Suku Simalungun
Suku Simalungun atau juga disebut Batak Simalungun adalah salah satu suku asli dari provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Sumatra Utara: 3 juta jiwa. | |
Bahasa | |
Bahasa Simalungun (asli). Bahasa Indonesia dan bahasa Batak lain juga digunakan. | |
Agama | |
Kristen, Katolik, Islam, dan Animisme. | |
Kelompok etnik terkait | |
suku Batak, suku Melayu, dan suku-suku non-Melayu lainnya di Sumatra Utara dan Sumatra bagian selatan. |
Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.
Asal-usul
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang [1]:
- Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
- Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.
Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Kehidupan masyarakat Simalungun
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. "Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.
Sistem Politik
Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku ini terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.[4]
Kerajaan tersebut adalah:
- Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)
- Panei (Januari 1904, SK No.6)
- Dolok Silou
- Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)
Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan") tersebut terdiri atas:
- Raya (Januari 1904, SK No.6)
- Purba
- Silimakuta
Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah Belanda datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling Simalungun.
Dengan Beslit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Nahualu dinyatakan dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akil baligh Tuan Kodim dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan terdiri dari Tuan Marihat, Tuan Sidamanik dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.
Setelah dibuangnya Raja Siantar Sang Naualuh dan Perdana Menterinya Bah Bolak oleh Belanda dalam tahun 1906 ke Bengkalis, maka sudah ratalah kini jalan untuk memaksakan Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontelir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29-7-1907 nomor 254 untuk membuat Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dari isi surat-surat dokumen Belanda dapatlah direka yang tersirat bahwa dimakzulkannya dari tahta Siantar Tuan Sang Nahualu dan dibuangnya ia bersama perdana menterinya Bah Bollak ke Bengkalis 1906, adalah terutama karena background : Ia bersama hampir seluruh Orang-orang Besar Kerajaan Siantar adalah anti penjajahan Belanda; bahwa merembesnya propaganda Islam ke Simalungun khususnya dan Tanah Batak umumnya tidaklah disenangi oleh penjajah Belanda.
Pada 16 Oktober 1907 oleh Tuan Torialam (Tuan Marihat) dan Tuan Riah Hata (Tuan Sidamanik), melalui Verklaring (Surat Ikrar), dinyatakan tunduk kepada Belanda.
Dalam butir satu dari Verklaring yang memakai aksara Arab Melayu dengan Bahasa Melayu dan aksara Latin dengan Bahasa Belanda itu, tertulis, “
Ten eerste: dat het landschap Siantar een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch Indie en derhalve staat onder de heerschappij van Nederland..” (Pertama: bahwa wilayah Siantar merupakan bagian dari Hindia Belanda dan karena itu berada di bawah kerajaan Belanda…). Masih ditambahkan bahwa akan setia kepada Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal.
Sejak Surat Ikrar Torialam dari Marihat dan Riah Hata dari Sidamanik itu, Kerajaan Siantar akhirnya di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh bukan dari permaisuri, yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.( Suntingan dari Muhar Omtatok , Erond Damanik dan Juandaha Raya Purba Dasuha).
Selain 3 partuanan yang tersebut atas masih terdapat beberapa partuaan yang lain antara lain:
- Parbalogan (tuan parbalogan op.Dja Saip Saragih Napitu) yang wilayahnya dari parmahanan hingga ke tigaras
- Si Tahan Batoe Toean Van Si Polha , Si Riakadi Toean Van Manik Si Polha , Toean Dolok Sumurung Bandar Sipolha dan Toean Pulo Bosar Sipolha , Tuan Kalabosar ( Dolok Maraja Sipolha ), Tuan Paraloangin ( Jambur Na Bolag Sipolha ), Tuan Parangsangbosi ( Paribuan Sipolha ) semua Keturunan Raja Naposo Damanik. Salah satu Keturunan Si Tahan Batoe Toean Van Si Polha adalah Toean Humala Sahkuda Damanik ( Hutabolon Sipolha ) orang tua dari: Tuan Djapurba Damanik, Tuan Djabagus Damanik, Tuan Djabanten Damanik, mantan Bupati Kabupaten Simalungun, Tuan Djahormat Damanik, Mora br.Damanik, Mayun br. Damanik.
- Si Riakadi Toean Van Manik Si Polha , salah satu keturunannya , adalah Tuan Paraloangin Damanik ( Tuan Jambur Na Bolag Sipolha ) dengan laweinya Radja Israel Sinaga Prapat dari Parapat adalah Prof.DR SC Reynold Kamrol Damanik ( USU ) , Prof DR David Tumpal Damanik ( USA ) , Cand.DR Daulat Damanik MA. ( Jerman ).
- Sipintu angin (tuan op.S.Saragih Turnip) merupakan orang tua dari Saragih Ras. Yang hingga kini tugunya (tugu hoda bottar)masih terlihat di Perbatasan Panatapan Ds.Tigaras
DENGAN KORT VERKLARING, 16 OKTOBER 1907, BELANDA MEMBAGI KERAJAAN SIANTAR MENJADI 37 PERBAPAAN dan tuan SAUADIM, DAMANIK KE XV, PERBAPAAN DARI BANDAR diangkat BELANDA MENJADI RAJA SIANTAR yang berakhir sampai tahun Revolusi Simalungun 1946.
