Pakubuwana I

Susuhunan dari Mataram

Sri Susuhunan Pakubuwana I (bahasa Jawa: ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧇, translit. pakubuwana kapisan, har. 'pakubuwana satu', dikenal juga sebagai Sunan Ngalaga atau Pangeran Puger; lahir di Plered, Mataram pada tahun 1648, wafat di Kartasura, Mataram pada tanggal 22 Februari 1719) adalah susuhunan Mataram ketujuh yang memerintah antara tahun 17041719. Ia merupakan paman dari Amangkurat III dan menggantikan keponakannya sebagai sunan menggunakan gelar baru untuk garis keturunannya, dengan gelar Pakubuwana. Kebanyakan kronik Jawa (babad) menggambarkannya sebagai seorang penguasa yang bijaksana dan agung. Setelah wafat putranya menggantikannya dengan gelar Amangkurat IV.

Pakubuwana I
ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧇
Sunan Ngalaga
Lukisan Pangeran Puger (Pakubuwana I), menghukum mati putrinya dengan cara dicekik atas perintah Amangkurat III karena perselingkuhannya dengan anak seorang pejabat.[1]
Susuhunan Mataram
ke-7
Bertakhta17041719
PendahuluAmangkurat III
PenerusAmangkurat IV
KelahiranRaden Mas Darajat
2 Februari 1648
Kesultanan Mataram Plered, Mataram
Kematian22 Februari 1719
Kesultanan Mataram Kartasura, Mataram
Pemakaman
PermaisuriRatu Mas Balitar
Nama takhta
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I
Nama anumerta
Sunan Ngalaga
Bahasa Jawaꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧇
WangsaMataram
AyahAmangkurat I
IbuRatu Wetan
AgamaIslam

Silsilah

sunting

Sunan Pakubuwana I atau Pangeran Puger terlahir dengan nama Raden Mas Darajat, ia adalah putra Amangkurat I dan cucu dari Sultan Agung. Ayahnya merupakan raja Mataram keempat, Pangeran Puger terlahir dari permaisuri kedua, Ratu Wetan. Ratu Wetan berasal dari keluarga Kajoran, keturunan Pajang.

Pangeran Puger pernah diangkat sebagai putra mahkota (adipati anom) ketika terjadi konflik antara ayahnya, Amangkurat I dengan Raden Mas Rahmat (kemudian bergelar Amangkurat II). Raden Mas Rahmat adalah saudara tiri Pangeran Puger, lahir dari Ratu Kulon (permaisuri pertama Amangkurat I). Amangkurat I melepaskan gelar putra mahkota dari Raden Mas Rahmat dan menyerahkannya kepada Raden Mas Darajat. Namun, ketika keluarga Kajoran terbukti mendukung pemberontakan Trunajaya pada tahun 1674, Amangkurat I terpaksa mencabut gelar putra mahkota (adipati anom) dari Raden Mas Darajat.

Mempertahankan Plered

sunting

Puncak pemberontakan Trunajaya terjadi pada tahun 1677. Pangeran dari Madura tersebut melancarkan serangan besar-besaran ke ibu kota Kesultanan Mataram yang terletak di Keraton Plered. Amangkurat I melarikan diri ke barat dan menugasi Raden Mas Rahmat (adipati anom) untuk mempertahankan istana. Namun, Raden Mas Rahmat menolak dan memilih ikut mengungsi. Pangeran Puger pun tampil menggantikan kakak tirinya tersebut untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa tidak semua anggota keluarga Kajoran terlibat dalam pemberontakan Trunajaya.[2]

Ketika pasukan Trunajaya tiba di Keraton Plered, pihak Amangkurat I telah pergi mengungsi. Pangeran Puger pun berjuang menghadapinya. Namun, kekuatan musuh sangat besar. Ia terpaksa menyingkir ke desa Jenar. Di sana Pangeran Puger membangun istana baru bernama Keraton Purwakanda. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan ing Ngalaga atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ngalaga.[2]

Trunajaya menjarah harta pusaka Mataram. Ia kemudian pindah ke markasnya di Kediri. Pada saat itulah Sunan Ngalaga kembali ke Keraton Plered untuk menumpas sisa-sisa pengikut Trunajaya yang sengaja bertugas di sana. Sunan Ngalaga pun mengangkat dirinya sebagai raja Mataram yang baru.

