Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh (Bali: ᬳᭀᬕᭀᬳᭀᬕᭀᬄ) adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang umumnya menggambarkan sosok Butakala. Bahan pembuatan ogoh-ogoh pada umumnya ialah bambu atau rotan yang dijalin—atau bahkan stirofoam—kemudian dilapisi dengan kertas. Mereka dibuat selama beberapa minggu, bahkan berbulan-bulan untuk diarak dalam suatu pawai pada saat Pangrupukan, yaitu tradisi Hindu Bali yang dilaksanakan untuk menyambut Nyepi. Dalam pawai tersebut, ogoh-ogoh merupakan lambang keburukan sifat-sifat manusia atau negativitas di alam, yang dinetralkan menjelang Tahun Baru Saka. Setelah pawai selesai, ogoh-ogoh akhirnya dibakar, biasanya di lapangan kuburan desa.[1]
Di luar Bali, tradisi ogoh-ogoh juga dilaksanakan di daerah-daerah dengan jumlah umat Hindu yang signifikan (terutama yang merayakan Nyepi), seperti Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Di daerah-daerah tersebut, pawai ogoh-ogoh dimaknai sebagai bentuk kerukunan antarumat beragama, dan partisipasi tidak terbatas kepada umat Hindu saja.[2][3][4]
Etimologi
Secara etimologi, "Ogoh-ogoh" berasal dari bahasa Bali, yaitu kata ogah yang artinya "goyang"; ngogah artinya "menggoyang".[5] Reduplikasi ogah-ogah artinya "digoyang-goyangkan".[6] Hal tersebut berkaitan dengan cara pengarakan ogoh-ogoh, yaitu digoyang-goyangkan agar terlihat seolah-olah bergerak dan menari. Kata "ogoh-ogoh" ini termasuk kosakata asli Bali yang relatif baru dan tidak ditemukan definisinya dalam kamus bahasa Bali yang disusun sebelum 1980.[7] Pada kamus bahasa Bali terbitan tahun 1991, kata "ogoh-ogoh" ada dan didefinisikan sebagai patung yang dibuat dari bambu atau kertas, berbentuk butakala atau raksasa.[5]
Sejarah
Asal-usul dan akar tradisi
Tradisi ogoh-ogoh seperti yang dikenal sekarang ini tergolong budaya yang relatif baru,[8] dan tidak berasal dari zaman Bali Kuno,[9] tetapi memiliki akar dan inspirasi dari tradisi kuno.[10] Tradisi pembuatan patung raksasa untuk diarak beramai-ramai sudah ada sebelum tradisi ogoh-ogoh yang dikenal sekarang ini. Namun pengarakannya tidak untuk pawai Pengrupukan (sehari sebelum Nyepi), melainkan untuk upacara kremasi besar atau pelebonan yang diselenggarakan oleh keluarga bangsawan puri, atau saat kremasi pendeta Hindu.[11] Patung raksasa yang mengiringi kremasi tersebut menjadi inspirasi ogoh-ogoh seperti sekarang ini.[7]
Selain patung-patung yang diusung saat pelebonan, bentuk kesenian yang menampilkan sosok tinggi besar juga terdapat pada Barong Landung, boneka raksasa yang diarak seperti Ondel-ondel. Kesenian ini sudah dikenal masyarakat Bali sejak zaman kuno. Film dokumenter La Isla de Bali (1930) yang dibuat oleh etnolog Miguel Covarrubias dari Meksiko menampilkan sosok Barong Landung dalam suatu upacara pelebon di Bali. Namun Barong Landung tersebut tanpa pasangan, berwajah raksasa dan membawa senjata, berbeda dengan Barong Landung pada umumnya. Kesenian Barong Landung ini ditengarai memiliki kemiripan dengan ogoh-ogoh.[10][5]
