Mikotoksin

toksin yang dihasilkan oleh cendawan

Secara umum, mikotoksin merupakan toksin yang dihasilkan oleh cendawan[1]. Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai produk alami dengan bobot molekul rendah yang dihasilkan sebagai metabolit sekunder dari cendawan berfilamen dan dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme lainnya[2].

Jenis-jenis

Terdapat enam jenis mikotoksin utama yang sering merugikan manusia, yaitu aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisins, ochratoxin, patulin, trichothecenes, dan zearalenone[3].

Aflatoksin

Sebagian besar aflatoksin dihasilkan oleh Aspergillus flavus Link dan juga A. parasiticus Speare[4]. Kedua cendawan tersebut hidup optimal pada suhu 36-38°C dan menghasilkan toksin secara maksimum pada suhu 25-27°C[4]. Pertumbuhan cendawan penghasil aflatoksin biasanya dipicu oleh humiditas/kelembaban sebesar 85% dan hal ini banyak ditemui di Afrika sehingga kontaminasi Alflatoksin pada makanan menjadi masalah umum di benua tersebut[4]. Untuk menghindari kontaminasi aflatoksin, biji-bijian harus disimpan dalam kondisi kering, bebas dari kerusakan, dan bebas hama.

Citrinin

Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum Thom pada tahun 1931[5]. Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam (rye)[5]. Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh masyarakat Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan[6]. Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah[6].

Ergot Alkaloid

Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama adalah golongan Clavicipitaceae[7]. Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan dapat menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui dalam dua bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive)[7]. Pembersihan serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan proteksi terhadap kontaminasi senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih terserang ergot dikarenakan varietas benih yang digunakan tidak resiten terhadap Claviceps purpurea, penghasil ergot alkaloid[7]. Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot tubuh, dan fertilitas menurun[7].

Fumonisin

Fumonisin ditemukan pada tahun 1988 pada Fusarium verticilloides dan F. proliferatum yang sering mengontaminasi jagung[8]. Namun, selain kedua spesies tersebut masih banyak cendawan yang dapat menghasilkan fumonisin. Toksin jenis ini stabil dan tahan pada berbagai proses pengolahan jagung sehingga dapat menyebabkan penyebaran toksin pada dedak, kecambah, dan tepung jagung[8]. Konsentrasi fumonisin dapat menurun dalam proses pembuatan pati jagung dengan penggilingan basah karena senyawa ini bersifat larut air[8].

Ochratoxin

Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, Fusarium, and Penicillium dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari serealia, babi, ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu[9]. Secara umum, terdapat tiga macam ochratoxin yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling banyak dipelajari adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik diantara yang lainnya[9]. Pada suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa ochratoxin A dapat ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air susu induknya[9]. Pada anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di dalam tubuhnya relatif lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang besar[9]. Infeksi ochratoxin A juga dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk ke saluran pernapasan[9].

Patulin

Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum[10]. Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan terutama adalah apel dan produk-produk olahan apel sehingga untuk diperlukan perlakuan tertentu untuk menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan[10]. Contohnya adalah pencucian apel dengan cairan ozon untuk mengontrol pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui dapat memusnahkan patulin[10].

Trichothecene

Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang termasuk ke dalam golongan trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium, Stachybotrys, Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium[11]. Toksin ini ditemukan pada berbagai serealia dan biji-bijian di Amerika, Asia, dan Eropa[12]. Toksin ini stabil dan tahan terhadapa pemanasan maupun proses pengolahan makanan dengan autoclave[12]. Selain itu, apabila masuk ke dalam pencernaan manusia, toksin akan sulit dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral[12]. Berdasarkan struktur kimia dan cendawan penghasilnya, golongan trichothecene dikelompakan menjadi 4 tipe, yaitu A (gugus fungsi selain keton pada posisi C8), B (gugus karbonil pada C8), C (epoksida pada C7,8 atau C9,10) dan D (sistem cincin mikrosiklik antara C4 dan C15 dengan 2 ikatan ester)[12].

Zearalenone

Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh cendawan dari genus Fusarium seperti F. graminearum dan F. culmorum dan banyak mengkontami nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan produk tumbuhan[12]. Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan, penyimpanan, dan pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi[12]. Salah satu mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada manusia adalah berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen[12].

Efek pada manusia

Banyak mikotoksin yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia melalui makanan, salah satunya adalah kontaminasi citrini pada produk keju karena proses fermentasi keju yang melibatkan P. citrinum dan P. expansum penghasil citrinin[13]. Pada manusia dan hewan, citrinin dapat menyebabkan penyakit kronis, di antaranya dapat terjadi akibat toksisitas pada ginjal dan terhambatnya kerja enzim yang berperan dalam respirasi[14]. Aflatoksin merupakan senyawa karsinogenik yang dapat memicu timbulnya kanker liver pada manusia karena konsumsi susu, daging, atau telur yang terkontaminasi dalam jumlah tertentu[15]. Kehilangan tanaman pangan akibat kontaminasi aflatoksin juga sangat merugikan manusia, baik petani maupun kalangan industri hasil pertanian di dunia[4]. Pada laki-laki, kandungan ochratoxin A yang terlalu tinggi di dalam tubuhnya dapat menyebabkan kanker testis[9].

