Ekpedisi Lagundi Ketiga

Ekspedisi Lagundi Ketiga merupakan salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan Kesultanan Aceh melawan kolonialisme Belanda di wilayah Sumatra. Pada ekspedisi ini, fokus konflik terjadi di Pulau Nias, sebuah pulau strategis di pantai barat Sumatra.

Ekpedisi Lagundi Ketiga
Bagian dari Pertempuran di Pulau Nias (1838-1863)
Tanggal10 Maret 1856 – Maret 1861
LokasiLagundri, Pulau Nias
Hasil
Pihak terlibat
Kesultanan Aceh Kesultanan Aceh Belanda
Tokoh dan pemimpin
Kesultanan Aceh Abdurrahman az-Zahir
Raja Orahili
Major J.H. Crena
Kapten H.P. de Vos
Kekuatan
tidak diketahui 245 pasukan
6 buah kapal dan 2 perahu-perahu besar

Latar Belakang

Pada tahun 1856, Belanda mengalami kekalahan besar ketika mendaratkan ekspedisi keduanya ke Lagundi, pemimpinnya mayor Schwenk mati terbunuh.[1]

Sejarah

Jenderal Van Swieten marah besar setelah mendengar kabar kekalahan Belanda yang memalukan itu. Lalu ditugaskan kepada Mayor Van Staveren, onder directeur Zeni Sumatera Barat, untuk mencari penduduk setempat di Sibolga menjadi kambing hitam, dan membuat rencana operasi serta rencana daerah pendudukan nanti. Panglima Task Force ekspedisi militer ketiga ini dipercayakan kepada Mayor Crena, sebagai panglima pasukan-pasukan Belanda di wilayah utara. Segera ia berangkat ke Sibolga untuk persiapan peralatan yang diperlukan. Mengingat kerjasama dengan penduduk Nias tidak berapa diharapkan, maka ranjau-ranjau dan kayu-kayu untuk bentengpun dibuat sendiri oleh Belanda di Sibolga untuk diangkut nanti bersama-sama ke Nias.

Pada tanggal 10 Maret 1856, angkatan Belanda itu berlabuh di Teluk Lagundi. Kedatangan begitu banyak kapal-kapal itu nyatanya tidak membuat panik rakyat. Mayor Crena meneropong rakyat yang tenang-tenang mengerjakan ladang mereka seakan-akan suasana dalam aman damai layaknya. Suasana kesunyian itu dipecahkan oleh tembakan meriam kapal atas perintah Mayor Belanda tersebut. Tiada berapa lama kemudian saudara bungsu dari Raja Sindegeassi datang. Dari padanya diperoleh laporan oleh Belanda bahwa Raja-raja Orahili, Botohosi, Hilibobo, Lahusa, Hilijekomo dan Hilijomboi telah bersepakat membuat perjanjian pakta pertahanan untuk mengusir sebarang penjajahan Belanda asing dari wilayah Lagundi; Bahwa Raja-Raja tersebut dapat mengerahkan 6,000 orang perajurit; Bahwa Raja Sindegeassi juga diajak turut serta tetapi menolak dan menyatakan akan berdiri netral. Atas dasar ini Sindegeassi tidak dapat memberikan bantuan kuli-kuli untuk membantu Ekspedisi Belanda tersebut. Hal ini untuk menjaga juga hubungan pertalian darah dan persaudaraan antara rakyat Sindegeassi dengan Orahili.

Mendengar semua itu Panglima-panglima Belanda itu sebenarnya tidak percaya. Sejak tanggal 12 Maret 1856, anggota-anggota ekspedisi militer Belanda ini sibuk mendirikan kubu-kubu dan perbentengan didekat pantai Teluk Lagundi. Taktik ekspedisi Belanda untuk bersikap pasif dan bertahan serta tidak menyerang ke pedalaman, mendatangkan efek negatif, membuat timbulnya keraguan-keraguan dikalangan anggota-anggota Persatuan Perjuangan Nias. Satu persatu anggota-anggota melepaskan diri dan bersikap apatis. Selain dari Raja Sindegeassi juga Raja Fadoro kemudian bahkan diikuti oleh Raja Hilibobo. Situasi yang menguntungkan ini dikabarkan kepada Jendral Van Swieten yang dengan gembiranya mengeluarkan maklumat bahwa Nias Selatan sudah berhasil ditaklukkan.

Situasi bertahan dalam benteng Lagundi seperti itu, akhirnya juga mendatangkan banyak kesusahan pada pihak Belanda. Hampir setengah daripada pasukan terkena penyakit. Mayor Crona telah kembali ke Sibolga dan menyerahkan pimpinan benteng kepada Letnan Satu Hijligers. Situasi ini berlangsung hingga 4 tahun.

Pada tanggal 16 Februari 1861, terjadi suatu gempa bumi yang hebat yang menghancurkan rata benteng Belanda di Lagundi. Dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda yang dapat mengungsi berlindung ke kampung Hilibobo.

Mendengar diterimanya orang-orang Belanda di Hilibobo membuat Raja Orahili marah. Serta ia mengirim ultimatum kepada Raja Hilibobo bahwa jika orang-orang Belanda berdiam lebih lama disana, Hilibobo dianggap musuh. Raja Hilibobo sadar, sehingga pasukan Belanda tersebut diusir kembali ke perahu-perahu dan mereka pulang ke Sibolga. Semua alat-alat perlengkapan tentara Belanda sisa-sisa ekspedisi yang tertinggal, termasuk 2 pucuk meriam 8 pounder, telah disita oleh Raja Orahili. Sejak Maret 1861, wilayah Nias Selatan kembali bersih dari kekuasaan Belanda. Sekali lagi Raja Orahili membuktikan dirinya sebagai De Verdijver der Hollanders (Pengusir orang-orang Belanda).[2]

Referensi

[1]

  1. ^ tengkuputeh (2017-08-16). "ACEH SEPANJANG ABAD". Tengkuputeh (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-01-01. 
  2. ^ KASKUS. "PERANG NIAS (1840-1863), Raja Orahili Sang "DE VERDRIJVER DER HOLLANDERS"". KASKUS. Diakses tanggal 2025-01-01.