Konflik Mataram-Belanda adalah sebuah konflik militer dan politik antara Mataram dengan Belanda. Pada awalnya konflik ini didasari oleh persaingan perdagangan dan seiring waktu mulai mencapai persaingan takhta dan politik di Mataram.

Konflik Mataram-Belanda

Perlawanan di Batavia oleh Mataram, 1628–1629
(Cetakan setelah 1680)
Tanggal1628 - 1757
LokasiJawa
Hasil
  • Kemenangan Belanda
  • Keruntuhan Kesultanan Mataram
Perubahan
wilayah
Mataram terbagi atas dua kerajaan dan satu kadipaten
Pihak terlibat
Kesultanan Mataram Kesultanan Mataram
Pemberontak Anti-Belanda
Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC)
Fraksi Pro-Belanda
Tokoh dan pemimpin
Sultan Agung dari Mataram
Amangkurat III
Pakubuwana II (hingga 1741)
Pangeran Mangkubumi
Pangeran Sambernyawa
Jan Pieterszoon Coen  
Govert Knol
Hugo Verijsel
Pakubuwana II (sejak 1741)
Pakubuwana I
Pakubuwana III
Nicolaas Haartingh
Kekuatan
Tidak diketahui Tidak diketahui
Korban
Tidak diketahui Tidak diketahui

Latar Belakang

konflik dimulai ketika Kompeni Belanda datang dan mengirimkan duta untuk berdagang dan mendirikan loji dan benteng di Pantai Utara Mataram namun hal ini ditolak oleh Sultan Agung dari Mataram.[1]

Tetapi pada saat Kampanye militer di Surabaya Sultan Agung memanfaatkan VOC untuk membantu nya memerangi Surabaya dan aliansinya,setelah selesai menaklukkan Surabaya Sultan mengirimkan dutanya ke Batavia untuk berdamai dengan syarat-syarat tertentu namun ditolak oleh VOC.[2]

Setelah Pemberontakan Orang Madura yang membuat Ibukota Mataram yaitu Plered hancur akhirnya mereka berpindah Ibukota ke Kartasura. Amangkurat II (anak dari Amangkurat I dan cucu dari Sultan Agung) membujuk kakak tirinya,Pangeran Puger untuk ikut bersamanya di Kartasura lalu Pangeran Puger menolak dan terjadilah konflik.[3]

Pangeran Puger kalah lalu menyerah kepada Jacob Couper perwira VOC yang membantu Amangkurat II dan akhirnya Pangeran Puger mengakui kedaulatan Amangkurat II sebagai Sultan dan penguasa Mataram.[4]

Lalu setelah Perang Keluarga dan Pemberontakan Takhta ada sebuah kerusuhan yang terjadi di Batavia kerusuhan itu dikenal sebagai Geger Pacinan yang membuat 10.000 pedagang China tewas dan membuat mereka terusir dari Batavia.[5] [6]

Pada awalnya mereka akan pergi ke Banten tetapi Pasukan dari Kesultanan Banten yang berjumlah 3.000 datang dan menghadang rombongan tersebut. Dan akhirnya para korban yang selamat pergi ke Semarang dan membentuk persekutuan antara Orang China-Orang Jawa.[7][8]

Usai Pemberontakan China-Jawa Mataram mengalami banyak kerugian seperti kehilangan kota-kota penting yaitu Demak dan Semarang dan juga kehilangan banyak wilayah serta kerugian finansial yang tinggi, perang Takhta kembali berkecamuk akibat perlakuan buruk Gubernur Jendral kepada Pangeran Mangkubumi yang membuat Pangeran memberontak kepada Belanda.[9][10]

Jalannya Konflik

Penyerbuan Batavia (1628-1629)

 
kapal-kapal mataram pada saat menyerbu Batavia

Pada serangan pertama Armada milik Tumenggung Bahureksa membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa dan 12.000 karung beras. Untuk pengalihan kepada Belanda,namun Belanda menyadarinya dan membuat baris pertahanan. Setelah banyak kapal menepi akhirnya mereka menyerbu Batavia mereka akhirnya dibantu pasukan kedua pada bulan oktober yang dipimpin Pangeran Mandurareja namun semua serangan ini gagal dan pada akhirnya Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja dieksekusi di Batavia pada Desember 1628.[11]

