Perang Aceh (1896-1901)
Perang Aceh (1896-1901) adalah masa operasi militer ofensif di bawah pimpinan JW. Stemfoort, Jan Jacob Karel de Moulin, Jacobus Augustinus Vetter dan Joannes Benedictus van Heutsz.
Latar belakang
Jend. J.A. Vetter dikirim ke Aceh bersama-sama dengan kolonel infanteri J.W. Stemfoort dan mayor staf jenderal Breijer. Mereka bertolak pada tanggal 2 April bersama Batalyon IX dan tiba 5 hari kemudian di Ulee Lheue, 2 hari kemudian tibalah Batalyon VI dan seorang pendaki gunung. Pemerintah melihat keadaan sekarang berbahaya dan tidak ragu bertindak. Alasan sesungguhnya di balik penolakan Teuku Umar masih gelap. Tuduhan terhadap kontrolir KW. Gisolf dan jaksa agung Mohammad Arif atas penyebab dugaan tindakan penghinaan atas dirinya dan lain-lain yang diajukannya kepada gubernur tidak berdasar dan dicabut dalam surat kedua. Dalam surat terakhir tanggal 12 April, Umar mengetahui pandangannya berubah menjadi kekecewaan karena tiadanya penghargaan kerajaan yang dianugerahkan untuk jasanya. Saat masih diberikan 150.000 gulden per bulan, ia masih berkomitmen menjaga suasana di Aceh. Tawaran yang sama diulanginya dalam surat yang diperuntukkan kepada komisaris pemerintah, yang pada tanggal 25 April menyelesaikan klaim tersebut hingga "ekstradisi senjata yang dipasok sesegera mungkin, penghancuran pertahanan yang berada di VI Mukim, pembandunan parit dan lubang, serta penyerahan kepada pemerintahan yang diperbaharui."
Kembali ke garis konsentrasi 1886
Namun, Teuku Umar menunggu dan melakukan pendekatan, memperkuat diri di VI Mukim dekat batas daerah terbuka di depan garis Belanda dan lebih ke belakang hingga Lampisang, di mana ia memiliki 2.000 pejuang terlatih. Di seberang pertahanan itu, pasukan Belanda memiliki barisan yang kuat yang dibentuk selama penghapusan garis terdalam batalyon medan yang sepenuhnya kosong. Di saat yang sama, Jend. Christoffel Deykerhoff mengendalikan pemerintahan sipil dan militer di Aceh dan Jajahannya melalui telegraf; pemerintahan sipil diserahkan kepada residen KFH. van Langen. Komandan militer yang baru, Kol. Stemfoort, pada tanggal 10 April pergi ke Lamkunyit dan Bilul bersama dengan 1 batalyon infanteri dan detasemen serta persenjataan lainnya.
Dalam perjalanan pergi dan kembali, barisan tersebut mendapatkan serangan. Karena tujuan utamanya untuk menghukum Teuku Umar dan berhubungan dengan pos-pos di dalam, komisaris pemerintah harus mengeluarkan surat keputusan, pos-pos di garis terdalam tidak hanya dihancurkan namun juga dirusak, kecuali di Cot Goe, yang memang menguntungkan untuk tempat beradanya garis konsentrasi. Di hari ke-14, kerja besar yang banyak menemui kesulitan dan memerlukan kekuatan besar itu selesai; hanya untuk menghancurkan Aneuk Galong, Lambarih, Senelop dan Lam Sut yang dilakukan oleh Batalyon VI, IX, XII, dan XIV, 2 baris artileri gunung dan pasukan pembantu yang mengorbankan 5 perwira dan 50 orang lainnya sampai terbunuh dan sekitar 200 orang terluka. Pos sementara dihancurkan, dan kemudian pasukan kembali ke garis konsentrasi yang telah ditetapkan di tahun 1886.