Efek pada hewan

Aflatoksin dapat menyebabkan penyakit liver pada hewan (terutama aflatoksin B1) yang ditandai dengan produksi telur, susu, bobt tubuh yang menurun[15]. Untuk mereduksi atau mengeliminasi efek aflatoksin pada hewan, dapat digunakan ammoniasi dan beberapa molekul penyerap[15]. Pada ayam petelur, babi, sapi, tikus, dan mencit, toksin fumonisin sulit siserap namun penyebarannya sagat cepat dan ditemukan dapat tertimbun di hati dan ginjal hewan hingga menyebabkan kerusakan oksidatif[8]. Senyawa ochratoxin A bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan mampu menimbulkan gejala imunosupresif pafa berbagai hewan[9]. Pada ternak babi, senyawa zearalenone dapat menyebabkan kelainan reproduksi yang disebut vulvovaginitis[12].

Aplikasi

Ergot alkaloid telah lama dimanfaatkan dalam dunia medis karena memiliki kemiripan struktur dengan neurotransmiter manusia memberikan berbagai pengaruh fisiologi pada manusia sehingga digunakan untuk mengembangkan obat-obatan di masa depan[7]. Selain itu, ergot alkaloid juga digunakan dalam berbagai riset untuk mengetahui dan perawatan kelainan fisiologis pada manusia[7]. Senyawa trichothecene pernah dimanfaatkan sebagai senjata biologis di Laos, Kampuchea, dan Afganistan pada akhir tahuan 1970-an dan awal 1980-an[12]. Peristiwa tersebut dikenal sebagai "hujan kuning" dan menyebabkan berbagai gejala penyakit pada masyarakat sipil, seperti pendarahan, vertigo, mual, demam, dam pusing[12].

Referensi

  1. ^ Alvi Yani (2009). "DETOKSIFIKASI BIOLOGIS BERBAGAI MIKOTOKSINPADA BAHAN PANGAN". Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. 
  2. ^ J. W. Bennett, M. Klich (2003). "Mycotoxins". CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS. 16 (3): 497–516. doi:10.1128/CMR.16.3.497–516.2003 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  3. ^ Gwiazdowska D, Pawlak-Lemanska K (2009). "Removal of zearalenone by propionibacteria in the simulated human gastrointestinal tract" (PDF). ISM Conference 2009: 119. 
  4. ^ a b c d Hamed K. Abbas (2005). Aflatoxin and food safety. CRC Press. ISBN 978-0824723033. 
  5. ^ a b "Production and Analysis of Citrinin in Corn" (PDF). APPLIED AND ENVIRONMENTAL MICROBIOLOGY. 36 (3): 408–411. 1978. 
  6. ^ a b P.J. BLANC, M.O. LORET, G. GOMA (1995). "PRODUCTION OF CITRININ BY VARIOUS SPECIES OF MONASCUS" (PDF). BIOTECHNOLOGY LETTERS. 17 (3): 291–294. 
  7. ^ a b c d e f Kent Kainulainen (2003). "Ergotism and ergot alkaloids – a review" (PDF). Essay in Pharmacognosy - Uppsala University. 
  8. ^ a b c d EUROPEAN COMMISSION HEALTH & CONSUMER PROTECTION DIRECTORATE-GENERAL (2000). "PART 31: FUMONISIN B1 (FB1)" (PDF).  line feed character di |author= pada posisi 20 (bantuan)
  9. ^ a b c d e f g Jack D. Thrasher. "Ochratoxin and Ochratoxicosis" (PDF). 
  10. ^ a b c CA/RCP (2003). [www.codexalimentarius.net/download/standards/405/CXC_050e.pdf "CODE OF PRACTICE FOR THE PREVENTION AND REDUCTION OF PATULIN CONTAMINATION IN APPLE JUICE AND APPLE JUICE INGREDIENTS IN OTHER BEVERAGES"] Periksa nilai |url= (bantuan) (PDF). 
  11. ^ A.CIEGLER (1978). "Trichothecenes: Occurrence and Toxicoses" (PDF). foumal ofFood Protection. 41 (5): 399–403. 
  12. ^ a b c d e f g h i j Selma Yazar, Gülden Z. Omurtag (2008). "Fumonisins, Trichothecenes and Zearalenone in Cereals". Int. J. Mol. Sci.: 2062–2090.  Teks " doi 10.3390/ijms9112062 " akan diabaikan (bantuan)
  13. ^ Bailly J.D., Querin A.; Le Bars-Bailly S., Benard G., Guerre P. (2002). "Citrinin Production and Stability in Cheese". Journal of Food Protection. 65 (8): 1317–1321(5). 
  14. ^ M. Ellin Doyle, Food Research Institute, Carol E. Steinhart, Barbara A. Cochrane (1993). Food safety 1993. CRC Press. ISBN 978-0824791568. 
  15. ^ a b c "Aflatoxin" (PDF).