Serangan kedua dilakukan pada Mei 1629 pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur dan pasukan kedua dipimpin oleh Adipati Juminah,kali ini Mataram menyiapkan perbekalan beras di Karawang dan Cirebon. Pada saat serangan dilaksanakan mereka berhasil membendung dan mengotori sungai Ciliwung yang membuat wabah Kolera Jan Pieterszoon Coen meninggal akibat wabah itu tetapi Belanda menggunakan mata-mata untuk mengetahui perbekalan Mataram dan menghancurkannya sehingga pasukan Mataram kurang perbekalan dan dikalahkan.[12]

Perang Takhta Jawa Pertama (1704-1708)

 
lukisan amangkurat iii

Pada tahun 1703 Amangkurat II meninggal dan digantikan oleh anaknya Amangkurat III sementara pamannya Pangeran Puger lari dari Kartasura ke Semarang untuk mencari dukungan ke VOC dan setelah mendapat dukungan dan mengakui Pangeran Puger sebagai raja. Setelah mendapatkan dukungan dari VOC akhirnya Puger berperang melawan keponakannya ia melancarkan kampanye Militer hingga membuat Amangkurat III kewalahan dan meninggalkan banyak tempat.[13]

Akhirnya setelah beberapa pertempuran Amangkurat III terpaksa menyerah dan berunding dengan VOC akhirnya ia menyerahkan status Sultan kepada Pangeran Puger dan VOC membuang nya ke Ceylon. Dan juga Belanda membuat kontrak dengan Mataram dan juga harus mengakui bahwa Cirebon adalah proktetorat milik Belanda.[14][15]

Pertempuran Demak (1704)

Pada akhir 1704 pasukan Pangeran Puger dengan bantuan dari VOC mampu merebut dan menaklukkan Demak dari tangan Amangkurat III ini menjadi kekalahan pertama dari Amangkurat III.[13]

Pertempuran Kartasura (1705)

Pada awal 1705 pasukan Pangeran Puger yang dibantu prajurit bayaran dari Ambon,Banda,Makassar, Madura, dan Melayu menyerang Kartasura ini menjadi kekalahan yang besar bagi Amangkurat III dan para pasukan menjarah Kartasura disana Pangeran Puger memasuki istana dan menjadi Sultan.[13]

Pertempuran Pasuruan (1706)

Pada tahun 1706 pasukan Pangeran Puger kembali menyerang Amangkurat III kali ini di Pasuruan mereka berhasil mengalahkan pasukan Amangkurat dan juga pemimpin pasukan yaitu Untung Suropati mati dikarenakan Pertempuran ini[16]

Perang Jawa (1741-1743)

 

Perang ini bermula pada saat terjadinya Kerusuhan di Batavia dan para korban yang selamat pergi ke Semarang , disana mereka membentuk persekutuan dengan orang Jawa dan juga merencanakan Pemberontakan kepada Belanda.[17]

Konflik dimulai pada saat aksi di Pati (1741) lalu para pemberontak kembali menyerang pos-pos dan rumah para tentara Belanda di Rembang,Juwana,Demak,dan Jepara ini membuat komandan VOC pada saat itu mengalami mental yang tidak stabil dan digantikan oleh komandan yang baru.[8][18][19][20]

Lalu para pemberontak segera menyerang dan mengepung Kota Semarang dan ini membuat Belanda terdesak dan juga banyaknya korban jiwa di pihak Belanda. Dalam situasi ini Belanda hampir putus asa namun pasukan bantuan datang dan menyerang pemberontak sehingga pemberontak kocar-kacir dan Pakubuwana II meninggalkan pemberontak lalu memilih untuk bergabung dengan Belanda.[21][20][18][22]

Dan pada akhirnya Pakubuwana II dianggap pengkhianat oleh pemberontak Tionghoa-Jawa lalu mereka melancarkan serangan ke Kartasura. Serangan itu sukses dan membuat pasukan Belanda dan juga keluarga Pakubuwana II mundur dari Kartasura akibat serangan ini. Namun kemenangan ini tidak lama pada akhirnya Belanda menyerang pos-pos pemberontak di Demak dan Kudus dan membuat Pemberontak kalah.[23][24][25]

Penjarahan di Pati (1741)