Tidak ada kepastian tentang kapan tradisi pengarakan ogoh-ogoh―dalam rangka menyambut Hari Nyepi―dilakukan untuk pertama kali. Sebelum adanya tradisi ogoh-ogoh, masyarakat Hindu Bali menyambut Nyepi dengan serangkaian ritual Pengurupukan di lingkungan desa dan rumah masing-masing, meliputi caru, mebuu-buu (menyalakan api pada daun kelapa kering), menaburkan rajangan rempah berbau menyengat (jeringau, mesoyi, bawang merah), dan menabuh bunyi-bunyian (kentungan, cengceng). Setelah tradisi ogoh-ogoh berkembang, pengarakan ogoh-ogoh ditambahkan pada akhir rangkaian ritual tadi, dan akhirnya identik dengan Pengrupukan. Beberapa jurnalis dan akademisi memperkirakan bahwa tradisi tersebut berkembang pada dekade 1980-an, meskipun sebelumnya sudah ada tetapi bentuknya masih sangat sederhana,[11] serta belum terlalu dikenal.[12] Ada hipotesis bahwa pengarakan ogoh-ogoh terinspirasi dari lelakut (orang-orangan sawah) yang berfungsi sebagai pengusir burung dan hama lainnya di sawah.[7] Hipotesis lainnya menyatakan bahwa ogoh-ogoh berasal dari tradisi ngelawang, yaitu menolak bala dengan cara membawa barong berkeliling desa.[13]
Perkembangan awal
Cikal bakal ogoh-ogoh berasal dari tradisi yang dilakukan oleh beberapa komunitas masyarakat Bali (dikenal dengan istilah "banjar", sejenis Rukun Warga) dalam menyambut Nyepi. Di Denpasar, tradisi ini berawal dari lingkungan Puri Kesiman.[11] Wayan Candra, pemilik Sanggar Gases Sesetan memperkirakan bahwa ogoh-ogoh sudah muncul sekitar tahun 1950-an, tetapi mulai dikenal masyarakat pada tahun 1960-an.[12] Prototipe atau bentuk awal ogoh-ogoh berupa boneka jerami (lelakut) dan dipajang di perempatan desa. Setelah rangkaian ritual Pengrupukan usai, boneka tersebut akhirnya dibakar.[11]
Jurnalis I Nyoman Suarna menyatakan bahwa perkembangan ogoh-ogoh di Denpasar diinisiasi oleh kaum pemuda. Pada tahun 1970-an di Denpasar Timur, sekelompok pemuda banjar mengarak lelakut saat menjelang Nyepi, yang kemudian menjadi inspirasi bagi banjar lainnya untuk membuat sesuatu yang lebih menarik. Tahun berikutnya, sekelompok pemuda membuat patung yang lebih representatif, terinspirasi dari lelakut dan patung yang diusung saat kremasi bangsawan puri. Mereka menyebutnya ogoh-ogoh karena digoyang-goyangkan saat diarak keliling desa. Namun aktivitas para pemuda tidak selamanya berjalan mulus karena pada awalnya banyak mendapat tentangan dari generasi tua. Meskipun demikian, kaum pemuda tetap bersikeras mengarak ogoh-ogoh lalu mendapat perhatian masyarakat luas. Tahun-tahun berikutnya, ogoh-ogoh bermunculan di sejumlah banjar.[7]
Semenjak Presiden Soeharto menetapkan Nyepi sebagai hari libur nasional (Keputusan Presiden No. 3 tahun 1983),[14] Gubernur Bali Ida Bagus Mantra mengimbau masyarakat untuk memeriahkan penyambutan Nyepi dengan membuat dan mengarak ogoh-ogoh pada saat ritual Pengrupukan.[11] Pada dasawarsa 1980-an, tradisi pengarakan ogoh-ogoh semakin berkembang di sejumlah tempat di Bali. Hal itu mendapat perhatian pemerintah dengan diselenggarakannya lomba ogoh-ogoh tingkat kecamatan.[7] Ogoh-ogoh benar-benar "membumi" di Bali atau berkembang secara merata semenjak dilombakan pada Pesta Kesenian Bali tahun 1990.[12]
Dasawarsa 1990 dan 2000
Dalam perkembangannya—terutama pada dasawarsa 1990-an dan 2000-an—banyak bentuk ogoh-ogoh yang mencari referensi kepada budaya dan isu populer pada masa tersebut,[9] atau dibuat menyerupai tokoh masyarakat, seperti selebritas, politikus, bahkan narapidana.[15] Dalam perlombaan yang lebih konservatif, komunitas pembuat ogoh-ogoh secara tidak langsung diharuskan untuk menggali cerita Hindu dan Bali untuk diangkat sebagai inspirasi ogoh-ogoh. Namun kreativitas masyarakat Bali tidak lepas dari pantauan pemerintah dan lembaga adat. Mereka memantau ogoh-ogoh yang dibuat masyarakat, serta melarang ogoh-ogoh yang dinilai mengandung unsur SARA dan politik.[16] Pada tahun-tahun politik dasawarsa 1990-an dan 2000-an, tradisi pengarakan ogoh-ogoh pernah dilarang oleh pemerintah daerah.[17][18] Meskipun demikian, beberapa komunitas masyarakat tetap membuatnya tetapi tidak seramai tahun-tahun yang lain, atas pertimbangan bahwa ogoh-ogoh merupakan tradisi dan kreativitas yang tersalurkan.[17][18][19]
