Suku Dayak Mali
Suku Dayak Mali adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Klemantan Dayak Darat (80%) terdapat di Kabupaten Sanggau terutama mendiami seluruh Kecamatan Balai, Sanggau (Kota Kecamatan Batang Tarang), Kalimantan Barat.
Agama
Suku Dayak Mali sebagian besar beragama Kristen Katolik dan sebagian Kristen Protestan, sedangkan yang beragama Islam hampir tidak ada. Kebanyakan orang Dayak yang memeluk agama Islam karena perkawinan dengan Suku Melayu. Dalam Agama Islam juga mengharamkan babi sedangkan suku Dayak, babi merupakan binatang yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan dalam adat Dayak. Tetapi ada sebagian Dayak mali mengakui diri secara umum dengan agama nenek moyang yaitu dinamisme atau animisme. Namun secara umum mengaku diri juga beragama Kristen Katolik dan Protestan. Agama Islam selalu menyangkut atau berhubungan dengan suku Melayu sedangkan Dayak selalu menyebut diri sebagai orang Darat Kristiani. Apabila orang Dayak masuk Islam maka akan di sebut masuk Melayu, Demikian juga sebaliknya dengan orang Melayu yang masuk kristen maka akan di sebut masuk Darat Dayak.
Strata Sosial
Suku Dayak Mali sangat menghormati Kepala Adat (Demang) yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam adat. Kepala Adat menjadi pengayom atas seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Adat istiadat juga ditegakkan dengan sangat adil bagi masyarakat adat yang ada. Sementara itu, ada pemuka adat lain yang disebut panglima perang yang hanya berkuasa pada saat genting saja dan juga sebagai peredam/pendamai dalam masyarakat adat.[1]
Adat Istiadat
Perkawinan
Dalam budaya Dayak Mali, adat selalu ditetapkan berdasarkan hukum adat yang berlaku. Adat sekaligus hukum adat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam adat perkawinan tersebut.
- Hubungan keluarga mempelai. Kedua mempelai akan diberi sanksi apabila ada ikatan darah antara sampai keturunan ke-4. Boleh saja menikah asalkan membayar adat terlebih dahulu.
- Antar hubungan saudara sekandung (Adik-kakak/ abang)= Adat Pelangkah. Apabila adik terlebih dahulu menikah maka adik tersebut harus membayar adat kepada kakak/ abang.
- Hubungan antar suku (Tionghoa dan Melayu). Suku Dayak Mali telah membuat perjanjian dengan suku Melayu dan Tionghoa dari zaman nenek moyang. Apabila orang Dayak menikah dengan orang Melayu dan masuk Melayu (Islam) maka pihak Melayu harus membayar adat sebagai sanksi. Adatnya cukup besar dalam adat Dayak Mali. Demikian pula sebaliknya dan dengan suku Tionghoa juga terjadi hal yang sama. Tetapi dengan suku lain selain kedua suku tersebut tidak ada sanksi/ hukum adat yang berlaku. Suku yang lainnya bebas dari hukum bila menikah dengan suku Dayak mali. Tetapi bukan berarti bebas dari hukum yang lain yang berlaku bagi seluruhnya.
- Penetapan hukum Adat pada saat mulai Pelaksanaan Perkawinan. Pada saat persiapan pernikahan akan ada perjanjian antara kedua mempelai tersebut. Dan jika dilanggar maka sangsinya akan lebih berat dari biaya pernikahan.
Pertanian
Berladang dalam suku Dayak Mali merupakan suatu tradisi yang sudah ada pada masa nenek moyang hidup. Ladang berpindah-pindah merupakan hal yang harus dilakukan, bagi suku Dayak sebab ladang berpindah-pindah selalu berkaitan dengan alam dan kesuburan tanah. Kalau tanah yang sama dibuka setiap tahun akan mengurangi kesuburan tanahnya. Maka membuka ladang yang sama bisa tiga sampai empat tahun lamanya. Waktu membuka ladang harus diadakan perjanjian dengan alam semesta terutama penunggu tanah (Sisil) ladang tersebut. Suku Dayak Mali percaya bawah manusia harus memberi makan dan membuat perjanjian agar penunggu tanah (Sisil) ladang tersebuat mau pindah ke tempat yang lain. Kalau tidak maka penunggu tanah tersebut bisa marah dan mengutuk manusia yang membuka ladang itu.
