Komando Pasukan Gerak Cepat

Pasukan Khusus TNI Angkatan Udara

Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (disingkat Korpaskhasau, Paskhas atau sebutan lainnya Baret Jingga), merupakan pasukan (khusus) yang dimiliki TNI-AU. Paskhas merupakan satuan tempur darat berkemampuan tiga matra: laut, darat, udara. Dalam operasinya, tugas dan tanggungjawab Paskhas lebih ditujukan untuk merebut dan mempertahankan pangkalan udara dari serangan musuh, untuk selanjutnya menyiapkan bagi pendaratan pesawat kawan. Kemampuan ini disebut dengan Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD).[1]

Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara
Berkas:Paskhas.jpg
Markas Mako Korpaskhasau, Margahayu, Bandung
Kekuatan 5.732 orang
Persenjataan QW-3, DSHK 12,7 mm, SS-1/SS-2, MP5, M16 A3 Commando, SAR-21,Sniper SIG SHR 970 Tactical Rifle,Sniper SIG Sauer SSG 3000, Countersniper FN Hecate II, Pistol Glock 17C dan 19C
Spesialis Operasi pembentukan dan pengoperasian pangkalan udara depan
Dibentuk 17 Oktober 1947

Setiap prajurit Paskhas diharuskan minimal memiliki kualifikasi Para Komando (Parako) untuk dapat melaksanakan tugas secara professional, kemudian ditambahkan kemampuan khusus kematraudaraan sesuai dengan spesialisasinya. Warna jingga sebagai warna baret Paskhas terinspirasi dari sinar cahaya jingga saat terbitnya fajar di daerah Margahayu, Bandung, yaitu tempat pasukan komando ini dilatih.[2]

Motto

Arti setiap kata Sangkahya-yoga tersebut adalah sebagai berikut :

karmaṇi = "dalam tugas yang ditentukan"
eva = "pasti"
adhikāraḥ = "benar"
te = "dari kamu"
= "tidak akan pernah"
phaleṣu = "dalam buah" (hasil)
kadācana = "pada saat mana pun"
karma-phala = "dalam hasil pekerjaanmu"
hetuḥ = "sebab"
bhūḥ = "menjadi"
sańgaḥ = "keterikatan"
astu = " seharusnya ada"
akarmaṇi = "dalam tidak melakukan tugas yang ditentukan".
Jadi, motto Korps khas bisa dipahami sebagai berarti :

"Kamu berhak melakukan tugas yang ditentukan, tetapi tidak berhak atas hasil kelakuanmu."[3]

Motto Paskhas ialah "Karmaye Vadikarate Mafalesu Kadatjana", yang artinya bekerja tanpa menghitung untung dan rugi.[4]

Presiden RI pertama Ir. Sukarno, pada malam ”tirakatan” hari Bhakti AURI di Istana Negara tanggal 30 Juli 1964, memberikan ungkapan ini secara langsung untuk memotivasi personil AURI. Sukarno mensitirnya dari kalimat termasyhur pada Sangkahya-yoga kitab Bhagawadgita, sloka 2.47, yang lengkapnya berbunyi :

"karmaṇy evādhikāras te
mā phaleṣu kadācana
mā karma-phala-hetur bhūr
mā te sańgo 'stv akarmaṇi."

Sejarah

Penerjunan pasukan pertama kali

Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor mengajukan permintaan kepada AURI agar mengirimkan pasukan payung ke Kalimantan untuk tugas membentuk dan menyusun gerilyawan, membantu perjuangan rakyat di Kalimantan, membuka stasiun radio induk untuk memungkinkan hubungan antara Yogyakarta dan Kalimantan, dan mengusahakan serta menyempurnakan daerah penerjunan (Dropping Zone) untuk penerjunan selanjutnya. Atas inisiatif Komodor (U) Suryadi Suryadarma kemudian dipilih 12 orang putra asli Kalimantan dan 2 orang PHB AURI untuk melakukan penerjunan[5]

Tanggal 17 Oktober 1947, tiga belas orang anggota berhasil diterjunkan di Sambi, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mereka adalah Heri Hadi Sumantri (montir radio AURI asal Semarang), FM Suyoto (juru radio AURI asal Ponorogo), Iskandar (pimpinan pasukan), Ahmad Kosasih, Bachri, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, JH. Darius, dan Marawi. Semuanya belum pernah mendapat pendidikan secara sempurna kecuali mendapatkan pelajaran teori dan latihan di darat (ground training). Seorang lagi yaitu Jamhani batal terjun karena takut.

Mereka diterjunkan dari pesawat C-47 Dakota RI-002 yang diterbangkan oleh Bob Freeberg yang berkebangsaan Inggris, sekaligus pemilik pesawat, co-pilot Opsir (U) III Suhodo, dan jump master Opsir Muda (U) III Amir Hamzah. Bertindak sebagai penunjuk daerah penerjunan adalah Mayor (U) Cilik Riwut yang putra asli Kalimantan. Ini adalah operasi Lintas Udara pertama dalam sejarah Indonesia.

Pasukan ini awalnya akan diterjunkan di Sepanbiha, Kalimantan Selatan namun akibat cuaca yang buruk dan kontur daerah Kalimantan yang berhutan lebat mengakibatkan Mayor (U) Cilik Riwut kebingungan saat memprediksi tempat penerjunan. Setelah bergerilya didalam hutan pada tanggal 23 November 1947 akibat pengkhianatan seorang Kepala Desa setempat, pasukan ini disergap tentara Belanda yang mengakibatkan 3 orang gugur yaitu Heri Hadi Sumantri, Iskandar, dan Ahmad Kosasih. Sedangkan yang lainnya berhasil lolos namun akhirnya setelah beberapa bulan mereka berhasil juga ditangkap Belanda.

