Argumentasi emosional
Argumentasi emosional (dalam bahasa Inggris : Appeal to emotion, dalam bahasa Latin : argumen ad passiones) merujuk pada teknik berargumen di mana seseorang mencoba mempengaruhi keputusan atau pendapat orang lain (manipulasi) dengan cara membangkitkan emosi tertentu, seperti rasa takut, kasihan, atau kebanggaan, dibandingkan mengandalkan bukti atau alasan yang rasional. Jenis manipulasi emosi ini tidak relevan dan justru mengalihkan perhatian dari fakta-fakta argumen yang sebenarnya (secara bahasa sering disebut sebagai Ikan haring merah atau red herring), ini mencakup beberapa jenis kesalahan logika lain, termasuk appeal to consequences (memanfaatkan akibat atau dampak), appeal to fear (memanfaatkan rasa takut), appeal to flattery (memanfaatkan pujian), appeal to pity (memanfaatkan rasa kasihan), appeal to ridicule (memanfaatkan ejekan atau penghinaan disebut juga ajakan untuk mengejek), appeal to spite (memanfaatkan rasa dendam), dan wishful thinking (berpikir penuh harapan tanpa dasar yang realistis atau angan-angan belaka).[1]
Zaman klasik
Kekuatan emosi dalam mempengaruhi penilaian dan sikap politik sudah diakui sejak zaman klasik. Aristoteles, dalam karya terkenalnya Retorika, mengungkapkan pentingnya emosi dalam proses persuasi. Menurutnya, orator dapat membujuk pendengarnya dengan membangkitkan emosi melalui pidatonya. Hal ini dikarenakan penilaian yang dibuat seseorang bisa sangat dipengaruhi oleh perasaan seperti kegembiraan, kesedihan, cinta, atau kebencian. Aristoteles bahkan memperingatkan bahwa emosi dapat menciptakan keyakinan baru, mengubah keyakinan yang sudah ada, atau mempengaruhi sejauh mana keyakinan tersebut dipegang kuat.[2] Seneca, filsuf Romawi, juga menekankan pentingnya menjaga akal tetap terpisah dari hasrat, agar akal tetap memegang kendali.[3]
Berabad-abad setelahnya, ilmuwan dan filsuf Prancis, Blaise Pascal, berpendapat bahwa orang sering kali membentuk keyakinan bukan berdasarkan bukti atau bukti rasional, melainkan berdasarkan apa yang mereka anggap menarik atau menggugah hati.[4] Pemikir lain, seperti Baruch Spinoza, menggambarkan emosi sebagai kekuatan yang dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang, membuat pikiran lebih cenderung menerima satu ide daripada ide lainnya. Meskipun ada perbedaan pandangan, seperti yang disampaikan oleh Seneca yang menyatakan bahwa emosi dapat merusak akal, filsuf Skotlandia abad ke-18, George Campbell, berpendapat bahwa emosi justru dapat menjadi sekutu akal. Emosi, menurut Campbell, membantu dalam proses pemahaman dan penyerapan pengetahuan, tetapi tetap saja emosi rentan dipengaruhi oleh argumen yang salah atau manipulatif.[5]
Teoretikus propaganda, Edward Bernays, kemudian mengembangkan gagasan ini dalam konteks komunikasi massa, dengan menyatakan bahwa opini publik dapat dipengaruhi dengan cukup akurat jika seseorang tahu bagaimana mengoperasikan mekanisme tertentu, sama seperti pengemudi yang dapat mengatur kecepatan mobilnya dengan memanipulasi aliran bensin.[6] Bernays menekankan pentingnya menargetkan dorongan, kebiasaan, dan emosi publik untuk mencapai tujuan perubahan sikap,[7] serta memanfaatkan "arus emosional" untuk mendukung agenda tertentu.[8]
Di zaman modern, banyak penulis kontemporer mengaitkan keberhasilan kekuatan politik yang destruktif dengan kemampuan para propagandis untuk mempesona massa, alih-alih meyakinkan mereka dengan bukti rasional. Para propagandis ini lebih mengandalkan daya tarik emosional daripada logika atau fakta untuk membentuk opini dan mendukung kekuasaan.[9]
Drew Westen, seorang profesor psikologi di Universitas Emory, mengungkapkan melalui penelitian terkini bahwa ketika akal dan emosi bertabrakan, emosi selalu lebih kuat.[10] Menurutnya, manusia secara evolusioner lebih responsif terhadap isyarat emosional daripada argumen rasional, dan ini membuat emosi menjadi alat yang sangat efektif dalam persuasi politik. Westen percaya bahwa emosi dapat menciptakan perasaan positif terhadap kandidat atau partai tertentu dan perasaan negatif terhadap lawan, yang pada akhirnya dapat menentukan hasil politik. Dalam konteks ini, persuasi politik lebih banyak mengandalkan penanganan keadaan emosional daripada pengolahan fakta dan data secara rasional.[11]
Teori modern
Dalam teori psikologi sosial, ada pandangan yang menyatakan bahwa sikap seseorang memiliki tiga komponen utama, yaitu afektivitas, kognisi, dan perilaku. Dimensi kognitif mengacu pada keyakinan yang dimiliki seseorang tentang sikap, sementara perilaku menggambarkan tindakan nyata dan respons terhadap sikap tersebut. Sementara itu, afektivitas merujuk pada perasaan positif atau negatif yang dimiliki seseorang terhadap objek sikap, yang dengan kata lain adalah dimensi emosional dari suatu sikap. Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa teoritikus modern telah mengembangkan teori ini dengan menyatakan bahwa sikap tidak hanya terdiri dari ketiga elemen tersebut, melainkan merupakan suatu ringkasan evaluatif umum dari informasi yang diperoleh dari ketiganya.[12]