Dasawarsa 2010
Awal dasawarsa 2010-an, ogoh-ogoh yang semula dibuat dari jalinan bambu atau rotan, akhirnya mulai banyak yang dibuat dari stirofoam dengan alasan kemudahan. Atas pertimbangan kesehatan, sejak 2015 pemerintah daerah Bali "melarang" pemanfaatan stirofoam pada proses pembuatan ogoh-ogoh,[20] dan banyak perlombaan ogoh-ogoh yang melarang pemakaiannya.[21] Musik dengan pengeras suara atau sound system juga mulai dilarang untuk mengiringi pawai ogoh-ogoh, karena dinilai tidak menampilkan kebudayaan Bali.[22] Pemerintah dan lembaga adat menganjurkan agar pawai ogoh-ogoh tetap menggunakan gamelan baleganjur, yang juga biasa dipakai mengiringi arak-arakan kegiatan adat di Bali. Selan itu, gamelan dinilai lebih menampilkan budaya Bali, serta meningkatkan taksu atau karisma ogoh-ogoh yang diarak.[22] Saat memasuki tahun politik 2019, pemerintah tidak melarang pembuatan ogoh-ogoh, tetapi meregulasi agar tidak ada pembuatan ogoh-ogoh yang dinilai mengandung unsur politik. Lomba ogoh-ogoh pun tetap diadakan pada tahun tersebut.[23]
Dasawarsa 2020
Memasuki dasawarsa 2020-an, pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, termasuk Bali. Pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan larangan berkerumun atau mengadakan keramaian, dan menetapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat pada Februari 2020. Hal ini juga berdampak kepada tradisi pawai ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh yang telanjur dibuat pada awal 2020 (sebelum pembatasan kegiatan masyarakat) akhirnya batal diarak, meskipun ritual menyambut Nyepi tetap dilaksanakan dengan pembatasan yang ketat.[24] Pada tahun 2021, saat pandemi Covid-19 belum berakhir, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Desa Adat, dan pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan surat edaran untuk meniadakan pawai ogoh-ogoh pada tahun tersebut.[25] Tahun 2022, pemerintah provinsi Bali juga mengeluarkan larangan yang sama.[26] Pawai ogoh-ogoh kembali diadakan pada tahun 2023, ditandai dengan pengumuman lomba ogoh-ogoh yang diedarkan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.[21]
Pada masa kini, ogoh-ogoh tidak hanya diarak sehari sebelum Nyepi, tetapi ada yang dilombakan dan diarak pada festival penyambutan Hari Raya Nyepi.[27] Terdapat pula Museum Ogoh-ogoh di Mengwi, Bali yang menyimpan sejumlah ogoh-ogoh dan dikelola oleh pihak swasta.[28]
Pembuatan
Ogoh-ogoh dibuat sebagai simbol keburukan atau kejahatan yang akan diarak dan dibakar menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru Saka). Ini merupakan tradisi memeriahkan ritual Tawur Kesanga, salah satu prosesi menyambut Nyepi. Berbeda dengan upacara Melasti dan Tawur Kesanga, tradisi ogoh-ogoh bukan merupakan suatu kewajiban dalam menyambut Nyepi,[24] melainkan pemeriah ritual,[29] sehingga tradisi ini sempat tidak diadakan pada tahun-tahun tertentu, terutama saat tahun politik dan pandemi Covid-19.