Dalam pengadilan, Belanda tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pasukan payung dan akhirnya mereka dihukum sebagai seorang kriminal biasa. Mereka dibebaskan setelah menjalani hukuman 1 tahun dan langsung diangkat menjadi anggota AURI oleh Komodor (U) Suryadi Suryadarma

Peristiwa Penerjunan yang dilakukan oleh ke tiga belas prajurit AURI tersebut merupakan peristiwa yang menandai lahirnya satuan tempur pasukan khas TNI Angkatan Udara. Tanggal 17 Oktober 1947 kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang sekarang dikenal dengan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Korpaskhas).[6]

Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP)

Berkas:06-paskhas-marching.jpg
Paskhas dalam parade

Pada masa awal kemerdekaan, dalam konsolidasi organisasi Badan Keamanan Rakyat Oedara (BKRO) membentuk Organisasi Darat yaitu Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP). PPP dibutuhkan untuk melindungi Pangkalan-Pangkalan Udara yang telah direbut dari Tentara Jepang terhadap serangan Belanda yang pada waktu itu berusaha ingin kembali menduduki wilayah Republik Indonesia. Pimpinan BKR saat itu baik Letjen Soedirman maupun Komodor (U) Suryadi Suryadarma berpendapat bahwa Belanda pasti akan menyerang ibukota RI di Yogyakarta lewat udara. PPP saat itu masih bersifat lokal yang dibentuk di Pangkalan-Pangkalan udara seperti di Pangkalan Udara Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Mojoagung (Surabaya), Panasan (Solo), Maguwo (Yogyakarta), Cibeureum (Tasikmalaya), Kalijati (Subang), Pamengpeuk (Garut), Andir dan Margahayu (Bandung), Cililitan dan Kemayoran (Jakarta) dan pangkalan- pangkalan udara diluar pulau Jawa seperti Talang Batutu (Palembang), Tabing (Padang) dll.

Agresi Militer I dan II Belanda

PPP sangat berperan saat terjadi Agresi Militer I dan Agresi Militer II, yang saat itu hampir seluruh Pangkalan Udara mendapat serangan dari Tentara Belanda, baik dari darat maupun dari udara. Serangan besar-besaran dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 terhadap Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta. Belanda mengerahkan pesawat P-51 Mustang, P-40 Kitty Hawk dan pembom B-25/B-26. Selain itu diterjunkan dari pesawat C-47 Dakota sekitar 600 pasukan payung gabungan dari Grup Tempur Para-1 pimpinan Kapten Eekhout. Pasukan payung ini merupakan bagian dari “Tijger Brigade”/Divisi B (termasuk didalamnya satuan “Anjing NICA” yang terkenal ganas serta brutal) pimpinan Kolonel Van Langen yang diperintahkan untuk menguasai Yogyakarta. Brigade ini masih ditambah satuan elit gabungan pasukan darat dan udara grup tempur-M. Di Maguwo grup tempur-M menerjunkan 2 kompi pasukan Para Komando KST (Korps Spesiale Troepen) yang merupakan penggabungan dari baret merah dan hijau Belanda pada November 1948[7]

Pada saat itu PPP bersama kekuatan udara lainnya berusaha mempertahankan pangkalan sampai titik darah yang penghabisan. Saat itu Maguwo dipertahankan oleh 150 pasukan PPP dan 34 teknisi AURI pimpinan Kadet Kasmiran. Dalam pertempuran tidak seimbang ini mengakibatkan gugurnya 71 personil AURI termasuk Kadet Kasmiran dan 25 orang lainnya yang tidak dikenal.

Penerjunan pertama di Indonesia

PPP inilah yang merupakan cikal bakal dari Pasukan Payung setelah pada tanggal 12 Februari 1946 melakukan percobaan latihan penerjunan yang pertama kali di Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta dengan menggunakan payung (parasut) dan pesawat terbang peninggalan Jepang.

Penerjunan pertama yang semuanya dilaksanakan oleh 3 orang putra Indonesia baik penerbangnya maupun penerjunnya, berlangsung menggunakan tiga buah pesawat Churen. Penerbang Adisucipto menerjunkan Amir Hamzah, penerbang Iswahyudi menerjunkan Legino dan penerbang M. Suhodo menerjunkan Pungut. Penerjunan pertama di alam Indonesia merdeka yang berlangsung di Pangkalan Udara Maguwo tersebut disaksikan oleh Kepala Staf BKRO Komodor (U) Suryadi Suryadarma dan Panglima Besar Letjen Sudirman serta petinggi BKR lainnya. Penerjunan yang dilaksanakan pada ketinggian 700 meter, sebagai pengawas kesehatannya adalah Dr. Esnawan. Selanjutnya penerjunan kedua di Pangkalan Udara Maguwo tanggal 8 Maret 1947 pada saat wing day yang merupakan penerjunan free fall pertama di Indonesia dilakukan oleh Opsir Udara I Soedjono dan Opsir Muda Udara I Soekotjo dengan penerbang Gunadi dan Adisucipto. Penerjunan ini disaksikan oleh Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, para petinggi BKR serta masyarakat luas[8]. Sedangkan tanggal 24 Maret 1947 dilaksanakan penerjunan kembali oleh Soedjono dan Soekotjo dalam rangka peresmian Pangkalan Udara Gadut di Bukittinggi.