George Marcus, seorang ilmuwan politik, bersama dengan Russell Neuman dan Michael Mackuen, mengidentifikasi dua sistem mental melalui bagian mana dari akal dan emosi yang berinteraksi dalam mengelola dan memproses rangsangan politik.[13] Sistem pertama, yang disebut disposition system, memberikan pemahaman kepada orang mengenai tindakan yang sudah menjadi kebiasaan atau bagian dari repertori mereka. Sistem ini bertugas memantau pemrosesan informasi politik secara biasa atau melalui kebiasaan, yang menjadi cara utama seseorang memproses informasi.[14] Sistem kedua, yaitu surveillance system, berfungsi untuk memindai lingkungan sekitar demi mendeteksi hal-hal baru atau ancaman yang muncul secara tiba-tiba. Ketika ancaman ditemukan, sistem ini mengubah orang dari pemrosesan informasi secara biasa menjadi keadaan kewaspadaan, mempersiapkan mereka untuk menerima informasi baru. Saat sistem ini mendeteksi rangsangan yang tidak terduga atau mengancam, ia akan meningkatkan kecemasan, menghentikan aktivitas yang sedang berlangsung, dan mengalihkan perhatian dari fokus sebelumnya ke rangsangan yang dianggap mengancam tersebut.[15]
Marcus berpendapat bahwa keterlibatan emosional dapat mendorong seseorang untuk membuat keputusan yang lebih mendalam dan dipikirkan dengan baik tentang politik, dibandingkan dengan mereka yang tetap tidak terpengaruh atau tidak emosional.[16] Selain itu, ada pandangan yang menyatakan bahwa ketika emosi dibangkitkan dan dialami, itu bisa melibatkan berbagai proses psikologis yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar untuk mempromosikan dan memperoleh pengaruh serta kepatuhan dari orang lain.[17] Berdasarkan pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa mengubah keadaan emosional seseorang, bersamaan dengan pesan politik yang disampaikan, dapat mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap isu atau kebijakan tertentu.
Dalam filsafat modern, ada dua jenis utama daya tarik emosi. [18] Salah satu caranya adalah dengan menggunakan kekuatan (dikenal sebagai ad baculum ), sedangkan cara lainnya adalah dengan menggunakan simpati, dikenal sebagai ad misericordiam . [18] Hal ini hanya dianggap sebagai kekeliruan ketika digunakan pada sistem doksastik. [18]
Contoh
Lihat juga
Referensi
- ^ Labossiere, Michael C. "Fallacy: Appeal to Emotion". Nizkor Project. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 October 2014. Diakses tanggal 6 November 2014.
- ^ Frijda, Nico H.; Mesquita, Batja (2000-10-12). Beliefs through emotions. Cambridge University Press. hlm. 45–77.
- ^ "Seneca, De Ira, Liber I, chapter 8, section 1". www.perseus.tufts.edu. Diakses tanggal 2024-12-20.
- ^ Farriss, Nancy (2018-10-18). "The Art of Persuasion". Oxford Scholarship Online. doi:10.1093/oso/9780190884109.003.0011.
- ^ DILLARD, JAMES PRICE; MEIJNDERS, ANNELOES (2002). Persuasion and the Structure of Affect. 2455 Teller Road, Thousand Oaks California 91320 United States: SAGE Publications, Inc. hlm. 309–328.
- ^ Edward Bernays, Propaganda, 1928, 2005 ed., p. 72.
- ^ Edward Bernays, Propaganda, 1928, 2005 ed., p. 73.
- ^ Edward Bernays, Propaganda, 1928, 2005 ed., p. 77.
- ^ Sanders, Barry A. (2011). American Avatar: The United States in the Global Imagination. Dulles: Potomac Books Inc. ISBN 978-1-59797-681-7.
- ^ Drew Westen, The Political Brain, Public Affairs Books, 2007, p. 35
- ^ Drew Westen, The Political Brain, Public Affairs Books, 2007, pp. 85, 88
- ^ Albarracin, Dolores; Johnson, Blair T.; Zanna, Mark P. (2014-04-04). The Handbook of Attitudes (dalam bahasa Inggris). Psychology Press. ISBN 978-1-135-62616-7.
- ^ Marcus, George E.; Neuman, W. Russell; MacKuen, Michael (2000-10). Affective Intelligence and Political Judgment (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-50468-1. hal. 9.
- ^ Marcus, George E.; Neuman, W. Russell; MacKuen, Michael (2000-10). Affective Intelligence and Political Judgment (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-50468-1. hal. 10.
- ^ Marcus, George E.; Neuman, W. Russell; MacKuen, Michael (2000-10). Affective Intelligence and Political Judgment (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-50468-1. hal.10–11.
- ^ Marcus, George E.; Neuman, W. Russell; MacKuen, Michael (2000-10). Affective Intelligence and Political Judgment (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-50468-1. hal. 95, lihat juga hal. 129.
- ^ Pratkanis, Anthony R. (2011-02-25). Social Influence Analysis. Psychology Press. hlm. 17–82. ISBN 978-0-203-81856-5.
- ^ a b c Hansen, Hans (September 26, 2019). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University – via Stanford Encyclopedia of Philosophy.