Pada umumnya, ogoh-ogoh dibuat oleh komunitas tradisional orang Bali yang disebut banjar, terutama seka teruna-teruni (STT), yaitu divisi dalam suatu banjar yang menaungi kegiatan pemuda-pemudi di banjar tersebut. Kreativitas yang dicurahkan serta dana yang digelontorkan membuat ogoh-ogoh kerap menjadi kebanggaan dan prestise kelompok pemuda-pemudi di Bali setiap menyambut Nyepi.[30] Banyak pula ogoh-ogoh yang dibuat oleh komunitas lain di luar banjar, meliputi kelompok lingkungan perumahan serta seka demen (kelompok sehobi).
Bahan dasar ogoh-ogoh ialah bambu atau rotan yang dijalin membentuk kerangka sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Di Bali, banyak ogoh-ogoh yang dibentuk pada suatu rangkaian besi yang berfungsi sebagai "tulang" yang menopang dan memperkuat konstruksi ogoh-ogoh.[31] Kemudian bentuk dari jalinan bambu atau rotan tersebut dilapisi dengan kertas dalam beberapa tahap sampai mencapai ketebalan atau tekstur yang diharapkan. Proses berikutnya ialah pelapisan dengan bahan bertentu, lalu pewarnaan dengan cat. Beberapa ogoh-ogoh dibuat dengan menambahkan bulu-bulu, serat, atau bahan lainnnya sesuai kreativitas. Kain, perhiasan, dan aksesoris merupakan pelengkap yang dipasang belakangan. Lamanya proses pengerjaan suatu ogoh-ogoh tergantung kepada desain, tingkat kerumitannya, serta tenaga kerja. Ada yang berkisar antara 1 minggu hingga 1 bulan,[32] bahkan ada yang mencapai 5 bulan.[33]
Ada pula ogoh-ogoh yang berbahan dasar stirofoam atau gabus, suatu produk busa sintetis dari polistirena. Pembuatan ogoh-ogoh berbahan stirofoam marak di Denpasar sejak 2011, karena bahan tersebut mudah dibentuk.[34] Namun ogoh-ogoh harus dibakar, dan asap yang ditimbulkan dari pembakaran stirofoam lebih berbahaya untuk dihirup dibandingkan dengan bahan yang lebih alami.[31][35] Sejak 2015, pemerintah daerah Bali meregulasi larangan pembuatan ogoh-ogoh berbahan stirofoam.[20][34] Usai pandemi Covid-19, pemanfaatan bahan organik sebagai bahan dasar ogoh-ogoh—misalnya daun dan kulit pohon—menjadi tren di sebagian besar seka teruna-teruni atau komunitas pemuda Bali.[36]
Bentuk
Sebagaimana tujuan pembuatannya, ogoh-ogoh diharapkan menampilkan bentuk yang menakutkan, mencirikan sifat-sifat negatif (kekerasan, angkara murka, kejahatan), atau adarma (adharma; keburukan, kebatilan) yang bakal dibakar atau dimusnahkan. Butakala merupakan bentuk ogoh-ogoh yang umum, biasa diwujudkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud raksasa. Pembakaran ogoh-ogoh pada akhir ritual Tawur Kesanga bermakna "membakar yang jahat-jahat".[37]
Wujud seperti dewa-dewi Hindu dan awatara identik dengan sifat darma sehingga bertolak belakang dengan makna pengarakan dan pembakaran ogoh-ogoh sebagai representasi pengenyahan sifat-sifat adarma.[37] Tokoh-tokoh baik dalam sastra Hindu seperti Pandawa dan Rama juga dinilai tidak layak untuk dijadikan ogoh-ogoh karena bukan tokoh kejahatan, sehingga menyimpang dari tujuan pembuatan ogoh-ogoh.[38]
Seiring dengan perkembangan zaman dan kreativitas masyarakat, ogoh-ogoh tidak terbatas kepada simbol adarma atau raksasa. Selain wujud raksasa, ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di dunia, swarga, dan naraka, seperti: hewan mitologis (naga, garuda, makara), makhluk gaib (detya, wanara, bidadari), tokoh wayang dan sastra Jawa Kuno (tokoh Ramayana, Mahabharata, Calon Arang) bahkan dewa-dewi Hindu.[39]