Air Base Defence Troop (ABDT)

Berkas:Baret jingga.jpg
Baret Jingga

Dalam periode selanjutnya, yaitu sejak tahun 1950 Pasukan Payung yang saat itu masih bernama PPP berpusat di Jakarta dengan sebutan Air Base Defence Troop (ABDT) yang membawahi 8 Kompi dan dipimpin oleh Kapten (U) RHA Wiriadinata dengan Wakilnya Letnan I (U) R Soeprantijo. Kemudian pada pertengahan Tahun 1950 dibentuk Inspektorat Pasukan Pertahanan Pangkalan yang disebut dengan IPP yang bermarkas dijalan Sabang Jakarta, kemudian pada bulan April 1952 dipindahkan ke Pangkalan Udara Cililitan Jakarta Timur

Sementara itu, pada tahun 1950 juga diadakan Sekolah Terjun Payung (Sekolah Para) yang diikuti oleh para prajurit dalam rangka pembentukan Pasukan Para AURI. Sekolah Para ini dibuka di Pangkalan Udara Andir Bandung sebagai kelanjutan dari embrio Sekolah Para di Maguwo. Hasil didik dari Sekolah Para inilah yang kemudian disusun dalam Kompi-Kompi Pasukan Gerak Tjepat (PGT) yang dibentuk pada bulan Februari 1952 dan Kapten (U) RA Wiriadinata sebagai Komandannya yang saat itu merangkap sebagai Komandan Pangkalan Udara Andir di Bandung.

Pada tahun 1950 an Pasukan AURI terdiri dari PPP, PGT dan PSU (Penangkis Serangan Udara) yang kekuatannya terdiri dari 11 Kompi Berdiri Sendiri (BS), 8 Pleton BS dan 1 Battery PSU.

Resimen Tim Pertempuran PGT (RTP-PGT)

Selanjutnya pada Tahun 1960-an PGT juga ditugaskan dalam rangka operasi pembebasan Irian Barat (Papua) yang berdasarkan perintah Men/Pangau, maka dibentuklah Resimen Tim Pertempuran PGT (RTP PGT) yang bermarkas di Bandung dan Kapten (U) Sugiri Sukani sebagai Komandannya. RTP PGT membawahi 2 Batalyon PGT yaitu Batalyon A PGT yang dipimpin oleh Kapten (U) Z. Rachiman dan Batalyon B PGT yang dipimpin oleh Kapten (U) JO. Palendeng.

Komodor (U) RA Wiriadinata adalah komandan PGT pertama (1952) yang banyak membawa angin segar terhadap perkembangan pasukan payung di Indonesia terutama dalam tubuh AURI. Konsep PGT dari awal mulanya memang terkonsep pada kemampuan para dan komando. Ia juga pernah menjadi Panglima Gabungan Pendidikan Paratroops (KOGABDIK PARA).

Pada masa pemerintahan Orde Lama, PGT AURI bersama KKO (Marinir) dikenal amat loyal dan setia terhadap Presiden Sukarno. Kedua pasukan elit ini bahkan dianggap menjadi “anak emas”nya Presiden Soekarno. Hingga saat detik-detik kejatuhan Presiden Sukarno, kedua pasukan ini tetap menunjukkan kesetiaannya pada Sang Proklamator tersebut.

Komando Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara (KOPPAU)

Pada tanggal 15 Oktober 1962, berdasarkan Keputusan Men/Pangau Nomor : 195 dibentuklah Komando Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara (KOPPAU). Panglima KOPPAU dirangkap oleh Men/Pangau dan sebagai wakilnya ditetapkan Komodor (U) RA Wiriadinata. KOPPAU terdiri dari Markas Komando (Mako) berkedudukan di Bandung, Resimen PPP di Jakarta dan Resimen PGT di Bandung. Resimen PPP membawahi 5 Batalyon yang berkedudukan di Jakarta, Banjarmasin, Makassar, Biak dan Palembang (kemudian pindah ke Medan). Resimen PGT terdiri dari 3 Batalyon, yaitu Batalyon I PGT (merupakan Batalyon III Kawal Kehormatan Resimen Cakra Bhirawa) berkedudukan di Bogor, Batalyon II PGT di Jakarta dan Batalyon III PGT di Bandung.

Berdasarkan Surat keputusan Men/Pangau Nomor : III/PERS/MKS/1963 tanggal 22 Mei 1963, maka pada tanggal 9 April 1963 Komodor (U) RA Wiriadinata dikukuhkan menjadi Panglima KOPPAU dan menjabat selama 1 tahun. Kemudian pada tahun 1964 digantikan oleh Komodor (U) Ramli Sumardi sampai dengan tahun 1966.

KOPASGAT

Bedasarkan hasil seminar pasukan di Bandung pada tanggal 11 s.d. 16 April 1966, sesuai dengan Keputusan MEN/PANGAU No. 45 Tahun 1966, tanggal 17 Mei 1966, KOPPAU disahkan menjadi Komando Pasukan Gerak Tjepat (Kopasgat) yang terdiri dari 3 Resimen :

  1. Resimen I Pasgat di Bandung, membawahi :
    1. Batalyon A Pasgat di Bogor
    2. Batalyon B Pasgat di Bandung
  2. Resimen II Pasgat di Jakarta, membawahi :
    1. Batalyon A Pasgat di Jakarta
    2. Batalyon B Pasgat di Jakarta
    3. Batalyon C Pasgat di Medan
    4. Batalyon D Pasgat di Banjarmasin
  3. Resimen III Pasgat di Surabaya, membawahi :
    1. Batalyon A Pasgat di Makassar
    2. Batalyon B Pasgat di Madiun
    3. Batalyon C Pasgat di Surabaya
    4. Batalyon D Pasgat di Biak
    5. Batalyon E Pasgat di Yogyakarta

Selanjutnya bedasarkan Keputusan KASAU No. 57 Tanggal 1 Juli 1970, "Resimen" diganti menjadi "Wing"'

Di era nama Kopasgat lah, korps baret jingga ini sangat terkenal. Bahkan PDL Sus Kopasgat bermotif macan tutul menjadi acuan pemakaian PDL TNI saat operasi Seroja.

Saat operasi pembebasan sandera pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia di Bandara Don Muang Thailand tahun 1981 sesungguhnya Kopasgat-lah yang dipersiapkan untuk beraksi namun akibat berbagai tekanan politik Orde Baru saat itu akhirnya Kopassus yang diberangkatkan ke Bangkok.

