Pragaan, Sumenep
Pragaan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Daerah ini terletak di Pulau Madura.
Pragaan | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Timur | ||||
Kabupaten | Sumenep | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | - | ||||
Populasi | |||||
• Total | - jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 35.29.11 | ||||
Kode BPS | 3529010 | ||||
Luas | - km² | ||||
Kepadatan | - jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | - | ||||
|
Pragaan terdiri dari desa-desa sebagai berikut: Aeng Panas, Jaddung, Kaduwara Bara', Kaduwara Temor, Karduluk, Pakamban Daja, Pakamban Lao', Pragaan Dajah, Pragaaan Lao', Prenduan, Sentol Daja, dan Sentol Lao'. Pusat administrasi kecamatan terletak di desa Pragaan Lao'.
Desa Larangan Perrng
Desa Larangan Perreng, adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Pragaan. di Desa Larangan perreng itu terdapat enam (6) dusun yaitu Dusun Tingginah, Lembanah, Dusun Sumber Genthong, Taretah, Meccol dan Kerrem.Dusun yang paling luas dan paling pesat penduduknya dari yang enam dusun tersebut adalah Dusun Sumber Genthong, didusun tersebut terdapat Madrasah yang sangat maju serta sangat baik administrasinya yaitu Madrasah Mambaul-Ihsan yang dibawah naungan Yaayasan Mambaul-Ihsan (YASMI).
Karduluk
Desa Karduluk terkenal dengan sentra produk ukiran Madura. Ukiran Madura mempunyai gaya yang khas yang sangat disengaja menghindari motif atau bentuk binatang atau manusia. Ornamen yang mendominasi ukiran Madura adalah daun, sulur, bunga, dan buah. Salah satu jenis produk ukiran dari desa ini adalah kurungan ayam bekisar yang banyak dipasarkan ke daerah-daerah lain dan manca negara.
Dusun Bandungan Desa Karduluk
Dusun Bandungan adalah salah satu bagian dari wilayah Karduluk Raya. Karduluk Raya sering dibuat sebutan oleh sebagian penduduknya yang kreatif karena desa ini memiliki luas wilayah yang sangat luas terdiri dari 12 dusun. secara geografis dusun Bandungan terletak di ujung utara desa.
Prenduan
Terletak di sebelah timur desa Pragaan Lao', Prenduan merupakan desa yang paling pesat perkembangannya dan paling banyak penduduknya di kecamatan Pragaan. Asal nama Prenduan dipercaya berasal dari Bahasa Madura arenduh, yaitu posisi ketika sapi atau kuda meringkuk. Menurut legenda di desa inilah tempat beristirahatnya kuda yang dinaiki Jokotole dalam perjalanan pulang dari kerajaan Majapahit menuju Sumenep. Cerita lain menyebutkan bahwa desa ini merupakan tempat beristirahat pasukan berkuda Belanda jika dalam perjalanan dari Pamekasan menuju Sumenep. Lokasi desa memang hampir di tengah-tengah jarak antara kedua kota. Dahulu desa ini adalah tempat yang cukup hijau, ramai dan dekat dengan sumber air, masuk akal jika Jokotole maupun Belanda memilih tempat ini sebagai tempat istirahat. Pada masa penjajahan Belanda desa ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting bagi kawasan sekitarnya. Transportasi darat berupa jalur transportasi utama menuju Pulau Jawa dan jalur kereta api yang dibangun oleh Perusahaan Kereta Api Belanda pada tahun 1854 telah mendorong desa ini maju dengan pesat. Transportasi darat juga bersinggungan dengan transportasi laut yang menghubungkan dengan kota-kota pantai di bagian Utara Jawa Timur mulai dari Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Pasuruan dan Sidoarjo. Bahkan ada beberapa diantaranya yang langsung berlayar kke Bali, Sumbawa Makasar dan Kalimantan. Perdagangan di sepanjang jalan utama berpusat di sekitar pasar Prenduan yang sejak tahun 1972 sudah dipindahkan ke bagian Barat Desa. Namun hingga kini kegiatan perdagangan di bekas lokasi pasar lama masih berlangsung dengan intensitas kesibukan yang masih padat. Selain sebagai daerah perdagangan desa ini juga sangat dikenal sebagai desa santri. Sejak terjadinya kerusuhan anti Cina pada tahun 1920-an. Penduduk etnis Cina yang sebetulnya telah banyak berkontribusi terhadap majunya perdagangan di desa ini diusir dari desa. Sejak itu pula penduduk desa 100% terdiri dari penduduk pribumi dan seluruhnya beragama Islam. Pendidikan keagamaan di desa ini sangat kuat. Tokoh penting dalam penyebaran dan pendidikan ke Islaman tidak terlepas dari peran seorang saudagar yang kaya raya pada jamannya yaitu Kiyai Gema. Selanjutnya melalui keturunannya berkembang pondok pesantren yang sangat besar pengaruhnya dalam kemajuan pendidikan agama Islam adalah Pondok Pesantren AL-Amin yang didirikan oleh Kiyai Jauhari dan selanjutnya diserahkan kepada putera-puterinya. Pondok pesantren putera Al-Amin dipimpin oleh Kiyai Ahmad Tijani (alm) yang menempuh pendidikan agama di Saudi Arabia dan sempat lama tinggal disana sebagai pejabat di Sekjen Rabitah Alam Islamie. Pimpinan harian lebih banyak dikelola oleh adiknya yaitu Kiyai Idries Jauhari. Pada sekitar tahun 1989-an adiknya Kiyai Mahtum yang sebelumnya menempuh pendidikan di saudi arabia dan sempat bermukim cukup lama disana pulang dan memimpin pondok pesantren puteri al-Amin. Perdagangan di desa terutama sekitar tahun 60-80an berupa perdagangan tembakau dan gula siwalan. Melalui tembakau desa ini termasuk daerah yang kaya. Pengusaha pribumi tumbuh dengan nilai kekayaan yang cukup besar. Banyak diantaranya kemudian memiliki pergaulan dengan para pengusaha di pulau Jawa. Dan mereka banyak juga yang memiliki rumah-rumah mewah tidak saja di desa tetapi juga di pulau Jawa. Rumah di Jawa digunakan untuk memudahkan mereka selama mengurusi pusaha perdagangannya di Jawa, selain untuk menyekolahkan putera-puteri mereka di sekolah-sekolah bergengsi di Jawa. Keberhasilan perdagangan tembakau pada saat itu telah merubah suasana desa tampak seperti sebuah kota di Jawa. Rumah-rumah baru dengan gaya arsitektur modern banyak tumbuh dan mobil-mobil mewah menjadi pemandangan biasa di desa ini. Satu hal yang sangat penting pula adalah peran penguasaha dalam pengembangan keislaman di desa. Pengusaha dan kiyai berkolaborasi dalam mejukan pendidikan di desa. Pengusaha menjadi tulang punggung dalam pendanaan pengembangan pondok pesantren. Demikian pula banyak pemuda-pemuda yang cerdas diberangkatkan ke berbagai kota untuk menimba ilmu ke Islaman atas biaya penguasaha dan selanjutnya para pemuda tersebut diminta kembali ke desa untuk bersama-sama mengembangkan ilmu dan pendidikan yang telah dirintis oleh para Kiyai.