Ketuanan Melayu

pandangan politik yang mengunggulkan suku Melayu di atas etnis lainnya di Malaysia

Ketuanan Melayu adalah konsep rasialis bahwa bangsa Melayu adalah "tuan" atau "penguasa" Malaysia. Konsep ini tertuang dalam Pasal 153 Konstitusi Malaysia yang memberikan jaminan hak-hak khusus kepada etnis Melayu di Malaysia.[1] Pengaturan seperti ini biasanya disebut sebagai kontrak sosial. Konsep ketuanan Melayu biasanya didengungkan oleh politikus-poliikus Malaysia, terutama yang berasal dari Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), partai yang memiliki pengaruh kuat di Malaysia.

Berkas:Hisham Keris.jpeg
Ketua pemuda Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) Hishammuddin Hussein mengacung-acungkan keris, sebuah aksi yang dilihat oleh sebagian orang sebagai pertahanan terhadap ketuanan Melayu.

Walaupun gagasan ini telah ada sebelum Malaysia merdeka, frasa ketuanan Melayu sendiri tidak pernah mencuat sampai awal tahun 2000-an. Suara oposisi paling besar terhadap konsep ini datang dari partai-partai non-Melayu seperti Partai Aksi Demokratik (DAP); pada tahun 2000-an, Partai Keadilan Rakyat yang multietnis juga memosisikan partainya menetang ketuanan Melayu dan sebaliknya mempromosikan ketuanan rakyat. Pemikiran atas supremasi Melayu mendapat perhatian publik pada tahun 1940-an, ketika warga Melayu membentuk organisasi yang memprotes pembentukan Uni Malaya dan kemudian memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1960-an, terdapat usaha yang keras menentang konsep ketuanan Melayu yang dipimpin oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) dari Singapura (yang menjadi salah satu negara bagian dari Malaysia dari tahun 1963 sampai 1965) dan oleh DAP setelah Singapura memisahkan diri. Namun konstitusi yang berhubungan dengan ketuanan Melayu semakin dikukuhkan setelah kerusuhan rasial 13 Mei tahun 1969 yang diikuti kampanye pemilu yang memfokuskan pada isu hak-hak non-Melayu dan ketuanan Melayu. Periode ini nampak dengan munculnya kelompok "Ultra" yang mengajukan sebuah pemerintahan satu partai yang dipimpin oleh UMNO dan peningkatan tekanan pada konsep orang Melayu sebagai "rakyat Malaysia" yang sebenarnya.

Kerusuhan ini menyebabkan perubahan drastis pada pendekatan pemerintah terhadap isu-isu rasial dengan memperkenalkan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) yang mengutamakan etnis Melayu. Kebijakan Kebudayaan Nasional yang menekankan pada asimilasi warga non-Melayu ke dalam kelompok etnis Melayu juga diperkenalkan pada tahun 1970. Namun semasa 1990-an Perdana Menteri Mahathir bin Mohamad menolak pendekatan ini dengan konsep Bangsa Malaysianya yang menekankan warga Malaysia, bukan etnis Melayu, sebagai identitas negara Malaysia. Semasa tahun 2000-an, para politikus kembali menekankan konsep ketuanan Melayu, dan secara publik mengkritik menteri-menteri pemerintahan yang mempertanyakan konsep kontrak sosial.

Pra-Kemerdekaan

 
Britania mengakui raja-raja Melayu sebagai penguasa berdaulat atas Malaya.

Nasionalisme Awal Melayu

Nasionalisme Melayu sebagai gerakan politik yang terorganisasikan dan bersatu tidaklah wujud sebelum Perang Dunia II. Konsep ketuanan Melayu juga tidak relevan dengan kondisi politik saat itu karena warga Cina Malaysia dan India Malaysia yang menduduki hampir setengah jumlah populasi Malaya tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai warga Malaya.[2] Sebuah laporan dari British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies pada awal tahun 1930-an menemukan bahwa jumlah warga non-Melayu yang menganggap Malaya sebagai tanah air mereka sangat kecil.[3]