PUSPASKHASAU

Sejalan dengan dinamika penyempurnaan organisasi dan pemantapan satuan-satuan TNI, maka berdasarkan Keputusan KASAU No. Kep/22/III/ 1985 tanggal 11 Maret 1985, Kopasgat berubah menjadi Pusat Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (PUSPASKHASAU)

KORPASKHASAU

Seiring dengan penyempurnaan organisasi TNI dan TNI Angkatan Udara, maka tanggal 17 Juli 1997 sesuai Skep PANGAB No. SKEP/09/VII/1997, status Puspaskhas ditingkatkan dari Badan Pelaksana Pusat menjadi Komando Utama Pembinaan (Kotamabin) sehingga sebutan PUSPASKHAS berubah menjadi Korps Pasukan Khas TNI AU (KORPASKHASAU).

Kualifikasi

Paskhas TNI-AU sebagai pasukan khusus Angkatan Udara satu-satunya dan berkualifikasi terlengkap didunia ini memiliki berbagai kemampuan tempur khas matra udara seperti Pengendali Tempur (Dalpur), Pengendali Pangkalan (Dallan), SAR Tempur, Jumping Master, Pertahanan Pangkalan yang meliputi pertahanan horizontal (Hanhor) dan pertahanan vertikal (Hanver), Penangkis Serangan Udara, jungle warfare, Air Assault (Mobud), Raid operation hingga kemampuan anti teror aspek udara atau yang dikenal sebagai ATBARA (Anti Pembajakan Udara). Selain itu Paskhas TNI-AU juga mahir untuk bertempur di hutan, perkotaan,laut maupun pantai.

Paskhas TNI-AU juga memiliki kemampuan spesialisasi kematraudaraan untuk melaksanakan doktrin OP3UD seperti Pengaturan Lalu-Lintas Udara (PLLU), Meteo, Komunikasi-Elektronika (Komlek), Perminyakan (Permi), Zeni lapangan (termasuk pionir, tali-temali, dll), Intelijen Tempur, Kesehatan, ground handling, Pemadam Kebakaran (PK), Angkutan, Perhubungan (PHB) hingga kemampuan khusus untuk menginformasikan tentang fasilitas penerbangan sebelum pesawat datang, jarak pandang (visibility), kecepatan dan arah angin, suhu dan kelembaban udara, serta ketinggian dan jenis awan. Hal ini sangat berkaitan dalam menentukan penembakan sasaran maupun penerjunan pasukan, dan membantu mengendalikan pesawat tempur untuk penembakan/pengeboman sasaran (Ground Forward Air Control/GFAC)

Tidak main-main, para personil Paskhas juga memiliki kemampuan khusus sebagai Air Traffic Controller (ATC) di sebuah bandara. Memang tidak ada satupun pasukan komando seperti Paskhas didunia saat ini.

Karena Paskhas merupakan pasukan komando, maka dalam melaksanakan operasi tempur, jumlah personel yang terlibat relatif sedikit, tidak sebanyak jumlah personel infanteri/pasukan reguler dengan kata lain jarang menggunakan ukuran konvensional mulai dari peleton hingga batalyon. Paskhas jarang sekali (mungkin tidak pernah) melakukan operasi dengan melibatkan kekuatan satu batalyon sekaligus.

Organisasi pasukan

Setelah berubah status menjadi Kotamabin berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI Angkatan Udara No. SKEP/73/III/1999 tanggal 24 Maret 1999, Korpaskhas membawahi WING Paskhas (WING I, WING II, WING III), Detasemen Bravo Paskhas (Den Bravo Paskhas) dan Detasemen Kawal Protokol Paskhas (Den Walkol Paskhas). Saat ini Denwalkol berdasarkan Instruksi Kepala Staf Angkatan Udara nomor : Ins/2/III/2008 tanggal 31 Maret 2008 telah beralih pembinaannya dari Korpaskhas kepada Denma Mabes-AU, sehingga efektif mulai tanggal dikeluarkan Instruksi tersebut pembinaan Kawal Protokol dibawah Denma Mabesau.

Hirarki

Korps Pasukan Khas TNI-AU adalah satu satunya wadah berbentuk korps bagi pasukan berkualifikasi khusus di TNI-AU bahkan dalam TNI. Korpaskhasau bersanding dengan Kopassus TNI AD adalah Pasukan khusus berstatus KOMANDO resmi yang dimiliki oleh TNI. Hal ini karena 2 organisasi pasukan khusus ini bersifat (KOTAMA) BERDIRI SENDIRI dengan pelatihan dan kemampuan serang yang sangat lethal secara individual. Paskhas lahir sebagai pasukan komando sejak masa kelahirannya. Mereka diterjunkan dengan unit kecil di belakang garis pertahanan lawan dan langsung menusuk jantung pertahanan musuh. Maka itulah para personel pasukan payung ini dididik dengan metode komando yang diadopsi dari SAS Inggris (melalui pendidikan di Pusdik RPKAD). Metode pendidikan komando “ala baret merah” mulai dilakukan di Wing III Diklat sejak Paskhas masih bernama KOPPAU. Personil Paskhas juga diperkenankan tetap memakai baret jingga kebanggaannya dan PDH Komando saat mengikuti berbagai upacara resmi kenegaraan.Korpaskhasau memakai sebutan “Pasukan” untuk jargon korps nya disingkat (Psk).

Struktur pasukan

  1. Wing I/Harda Marutha (para komando) di Jakarta, membawahi :
    1. Batalyon 461/Cakra Bhaskara Jakarta
    2. Batalyon 462/Pulanggeni Riau
    3. Batalyon 465/Brajamusti Pontianak
    4. Kompi A Berdiri Sendiri di Medan
    5. Kompi B Berdiri Sendiri di Subang
    6. Kompi C Berdiri Sendiri di Aceh
    7. Kompi D Paskhas Berdiri di Kupang
  2. Wing II/Harda Marutha [Para Komando] di Malang, membawahi :
    1. Batalyon 463 Trisula di Madiun
    2. Batalyon 464 Nanggala di Malang
    3. Batalyon 466 Pasopati di Makasar
    4. Batalyon 467 Harda Dedali Yogyakarta
    5. Batalyon 468 Sarotama di Biak
  3. Wing III Paskhas Pusdik Paskhas di Margahayu Bandung, membawahi :
    1. Satdik Tempur Darat
    2. Satdik Matra/PSU
    3. Satdik Khusus
  4. Detasemen Bravo 90/Anti Teror Bajak Udara di Rumpin, Bogor.

