

Girisa (Hanacaraka: ꦒꦶꦫꦶꦱ) berasal dari kata "giris". Menurut kebudayaan Bali-Hindu, girisa berasal dari bahasa Sanskerta, giriça, yakni "seseorang yang bertahta di gunung" (Siwa) atau disebut Hyang Girinata. Dalam Serat Purwaukara, girisa diberi arti "boten sarwa wegah" (tidak serba enggan) sehingga mempunyai watak selalu ingat.

Balabak

sunting

Balabak (Hanacaraka: ꦧꦭꦧꦏ꧀) dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Jika dihubungkan dengan kata bålå (pasukan) dan båkå (bangau), balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung bangau, yang apabila terbang pasukan burung bangau itu tampak santai. Oleh karena itu, tembang balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.

Tabel macapat

sunting

Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini:[22]

Metrum
Gatra
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula
10
10i 10a 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
Maskumambang
4
12i 6a 8i 8a
Sinom
9
8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
Kinanthi
6
8u 8i 8a 8i 8a 8i
Asmarandana
7
8i 8a 8é/o 8a 7a 8u 8a
Durma
7
12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i
Pangkur
7
8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i
Mijil
6
10i 6o 10é 10i 6i 6u
Pucung
4
12u 6a 8i 12a
Tembang tengahan / Sekar madya
Jurudhemung
7
8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u
Wirangrong
6
8i 8o 10u 6i 7a 8a
Balabak
6
12a 12a 12u
Gambuh
5
7u 10u 12i 8u 8o
Megatruh
5
12u 8i 8u 8i 8o
Tembang gedhé / Sekar ageng
Girisa
8
8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a

Contoh penggunaan metrum macapat

sunting

Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum

Dhandhanggula

sunting

Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.

Contoh (Serat Jayalengkara):

Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Prajêng Medhang Kamulan winarni, Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
narèndrâdi Sri Jayalengkara, ketika sang raja agung Sri Jayalengkara
kang jumeneng nerpatiné, yang bertahta sebagai raja
ambek santa budi alus, memiliki pikiran tenang dan berbudi halus
nata dibya putus ing niti, raja utama pandai dalam ilmu politik
asih ing wadya tantra, mengasihi para bala tentara
paramartêng wadu, sayang terhadap para wanita
widagdêng mring kasudiran, teguh terhadap jiwa kepahlawanan
sida sedya putus ing agal lan alit, berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
tan kènger ing aksara. tidak terpengaruh sihir.

Maskumambang

sunting

Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis

Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili

Gung tinamêng astanira

Pangéran Panggung saksana

Anyangking daluwang mangsi
Dènira manjing dahana
Alungguh sajroning geni
Èca sarwi nenulis

Ing jero pawaka murub

Asmaradana

sunting

Aja turu soré kaki

Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun

Wong melek sabar narima

Kinanthi

sunting

Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.

Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):

Anoman malumpat sampun,

Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,

Ingkang iga-iga kêksi.

Gambuh

sunting

Sekar gambuh ping catur,

Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpa tutur katula tula katali,
Kadaluwarsa katutuh,

Kapatuh pan dadi awon.

Pangkur

sunting

Lumuh tukua pawarta,

Tan saranta nuruti hardengati,
Satata tansah tinemu,
Kataman martotama,
Kadarmaning narendra sudibya sadu,
Wus mangkana kalih samya,

Sareng manguswa pada ji.

(Haji Pamasa, Ranggawarsita)

Mingkar mingkuring angkara,

Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,

Gonyak ganyuk nglelingsemi.

Damarwulan aja ngucireng ngayuda

Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Lah Bisma den prayitna
Katiban pusaka mami
Mara tibakna

Curiganira nuli

(Langendriyan)

Jalak uren mawurahan sami

Samadya andon woh
Amuwuhi malad wiyadine
Ana manuk mamatuk sasari
Angsoka sulastri

Ruru karya gandrung

(Haji Pamasa, Ranggawarsita)

Megatruh

sunting

Sigra milir kang gèthèk sinangga bajul

Kawan dasa kang njagèni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kéring

Kang gèthèk lampahnya alon

(Babad Tanah Jawi, Yasadipura)

Pucung

sunting

Ngelmu iku kalakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budya pengekesing dur angkara

Contoh lain dalam versi tebak-tebakan Jawa klasik:

Bapak Pocung, dudu watu, dudu gunung

(Ayo tebak, dia bukan batu bukan pula gunung)

Sabane ing sendhang (Dia suka tinggal di sungai)

Ngon-ingone sang Bupati (Dipelihara orang kaya seperti Si Bupati)

Yen lumaku si Pocung lembehan grono

(Kalau berjalan Si Dia suka melambaikan hidung)

Jawaban dari tebak-tebakan tembang pucung tersebut adalah gajah. Inilah sebabnya tembang pucung amat populer dikalangan anak-anak, karena menarik untuk dijadikan lagu permainan tebak-tebakkan. Pun demikian, syarat pakem dari guru lagu dan guru wilangan harus tetap terpenuhi.