Pada dasawarsa 1990-an dan 2000-an banyak ogoh-ogoh yang terinspirasi dari tokoh masyarakat dan pesohor, serta isu-isu populer pada masa tersebut. Meskipun demikian, pemerintah daerah dan adat Bali umumnya melarang pembuatan atau pengarakan ogoh-ogoh yang dianggap mengandung unsur SARA atau politik.[16] Kini bentuk ogoh-ogoh dengan referensi dari budaya populer kurang diminati. Bentuk yang lebih tradisional—seperti makhluk dalam mitologi Hindu atau cerita rakyat Bali—lebih disarankan dan dihimbau oleh lembaga adat dan keagamaan yang konservatif.[9]
Prosesi
Tahun Baru Saka atau Hari Nyepi dirayakan oleh umat Hindu Bali setelah bulan baru pada masa ke-9 (Sasih Kesanga) kalender Bali. Menjelang Nyepi, umat Hindu Bali melakukan ritual Melasti untuk pembersihan spiritual terhadap diri beserta lingkungan sekitarnya. Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu Bali melakukan upacara Tawur Kesanga. Bagian dari upacara tersebut ialah Mecaru (Pecaruan) atau Bhuta Yadnya.[40]
Pada senja hari setelah Mecaru, umat Hindu melaksanakan Pengrupukan. Kegiatan ditandai dengan menyalakan obor atau menyulut daun kelapa kering (bahasa Bali: mebuu-buu) dan menabuh bunyi-bunyian (kentungan, tawa-tawa, cengceng, atau instrumen musik alternatif lainnya) sambil berkeliling lingkungan rumah atau desa, bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari kekuatan jahat atau pengaruh buruk di alam sekitarnya.[40] Pengrupukan ini seringkali dibarengi dengan pengarakan ogoh-ogoh sebagai representasi (perwakilan) sifat negatif dalam diri manusia (diwujudkan sebagai "butakala"). Ogoh-ogoh tersebut kemudian dibakar sebagai makna pemusnahan sifat negatif tadi.[41] Prosesi ini dipadankan dengan eksorsisme menurut sudut pandang kebudayaan Barat.[40]
Makna dan filosofi
Umat Hindu Bali meyakini prosesi yang dijalani saat Tawur Kesanga sebagai bentuk "nyomya butakala", yaitu aktivitas untuk menetralisir atau menghilangkan sifat buruk/negatif di alam sehingga berubah menjadi baik/positif dan kekuatannya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan alam.[42] Menurut ajaran Hindu Bali, prosesi ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang mahadashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup—khususnya manusia—dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau pun kehancuran, tergantung dominansi yang dipilih.[13] Pembakaran ogoh-ogoh pada akhir prosesi Tawur Kesanga merupakan tradisi baru, simbolisasi pemusnahan sifat-sifat buruk, atau netralisasi kekuatan negatif di alam sekitar.
Meskipun demikian, pemuka agama Hindu Ida Pedanda Gede Made Gunung menilai bahwa pengarakan ogoh-ogoh pada akhir Tawur Kesanga adalah salah kaprah. Ia menyatakan bahwa pada akhir prosesi Tawur Kesanga, butakala sudah "didamaikan" agar tidak mengganggu kehidupan manusia dan sekitarnya. Maka pengarakan ogoh-ogoh dianggap sebagai "membangkitkan" butakala kembali dan mengaraknya berkeliling.[43] Tokoh Hindu lainnya menyatakan bahwa ogoh-ogoh tidak ada kaitannya dengan ritual Tawur Kesanga dan hanya pemeriah suasana penyambutan Nyepi. Sebabnya ialah ogoh-ogoh merupakan tradisi atau kebiasan berulang-ulang tanpa dasar sastra agama, sedangkan ritual Tawur Kesanga memiliki pedoman atau petunjuk pelaksanaan dari sastra agama.[24]
Galeri
-
Ogoh-ogoh di Kuta Bali, 2005.
-
Ogoh-ogoh di Nusa Tenggara Barat, 2007.
-
Ogoh-ogoh diarak umat Hindu di pelataran Candi Prambanan, 2014.
-
Ogoh-ogoh di Pura Jagat Hitakirana, kota Samarinda, Kalimantan Timur, 2024.