Sesuai Peraturan Kasau /53/VIII/2008 tertanggal 13 Agustus 2008 tentang Penyempurnaan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Korps Paskhas TNI AU, maka penyebutan "skadron" diubah menjadi "batalyon".

Untuk pengembangan organisasi kedepan saat ini tengah diusulkan ke Mabes TNI-AU untuk pembentukan Wing III Paskhas di Makassar, Sulawesi Selatan untuk meng-cover wilayah timur Indonesia. Selain itu direncanakan pula penambahan 3 batalyon baru Paskhas yaitu Batalyon 468 di Medan, Batalyon 469 di Biak, Papua dan satu Batalyon lagi di Yogyakarta atau Kupang sehingga nantinya Paskhas akan memiliki 10 Batalyon pasukan.

Kekuatan pasukan

Paskhas saat ini berkekuatan 6.300-an personel. Dalam beberapa waktu kedepan direncanakan Paskhas TNI-AU akan mendapatkan 40 buah panser buatan Pindad sebagai cikal bakal Batalyon Kavaleri Paskhas. Namun rencana ini tengah mengalami negoisasi ulang dikarenakan ranpur sejenis Panser dinilai tidak cocok dengan karakteristik tugas dari Paskhas. Jika rencana re-negoisasi ini disetujui maka Paskhas berniat mendatangkan kendaraan taktis sejenis Dirgantara Military Vehicle (DMV) buatan PT DI yang kini telah dipakai oleh pasukan elit Paskhas Detasemen Bravo-90

Korps baret jingga ini telah diperkuat dengan kedatangan 200 rudal panggul permukaan ke udara QW (QianWei)-3. Rudal QW-3 dilengkapi penjejak semi-active laser guidance, cocok untuk menggasak pesawat tempur maupun rudal lain dalam ketinggian rendah sampai dengan jarak 8 km. Memiliki bobot 13 kg dan kecepatan maksimum 750 km/jam. Senjata ini dipergunakan untuk menggantikan Triple gun buatan Hispano Suiza (Switzerland) tahun 1950-an dan DSHK 12,7 mm

Paskhas juga tengah berupaya mendatangkan 4 baterai PSU jarak pendek berupa Oerlikon kaliber 35 mm untuk hanud titik model komposit yang sudah terintegrasi antara rudal, meriam, radar dan pos komando taktis. Senjata ini sudah menggunakan teknologi tercanggih dan telah digunakan oleh banyak negara Eropa. Menurut rencana, senjata PSU ini akan ditempatkan di 3 Lanud Utama TNI-AU. Salah satu kelebihan utama lainnya untuk PSU Oerlikon kaliber 35 mm ini adalah kemampuannya untuk dapat dimobilisasi dengan pesawat Hercules.

Paskhas kini mengupayakan untuk mengganti senjata perorangan SS – 1 yang kabarnya akan digantikan SiG-552 ataupun SS-2. Jujur saja, senjata SS-1 buatan Pindad memang sudah tidak layak pakai. Sering macet dengan bekas las di sana – sini.

Komandan

Saat ini, Komandan Korpaskhas (Dankorpaskhas) adalah Marsekal Pertama TNI Harry Budiono. Ia lahir di Ngawi, jawa timur, 12 Oktober 1953, mengawali karier militer setelah dilantik Presiden RI sebagai letnan dua pada tahun 1978. Selanjutnya penempatan pertama sebagai komandan pleton, Komandan Lanud Morotai, Komandan Skadron Paskhas 462 Lanud Sulaiman, Asintel Korpaskhas, Inspektur Korpaskhas (Ir), Wadan Korpaskhas. Selanjutnya pada tanggal 26 Juni 2008 diangkat menjadi Komandan Korps Pasukan Khas (Dankorpaskhas) sampai sekarang. Saat ini sedang dipertimbangkan untuk menjadikan Komandan Korpaskhas dijabat seorang Marsekal Muda berbintang dua[9]

Operasi Militer

Penumpasan RMS, DI/TII dan PRRI/PERMESTA

Ketika terjadi beberapa pemberontakan di bumi Pertiwi ini, PPP ditugaskan pula untuk menumpas pemberontakan DI/TII di wilayah Jawa Barat. Personil PPP melakukan pengejaran di wilayah Tangkuban Perahu, Pegunungan Galunggung, Pegunungan Guntur dan Pegunungan Tampomas. Selain itu PPP juga ikut melaksanakan penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan dengan melakukan operasi yang dipimpin langsung oleh Letkol (U) RA Wiriadinata. Saat penumpasan RMS tahun 1952, PPP mengerahkan 1 kompi pasukannya di Kendari dan Pulau Buru, Maluku.

Pada peristiwa PRRI di Sumatera, dua kompi PGT pimpinan LU I Sugiri Sukani dan LU I Rachman bersama 1 kompi RPKAD melakukan penerjunan untuk pertama kali pada 12 Maret 1958 saat Operasi Tegas di Pangkalan Udara Simpang Tiga, Pekanbaru. Empat hari berselang pada operasi Sapta Marga 16 Maret 1958, pasukan yang sama dari PGT bersama RPKAD kembali melakukan penerjunan di Medan.