Pada tahun 1741 kelompok pemberontak yang berjumlah 37 orang menyerang rumah seorang Kopral Belanda di Pati mereka membunuh sang Kopral dan menjarah rumah tersebut termasuk persenjataan.[26]

Pertempuran Juwana (1741)

Pada 23 Mei 1741 1.000 pasukan pemberontak menyerang pos Juwana yang berada di Rembang mereka berhasil mengalahkan Belanda di sana dan menjarah semua harta yang ada di pos tersebut.[18]

Pertempuran Rembang (1741)

Setelah mereka merebut dan menyerbu pos Juwana dari tangan Belanda para pemberontak menyerang pos-pos dan kantor yang berada di Rembang disana mereka berhasil menangkap dokumen penting,persenjataan, dan perbekalan. [27]

Pertempuran Demak (1741)

Usai merebut pos-pos dan kantor yang berada di Rembang selanjutnya para pemberontak menyerang Demak disana komandan VOC melakukan kesalahan besar dan juga semakin menguatnya serangan para pemberontak menyebabkan Demak berhasil direbut dan para komandan VOC mundur.[18][27]

Pertempuran Jepara (1741)

Setelah semua wilayah yang dimiliki VOC direbut akhirnya komandan dan pasukan VOC tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti dan mereka semakin terdesak dan pada akhirnya Jepara jatuh ke dalam tangan pemberontak.[20]

Pengepungan Semarang (1741)

pasukan pemberontak melancarkan serangan ke kota terpenting VOC yaitu Semarang disana mereka mengirimkan banyak ekspedisi agar Semarang jatuh ke dalam tangan pemberontak dan ini sukses membuat pemberontak dekat dengan benteng VOC yang berada di Semarang.[22][18]

dan datanglah bala bantuan dari Cakraningrat IV dan juga pasukan Bantuan VOC untuk membalas serangan ini mereka akhirnya bisa mendapatkan kembali wilayah Semarang yang direbut pemberontak sekaligus membunuh banyak pemberontak. Situasi ini membuat Pakubuwana II panik dan pada akhirnya ia membelot dari pemberontak ke pihak VOC.[28][29]

Kejatuhan Kartasura (1742)

Pakubuwana II meninggalkan pemberontak dan dianggap sebagai pengkhianat bagi para pemberontak mereka pada akhirnya melanjutkan pemberontakan ini. [30][31]

Khe Pandjang pemimpin pemberontak China melakukan penyerangan ke Kartasura dan serangan ini adalah kemenangan terbesar bagi pemberontak karena dapat merebut Ibukota Mataram dan Istana disana.[23]

Pasukan Pakubuwana II yang berjumlah 2.000 orang tetap mempertahankan Kota itu dari tangan pemberontak sementara Pakubuwana II dan keluarganya melarikan diri dan menyebrang ke sungai Bengawan Solo dan pada akhirnya kota Kartasura jatuh ke dalam tangan pemberontak. [24]

Pertempuran Salatiga (1742)

Pasukan VOC dan pasukan Pakubuwana II membersihkan area atau tempat yang dianggap sarang pemberontak mereka akhirnya terjebak di Salatiga dan diserang oleh pemberontak dan akhirnya mereka kalah semua prajurit ditangkap dan dieksekusi.[32]

Pertempuran Demak dan Kudus (1742)

Pada akhirnya kekuasaan VOC kembali dan akhirnya mereka mampu memukul mundur dan mengalahkan pemberontak mereka menyerang Demak dan Kudus yang akhirnya kembali ke tangan VOC dan juga mengakhiri pemberontakan.[33]

Perang Takhta Jawa ketiga (1749-1757)

 
Wilayah Mataram usai perang takhta jawa ketiga

Perang ini disebabkan karena perlakuan buruk Belanda terhadap Pangeran Mangkubumi dan akhirnya ia memberontak lalu menyerang VOC. Pergerakan ini juga didukung oleh Pangeran Sambernyawa sepupunya seorang prajurit yang brilian.[9]

dan setelah pengangkatan Raden Mas Suryadi menjadi Pakubuwana III terjadilah perpecahan yang menyebabkan perang Takhta berlangsung kampanye militer dilancarkan di Surakarta dan Demak. [9]

dan ini menyebabkan perpecahan berat di Mataram dan pada akhirnya perang ini diakhiri dengan Perjanjian Giyanti yaitu perjanjian untuk memisahkan wilayah Mataram.[34]