Lihat pula
Referensi
- ^ Alfiandana (11 Maret 2024), Puput Puji Lestari, ed., Ritual Pembakaran Ogoh-Ogoh dan Maknanya, Pembersihan sebelum Hari Raya Nyepi, VOI
- ^ Mohammad Syamsudin Alfattah (2017), Tradisi Upacara Ogoh-ogoh (PDF), Surabaya: Departemen Antropologi Fisip – Universitas Airlangga
- ^ I Gusti Komang Kembarawan (2020), Construction Of Social Solidarity Between Hindus And Muslims At Ogoh-Ogoh Parade In Tanjung, North Lombok, Mataram: Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja
- ^ Erni Budiwanti (2018), "Pawai Ogoh-Ogoh dan Nyepi di Pulau Seribu Masjid: Penguatan Identitas Agama di Ruang Publik", Harmoni, 17, Kementerian Agama RI
- ^ a b c I Wayan Gunawan (2016), "Seni Ogoh-ogoh (Konteks, Teks Dan Efek)", Jurnal Prabangkara, 19 (23), Denpasar: Institut Seni Indonesia
- ^ Admin Prokomsetda (27 Februari 2018), Pengertian Ogoh-Ogoh Dan Fungsinya, Pemkab Buleleng
- ^ a b c d e Chairul Amri Simabur (23 Maret 2020), Sejarah Ogoh-ogoh (1) di Pagan Kelod, Tanpa Tattwa, hanya Perlawanan, Bali Express
- ^ Laurel Kendall (2021), Mediums and Magical Things: Statues, Paintings, and Masks in Asian Places, University of California Press, ISBN 9780520298668
- ^ a b c Willard A. Hanna (2016), Brief History Of Bali: Piracy, Slavery, Opium and Guns: The Story of a Pacific Paradise, Tuttle Publishing, ISBN 9781462918751
- ^ a b Nyoman Widnyani (2012), Ogoh-Ogoh: Fungsi dan Perannya di Masyarakat dalam Mewujudkan Generasi Emas Umat Hindu, Surabaya: Paramita
- ^ a b c d e I Ketut Sudita, dkk. (2011), Buku Panduan Ogoh-ogoh, Denpasar: Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
- ^ a b c Pusat Data Dan Analisa Tempo (2020), Beragam Makna Ogoh-Ogoh dalam Tradisi Nyepi, Tempo Publishing, ISBN 9786233391085
- ^ a b I Gede Suwantana, ed. (2023), Pendidikan dan Nilai Agama Hindu, Nilacakra, ISBN 9786231910417
- ^ Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 3 Tahun 1983. Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 Tentang Hari-Hari Libur Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1971, 19 Januari 1983
- ^ Tim Redaksi (08 Maret 2012), Ogoh-ogoh Mirip Angie-Nazaruddin Ramaikan Nyepi di Bali, detikNews
- ^ a b Tim Redaksi (11 Maret 2013), Ogoh-ogoh Mirip 'Anas' di Denpasar Batal Diarak, detiknews
- ^ a b Kontributor (2004), "Bahasan Khusus Nyepi", Majalah Hindu Raditya (edisi ke-79 – 83), Yayasan Manikgeni Dharma Sastra, hlm. 16
- ^ a b Kontributor (1999), Majalah Hindu raditya (edisi ke-20 – 29), Yayasan Manikgeni Dharma Sastra
- ^ I Wayan Watra (2005), Galungan Naramangsa, Surabaya: Paramitha, ISBN 9789797221683
- ^ a b Tim Redaksi (09 Februari 2023), Gabus 'Dilarang' untuk Ogoh-ogoh, Penjual Sisitan Bambu Ketiban Rezeki, Nusa Bali
- ^ a b Ni Luh Putu Wahyuni Sari (22 Desember 2022), Putu Dewi Adi Damayanthi, ed., Disbud Bali Gelar Lomba Ogoh-ogoh 2023, Dilarang Pakai Plastik dan Styrofoam, Tribun-Bali.com