Ketika operasi 17 Agustus di Sumatera Barat, PGT mendapat tugas untuk merebut Lanud Tabing di Padang. Untuk mengawali operasi ini, delapan personil PGT dipimpin Letkol (U) RA Wiriadinata ditugaskan melakukan operasi khusus. Tim kecil PGT ini mendapat tugas menentukan titik penerjunan yang paling aman bagi pasukan TNI. Pendaratan open sea ini, terbilang berbahaya. Ombak besar menyulitkan pendaratan. Akibatnya, saat regu PGT mendarat dengan motor-tempel kecil di pantai, perahunya pecah. Sampai di pantai, mereka bergerak cepat, menyusup, menentukan koordinat, dan membuat kode-kode rahasia pada DZ. Tentu tidak gampang menentukan lokasi DZ, mengingat pasukan PRRI tersebar di mana-mana.

Pada 17 April 1958 tepat pukul 06.40 satu batalyon PGT dan satu kompi RPKAD diterjunkan dan langsung mendapat perlawanan dari pasukan PRRI, akibatnya satu personil PGT gugur. Selain itu Lanud Tabing juga sudah dipenuhi oleh ranjau paku dan bambu-bambu runcing yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Pada 20 Mei 1958, satu kompi PGT dipimpin Kapten (U) R Suprantijo kembali diterjunkan di Morotai saat operasi Merdeka untuk menumpas Permesta di Sulawesi Utara dan Maluku. Beberapa waktu kemudian satu kompi PGT dipimpin LU I Heru Achjar berhasil merebut bandara Mapanget di Manado. Begitu gencarnya pertempuran di darat maupun dari udara, hingga sempat memancing pesawat Lockheed U-2 Dragon Lady milik AU Amerika (USAF). Pesawat ini pernah dimanfaatkan mengintai pulau Natuna yang disiapkan untuk menggempur Jakarta


Operasi Trikora

PGT AURI dalam operasi Trikora mengambil porsi terbesar jumlah pasukan yang diinfiltrasi ke Irian Barat dengan total 532 orang.

Jumlah personil dari TNI, Polri dan relawan yang diinfiltrasikan selama Trikora adalah 1.154 personil dengan jumlah korban jiwa 216 gugur/hilang dan 296 tertangkap.

Pada tanggal 25 April 1962, saat operasi Banteng Ketaton sebanyak 40 orang pasukan PGT dibawah pimpinan Sersan Mayor (U) J. Picaulima diterjunkan untuk pertama kali di Irian Barat yaitu di daerah Fak-Fak begitu juga penerjunan yang dilakukan 39 personil PGT di Kaimana tanggal 26 April 1962 berhasil dengan baik.

Pada 11 Mei 1962, pasukan PGT dibawah pimpinan Letan Satu (U) Manuhua melaksanakan penerjunan di Sorong saat Operasi Serigala.

Salah satu kisah heroik dan bersejarah adalah peristiwa pengibaran Sang Saka Merah Putih untuk pertama kali dipancangkan di bumi Cendrawasih, Irian Barat, yang dilakukan oleh anggota PGT atas inisiatif Sersan (U) M.F. Mengko. Pada tanggal 19 Mei 1962, sebanyak 81 anggota PGT bertolak dari Pangkalan Udara Pattimura, Ambon, dengan pesawat Hercules yang dipiloti Mayor (U) T.Z Abidin menuju sasaran daerah penerjunan sekitar Kampung Wersar, Distrik Teminabuan. Pada dini hari mereka diterjunkan tepat diatas markas tentara Belanda. Pertempuran jarak dekat yang serba kacau segera terjadi. Tentara Belanda yang tengah tidur kaget karena ada pasukan PGT yang diterjunkan tepat dimarkasnya, sedangkan prajurit PGT juga tidak menyangka akan diterjunkan dimarkas tentara Belanda karena sebelumnya mereka dibriefing akan diterjunkan di perkebunan teh. Kisah heroik ini mengakibatkan tewasnya 53 anggota PGT AURI termasuk komandan tim Letnan Dua (U) Suhadi. Untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut di daerah Teminabuan, Sorong kini telah didirikan sebuah monumen yang diberi nama Tugu Merah Putih.

Untuk memperkuat posisi tentara Indonesia di Irian Barat dilaksanakan operasi Jatayu pada 14 Agustus 1962 dengan rincian Kelompok Elang dibawah pimpinan Kapten (U) Radik Sudarsono diterjunkan di Sorong dan Kelompok Alap-alap di daerah Merauke dipimpin Letnan (U) Benyamin Matitaputty.

Suatu hal yang amat mengagumkan adalah kemampuan untuk bertahan hidup (survival)dari prajurit PGT. Meskipun dengan kondisi alam Irian Barat yang ganas dimana berhutan lebat dengan ketinggian pohon mencapai diatas 50 meter, langkanya binatang maupun tumbuhan yang dapat dimakan, ancaman penyakit malaria, kekurangan logistik dan obat-obatan ditambah serangan gencar dari pesawat tempur maupun tentara Belanda, namun mereka masih mampu bergerilya didalam hutan sampai menjelang terjadinya gencatan senjata.

Penerjunan dilaksanakan dini hari menjelang subuh. Prajurit PGT dikepekatan malam yang amat dingin diterjunkan diatas hutan-hutan belantara di dekat kota-kota kecil Irian Barat. Para prajurit PGT cukup tangguh untuk berjuang melawan hutan belantara yang pepohonannya amat tinggi, sehingga sebelum mencapai tanah mereka harus bergelut dengan tali dan pisau komando agar bisa turun karena rata-rata tersangkut dipepohonan.

Secara total dilakukan 9 kali penerjunan yang dilakukan PGT selama operasi Trikora di daerah Kaimana, Fak-Fak, Sorong (Sausapor, Klamono dan Teminabuan) serta Merauke dengan mengakibatkan gugurnya 94 orang prajurit dan 73 orang terluka [10]


Operasi Dwikora

 
Paskhas formasi pertahanan

Seperti halnya saat Trikora, pada saat operasi Dwikora PGT AURI juga menjadi pasukan yang pertama kali diterjunkan ke wilayah Malaysia.