Meninggalkan Plered

sunting

Sementara itu Amangkurat I meninggal dunia dalam pengungsiannya di Banyumas dan dimakamkan di daerah Tegal, dekat gurunya. Ia sempat menunjuk Raden Mas Rahmat untuk menggantikannya sebagai raja Mataram yang baru bergelar Amangkurat II. Sesuai wasiat ayahnya tersebut, Amangkurat II pun meminta bantuan VOC - Belanda.

Amangkurat II mulanya merupakan raja tanpa istana karena Keraton Plered telah diduduki oleh Sunan Ngalaga, adiknya sendiri. Ia pun membangun istana baru di hutan Wanakarta, yang kemudian diberi nama Keraton Kartasura pada bulan September 1680. Amangkurat II kemudian membujuk Sunan Ngalaga supaya bergabung dengannya tetapi panggilan tersebut ditolak.[3]

Penolakan tersebut menyebabkan terjadinya perang saudara. Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Sunan Ngalaga menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ngalaga pun kembali bergelar sebagai pangeran dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II.[3]

Kekalahan Pangeran Puger menandai peralihan istana Mataram yang berada di Keraton Plered menjadi Keraton Kartasura. Meskipun demikian, naskah-naskah babad tetap memuji keberanian Pangeran Puger sebagai orang istimewa di Kartasura. Meskipun yang menjadi raja adalah Amangkurat II, tetapi pemerintahan kerajaan seolah-olah berada di bawah kendali adiknya itu.

Kematian Kapten Tack

sunting

Amangkurat II berhasil naik takhta karena bantuan Belanda, namun disertai dengan perjanjian yang memperburuk Mataram yang berbasis di Kartasura. Ketika situasi kondusif, Patih Nerangkusuma yang anti-Belanda membujuknya untuk mengkhianati perjanjian itu.[4]

Pada tahun 1685, Amangkurat II melindungi buronan Belanda yaitu Untung Surapati. Kapten François Tack tiba di Kartasura untuk menangkapnya. Amangkurat II berpura-pura membantu Belanda. Namun diam-diam ia menugaskan Pangeran Puger untuk menyamar sebagai pengikut Untung Surapati.[4]

Dalam pertempuran sengit yang terjadi di sekitar Kartasura pada bulan Februari 1686, 75 orang tentara Belanda tewas oleh pasukan Untung Surapati, termasuk Kapten Tack yang tidak bisa turun dari kudanya.[4]

Suksesi

sunting

Diusir dari Kartasura

sunting

Amangkurat II meninggal pada tahun 1703, dan digantikan oleh putranya Amangkurat III, seorang sunan yang tidak disukai banyak orang karena sikapnya yang buruk, sehingga banyak dukungan untuk Pangeran Puger datang.[5] Hubungan antara paman dan keponakan semakin renggang. Permusuhan Amangkurat III terhadap pamannya itu terputus ketika Raden Suryakusuma, putra Pangeran Puger, memberontak.

Permusuhan memuncak pada Mei 1704, ketika Amangkurat III mengirim pasukan untuk menumpas keluarga Pangeran Puger. Tapi, dia dan pengikutnya berhasil lolos. Yang bertugas untuk mengejar adalah Jangrana II, bupati dari Surabaya. Namun, Jangrana II diam-diam mendukung Pangeran Puger sehingga pengejarannya tidak lebih dari sebuah drama.[5]

Rangga Yudanagara, bupati Semarang, bertindak sebagai penengah Pangeran Puger dalam meminta bantuan kompeni Belanda. Kepiawaian diplomasi Yudanagara berhasil membuat Belanda memaafkan kematian Kapten Tack. Mereka siap membantu perjuangan Pangeran Puger dengan beberapa syarat yang menguntungkan bagi mereka.

Isi Perjanjian Semarang yang harus ditandatangani Pangeran Puger antara lain adalah menyerahkan wilayah Madura kepada VOC.