Operasi militer terhadap Teuku Umar
Semua batalyon medan kini dipersiapkan untuk operasi militer yang sesungguhnya. Teuku Umar tinggal di kampung Lampisang, selatan pos Lamjamu, dan di sanalah ia menjawab tawaran komisaris pemerintahan yang ultimatumnya telah diterima. Ketika hal tersebut tak terpenuhi, Jend. Vetter mengadakan proses singkat terhadap Teuku Umar, dirinya diberhentikan sebagai panglima perang besar dan uleebalang Leupung. Pada tanggal 27 April, angkatan darat dan laut melancarkan serangan tembak ke Lampisang dan sekitarnya. Umar telah memperkuat daerah pertahanannya dengan garis-garis mematikan yang terdiri atas kampung dan benteng, yang dihubungkan oleh parit satu sama lain, sehingga banyak usaha yang harus dilakukan pasukan untuk menembus benteng yang kokoh tersebut. Pada akhir bulan Mei, dimulailah gerakan untuk mengusir Teuku Umar dari VI dan IV Mukim di Sagi XXV yang berada di Aceh Besar. Batalyon XII dan XIV ditempatkan di Lamith, dan di Blang ditempatkan Batalyon IX, semerntara itu, angkatan utama - terdiri atas Batalyon III, VI, VII, marechaussee, 4 seksi artileri gunung dan pasukan penolong - sama-sama ditarik ke Ketapan Duwa. Batalyon VII, bersama kavaleri dan artileri, dijadikan pasukan cadangan.
Sebelum fajar, pada tanggal 23 Mei 1896, pasukan Belanda sudah bertempur dengan musuh, dan seberapapun kuat pasukan dan keberanian yang ditunjukkan oleh Umar untuk memimpin pasukan, ia harus mundur; untuk itulah J.B. van Heutsz dan Henri Mari Vis diberi penghargaan. Gampong Lam Hasan menunjukkan perlawanan sengit; selama berjam-jam baterai artileri yang kuat dekat Lamjamu ditembakkan tanpa henti; sia-sia saja Batalyon Infanteri IX mencoba menembus pertahanan yang kokoh itu dan saat fajar menyingsing mayor infanteri JR. Jacobs, dengan pasukan cadangannya yang terdiri atas 3 kompi di Batalyon VII, ditugaskan membantu Batalyon IX dan merebut Lam Hasan. Dengan Kompi I di barisan, separuh Kompi II pada sayap kiri dan sisanya ditanam di Ajuen Tebal untuk menghadapi gerak maju musuh. Dalam 20 menit, tempat itu sudah diduduki Belanda dan seluruh pemberontak dibasmi habis. Dari separuh kompi yang turut serta dalam pertempuran yang sesungguhnya, 2 perwira terbunuh dan 30 orang lainnya namun mereka tetap menang. May. JR. Jacobs, yang tertembak bersama kudanya hingga harus jalan kaki bersama Kompi I untuk berperang, untuk kesempatan ini dihargai dan selama pertempuran berikutnya hingga akhir bulan Oktober dianugerahi Militaire Willems-Orde Kelas IV.
Serangan ke Lampisang diawali secara mendadak di malam hari oleh sebagian garis pertama sayap kanan dan kiri; barisan Van Heutsz harus mendaki bukit dan menduduki Glee Putih. Dibantu gelap, mereka mencapai perbukitan tanpa menghadapi perlawanan dan dapat melanjutkan serangan ke atas. Setibanya di atas, mereka dapat memantau Lampisang. Dari situlah tembakan diawali, yang di situ baterai gunung diperlukan. Umar dan pengikutnya melancarkan serangan mendadak yang singkat ke Bukit Sebun Beradin yang terletak di selatan. Van Heutsz mengirim laporan bahwa gerak maju harus secepatnya dilakukan oleh Batalyon VII dan IX. Lam Teungoh, Lam Manjang dan Lam Isi ditaklukkan oleh Batalyon XII dan XV, yang untuk itu Pasukan Cadangan Kolonial yang dipimpin oleh Sipko Adriaan Drijber diberi penghargaan khusus. Sipko Drijber terluka 2 kali. Pada tanggal 23 Mei, pasukan Belanda menderita kekalahan besar, ada 160 orang yang tak diikutsertakan lagi dalam serangan.