Walaupun Britania secara de facto memerintah Malaya, secara de jure warga Melayu dijadikan sebagai pemimpin boneka yang dikontrol oleh Britania. Komisioner Tinggi Britania Sir Hugh Clifford, mendemonstrasikan ideologi Britania yang membenarkan kolonialisme Britania atas Malaya[4] ketika dia menekankan "setiap orang di negara ini [untuk] memperhatikan fakta bahwa ini adalah negara Melayu, dan kami Britania datang kemari atas undangan Yang Mulia Raja-Raja Melayu, dan adalah tugas kamu untuk membantu orang Melayu memerintah negara mereka sendiri."[5] Britania berpura-pura mengadopsi kebijakan "pro-Melayu" agar warga Melayu, seperti yang dikatakan oleh Komisioner Tinggi Sir Laurence Guillemard, dipersiapkan untuk mengambil tempat yang pantas dalam kehidupan administrasi dan komersial di negara ini.[6] Pada kenyataannya, warga non-elit Melayu tetap termarjinalisasi oleh kebijakan ekonomi dan politik pemerintah kolonial Britania, dan baik kebijakan pendidikan maupun ketenagakerjaan sangat terbatas.[7]

Komunitas warga non-Melayu yang lahir di tanah Malaya dengan cepat kemudian mulai meminta perwakilan politik. Tahun 1936 komunitas warga India yang lahir di Malaya meminta Komisioner Tinggi Sir Shenton Thomas memberikan mereka andil dalam jabatan-jabatan administrasi pemerintahan. Thomas menolak permintaan ini, dengan menunjuk bahwa orang India yang lahir di Malaya sebagai "pendatang asing".[8] Walaupun Britania menganggap warga Cina sebagai "angkatan kerja sementara", dengan menunjukkan statistik yang mengindikasikan bahwa kebanyak imigran Cina pada akhirnya pulang kembali ke tanah asal mereka, para kritikus beralasan bahwa populasi warga Cina yang lahir di Malaya terus meningkat. Walaupun demikian, Britania tetap berkeras bahwa adalah berbahaya untuk mempertimbangkan warga Cina memiliki kecenderungan tinggal menetap di Malaya; komunitas India yang lahir di Malaya — meliputi hampir 20% dari populasi warga India, dengan sisanya sebagai pekerja buruh yang bermigrasi dengan alasan yang sama seperti warga Cina — juga diabaikan.[9]

Britania mengatur kehidupan warga Melayu dengan kehidupan tradisional mereka sebagai petani, membatasi gerakan, ekonomi, dan pendidikan mereka. Kebijakan ini diambil atas dasar pemikiran bahwa pendidikan yang diberikan pada warga Bengal di India telah menimbulkan ketidakpuasan dan pemberontakan.[10] Britania hanya melibatkan warga Melayu yang berkelas ke dalam pemerintahan. Walaupun warga non-Melayu tidak dimasukkan ke dalam posisi pemerintahan, banyak dari jabatan-jabatan sipil diisi oleh warga non-Melayu, kebanyakan adalah orang India yang sengaja didatangkan untuk mengisi jabatan ini.[9] Kebanyakan ahli sejarah mendeskripsikan kebijakan pro-Melayu ini disengajakan hanya untuk mempertahankan kedudukan Britania daripada memperkuat kedudukan warga Melayu; banyak yang mengkarakterisasikan pendekatan Britania ini sebagai taktik divide et impera, menjauhkan suku yang satu dengan lainnya untuk memisahkan elemen masyarakat Malaya dalam harmonitas yang tipis.[11][12]

