Suparna Sastra Diredja

Revisi sejak 23 Februari 2010 20.21 oleh TjBot (bicara | kontrib) (bot kosmetik perubahan)

Suparna Sastra Diredja (Tarogong, Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat 2 Februari, 1915 - Amsterdam, 1996) adalah seorang tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia, tokoh serikat buruh, dan pengarang yang hidupnya berakhir dalam pengasingan di Belanda.

Latar belakang

Suparna dilahirkan dari keluarga Abdul Sastra Diredja (1885-1968) dan Nyi Emi Resmi (1896-1970) di desa Tarogong, Jawa Barat. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, sementara ayahnya seorang guru sekolah dasar di Garut.

Suparna menempuh pendidikannya di Europeesche Lagere School di Cicalengka, lulus pada 1930, lalu melanjutkan ke MULO di Bandung, dan lulus pada 1933. Dari situ ia melanjutkan pendidikannya di Algemene Middelbare School (AMS) di Batavia, dan selesai pada 1936.

Menjadi aktivis

Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, Suparna sudah aktif dalam organisasi pemuda nasionalis Indonesia Muda. Ia menjadi anggota dewan pimpinan organisasi ini dan bertanggung jawab sebagai redaktur majalah bulanan gerakan ini dengan nama yang sama, "Indonesia Muda". Pada 1937, ia dijatuhi hukuman tahanan selama 10 bulan di Batavia karena menerbitkan artikel yang dianggap menghasut dalam majalah ini. Pengacaranya adalah Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. Mohammad Yamin dan Mr. Sjah, yang belakangan menjadi tokoh-tokoh terkenal Republik Indonesia

Suparna Sastra Diredja sering menghadiri rapat-rapat politik serta kelas-kelas pendidikan politik di malam hari yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa nasionalis. Belakangan ia menjadi anggota partai politik Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).

Suparna juga menjadi guru di salah satu "sekolah liar", Perguruan Rakyat, di Jakarta yang digunakan oleh kaum nasionalis untuk membakar semangat orang-orang muda.

Perjuangan kemerdekaan

Pada masa pendudukan Jepang, Suparna Sastra Diredja ikut serta dalam gerakan anti Jepang di bawah tanah di Jawa Barat. Ia bergerak melalui Koperasi Rakyat Indonesia (Korindo), sebuah koperasi guna-produksi, namun kemudian dibubarkan atas perintah tentara Jepang. Suparna kemudian bergabung dengan pemuda-pemuda revolusioner, di antaranya Wikana, Chaerul Saleh dan Sukarni.

Ia memimpin kantor Badan Penolong Prajurit Pekerja, sebuah lembaga setengah resmi di Priangan. Badan ini dibentuk untuk membantu keluarga-keluarga para romusha. Suparna menggunakan lembaga ini untuk mengorganisasi dapur umum untuk membantu rakyat yang kelaparan.

Setelah Perang Dunia II, segera setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Suparna mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia, sebuah organisasi pemuda bersenjata di Bandung. Ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia, badan perwakilan rakyat sementara, untuk distrik Bandung dan Priangan. Kemudian ia menjadi kepala departemen logistik dari organisasi bersenjata dan anggota Dewan Nasional untuk Rencana Pembangunan. Ia ikut serta dalam delegasi Indonesia pada perundingan-perundingan dengan pihak Belanda, khususnya menyangkut masalah-masalah perkebunan.

Setelah kemerdekaan

Suparna adalah salah satu pendiri serikat buruh perkebunan yang bernama Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) pada 1947 dan menjabat sebagai sekretaris jenderalnya hingga 1965. Ia juga menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat serikat buruh SOBSI.

Setelah pemilihan umum 1955 Suparna menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili fraksi PKI. Setelah nasionalisasi tanah-tanah perkebunan asing, ia ditunjuk sebagai direktur Perkebunan Negara Dwikora di Subang, Jawa Barat.

Hidup di pengasingan

Pada September 1965, Suparna ikut serta dalam delegasi DPR-GR ke Korea Utara dan Tiongkok. Dalam kunjungan itu, Suparna kebetulan harus dirawat di rumah sakit di Tiongkok dan karena itu ia tidak dapat segera kembali ke Indonesia. Bersamaan dengan itu, terjadi perkembangan lain di tanah air, khususnya setelah meletusnya G30S. Karena itu Suparna tidak sempat ditangkap ataupun dilenyapkan seperti kebanyakan orang komunis atau yang dicurigai sebagai komunis. Akhirnya Suparna tinggal di Tiongkok selama 12 tahun. Betapapun juga ia tidak merasa bebas di Tiongkok karena ia tidak dapat berhubungan dengan sanak keluarga dan teman-temannya di Indonesia. Karena itulah pada 1978 ia pindah ke Belanda dan memperoleh suaka politik di negara itu.

Di Belanda, sejak awal sekali Suparna telah aktif dalam gerakan-gerakan untuk demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Ia ikut serta dalam berbagai aksi, menulis artikel, menyampaikan informasi lisan dan tertulis tentang situasi di Indonesia. Ia menjadi anggota dewan pengurus SKBSI, Aksi Setia Kawan, dan sekretaris Yayasan Perhimpunan Indonesia. Bersama-sama dengan sejumlah temannya ia menerbitkan artikel-artikel dan tulisan-tulisan lain menyangkut Indonesia. Ia menjadi bendahara yayasan ini. Selain itu, sejak 1982 Suparna juga menjadi anggota Partai Komunis Belanda.

Keluarga

Suparna menikah dengan Enok Djuariah, seorang perempuan kelahiran Ciamis pada 1915, yang hingga pada 1965 juga bekerja sebagai guru. Mereka memiliki lima orang anak. Pada 1968, setelah Suparna tidak dapat kembali lagi ke Indonesia, mereka bercerai. Suparna menikah kembali pada 1987 dengan Neneng Marsiah.

Karya tulis

  • (Indonesia) Romusa (1987)
  • (Indonesia) Bermukim di Bumi Belanda
  • (Indonesia) (Belanda) Si Titut: Kuda Pacu Wedana Leles
  • (Indonesia) (Belanda) "MMC" di lereng Merapi-Merbabu
  • (Indonesia) Petani Singaparna Berontak (tak lengkap)
  • (Indonesia) (Belanda) Studie over de problemen van de Indonesische revolutie
  • (Indonesia) Cerita tentang ayah saya, tentang ibuku Emi
  • (Indonesia) Kenang-kenangan dalam Serikat Buruh'

Dalam penulisannya, ia banyak menggunakan nama samaran, misalnya Nusa Kusuma, Putra Nusantara, Nusantari, Baranusanta, Kartika Putra, Pandu dan Pandu Nusa.

Pranala luar