Menduduki Kartasura

sunting

Pada tanggal 6 Juli 1704, Pangeran Puger diangkat sebagai susuhunan Mataram selanjutnya yang bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurahman Sayyidin Panatagama Khalifatulah, biasa disingkat Susuhunan Pakubuwana atau Pakubuwana I.

Setahun kemudian, Pakubuwana I yang dikawal pasukan gabungan Belanda, Semarang , Madura dan Surabaya, bergerak menyerbu Keraton Kartasura. Pasukan Amangkurat III yang ditugaskan untuk menyergap mereka dipimpin oleh Arya Mataram, yang tak lain adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III untuk mengungsi ke timur, tetapi ia sendiri malah bergabung dengan Pakubuwana I.[5]

Setelah peristiwa penyerbuan ke Keraton Kartasura dengan demikian takhta Mataram jatuh ke tangan Pakubuwana I, tepatnya pada tanggal 17 September 1705.[5]

Pemerintahan

sunting

Pemerintahan Pakubuwana I dibawa ke perjanjian baru dengan Belanda sebagai pengganti yang pernah ditandatangani oleh Amangkurat II. Perjanjian lama mengatur bahwa Mataram wajib membayar biaya perang Trunajaya sebesar 4,5 juta gulden, dan perjanjian baru mengatur bahwa Mataram wajib mengirimkan 13.000 ton beras per tahun selama 25 tahun.

Pada tahun 1706, Mataram dan pasukan Belanda mengejar Amangkurat III yang mencari perlindungan di Pasuruan. Dalam pertempuran di Bangil, Untung Suropati, bupati Pasuruan saat itu, tewas dalam aksi. Amangkurat III sendiri menyerah di Surabaya pada tahun 1708, dan kemudian diasingkan ke Ceylon Belanda (sekarang Sri Lanka).

Setahun kemudian, Pakubuwana I terpaksa menghukum mati Jangrana II, yang sebelumnya membantunya naik takhta, dengan alasan Belanda menemukan bukti bahwa Jangrana II melakukan makar, pada tahun 1706.

Jangrana II digantikan oleh saudaranya, Jayapuspita, sebagai bupati Surabaya. Pada tahun 1714, Jayapuspita menolak untuk menghadap pada Pakubuwana I dan bersiap untuk memberontak. 3 tahun kemudian, Mataram dan pasukan Belanda menyerbu Surabaya. Menurut Babad Tanah Jawi, pertempuran baru ini lebih mengerikan daripada di Pasuruan. Jayapuspita akhirnya dikalahkan dan mundur ke Japan (sekarang Mojokerto) pada tahun 1718.

Akhir hayat

sunting

Pakubuwana I wafat pada tahun 1719 dan digantikan oleh putranya, Raden Mas Suryaputra yang bergelar Amangkurat IV.

Pemerintahan Amangkurat IV ini kemudian dihadapkan pada pemberontakan saudaranya sesama putra Pakubuwana I, antara lain Pangeran Balitar, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Arya Dipanagara dari Madiun.

Referensi

sunting
  1. ^ "Soenan Mas verlustigt zich in de aanschouwing der door hem bevolen straffen en wreedheden, 1703". digitalcollections.universiteitleiden.nl. Diakses tanggal 2021-05-06. 
  2. ^ a b Pigeaud, Theodore Gauthier Thomas (1976). Islamic States in Java 1500–1700: Eight Dutch Books and Articles by Dr H.J. de Graaf. Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-1876-7. 
  3. ^ a b Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since C.1200. Palgrave Macmillan. ISBN 978-1-137-05201-8. 
  4. ^ a b c de Graaf, H.J. (1987). De Moord op Kapitein Francois Tack (terj.). Pustaka Grafiti. ISBN 979-444-010-8. 
  5. ^ a b c d Ricklefs, M.C. (1978). Modern Javanese historical tradition: A study of an original Kartasura chronicle and related materials. Cambridge University. 

Daftar pustaka

sunting
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. (terj). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • H.J.de Graaf. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII (terj.). Jakarta: Temprint
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Lihat pula

sunting


Pakubuwana I
Lahir: 1648 Meninggal: 1719
Gelar
Didahului oleh:
Amangkurat III
Susuhunan Mataram
1704 ‒ 1719
Diteruskan oleh:
Amangkurat IV