Tahun 1920-an, warga Cina lokal yang memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan, mulai mendorong pemerintah Britania memberikan mereka andil lebih besar di pemerintahan Malaya.[13] Banyak warga dari komunitas Cina, yang telah mencapai 39% dari populasi Malaya, masih terdiri dari pekerja buruh sementara. Walaupun demikian, warga Cina Peranakan — yang merupakan warga Cina yang lahir di Malaya — ingin diberikan posisi dalam pemerintahan dan di anggap sebagai warga Malaya. Salah satu pemimpin warga Tionghoa bertanya, "Siapa bilang bahwa ini adalah negeri Melayu? ... Ketika Kapten [Francis] Light tiba, apakah dia menemukan orang Melayu, atau kampung Melayu? Kakek moyang kami datang ke sini dan bekerja keras sebagai kuli — tidak malu menjadi kuli — dan mereka tidak mengirimkan uang mereka kembali ke Cina. Mereka menikah dan menghabiskan uang mereka di sini, dan dengan begini pemerintah dapat membangun negara ini dari hutan menjadi peradaban. Kami telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari negara ini. Ini adalah negara kami..." Intelek-intelek Melayu yang jengkel keberatan dengan alasan ini, mengemukakan sebuah analogi dengan warga Cina sebagai tukang batu dan Malaya sebagai rumah. Tukang batu yang telah dibayar, menurut argumentasi mereka, tidak berhak diberikan bagian kepemilikan rumah yang dibangunnya. Karena itu, mereka menolak setiap usaha untuk memberikan warga Cina kewarganegaraan dan hak-hak politik lainnya.[14]

Sebaliknya pula, tidak semua warga Melayu pula yang lahir di Malaya. Sejumlah kelompok etnis lain yang berhubungan dengan etnis Melayu seperti suku Jawa dan Bugis telah bermigrasi ke dalam Malaya sepanjang abad 19 dan 20. Kebanyakan dengan cepat berasimilasi ke dalam identitas kebudayaan Melayu.[15] Pada akhirnya, permohonan warga Cina Malaya tampaknya memiliki pengaruh yang kuat terhadap Britania. Tahun 1927, Gubernur Negeri-Negeri Selat mengalamatkan warga Cina sebagai "penduduk asli Malaya Britania".[16]

Sesaat sebelum Perang Dunia II, nasionalisme Melayu mulai menekankan ketuanan Melayu. Dikhawatirkan bahwa kebijakan Britania mulai condong terhadap pembentukan nasionalitas Malaya yang memasukkan warga Cina dan India. Beberapa warga Melayu kemudian berusaha mempertahankan status quo dengan menggunakan Britania sebagai pertahanan terhadap ancaman non-Melayu. Yang lainnya mulai memperjuangkan sebuah negara Melayu yang merdeka dan berdaulat, seperti "Negara Indonesia Raya".[17]

Uni Malaya

Setelah Perang Dunia II, Britania mengumumkan pembentukan Uni Malaya yang akan melonggarkan kebijakan-kebijakan imigrasi, mengurangi kedaulatan raja-raja Melayu, dan tidak mengakui adanya supremasi Melayu serta membentuk Malaya sebagai protektorat Britania Raya. Sebagai penduduk yang lahir di Malaya, kebanyakan warga Cina Malaya dan India Malaya memenuhi syarat mendapatkan kewarganegaraan di bawah prinsip jus soli. Dengan jaminan hak-hak yang sama kepada semua orang, warga Melayu khawatir bahwa kekuatan kecil yang disisakan akan kemudian diambil juga.[18][19] Dan sejak awal pula, kaum Melayu tidak menganggap mereka sendiri sebagai bagian dari label "warga Malaya".[20]

Untuk pertama kalinya, warga Melayu menjadi sadar secara politik dan memprotes pembentukan Uni Malaya. Pada satu perkumpulan terdapat sebuah plakat yang bertuliskan "Malaya adalah milik Melayu. Kami tidak ingin bangsa lain diberikan hak dan keistimewaan yang sama dengan bangsa Melayu."[21] Satu organisasi Melayu memberitahukan kepada Britania bahwa ketetapan kewarganegaraan ini akan membawa pada kepunahan etnis Melayu beserta tanah dan raja mereka."[22] Sekelompok royalis Melayu dan pejabat sipil yang dipimpin oleh Dato' Onn Ja'afar membentuk Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) untuk memprotes pembentukan Uni Malaya[23] Walaupun Uni Malaya dibentuk sesuai dengan rencana, kampanye memprotes pembentukan tersebut terus berlanjut; tahun 1948, Britania menggantikan Uni Malaya dengan Federasi Malaya. Federasi ini mengembalikan kedaulatan raja-raja Melayu, memperketat pembatasan imigrasi dan kewarganegaraan, dan memberikan warga Melayu hak-hak istimewa.[24] Walaupun demikian, tujuan semula Britania tetap sama: memperkenalkan "sebuah bentuk kewarganegaraan umum yang terbuka untuk semua orang, tanpa memandang etnis, yang menganggap Malaya sebagai rumah mereka dan objek kesetiaan mereka."[25]