Budaya
Ngayau
Ngayau (memotong kepala manusia) merupakan budaya kanibal nenek moyang yang pernah ada dalam suku Dayak. Sekalipun budaya itu telah punah dan seharusnya sudah tidak ada lagi pada masa sekarang namun hal itu masih dapat kita saksikan pada era Orde Baru misalnya peristiwa Sanggau ledo (Kalbar) tahun 1997 dan peristiwa Sampit (Kalteng) tahun 2001. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Ketika kepala itu didapati maka keberanian, keperkasaan, kekuatan dan kehormatan akan diperoleh dengan seketika itu juga. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan. Kapala tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk tarian Noto'gh. Yaitu menghormati/menghadirkan kepala manusia itu di depan umum pada saat selesai panen. Masih ada daerah-daerah tertentu yang sampai sekarang masih melaksanakan budaya Noto'gh tersebut.
- Ganjor
- Noton'gh
- Belien'gh (Balian)
- Ngangkong
- Bepamang
- Bebayer (Mulang Niat)
- Berancak
- Para Burun'gh (Para buah dan Lepas Panen)
Tuak merupakan minuman khas Dayak. Setiap ada acara adat pasti pula ada arak atau tuak. Budaya membuat tuak merupakan budaya yang turun temurun. Orang Dayak sangat pandai membuat tuak dari ketan. Hasil dari fermentasi tersebut akan berubah menjadi minuman yang berasal dari tetesan minuman yang cukup membuat mabuk tersebut. Dalam tradisi Dayak yang disebut besompok (bertarung untuk minum arak) merupakan tradisi yang masih terpelihara sampai saat ini. Bukan sebagai kebangaan tetapi karena tradisi dari zaman nenek moyang. Rasa minuman ini agak terasa manis tapi bilater lalu banyak minum tuak ini maka sangat sulit untuk cepat pulih.
Seni
Hukum Adat
Hukum Adat adalah sanksi atau denda berupa barang-barang sebagai bukti adat itu sendiri. Sekalipun adatnya sederhana tetap akan menjadi bukti-bukti adat yang sah. Bagi orang Dayak adat merupakan hukuman yang sangat memalukan. Karena itu setiap orang Dayak harus tahu diri bahwa setiap orang yang bersalah sebenarnya ketika di adat maka sama harga dirinya telah hilang baginya sama dengan ditolak dalam masyarakat dayak Mali.
- Struktural Pemegang Hukum Adat
- Dua Real di pegang/ dipimpin oleh pak RT/ RW
- Empat Real dipimpin oleh Domong (Kepala Adat Kampung)
- Enam Real dipimpin kepala adat Dusun
- Delapan [Mi'gh] Real dipimpin Kepala Adat Desa dengan kepala desa
- Sepuluh Real Dipimpin kepala adat Desa
- Dua Belas Real dipimpin kepala adat (pemangku adat) Kecamatan
- Enam Belas Real dipimpin kepala adat (Pemangku adat) kecamatan
Mitologi
- Pedagi (Tempat Penyembahan Apet Kuyan'gh, Jobata, Jubata). Pedagi merupakan tempat untuk menaruh persembahan dalam upacara adat dayak Mali. mereka yakin bahwa pedagi merupakan rumah sementara jubata di dalam dunia ini. di pedagi itu orang datang untuk membawa niat,syukur dan silih atas segala apa yang di rencanakan selama hidupnya didunia. pedagi adalah tempat kedua setelah puncak gunung yang juga ada pedaginya yang merupakan memiliki penunggu yang berbeda. biasanya pedagi selalu dekat dengan rumah penduduk. mereka percaya bahwa yang menunggu pedagi tersebut adalah Apet Kuyan'gh yang memiliki sifat baik dan menjaga kampung. Apet Kuyan'gh selalu di identikan dengan orang tua yang sudah ubanan, berjengot putih dan bersorban. Apet Kuyan'gh dianggap peduli dengan keamanan kampung dan selalu memberi rejeki pada kehidupan mereka.
- Sisil (Penunggu Tanah) adalah penunggu lembah atau tanah berawa. Setiap orang yang akan membuka ladang baru atau tanah baru diwajibkan untuk memberi persembahan dan memohon kepada Sisil untuk meninggalkan tempat tersebut. Masyarakat menyebutnya sebagai balas budi.
- Kamang (Pembawa Kejahatan dan Penyakit) adalah dewa pedagi yang ada di puncak gunung dianggap sebagai pusat segala-galanya. Pedagi tersebut hanya bila ada hajatan kampung secara besar-besaran misalnya pada saat syukuran setelah panen padi, ketika ada perang. Pedagi tersebut di jaga oleh Kamang yang merupakan sosok seorang manusia yang raksasa berlumuran darah dan sebagai dewa pencabut nyawa. Itu bila manusia melanggar aturan atau kaidah yang ada dalam kampung.Kamang merupakan dewa yang paling keramat.
Catatan kaki
- ^ Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Edisi I: Maret 2008.