Operasi Fortitude adalah upaya disinformasi dan pengelabuan yang dilakukan sekutu kepada Jerman agar kehilangan konsentrasi dan mengira serangan akan dilakukan di titik lain, sementara target sebenarnya adalah Normandia pada saat D-Day.[1] Operasi ini terbagi dua, Operasi Fortitude Utara[2] dan Selatan[3] , dengan tujuan yang sama sekali berbeda, walaupun dilakukan secara bersamaan.[4]

Latar belakang

Ide pengelabuan ini dimulai pada musim gugur tahun 1940, ketika Kolonel John Turner mulai membangun lapangan terbang palsu untuk membingungkan Luftwaffe mengenai ukuran pertahanan pesawat tempur Inggris. Turner sebelumnya adalah Direktur Pekerjaan dan Bangunan di Kementerian Udara, membantu membangun lapangan terbang RAF baru dalam mobilisasi cepat sebelum perang. Ia pensiun pada tahun 1939 tetapi dipanggil kembali dari masa pensiunnya untuk memimpin sebuah departemen rahasia yang bertugas membangun lapangan terbang palsu dan melengkapinya dengan pesawat tiruan. Ide ini sebenarnya ditentang oleh Sir Hugh Dowding, Kepala Komando RAF Fighter. Namun Air Ministry memintanya untuk meneruskan yang sudah dikerjakan. Masalahnya, dia malah diberikan pesawat-pesawat yang terlalu kompleks dan mahal, sekalipun hanya ditujukan untuk tipuan bagi penerbang pengamat Jerman. [1]

Dia kemudian bertemu dengan Norman Loudon, seorang pebisnis di bidang perfilman pemilik Studio Shepperton, yang memiliki kemampuan membangun pesawat tiruan yang cukup murah, karena berpengalaman membangun set untuk film. Letnan Kolonel Dudley Clarke, seorang tentara yang sangat ahli menciptakan tipuan perang, karena pengalamannya di Mesir dan Libya, kemudian ikut bergabung. Dudley Clarke sendiri sukses menipu Jerman sehingga menderita kerugian besar di El Alamien.[1]

Jenderal Montogomery, yang sebelumnya banyak terbantu oleh Dudley Clarke, kini ditugaskan untuk mempersiapkan invasi D-Day. Pembantunya, Letnan Kolonel David Strangeways, berhasil meyakinkannya bahwa pasukan terbesar Jerman, Angkatan Darat ke 15, harus dibuat tertahan di Calais, agar korban tidak terlalu banyak saat D-Day nanti. Karena itu, sekutu harus membuat kesan seolah sedang berkumpul di Kent, Essex dan Suffolk, untuk membuat kesan bahwa penyeberangan akan dilakukan di Calais.[1]

Karena itu segala cara harus dikerahkan untuk melakukan disinformasi dan pengelabuan, termasuk menggunakan intelijen double agent untuk mengecoh Jerman, mengirimkan pesan-pesan keliru di mana kapal nantinya akan tiba supaya Jerman yang pasti sedang menyadap ikut terkecoh. Di luar itu, diperlukan tambahan penampilan fisik agar drama ini benar-benar dipercaya oleh Jerman, yaitu dengan mengerahkan Grup Angkatan Darat Pertama Amerika Serikat, yang dikenal dengan akronim FUSAG, yang kemudian bekerjasama dengan Studio Shepperton, untuk membuat tank tiruan, yang bisa ditiup dan menjadi seperti sungguhan hanya dalam waktu 30 menit.[1]