Oposisi yang terbatas terhadap ketuanan Melayu dan UMNO semasa periode ini datang dari koalisi antara All-Malaya Council of Joint Action (AMCJA) dan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Walaupun salah satu konstituen organisasi PUTERA berkeras pada ketuanan Melayu sebagai "hak lahir nasional" warga Melayu, PUTERA ikut serta dengan AMCJA memperjuangkan persamaan politik non-Melayu. Setelah Britania menolak untuk mempedulikan koalisi PUTERA-AMCJA, koalisi ini menolak berunding dengan Britania, kemudian melancarkan mogok umum untuk memprotes apa yang dianggap sebagai kecacatan dalam negara baru. Setelah Federasi Malaya dibentuk, koalisi ini kemudian dibubarkan.[26]

Sebelum pembentukan Federasi, warga non-Melayu secara umum tidak dilibatkan dalam perpolitikan dan nasionalisme Malaya; lebih tertarik kepada politik tanah asal mereka, warga non-Melayu tidak pernah secara signifikan mendukung Uni Malaya[27] AMCJA, walaupun terdiri dari warga non-Melayu, tidak mewakili sebagian besar dari komunitas warga non-Melayu di Malaya.[28] Kurangnya ketertarikan atau kesetiaan kepada Malaya di antara warga non-Melayu tampaknya menjustifikasi ketuanan Melayu.

Beberapa ahli sejarah beragumentasi bahwa kegagalan Uni Malaya membuat warga Cina sadar akan kebutuhan perwakilan politik mereka. Partai Persatuan Cina Malaya (MCA) — sebuah partai politik komunal yang mengkampanyekan hak-hak politik warga Tionghoa — dibentuk segera sesudah pembentukan Federasi Malaya.[29] Yang lainnya mengklaim bahwa faktor utama dibalik keterlibatan warga non-Melayu ke dalam politik Malaya dan tuntuan hak-hak mereka, adalah karena peningkatan jumlah warga non-Melayu yang lahir di Malaya. Laporan yang sama dari British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies mengindikasikan bahwa warga non-Melayu yang lahir di Malaya "tidak pernah melihat tanah nenek moyang mereka dan mereka mengklaim bahwa keturunan-keturunan mereka seharusnya mendapatkan perlakuan yang adil."[30] Presiden pertama MCA adalah Tan Cheng Lock, seorang warga Cina yang lahir di Malaya yang sebelumnya memimpin AMCJA sebelum pembubarannya.

Setelah tujuan awalnya tercapai, UMNO kemudian memosisikan dirinya sebagai partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Malaya. Pada saat yang sama pula, Partai Komunis Malaya (MCP) melancarkan pemberontakan bersenjata untuk membentuk pemerintahan komunis di Malaya. Pemberontakan ini mencapai puncaknya pada kedaruratan Malaya yang terus berlangsung setelah kemerdekaan. Dalam pemerontakan ini, segregasi antar ras sangat jelas terlihat. Pihak yang menentang pihak komunis hampir keseluruhannya adalah kaum Melayu, manakala kaum Cina banyak yang mendominasi kedudukan di partai komunis. Britania kemudian membentuk Komite Hubungan Komunitas (Jawatankuasa Hubungan antara Kaum, Communities Liaison Committee) yang terdiri dari politikus-politikus tinggi Malaya dari berbagai komunitas untuk mengalamatkan berbagai isu-isu sensitif, utamanya yang mengangkut isu ras. Beberapa kompromi mengenai sejumlah isu seperti kewarganegaraan, pendidikan, demokrasi, dan supremasi Melayu disetujui. Pada akhirnya , "tawar menawar" antara kaum Melayu dengan kaum non-Melayu dirumuskan. Sebagai ganti kaum Melayu melepaskan ketuanan Melayunya, warga Melayu akan dibantu untuk mengejar ketertinggalan ekonominya. Salah satu anggota komite ini E.E.C. Thuraisingham kemudian berkata bahwa, "Saya dan lainnya percaya bahwa Melayu yang terbelakang seharuslah diberikan tawaran yang lebih baik. Kaum Melayu haruslah dibantu untuk mencapai kesetaraan dengan kaum non-Melayu agar dapat mengukuhkan Negara Malaya bersatu yang setara."[31]