Jurudemung

sunting

Ni ajeng mring gandhok wétan

Wus panggih lan Rara Mendut
Alon wijilé kang wuwus
Hèh Mendut pamintanira
Adhedhasar adol bungkus
Wus katur sarta kalilan

Déning jeng kyai Tumenggung

(Serat Pranacitra)

Cirining serat iberan

Kebo bang sungunya tanggung
Saben kepi mirah ingsun
Katon pupur lalamatan
Kunir pita kasut kayu
Wulucumbu Madukara

Paran margane ketemu

(Serat Sekar-Sekaran, Mangkunegara IV)

Wirangrong

sunting

Dèn samya marsudêng budi

Wiwéka dipunwaspaos
Aja-dumèh-dumèh bisa muwus
Yèn tan pantes ugi
Sanadyan mung sakecap

Yèn tan pantes prenahira

(Serat Wulangrèh, Pakubuwana IV)

Balabak

sunting

Byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang

mamèt wé
Turut marga nyambi reramban janganan
antuké
Praptêng wisma wusing nyapu atetebah

jogané

(Serat Jaka Lodhang, Ranggawarsita)

Kabalabak jroning jagad gedhe ana

yektine
Jagad cilik sinorotan surya, kembar
pandhane
Soring surya ana gunung gung saguja

blegere

(Ki Padmosukoco)

Girisa

sunting

Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.

Dene utamaning nata, 8 a

Berbudi bawa leksana, 8 a
Lire berbudi mangkana, 8 a
Lila legawa ing driya, 8 a
Agung dennya paring dana, 8 a
Anggeganjar saben dina, 8 a
Lire kang bawa leksana, 8 a

Anetepi pangandika. 8 a

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan
  2. ^ Hinzler (1994:v-vi)
  3. ^ Van der Meij 2002, hlm. 170
  4. ^ Sudjarwadi et al (1980)
  5. ^ Effendy, Moh Hafid (2021-01-30). "Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura". Khazanah Theologia. 3 (1): 1–12. doi:10.15575/kt.v3i1.10959. ISSN 2715-9701. 
  6. ^ Drewes (1977:198-217)
  7. ^ Koroh et al. (1977:27-29) dikutip dari Arps (1992:7)
  8. ^ a b c d Pigeaud 1967, hlm. 20
  9. ^ a b c d e f g h i j Ras 1982, hlm. 309
  10. ^ Ras 1982:313
  11. ^ Ras 1982:314
  12. ^ "Ranggawarsita , serat Kalatidha - Een duistere tijd". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-04-26. Diakses tanggal 2010-05-2. 
  13. ^ a b c d Arps 1992, hlm. 14-15
  14. ^ Arps (1996:51)
  15. ^ a b c d e f g h i j k Arps 1992, hlm. 62-63
  16. ^ Menurut Robson (1979:306) dan Damais (1958:55-57) yang dikutip oleh Arps (1992:14)
  17. ^ Prijohoetomo 1934, hlm. ?
  18. ^ Menurut Serat Purwaukara.
  19. ^ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dieja sebagai "dandanggula"
  20. ^ Juga disebut sebagai pocung
  21. ^ Dieja sebagai jurudemung di KBBI.
  22. ^ Sesuai tabel yang diberikan oleh Ras (1982:310)

Sumber pustaka

sunting
  • (Inggris) Bernard Arps, 1992, Tembang in two traditions: performance and interpretation of Javanese literature. London: SOAS
  • (Inggris) Hedi I.R. Hinzler, 1994, Gita Yuddha Mengwi or Kidung Ndèrèt. A facsimile edition of manuscript Cod. Or. 23.059 in the Library of Leiden University. Leiden: ILDEP/Legatum Warnerianum
  • (Indonesia) Karsono H. Saputra, 1992, Pengantar Sekar Macapat. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ISBN 979-8184-02-5
  • (Inggris) Th. C. van der Meij, 2002, Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden: CNWS. ISBN 90-5789-071-2
  • (Inggris) Th. Pigeaud, 1967, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D. The Hague: Martinus Nyhoff
  • (Jawa) Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan
  • (Belanda) Prijohoetomo, 1934, Nawaruci: inleiding, Middel-Javaansche prozatekst, vertaling vergeleken met de Bimasoetji in oud-Javaansch metrum. Groningen: Wolters
  • (Belanda) J.J. Ras, 1982, Inleiding tot het modern Javaans. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4
  • (Indonesia) I.C. Sudjarwadi et al., 1980, Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Jember: Universitas Negeri Jember.
  • Effendy, Moh Hafid (2021-01-30). "Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura". Khazanah Theologia. 3 (1): 1–12. doi:10.15575/kt.v3i1.10959. ISSN 2715-9701