Fortitude Utara

Operasi Fortitude Utara dimaksudkan untuk mengelabui Jerman dan mengira sekutu akan menyerang titik lemah mereka di Norwegia, sehingga terpaksa membagi pasukan yang sedianya akan dikirim ke Normandia ke sana. Titik yang dipilih sebagai tempat "pendaratan pura-pura" adalah Kastil Edinburgh, yang diikuti berbagai sinyal radio yang menyatakan rencana penempatan Pasukan Inggris Keempat di sana. Pesan ini makin diperkuat dengan penggunaan double agent Mutt dan Jeff, agen mata-mata Jerman yang dipengaruhi agar balik menipu Jerman dan membuat mereka percaya rencana tersebut memang nyata. Pada musim semi 1944, Inggris mulai menyerang beberapa target kecil di Norwegia, untuk memberikan kesan memang mempersiapkan invasi besar ke sana. Operasi ini begitu berhasil, sehingga memaksa Hitler menempatkan 13 divisi di Norwegia.[2]

Fortitude Selatan

Operasi Fortitude Selatan melanjutkan ide awal, yaitu memecah konsentrasi Jerman ke daratan Perancis, tepatnya di Calais, dengan memberi kesan sekutu akan mendaratkan pasukan di Selat Dover. Sejak Juli 1943, sebenarnya sebuah grup besar sudah mempersiapkan sebuah aktivitas yang diberi kode "bodyguard", yang salah satunya adalah dalam bentuk Operasi Fortitude Selatan, untuk mengecoh Jerman mengenai waktu dan titik penyerangan yang sedang dinanti-nanti.[3]

Alat ukur keberhasilan operasi ini adalah saat Jerman benar-benar percaya bahwa sekutu akan mengambil jalur penyeberangan yang paling pendek. Ini untuk memastikan bahwa tembok pertahanan Jerman dibangun setebal mungkin di Calais, dan setipis mungkin di target sebenarnya, Normandia. Sekalipun nantinya Jerman menyaksikan bahwa Normandia juga diserang, mereka harus tetap percaya bahwa target utama adalah Calais.[3]

Di sinilah FUSAG berperan, walaupun dalam porsi lebih kecil, dalam aktivitas bernama Operasi Quicksilver. Kapal-kapal pendarat dibuat dari berbagai bahan, termasuk tabung, kayu, kanvas, dan 40 tong kosong. Di sisi lain, lalu lintas percakapan via radio terus digencarkan, dan direlay oleh unit-unit gerak di daratan Eropa. Percakapan ini diamplifikasi lagi oleh para double agent agar terlihat semakin meyakinkan.[3]

Mayoritas asukan FUSAG sendiri sebenarnya tidak ditempatkan untuk bersiap menyeberangi Selat Dover. Mereka perlahan ditempatkan lebih ke arah barat, sekitaran Weymouth dan Southampton, untuk nantinya diseberangkan ke Normandia. Hanya sedikit pasukan tambahan dari Kanada, untuk memperkuat kesan bahwa memang sekutu bersiap menyeberang melalui Selat Dover. [3]

Sementara itu, sinyal dengan pesan palsu terus dikirimkan, dengan pusat produksi di Istana Dover. Sinyal-sinyal ini, sekalipun dienkripsi, sudah cukup untuk memberi kesan bahwa persiapan dilakukan sepanjang waktu, dari siang ke malam, selama 7 hari seminggu. [3]

Operasi ini sukses karena Jerman berpikir bahwa selain serangan besar akan datang dari Norwegia, juga dari Calais, sehingga mulai memindahkan pasukannya di Normandia menuju Calais. Akibatnya pertahanan Normandia menjadi rapuh dan siap diruntuhkan dengan relatif mudah saat D-Day.[3]

Faktor pendukung

Pada saat bersamaan, intelijen sekutu menikmati dua keuntungan yang sangat mendukung keberhasilan Operasi Fortitude. Pertama terbongkarnya cara kerja mesin Enigma, yang mengenkripsi pesan militer Jerman. Dengan demikian sekutu bisa dengan mudah memeriksa apakah pancingan mereka dimakan oleh Jerman, melalui pesan-pesan Jerman yang terbongkar. Ketuntungan lainnya adalah mereka memiliki banyak double agent, yang tanpa disadari Jerman, sebenarnya malah berbalik memanipulasi pesan intelijen yang masuk.[5]

Referensi