Permasalahan terus bermunculan. Banyak anak muda Cina Malaya yang diwajibkan ikut pelatihan militer untuk mencegah serangan komunis melarikan diri dari Malaya. Kebanyakan warga Cina yang mengikuti wajib militer ini adalah warga didikan Inggris dan bukanlah didikan Cina. Bagi kaum Melayu, hal ini mengindikasikan bahwa kaum Cina tidak memiliki kesetiaan apapun terhadap Malaya dan ini menjustifikasikan ketuanan Melayu. Persepsi ini semakin diperparah oleh dikotomi rasial yang terlihat di antara kaum yang mendukung komunis dengan kaum yang menentangnya.[32]

Pada awal tahun 1950-an, Onn Ja'afar mengajukan wacana untuk membuka keanggotaan UMNO bagi seluruh warga Malaya dan menggantikan namanya menjadi Organisasi Nasional Malaya Bersatu (Pertubuhan Kebangsaan Penduduk Tanah Melayu Bersatu). Wacana ini akan mengikis identitas UMNO sebagai partai yang memperjuangkan ketuanan Melayu. Namun hal ini tidak mendapatkan dukungan anggota dalam partai UMNO sendiri. Onn Ja'afar kemudian mengundurkan diri pada tahun 1951 dan mendirikan Partai Kemerdekaan Malaya (Independence of Malaya Parti, IMP). Ia digantikan oleh Tunku Abdul Rahman yang bersikeras akan kedaulatan Melayu. Dengan mengungkit kurangnya kesetiaan warga non-Melayu terhadap Malaya, ia menuntut warga non-Melayu untuk mengklarifikasikan kesetiaan mereka terlebih dahulu sebelum diberikan kewarganegaaan, dan selanjutnya dalam bukunya Political Awakening menyatakan bahwa "Kepada siapapun yang mencintai dan merasa berhutang kesetiaan kepada negara ini, kami akan menyambutnya sebagai penduduk Malaya. Mereka haruslah benar-benar penduduk Malaya, dan mereka akan memiliki hak dan keistimewaan yang sama dengan kaum Melayu."[33] Tidak lama setelah itu pada tahun 1952, ia tampaknya mengkontradiksi dirinya sendiri, dengan bersikeras agar kaum Melayu melindungi posisi khusus mereka: "Malaya adalah untuk kaum Melayu dan tidak seharusnya diperintah oleh gabungan berbagai bangsa."[34]

 
Semasa awal tahun 1950-an, terdapat gerakan separatis Cina Peranakan di Pinang yang melawan ketuanan Melayu.