Pertempuran Surakarta (1747)

Pada tahun 1747 pasukan yang dipimpin Pangeran Mangkubumi menyerang Surakarta dengan 13.000 prajurit mereka berhasil mengalahkan VOC dan mendapatkan Surakarta pada saat itu VOC dalam situasi terburuk.[9]

Pertempuran Surakarta (1750)

Pangeran Mangkubumi kembali menyerang Surakarta pada tahun 1750 sukses menyerang VOC dan juga merebut beberapa post disana membuat banyak korban jiwa di pihak VOC.[10]

Pertempuran Grobogan (1750)

pada tahun 1750 pasukan Pangeran Mangkubumi kembali menyerang Grobogan kali ini menyebabkan korban jiwa berjatuhan kepada VOC dan membuat VOC kalah dengan memalukan.[10]

Pertempuran Demak (1750)

Pasukan Sambernyawa kembali menyerang VOC kali ini di Demak akhirnya VOC di kalahkan dan membuat korban lebih banyak di pihak VOC [10].

Pertempuran Bogowonto(1750)

Pasukan Mangkubumi dan Sambernyawa menyerang VOC di sungai Bogowonto dan kali ini serangan sukses menyebabkan VOC kalah dan banyaknya korban jiwa[10]

Dampak

 
teks perjanjian giyanti

Pada akhirnya Mataram kalah dari semua perang yang mereka lakoni melawan VOC dan semua perang ini menyebabkan banyak wilayah jatuh kedalam tangan VOC[14][15].

Dan juga konflik ini membuat Mataram runtuh dan mengalami kerugian besar dalam perjanjian yang mereka buat dengan VOC dan perang ini menunjukan supremasi kekuatan VOC di Nusantara.[34]

Referensi

  1. ^ Drs R., Soekmono (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 61. ISBN 9794132918. 
  2. ^ Drs R., Soekmono (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 61. ISBN 9794132918. 
  3. ^ Hasibuan,H 2020, hlm. 15.
  4. ^ Hasibuan,H 2020, hlm. 16.
  5. ^ Setiono 2008, hlm. 114-115.
  6. ^ Setiono 2008, hlm. 119.
  7. ^ Setiono 2008, hlm. 136.
  8. ^ a b Setiono 2008, hlm. 137.
  9. ^ a b c d Ricklefs 2008, hlm. 127.
  10. ^ a b c d e Ricklefs 2008, hlm. 128.
  11. ^ Romain, Betrand (2011). L'Histoire à parts etalase, Récits ďune rencontre Orient-Occident. Paris: Seuil. hlm. 420–430. ISBN 9782021057393. 
  12. ^ Romain, Betrand (2011). L'Histoire à parts etalase, Récits ďune rencontre Orient-Occident. Paris: Seuil. hlm. 430–436. ISBN 9782021057393. 
  13. ^ a b c Ricklefs 2008, hlm. 110.
  14. ^ a b Ricklefs 2008, hlm. 111.
  15. ^ a b Ricklefs 2008, hlm. 112.
  16. ^ Hasibuan,H 2020, hlm. 18.
  17. ^ Setiono 2008, hlm. 114-137.
  18. ^ a b c d e Ricklefs 1983, hlm. 272.
  19. ^ Hall 1981, hlm. 357.
  20. ^ a b c Setiono 2008, hlm. 147.
  21. ^ Raffles 1830, hlm. 218.
  22. ^ a b Setiono 2008, hlm. 146.
  23. ^ a b Setiono 2008, hlm. 152.
  24. ^ a b Setiono 2008, hlm. 153.
  25. ^ Raffles 1830, hlm. 244.
  26. ^ Setiono 2008, hlm. 135.
  27. ^ a b Setiono 2008, hlm. 145.
  28. ^ Setiono 2008, hlm. 148.
  29. ^ Ricklefs 1983, hlm. 281.
  30. ^ Raffles 1830, hlm. 242.
  31. ^ Setiono 2008, hlm. 156.
  32. ^ Setiono 2008, hlm. 151.
  33. ^ Setiono 2008, hlm. 155.
  34. ^ a b Ricklefs 2008, hlm. 129.

Sumber