Literasi atau kemelekan adalah istilah umum yang merujuk kepada serangkaian kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan.[1]

Dalam bahasa Latin, istilah literasi berasal dari literatus, artinya orang yang belajar.


pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Education Development Center (EDC) juga turut menjabarkan pengertian dari literasi, yakni kemampuan individu menggunakan potensi yang dimilikinya, dan tidak sebatas kemampuan baca tulis saja. UNESCO juga menjelaskan bahwa literasi adalah seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. Menurut UNESCO, pemahaman seseorang mengenai literasi ini akan dipengaruhi oleh kompetensi bidang akademik, konteks nasional, institusi, nilai-nilai budaya serta pengalaman. Kemudian, di dalam kamus online Merriam—Webster, dijelaskan bahwa literasi adalah kemampuan atau kualitas melek aksara di mana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis, dan mengenali serta memahami ide-ide secara visual.

Literasi baru

sunting

Pada abad ke-21 atau era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 muncul paradigma literasi baru. Menurut penelitian Hamidulloh Ibda, tantangan pada era ini sangat kompleks yang mengharuskan masyarakat mengimplementasikan literasi baru (literasi data, literasi teknologi, literasi manusia) yang menjadi pelengkap literasi lama (membaca, menulis, berhitung).[2]

Dalam Rapat Kerja Nasional Kemenristek Dikti 2018, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristek Dikti menyampaikan mengenai beberapa kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan sebuah perguruan tinggi untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0. Kemampuan yang harus dimiliki dan diajarkan pada kurikulum perguruan tinggi salah satunya adalah literasi data. Selain literasi data, literasi baru juga mengharuskan literasi teknologi dan SDM.

Munculnya era literasi baru tidak lepas dari era revolusi industri 4.0. Kondisi ini, adalah era dunia industri digital telah menjadi suatu paradigma dan acuan dalam tatanan kehidupan saat ini. Era revolusi  industri 4.0 hadir bersamaan dengan era disrupsi yang sejak tahun 2017 mulai direspon serius kalangan terdidik. Untuk menghadapi revolusi industri 4.0 atau era disrupsi diperlukan “literasi baru” selain literasi lama. Literasi lama yang ada saat ini digunakan sebagai modal untuk berkiprah di kehidupan masyarakat. Literasi data, teknologi, dan SDM harus direspon pendidikan tinggi yang bisa dimasukkan ke dalam pembelajaran.[3]

Menurut penelitian Hamidulloh Ibda, dijelaskan bahwa penguatan literasi baru pada guru dan dunia pendidikan menjadi penting karena sebagai kunci perubahan, revitalisasi kurikulum berbasis literasi dan penguatan peran guru yang memiliki kompetensi digital. Guru berperan membangun generasi berkompetensi, berkarakter, memiliki kemampuan literasi baru, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pendidikan sebagai dasar penentu kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional pada anak, harus memperkuat keterampilan literasi abad 21. Mulai aspek kreatif, pemikiran kritis, komunikatif, dan kolaboratif. Pendidikan urgen memperkuat literasi baru dan revitalisasi kurikulum berbasis digital. Revitalisasi kurikulum mengacu pada lima nilai dasar dari peserta didik yang baik, yaitu ketahanan, kemampuan beradaptasi, integritas, kompetensi, dan peningkatan berkelanjutan. Pendidik harus menjadi guru digital, paham komputer, dan bebas dari penyakit akademis. Tujuannya mewujudkan generasi berkompetensi tingkat tinggi, karakter dan literasi untuk menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.[4]

Dalam buku yang ditulis Farid Ahmadi dan Hamidulloh Ibda disebutkan bahwa literasi baru merupakan kemampuan atau sebuah usaha mendapatkan informasi, pengetahuan, melalui tiga jalan yaitu literasi data, teknologi dan SDM/humanisme. Literasi baru menjadi penguat dari literasi lama yaitu calistung atau dikenal dengan membaca, menulis, berhitung.

Pembelajaran memproses input dengan tujuan agar menghasilkan output atau outcome yang diinginkan. Untuk itu, penerapan HOTS (Higher Order Thinking Skill) harus menggiring siswa dan mahasiswa dapat berpikir logis, kreatif, komunikatif sebagaimana yang dibutuhkan diabad 21. Tanpa hal itu, capaian pendidikan untuk menjawab tantangan di era revolusi industri 4.0 tidak akan tercapai, karena pada era ini dibutuhkan keterampilan yang sangat kompleks. Untuk menjawab tantangan pada era ini maka semua guru, dosen, dan akademisi, diharuskan dapat mewujudkan hal itu dalam rangka menggapai peradaban literasi baru.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ "Kupas Tuntas Jenis dan Pengertian Literasi". Guru Digital. Diakses tanggal 6 Marer 2019. 
  2. ^ Ibda, Hamidulloh (2019). "Pembelajaran Bahasa Indonesia Berwawasan Literasi Baru di Perguruan Tinggi dalam Menjawab Tantangan Era Revolusi Industri 4.0". Jalabahasa. 15 (1): 48. doi:https://doi.org/10.36567/jalabahasa.v15i1.227 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  3. ^ Ahmadi, Farid, Ibda, Hamidulloh (2019). Konsep dan Aplikasi Literasi Baru di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Semarang: CV. Pilar Nusantara. hlm. 1–10. ISBN 978-602-53992-5-1. 
  4. ^ Ibda, Hamidulloh (2018). "Penguatan Literasi Baru pada Guru Madrasah Ibtidaiyah dalam Menjawab Tantangan Era Revolusi Industri 4.0". JRTIE: Journal of Research and Thought on Islamic Education. 1 (1): 1. doi:https://doi.org/10.24260/jrtie.v1i1.1064 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  5. ^ Ahmadi, Farid, Ibda, Hamidulloh (2019). Konsep dan Aplikasi Literasi Baru di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Semarang: CV. Pilar Nusantara. hlm. 37–43. ISBN 978-602-53992-5-1. 

Lihat pula

sunting