Di pagi berikutnya, pasukan bergerak ke Lampisang dan tempat tinggal Teuku Umar dibakar, diikuti dengan sebuah kubu yang kuat, yang terdiri atas Kampung Beradin dan Benteng Sebun. Secara keseluruhan, operasi di daerah Teuku Umar menelan 200 korban tewas dan terluka dari pihak Belanda. Setelah dihukum, pasukan kembali ke Kutaraja. JJK. de Moulin diangkat sebagai Gubernur Aceh namun hanya bertugas dalam waktu singkat. Pada tanggal 7 Juli 1896, ia meninggal akibat hipertermia.
Operasi ke Aneuk Galong
Setelah tanggal 9 dan 10 Juni, wilayah Lam Krak di VII Moekim yang terletak di Sagi XXII Moekim dihukum, diikuti dengan V Mukim pada tanggal 17 dan 19. Pada tanggal 27 Juni, Vetter kembali ke Batavia. Di sana, sebuah barisan yang mobil dibentuk di bagian utama daerah musuh. Dalam hal ini, operasi militer dilaksanakan di Leupung dan Lhoong yang berada di Aceh Besar bagian selatan dan Seulimeum di XXII Moekim; hal tersebut diulangi lagi di bagian selatan pada tahun 1897. Pada bulan Agustus, dilancarkan ekspedisi ke Pedir, memulai pembasmian kelompok musuh Mukim Peukan Baro dan Peukan Sot. Pada tanggal 9 Juni 1896, korps marechaussee berbaris ke garis depan barisan menuju Aneuk Galong; garis depan yang dipimpin oleh G.J.W.C.H. Graafland tersebut langsung menyerang tanpa menunggu pasukan lainnya. Pada pukul 4.30, gerakan menjepit selesai; diikuti dengan serangan tembak ke arah musuh, di mana Graafland terluka dan komando harus dialihkan ke Henri M. Vis; saat angkatan utama tiba dengan ambulans, pertempuran itu sudah selesai, namun terdapat 6 orang tewas dan 28 terluka. Seorang perwira yang berjasa dalam aksi ini adalah G.J.A. Webb.
Ekspedisi Pedir
Keadaan mulai kondusif di Aceh Besar sehingga jalur KA antara Kutaraja-Indrapuri bisa dibuka untuk transportasi. Namun para pimpinan perlawanan mengungsi ke daerah Pedir, basis para ulama, sehingga wilayah itu harus ditaklukkan. Kini pemerintah menetapkan keputusan itu setelah menerima laporan bahwa Teuku Umar sudah tiba di Jantho dekat Seulimeum beserta pengikutnya untuk bersatu bersama dengan putera mahkota dan Panglima Polim yang mundur ke wilayah ini. Pedir, yang secara bertahap menjadi pusat perlawanan menjadi target Belanda selanjutnya.
Rencana penyerbuan dirancang oleh staf jenderal dan Kol. JB. van Heutsz ditunjuk sebagai pimpinan ekspedisi ke Pedir dan Gigieng, yang sehubungan dengan tugas itu diangkat pula sebagai gubernur sipil dan militer. Tujuan ekspedisi ini adalah maju ke sagi yang dimiliki oleh XXII Mukim, VII Mukim Pedir, kemudian mematahkan perlawanan musuh. Selain itu juga agar memaksa kepala sagi XXII Mukim tunduk, menundukkan kelompok musuh di VII Mukim Pedir dan membawa federasi XII dan VI Mukim di Pedir di bawah Belanda. 4 batalyon infantri, 1 baterai artileri gunung dan 1 skuadron kavaleri dikerahkan ke Sigli untuk membasmi musuh di wilayah itu. Operasi itu didukung oleh barisan kedua yang bergerak dari Seulimeum untuk menghalau musuh keluar dari Pedir - juga VII Mukim Pedir - ke lembah yang berada di Aceh Besar. Selain itu juga untuk mendatangi dan menghancurkan kekuatan Panglima Polim dan Teuku Umar untuk kemudian bergabung dengan angkatan utama. Pada tanggal 30 Mei 1898, panglima tertinggi datang ke Sigli, di mana pasukan yang bertolak dari Batavia dan Kutaraja bergabung dengan Batalyon XIV, yang kemudian bergerak maju.