Semasa periode ini, kaum Cina Peranakan mulai memperlihatkan ketertarikannya pada politik lokal, utamanya Cina Peranakan Pulau Pinang, di mana terdapat gerakan separatis Cina yang aktif. Dengan lebih berpihak kepada Britania daripada kepada kaum Melayu, kaum Cina Peranakan utamanya tidak senang atas pengalamatan mereka sebagai pendatang asing. Kaum Cina Peranakan ini menghindar dari UMNO dan MCA, percaya bahwa manakala UMNO dan ekstrimis Melayu bertujuan memperluas hak khusus Melayu dan membatasi hak kaum Cina, MCA terlalu "egois" dan tidak dapat dipercayai.[35] Kaum Cina Peranakan khawatir atas penyatuan Negeri-Negeri Selat dengan Malaya dan tidak merasa memiliki kesamaan dalam suatu negara "Malaya untuk Melayu" yang di dalamnya kaum Cina tidak dianggap sebagai bumiputera. Salah satu pemimpin Cina Peranakan dengan penuh emosi mendeklarasikan, "Saya dapat mengklaim lebih "anak Pulau Pinang" daripada 99 persen kaum Melayu yang tinggal di sini sekarang." Dengan penolakan kuat dari pemerintah, gerakan separatis ini pada akhirnya berangsur-angsur hilang.[36]

Beberapa orang mengajukan bahwa kaum non-Melayu tidak merasa setia kepada Malaya karena mereka tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai bernasionalitas Malaya dan lebih terikat dengan latar belakang budaya dan etnis mereka. Untuk melawan hal ini, pada tahun 1952, kewarganegaraan diberikan kepada hampur semua warga non-Melayu yang lahir di Malaya. Kewarganegaraan ganda dilarang, sehingga memaksa warga non-Melayu untuk memilih di antara tanah nenek moyangnya atau Malaya.[37] Berlawanan dengan asumsi kaum Melayu, mayoritas kaum non-Melayu memilih untuk menetap dan sehingganya membuktikan kesetiaan mereka kepada Malaya. Kaum-kaum non-Melayu inilah yang menjadi nenek moyang kaum non-Melayu Malaysia sekarang.

Seiring dengan persiapan Malaya untuk memiliki pemerintahan sendiri, Britania memulai "Sistem Keanggotaan" (seperti sistem kabinet). Seperti Komiter Hubungan antar Komunitas, keanggotaan pemerintahan berasal dari berbagai komunitas. Sistem ini dianggap sebagai titik awal model pembagian kekuasaan multirasial di Malaya dan Malaysia setelah kemerdekaan. Pada saat yang sama, Britania juga mulai meletakkan kerangka sistem pendidikan nasional yang akan menciptakan rasa "kebersamaan sebagai warga Malaya". Proposal Barnes Report yang diajukan oleh Britania mendapatkan penentangan yang kuat dari komunitas Cina karena "jenuh dengan nasionalisme Melayu" dan memperkuat ketuanan Melayu. Proposal lainnya, Fenn-Wu Report, mendapatkan dukungan kaum Cina, namun tidak mendapat persetujuan kaum Melayu. Pada akhirnya rekomendasi Barnes Report akan sekolah nasional berbahasa Inggris diimplementasikan pada tahun 1952 ditengah-tengah protes kuat dari kaum Cina yang kecewa terhadap tidak adanya ketentuan mengenai sekolah berbahasa non-Melayu. Pada tahun 1956, sebuah komite yang dikepalai Tun Abdul Razak mengevaluasi sistem pendidikan ini. Propasal "Razak Report" merekomendasikan bahwa sekolah dasar berbahasa non-Melayu diijinkan untuk dibuka, namun haruslah memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah nasional. Sekolah menengah berbahasa non-Melayu tidak akan diijinkan dan hanya sekolah menengah nasional saja yang akan dibiayai pemerintah. Komunitas Cina dengan kuat menetang proposal "Razak Report" ini pula dan melancarkan kampanye melawannya.[38] Walaupun demikian, rekomendasi "Razak Report" ini pada umumnya sangat sukses dan kebanyakan rekomendasinya masih digunakan sampai dengan sekarang.