- Si Saoeadim , Toean Van Bandar
- Si Badjandin , Toean Van Bandar Poelau
- Si Kani , Toean Van Bandar Bajoe
- Si Djamin , pemangkoe Van Toean Negeri Bandar
- Si Mia , Toean Van Si Malangoe
- Si Kama , Roumah Suah
- Si Bisara , Nagodang
- Si Djommaihat , Toean Kahaha
- Si Djarainta , Toean Boentoe
- Si Djandioeroeng , Toean Dolok Siantar
- Si Silim , Toean Van Bandar Sakoeda
- Si Djontahali , Toean Van Mariah Bandar
- Si Rimmahala , Toean Van Naga Bandar
- Si Kadim , Toean Van Bandar Tonga
- Si Tongma , Bah Bolak Van Pematang Siantar
- Si Naman , Toean Van Lingga
- Si Djaha , Toean Van Bangoen
- Si Djibang , Toean Van Dolok Malela
- Si Djandiain , Toean Van Silo Bajoe
- Si Lampot , Toean Van Djorlang Hataran
- Si Djanji-arim , Toean Van Maligas Bandar
- Si Djadi , Toean Van Sakuda
- Si Radjawan , Toean Van Gunung Maligas
- Si Djaoelak , Toean Van Tamboen
- Si Tahan Batoe , Toean Van Si Polha
- Si Riakadi , Toean Van Manik Si Polha
- Si Ganjang , Toean Van Repa
- Si Djoinghata , Toean Van Pagar Batoe
- Si Djaingot , Toean Van Si Lampoeyang
- Si Djaoeroeng , Toean Van Gadjing
- Si Mahata , Toean anggi Van Sidapmanik
- Si Bandar , Toean Manik Hataran
- Si Takkang , Toean Van Tamboen Rea
- Si Rian , Toean Van Manik Maradja
- Si Marihat , Toean Van Perbalogan
- Si Pinggan , Toean Van Hoeta Bajoe
- Si Djoegmahita , Toean Van Manggoetoer
dll.
Partuanan-partuanan ini tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Belanda saat itu, di daerah dilakukan perlawanan perlawanan kecil secara bergerilya.
Bahasa & Aksara
Bahasa Simalungun
Hata Simalungun | |||||
---|---|---|---|---|---|
Dituturkan di | Kabupaten Simalungun (Sumatera Utara, Indonesia) | ||||
Wilayah | Kabupaten Simalungun | ||||
Penutur | 1 juta | ||||
Kode bahasa | |||||
ISO 639-3 | – | ||||
Portal Bahasa | |||||
Suku Simalungun menggunakan Bahasa Simalungun (bahasa simalungun: hata/sahap Simalungun) sebagai bahasa Ibu. Derasnya pengaruh dari suku-suku di sekitarnya mengakibatkan beberapa bagian Suku Simalungun menggunakan bahasa Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Penggunaan Bahasa Batak sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Ini.
Aksara yang digunakan suku Simalungun disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.[5][6][7]
Kepercayaan
Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari "Datu" (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa yang disebut Naibata, yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna Putih), Naibata di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Naibata di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). 3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.
Orang Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.[8]
Ajaran Hindu dan Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Buddha yang menunggangi Gajah (Budha).
Marga
Harungguan Bolon
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR[9], yaitu:
Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja itu adalah[10]:
Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.
Marga-marga perbauran
Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru.
Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait.
Perkerabatan Simalungun
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?"
Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).
Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.
Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:[11]
- Tutur Manorus / Langsung
- Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.
- Tutur Holmouan / Kelompok
- Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun
- Tutur Natipak / Kehormatan
- Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.
Pakaian Adat
Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya.
Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.[12]
Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan "mambere hiou" (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Hiou. Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain.
Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit).
Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Herman Purba Tambak, SIB 3 September 2006, hlm. 9
- ^ Laporan Daerah Tingkat II Simalungun, tahun 1963, P. Siantar, 1963, hlm. 2. Dimuat dalam: R.W. Liddle, Suku Simalungun: An Ethnic Group in Search of Representation, dalam Indonesia, Vol. 3, (Apr., 1967), hlm. 1-28.
- ^ Cornell South East Asia Program: William R. Liddle, Suku Simalungun: An Ethnic Group in Search of Representation.
- ^ J.P. Siboro (ed), 60 tahun Indjil Kristus di Simalungun, Pimpinan Pusat GKPS, P. Siantar, 1963, hlm. 7.
- ^ 80 Tahun Djariaman Damanik, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 335-336.
- ^ J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hlm.164.
- ^ F. Marodjahan Purba, Undang-undang ni Surat Simalungun, Kalangan Sendiri, Pamatang Raya, 1974, hlm.1-58.
- ^ De Resident der Oostkust op Sumatra, Nota van toelichting betreffende de Simeloengoensche landschappen Siantar, Panei, Tanah Djawa en Raja, Medan, 13 Mei 1909, hal.3-4 dalam Apulman Saragih, Gema Sinalsal, Skripsi STT Jakarta, 1979, hlm.12.
- ^ The Simalungun Protestant Church in Indonesia, a brief history, Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 1983, hlm. 6
- ^ Pdt Juandaha Raya P Dasuha, STh, SIB(Perekat Identitas Sosial Budaya Simalungun) 22 Oktober 2006
- ^ Jaumbang Garingging, Palar Girsang, Adat Simalungun, Medan, 1975
- ^ Biranul Anas / Jonny Purba, Busana Tradisional Batak, Taman Mini Indonesia Indah