Media abal-abal
Artikel ini sedang dikembangkan sehingga isinya mungkin kurang lengkap atau belum diwikifikasi. Mohon untuk sementara jangan menyunting halaman ini untuk menghindari konflik penyuntingan.
Pesan ini dapat dihapus jika halaman ini sudah tidak disunting dalam beberapa jam. Jika Anda adalah penyunting yang menambahkan templat ini, harap diingat untuk menghapusnya setelah selesai atau menggantikannya dengan {{Under construction}} di antara masa-masa menyunting Anda.
|
Media abal-abal adalah istilah yang merujuk pada situs web atau publikasi yang menyajikan informasi palsu, tidak akurat, atau menyesatkan, sering kali dengan tujuan tertentu seperti propaganda, pencarian keuntungan melalui klikbait, atau penyebaran berita bohong (hoax). Media abal-abal biasanya tidak mengikuti standar jurnalistik yang baik seperti verifikasi fakta, ketelitian, atau netralitas, dan sering kali menimbulkan kebingungan atau ketidakpercayaan di masyarakat. [1]
Maraknya Media Abal-abal
Jumlah media di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 47.000, dengan sekitar 43.300 di antaranya berupa media daring, sedangkan 2.000–3.000 merupakan media cetak. Sisanya terdiri dari radio dan stasiun televisi yang menyajikan siaran berita. Namun, hingga akhir 2018, hanya sekitar 2.400 perusahaan pers yang tercatat sebagai media profesional dan berhasil lolos verifikasi.[2][3][4]
Profesi wartawan yang memiliki peran strategis di mata publik dan pejabat sering kali menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin mencari penghasilan dengan cara instan. Kondisi ini menyebabkan banyak orang, termasuk mantan wartawan atau individu tanpa pengalaman jurnalistik, nekat mendirikan perusahaan pers dengan modal terbatas, tanpa memenuhi standar legalitas maupun kriteria sebagai perusahaan pers. Fenomena ini turut memicu munculnya “media abal-abal” yang menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers.[2]
Setelah Reformasi 1998, perkembangan media meningkat secara signifikan. Jika pada masa Orde Baru pendirian perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) serta persyaratan lainnya, yang jumlahnya dibatasi oleh pemerintah, maka sejak berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan untuk mendirikan perusahaan pers tanpa hambatan birokrasi yang ketat. Namun, kebebasan ini juga berkontribusi pada maraknya pertumbuhan media tanpa kualitas dan profesionalisme yang memadai.[2]
Dampak Media Abal-abal
Media abal-abal, atau media yang tidak profesional dan tidak terverifikasi, dapat menimbulkan berbagai dampak negatif dalam masyarakat. Berikut beberapa dampak yang telah diidentifikasi dalam berbagai penelitian ilmiah:
Penyebaran Informasi Palsu (Hoaks): Media abal-abal sering menjadi sumber penyebaran informasi palsu atau hoaks yang dapat menyesatkan masyarakat. Hal ini dapat memicu keresahan sosial dan mengancam kohesi sosial. [5]
Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap Media: Maraknya media abal-abal dapat mengikis kepercayaan publik terhadap media secara umum. Ketika masyarakat sering terpapar informasi yang tidak akurat, mereka menjadi skeptis terhadap berita, bahkan dari sumber yang kredibel. Hal ini dapat menghambat aliran informasi yang sehat dalam masyarakat.
Polarisasi dan Konflik Sosial: Informasi yang disebarluaskan oleh media abal-abal seringkali bersifat provokatif dan dapat memicu polarisasi di tengah masyarakat. Konten yang mengandung ujaran kebencian atau bias tertentu dapat memperdalam perpecahan sosial dan memicu konflik antar kelompok. [5]
Menghambat Upaya Literasi Media: Kehadiran media abal-abal menyulitkan upaya peningkatan literasi media di kalangan masyarakat. Masyarakat yang kurang teredukasi dalam memilah informasi rentan terpengaruh oleh konten yang tidak valid, sehingga sulit membedakan antara berita yang kredibel dan yang tidak. Hal ini diperparah dengan minimnya model literasi media yang efektif dalam menghadapi informasi palsu.[5]
Dampak Psikologis pada Pengguna Media Sosial: Paparan terus-menerus terhadap informasi yang tidak akurat atau menyesatkan dapat menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan stres di kalangan pengguna media sosial. Penelitian oleh Mulawarman dan Nurfitri (2017) menunjukkan bahwa perilaku pengguna media sosial dipengaruhi oleh konten yang mereka konsumsi, yang dapat berdampak pada kesehatan mental dan interaksi sosial mereka.[6]
Rujukan
- ^ antaranews.com (2019-02-22). "Dewan Pers minta masyarakat tidak merujuk media abal-abal". Antara News. Diakses tanggal 2024-12-19.
- ^ a b c "Wayback Machine" (PDF). dewanpers.or.id. Diakses tanggal 2024-12-19.
- ^ "Kemenkominfo: Ada 43 Ribu Situs Media Abal-Abal di Indonesia". www.komdigi.go.id. Diakses tanggal 2024-12-19.
- ^ developer, mediaindonesia com. "Dari 47 Ribu Media, Hampir 80 Abal-abal". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2024-12-19.
- ^ a b c Juliswara, Vibriza (2017-11-06). "Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial". Jurnal Pemikiran Sosiologi. 4 (2): 142–164. doi:10.22146/jps.v4i2.28586. ISSN 2502-2059.
- ^ Mulawarman, Mulawarman; Nurfitri, Aldila Dyas (2017-06-23). "Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan". Buletin Psikologi. 25 (1): 36. ISSN 2528-5858.