Musuh berkumpul di Garut tanpa bahaya apapun, dan memperkuat pertahanan sepanjang Krueng Pidie. Pasukan Belanda dari Seulimeum bertemu dengan barisan Van Heutsz di Metareum. 2 benteng di daerah kekuasaan Teuku Bintara Kemanga direbut, lalu kedua barisan itu berbalik ke Keumala, daerah kediaman calon sultan, melalui jalan-jalan yang berbeda. Di sini musuh tak bertahan lama; tak juga di Sangget Menu, yang takluk pada tanggal 29 Juni. Perlawanan agak menuruun, namun Umar selalu berhasil melarikan diri; tetapi lepas dari itu, ekspedisi sudah dapat memenuhi tujuannya dan Van Heutsz kembali ke Kutaraja. Atas andil dalam ekspedisi tersebut, sensor militer Johannes Vallentin Dominicus Werbata diangkat sebagai ksatria dalam Militaire Willems-Orde Kelas IV.
Tewasnya Teuku Umar
Pada bulan Juli, Belanda harus perang lagi, kali ini ke Idi, ketika seorang ulama bernama Teuku Tapa menyerang prasarana sipil setelah menyerukan perang suci. Dengan 2 batalyon, musuh berhasil dihalau ke pertahanannya pada tanggal 11. Umar melarikan diri ke pantai barat, dan dikejar oleh KNIL. Penduduk ternyata sudah jenuh terhadapnya, pengaruhnya agak berkurang dan dalam pertempuran di Mugo ia terbunuh.
Terkadang, pasukan Belanda masih diserang dan orang Aceh masih tetap berperang secara gerilya. Di saat yang sama, Van Heutsz diangkat sebagai mayor jenderal dan diangkat sebagai komandan di Militaire Willems-Orde. Semua tetua di Aceh menyerah pada pemerintah Belanda dan keadaan di Pedir dilaporkan menguntungkan. Pada awal tahun 1901, dilancarkan ekspedisi ke Samalanga. Tanah Merah tidak melawan; dari Samalanga, Belanda melangkah lebih jauh ke Batee Iliek yang sedang bergolak, di mana pasukan Belanda pernah menyerang di tahun 1882. Pada tanggal 1 dan 2 Februari, pertahanan musuh di Batee Iliek dan Asan Kumbang diserang oleh angkatan laut; setelah dimulainya serangan, 4 pertahanan pejuang Aceh ditaklukkan, yang setelah itu kedudukan musuh yang dipertahankan secara sengit diserbu oleh infanteri, marechaussee, dan divisi pendaratan. Dalam memperkuat diri selama pertempuran sengit, pejuang Aceh melemparkan 1 tong mesiu, di mana Let. Verschuir dan 9 orang lainnya terkena luka bakar serius. Dengan serbuan ke Batee Iliek itu, beberapa pucuk senjata dirampas. Belanda kehilangan beberapa personel: 5 orang terluka dan 29 terluka. Asan Kumbang akhirnya tidak melawan lagi.
Rujukan
- Terwogt WA. 1900. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. Hoorn: P. Geerts.
- Kepper G. 1900. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger. Den Haag: M.M Cuvee.
- Nieuwenhuijzen WC. 1897. De politiek van de oorlog in Atjeh. Indisch Militair Tijdschrift. Halaman 1, 85, 157, 237, 337, 413, 493, 579, 663, 733, 819 dan 917 (12 edisi)
- Kruisheer A. 1913. Atjeh 1896. Batavia: NV Boekhandel Visser en Co.