Sumber

  1. ^ Meredith L. Weiss, "The 1999 Malayan General Elections: Issues, Insults, and Irregularities." Asian Survey, Vol. 40, No. 3, (May 200)pp 430.
  2. ^ Ye, Lin-Sheng (2003). The Chinese Dilemma, pp. 26–27. East West Publishing. ISBN 0-9751646-1-9.
  3. ^ Hwang, In-Won (2003). Personalized Politics: The Malaysian State under Mahathir, p. 24. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-230-185-2.
  4. ^ Kratoska, Paul H., ed. Honorable Intentions: Talk on the British Empire in Southeast Asia Delivered at the Royal Colonial Institute, 1874-1928. Singapore: Oxford University Press,1983 (introduction)
  5. ^ Keith, Patrick (2005). Ousted!, p. 140. Media Masters. ISBN 981-05-3865-0.
  6. ^ Roff, W.R. (1974). The Origins of Malay Nationalism, pp. 114, 118. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.
  7. ^ Hirschman, Charles “The Making of Race in Colonial Malaya: Political Economy and Racial Ideology.” Sociological Forum, Vol. 1, No. 2 (Spring, 1986), 330-361.Lee, Edwin. The British as Rulers: Governing Multiracial Singapore, 1867-1914. Singapore: Singapore University Press, National University of Singapore, 1991.Nonini, Donald M. British Colonial Rule and the Resistance of the Malay Peasantry, 1900-1957, New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1992.Rahim, Lily. The Singapore Dilemma: The Political and Educational Marginality of the Malay Community. New York: Oxford University Press, 1998.Hussein Alatas, Syed. The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese From the 16th to 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London : Frank Cass, 1977), Ch 12. 116-17
  8. ^ Roff, pp. 109–110.
  9. ^ a b Roff, pp. 110–111.
  10. ^ Thomas Metcalf, “Empire Recentered: India in the Indian Ocean Arena,” in Colonialism and the Modern World: Selected Studies, eds. Gregory Blue, Martin Bunton, and Ralph Crozier (Armonk NY: M.E. Sharpe, 2002), 31.
  11. ^ Abdullah, Asma & Pedersen, Paul B. (2003). Understanding Multicultural Malaysia, p. 44. Pearson Malaysia. ISBN 983-2639-21-2.
  12. ^ Rashid, Rehman (1993). A Malaysian Journey, p. 28. Self-published. ISBN 983-99819-1-9.
  13. ^ Swettenham, Frank. British Malaya: An Account of the Origin and Progress of British Influence in Malaya. By Sir Frank Swettenham, K.C. M. G. Late Governor of the Straits Colony. London: John Lane Co., 1900. (pg 232-4).
  14. ^ Roff, pp. 207–210.
  15. ^ Abdullah & Pedersen, p. 20.
  16. ^ Hickling, R.H. (1991). Essays in Malaysian Law, pp. 51–52. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-385-5.
  17. ^ Roff, pp. 235–236.
  18. ^ Hwang, p. 37.
  19. ^ Ongkili, James P. (1985). Nation-building in Malaysia 1946–1974, p. 42. Oxford University Press. ISBN 0-19-582681-7.
  20. ^ Ongkili, pp. 59–66, 73.
  21. ^ Ongkili, p. 47.
  22. ^ Ongkili, p. 50.
  23. ^ Hwang, p. 38.
  24. ^ Hwang, p. 39.
  25. ^ Hickling, p. 87.
  26. ^ ongkili_59-66
  27. ^ Jawan, Jayum A. (2003). Malaysian Politics & Government, p. 37. Karisma Publications. ISBN 983-195-037-2.
  28. ^ Ongkili, p. 68.
  29. ^ Ye, p. 34.
  30. ^ Hwang, p. 25.
  31. ^ Ongkili, pp. 82–84.
  32. ^ Ongkili, p. 84.
  33. ^ Putra, Tunku Abdul Rahman (1986). Political Awakening, pp. 30, 31. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-136-4.
  34. ^ Josey, Alex (1980). Lee Kuan Yew: The Crucial Years, pp. 83–84. Times Books International. ISBN 981-204-448-5.
  35. ^ Sopiee, Mohamed Noordin (1976). From Malayan Union to Singapore Separation: Political Unification in the Malaysia Region 1945 – 65, pp. 77 – 78. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.
  36. ^ Sopiee, pp. 61–62, 69.
  37. ^ Ongkili, pp. 88–90.
  38. ^ Ongkili, pp. 90–91, 107–111.

Templat:Link FA