Berbeda dengan Trikora maupun saat penumpasan PRRI/PERMESTA, kali ini PGT bertindak sebagai pelaku tunggal penerjunan (solo performer) tanpa didampingi kesatuan lain dari TNI-AD. Selain melalui udara, personil PGT juga melakukan infiltrasi lewat jalur darat dan laut.

Pada tanggal 31 Januari 1964, PGT melakukan penyebaran pamflet dengan pesawat Hercules C-130 di daerah perbatasan (Sabah, Tawau dan sekitar Pulau Sebatik)[11]

Sejak bulan April 1964, dua kompi PGT dibawah pimpinan LMU I Sutikno dan LMU I Sukimin dipersiapkan dalam rangka infiltrasi melalui laut. Pasukan ini kemudian diberangkatkan ke Tanjung Balai, Karimun dengan kapal motor.

Untuk pertama kalinya pada tanggal 16 Agustus 1964, satu peleton dipimpin SMU Sadikin berhasil menyusup lewat laut ke Pontian Kecil, Johor Baru. Keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1964 kembali satu peleton PGT pimpinan SMU Suparmin disusupkan ke wilayah Malaysia lewat jalur laut. Sebelumnya pada dini hari sebanyak 17 personil PGT berhasil melakukan penerjunan di selatan Johor.

Dalam penerjunan pada tanggal 1-2 September 1964 diterjunkan 3 peleton pasukan terdiri dari 1 peleton dari kompi LU I Suroso,Jakarta dan 2 peleton dari kompi LMU Sutikno,Bandung. Ironisnya, salah satu pesawat C-130 Hercules yang diterbangkan Mayor (U) Djalaloedin Tantu bersama 7 awak pesawat jatuh ke selat Malaka. Sebuah sumber menyatakan bahwa kecelakaan pesawat Hercules yang melakukan terbang malam tersebut akibat terbang terlalu rendah untuk menghindari deteksi radar lawan. Mayor (U) Sugiri Sukani, Komandan Resimen PGT dan LU I Suroso ada didalam pesawat malang tersebut. Unsur yang ikut tewas dalam peristiwa tersebut adalah 47 orang personil PGT ( 40 orang dari Jakarta dan 7 orang dari Bandung) dan 10 orang Cina Melayu, diantaranya adalah dua gadis. Sedangkan 2 Hercules lainnya berhasil menerjunkan pasukan PGT di daerah sasaran. Sasaran penerjunan ini adalah daerah Taiping, Labis dan Ipoh.

Hanya dalam waktu dua hari, hampir semua personil PGT dapat ditangkap akibat pengkhianatan dari penunjuk jalan yang berasal dari etnis Melayu dan Cina. Mereka baru dibebaskan dari penjara Malaysia setelah 11 Maret 1966 dan dipulangkan ke Indonesia. Setiba di Jakarta, akibat efek dari peristiwa G-30S/PKI mereka kembali ditahan di Cijantung di asrama RPKAD dan diberi julukan ”Tentara Merah”. KU I Sukardi yang tertangkap dan divonis hukuman gantung oleh pemerintah Malaysia akhirnya dibebaskan pasca gencatan senjata RI – Malaysia.

Hampir seluruh personil PGT yang diinfiltrasikan ke Malaysia tertangkap akibat banyaknya operasi yang secara sengaja ”dibocorkan” oleh oknum-oknum di Indonesia. Sedangkan 4 personil PGT yang kembali dengan selamat dan tidak tertangkap mendapatkan anugerah Bintang Sakti dari Presiden RI bersama-sama dengan anggota yang gugur.

Jumlah personil PGT yang gugur/hilang selama operasi Dwikora berjumlah 83 orang sedangkan yang tertangkap/terluka berjumlah 117 orang[12]


Operasi Seroja

Dalam Operasi Seroja, Kopasgat tidak berfungsi sebagai pasukan pemukul seperti yang dilakukan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta, perjuangan Trikora dan Dwikora. Kopasgat yang terdiri dari Pengendali Tempur (Dalpur), Pengendali Pangkalan (Dallan) dan Satuan Tempur (Satpur) bertugas membentuk pangkalan udara operasi dan pengamanannya.

Gelaran pertama Kopasgat terjadi tanggal 7 Desember 1975 saat 126 personil Detasemen-B Kopasgat yang dipimpin Kapten (Psk) Silaen diterjunkan dengan cara air landed di lapangan terbang Dili, selang dua hari pada 9 Desember 1974 delapan Hercules C-130 menerjunkan pasukan dari Yonif Linud-328 Kostrad, Grup-1 Kopassus, Yonif 401/Banteng Raiders dan 156 personil Kopasgat pada pukul 07.25 WIT. Tugas Kopasgat adalah membebaskan lapangan terbang Baucau, atau lebih populer dengan Villa Salazar dalam bahasa Portugis. Detasemen-A Kopasgat dipimpin Kapten (Psk) Afendi. Operasi ini sekaligus membuktikan kemampuan Kopasgat melaksanakan Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD). Jumlah personil Kopasgat yang luka-luka saat penerjunan di Baucau adalah 19 orang terdiri dari 2 orang Satpur dan 17 orang Dallan.[13]

Jauh sebelum operasi Seroja dimulai, Kopasgat bersama satuan elit lainnya di TNI sudah terlebih dahulu masuk ke wilayah Timor-Timur untuk membentuk kantong-kantong gerilya serta mendukung para pejuang pro integrasi

Selama operasi Seroja, kehadiran Kopasgat amat disegani baik oleh rakyat maupun gerilyawan Fretilin karena sikapnya yang simpatik dan mampu merebut hati rakyat. Markas Kopasgat seringkali dijadikan tempat perlindungan oleh rakyat untuk menghindari konflik bersenjata yang terjadi. Warna baret jingga dan loreng komando khas Kopasgat kala itu amat populer di Timor-Timur. Hal ini berimplikasi pula pada sedikitnya jumlah personil Kopasgat yang gugur selama operasi Seroja bila dibandingkan dengan satuan lainnya di TNI.