- ^ a b Admin Pemkot Denpasar (04 Februari 2019), Denpasar Tetap Konsisten Larang Soundsystem Saat Ngarak Ogoh-ogoh, Situs Kota Denpasar
- ^ Putu Supartika (Kamis, 10 Januari 2019), Irma Budiarti, ed., Larangan Pembuatan Ogoh-ogoh Bermuatan Politik di Denpasar, Tribun-Bali.com
- ^ a b c Winatha (21 Maret 2020), Umat Hindu Harus Paham Bedakan Tradisi dan Ritual, Bali Post
- ^ Ni Luh Rhismawati (19 Januari 2021), Triono Subagyo, ed., PHDI Bali dan MDA Keluarkan Edaran Tiadakan Pengarakan Ogoh-ogoh, Antara News
- ^ Kadafi (08 Februari 2022), Gubernur Koster Larang Pawai Ogoh-ogoh saat Perayaan Nyepi di Bali, CNN Indonesia
- ^ Ni Luh Rhismawati (1 Maret 2024), Indra Gultom, ed., 12 Ogoh-ogoh terbaik di Denpasar tampil dalam parade Kasanga Festival, Antara News
- ^ Agus Eka (11 Juli 2023), Kisah Mantan Pelukis Bikin Museum Ogoh-ogoh Pakai Dana Pribadi, detikBali
- ^ Admin disbud (20 Januari 2024), Ogoh-Ogoh, Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng
- ^ Ardee, Pawai Ogoh-ogoh, Kemeriahan Festival Rakyat Menjelang Nyepi, Indonesia Kaya
- ^ a b Ari Budiadnyana (31 Januari 2023), Irma Yudistirani, ed., Perbedaan Membuat Ogoh-ogoh dari Bambu Vs Styrofoam, Idntimes.com
- ^ Nurhadi Wicaksono (20 Maret 2023), Menilik Pembuatan Patung Ogoh-ogoh Jelang Nyepi di Lumajang, detikJatim
- ^ Hanandita Veda Saphira; Nadi Suprapto; Setyo Admoko (2022), Ogoh-ogoh: An Indonesian Creative Local Wisdom Inspired by Hindu Philosophy as Ethno-physics, Surabaya: Faculty of Mathematics and Natural Science, Universitas Negeri Surabaya
- ^ a b R3mB1t@17M1nOn (20 Maret 2015), Ogoh-ogoh Gabus Dilarang, Bagaimana dengan Iringan Musik Keras?, Dasar Bali
- ^ Ni Made Lastri Karsiani Putri (12 Februari 2023), STT di Denpasar Buat Ogoh-ogoh Ramah Lingkungan dari Kulit Nangka, detikBali
- ^ Tim Redaksi (16 Maret 2023), Ogoh-ogoh Mulai Manfaatkan Bahan Organik, Bali Tribune
- ^ a b Putu Setia (2002), Mendebat Bali: Catatan Perjalanan Budaya Bali Hingga Bom Kuta, Denpasar: Pustaka Manik Geni, ISBN 9789794440322
- ^ I Wayan Eri Gunarta (24 Januari 2019), Aloisius H Manggol, ed., Warga Dilarang Membuat dan Mengarak Ogoh-ogoh ini, Sehingga Tak Dinilai Menyimpang, Tribun-Bali.com
- ^ Made Aditya Abhi Ganika; I Wayan Suardana (2019), "Ogoh-Ogoh Dan Implementasinya Pada Kreativitas Berkarya Seni Rupa Tiga Dimensi", Mudra: Jurnal Seni Budaya, 34, Denpasar: Institut Seni Indonesia
- ^ a b c Tim Hannigan; Linda Turnbull (2013), Bali: The Ultimate Guide to the World's Most Famous Tropical, To the World's Most Spectacular Tropical Island, Tuttle Publishing, ISBN 9781462909087
- ^ Gede Agus Siswadi; I Dewa Ayu Puspadewi (2020), Beragama Tanpa Rasa Takut: Upaya Menjawab Tantangan Umat Hindu Masa Kini, Nilacakra Publishing House, ISBN 9786237352242
- ^ Desak Nyoman Alit Sudiarthi; I Wayan Soper (2019), Pemaknaan Mitos Bhuta Kala dalam Tradisi Ogoh-ogoh sebagai Media Pendidikan: Suatu Kajian Pustaka, Denpasar: FPBS IKIP Saraswati
- ^ Putu Setia (2006), Bali Meradang, Denpasar: Pustaka Manikgeni