Jumlah personil TNI yang gugur di Timor-Timur antara tahun 1974-1999 adalah 2.292 orang sedangkan dari pihak pejuang pro integrasi mencapai jumlah 1.527 orang[14].


Operasi Trisula dan Penumpasan PGRS/Paraku

Kopasgat turut serta dalam operasi Trisula Kodam V Brawijaya tahun 1967 di daerah Blitar Jawa Timur guna penumpasan sisa-sisa gerakan PKI didaerah tersebut. Dalam mendukung operasi ini Kopasgat mengerahkan satu kompi pasukannya dari Resimen III dibawah pimpinan LU II Wim Mustamu. Pada tahun 1967-1969 timbul pergolakan di Kalimantan Barat yang dikenal dengan nama Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) berasal dari warga keturunan Tionghoa simpatisan komunis diwilayah Kalimantan. Untuk menghadapi PGRS/Paraku, pemerintah memutuskan untuk menggelar operasi Saber Kilat. Kopasgat sendiri melakukan tugasnya secara berkala dan diadakan pergantian pasukan pada periode tertentu sampai dengan operasi selesai tahun 1969. Perwira Kopasgat yang bertugas dalam operasi ini antara lain Kolonel (U) Z. Rachiman, Letkol (U) Sudjito, LU I Samadikun, LU I Mashud, LU I Sudadyo, LU I Nasroel dan LU II Siswoto Soemali dan LU II Joenoes. Dalam operasi ini gugur 2 orang personil Kopasgat asal Resimen I dan 4 orang lainnya gugur saat peristiwa Lanud Singkawang II

Operasi Sipil

Selain mengabdikan dirinya dalam tugas-tugas operasi militer, prajurit paskhas juga ikut berpartisipasi dalam misi kemanusiaan seperti operasi Tinombala dan Tampomas penanggulangan bencana alam, Tentara Masuk Desa dan karya bakti TNI lainnya.

Misi Perdamaian

Keterlibatan Paskhas dalam misi perdamaian di luar negeri di bawah bendera PBB seperti tergabung dalam:

  • Kontingen Garuda di Vietnam,
  • Kontingen Garuda XIV dibawah Unprofor di Yugoslavia,
  • Kontingen Garuda XIV A-B di Bosnia,
  • Kontingen Garuda XVII dibawah OKI di Filipina,
  • Kontingen Garuda XXIII di Libanon dan penugasan militer di luar negeri lainnya.

Identitas Korps Baret Jingga

Di era Kopasgat mulai dipergunakan baret berwarna jingga dengan emblem berbentuk segilima. Dirasa kurang pas, emblem itu diganti dengan bentuk persegi seperti yang saat ini dipakai Paskhas. Motto yang tertulis pada emblem berbunyi Karmaye Vadikaraste Mafalesu Kadatjana yang artinya “bekerja tanpa menghitung untung dan rugi”. Sementara badge yang dipasang di lengan kiri merupakan gambar lama yang digunakan PGT. Badge itu berupa perisai berwarna merah menyala dengan gambar parasut mengembang menerjunkan dua jenis senjata ringan dan berat. Dari gambar itu dapat diartikan bahwa Kopasgat adalah pasukan Linud yang gagah berani. Kedua lambang, emblem dan badge serta baret berwarna jingga saat ini masih digunakan sebagai ciri pasukan elit TNI-AU. Selain itu dilengan kanan ditambahkan pula badge dengan tulisan Para Komando sebagai ciri khas Pasukan Para Komando Udara[15] Badge ini juga dipakai dilengan kanan pakaian dinas setiap para KSAU sebagai wujud penghormatan kepada satuan elit dilingkup TNI-AU ini

Referensi

  1. ^ http://indonesiaeliteforces.tripod.com/id9.html
  2. ^ Budhy Santoso. "Baret Jingga. Pasukan Payung Pertama di Indonesia". Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999
  3. ^ Bhagavad Gita, bab 2 : "Kenyataan abadi daripada kelestarian jiwa", ayat 47
  4. ^ http://www.angkasa-online.com/10/01/khusus/khusus1.htm
  5. ^ Sutrisno. “Marsekal TNI Suryadi Suryadarma” Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan, Jakarta,1985
  6. ^ Sesuai keputusan MEN/PANGAU No.54 Tahun 1967, tanggal 12 Oktober 1967.
  7. ^ Himawan Susanto. “Yogyakarta 19 Desember 1948. Jenderal Sudirman vs Jenderal Spoor”
  8. ^ “Awal Kedirgantaraan di Indonesia. Perjuangan AURI 1945-1950” Yayasan Obor, 2008
  9. ^ http://www.tni-au.mil.id/organisasi.asp
  10. ^ Poengky Poernomo Djati. "Perjuangan AURI dalam Trikora". Direktorat Sejarah Ditwatpersau, Jakarta , 1996
  11. ^ Poengky Poernomo Djati. ”Peranan AURI Dalam Pelaksanaan Konfrontasi Dengan Malaysia Tahun 1963.” Sub Direktorat Sejarah Ditwatpersau, Jakarta, 1992
  12. ^ I Ketut Subandi. "Triwarsa Kopasgat.Sejarah Komando Pasukan Gerak Tjepat TNI Angkatan Udara". Dinas Sejarah TNI-AU, Jakarta, 1977
  13. ^ Hendro Subroto. "Operasi Udara di Timor-Timur". Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005
  14. ^ http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?cid=1756
  15. ^ Istilah ini dipopulerkan oleh Marsdya (Purn) Budhy Santoso untuk membedakan dengan satuan Para Komando yang ada di angkatan lain

Lihat pula

Pranala luar