Quietisme
Quietisme adalah sebuah pandangan atau ajaran dalam filsafat-Teologi yang menekankan hubungan keintiman manusia dengan Allah melalui doa.[1] Paham quietisme ini muncul di Prancis dan Italia pada abad ke-17.[1] Di Prancis pandangan atau ajaran ini diperkenalkan oleh seorang Uskup Fenelon yang berasal dari Prancis pada tahun ke 1715, dan M. de Molinos pada tahun 1696 melalui karangannya di Roma. [1] Kedua tokoh ini meyakini bahwa kristianitas yang sebenarnya terletak sepenuhnya pada kehadiran Allah ketika seseorang berdoa dan meditasi.[2]
Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya
Quietisme pertama kali muncul pada abad ke-17, melalui sebuah pandangan dari karangan-karangan seorang imam diosesan Roma, yakni M. de Molinos pada tahun 1996 dan uskup Fenelon pada tahun 1715 di Perancis.[1] Adapun setelah kemunculannya, ajaran quietisme ini terus berkembang dengan pesat. [1] Akan tetapi di tengah perkembangannya, ajaran Quietisme ini ditolak oleh Roma pada tahun 1687.[1]
Tokoh
Adapun tokoh-tokoh dari ajaran Quietisme adalah Miguel de Molinos yang dikutuk oleh gereja pada tahun 1678 dan Pietro Petrucci yang dikutuk pada tahun 1688. [3] [4] Selain itu, ada juga seorang tokoh misterius Perancis yang bernama Jeanne Guyon (1648-1717), yang lebih umum dikenal dengan nama Madame Guyon.[1] Oleh karena banyaknya persoalan yang dialami oleh Madame Guyon dengan suami dan ibu mertuanya, sehingga Madame Guyon mengambil keputusan untuk membaktikan diri demi kehidupan batin dan kemanunggalan mistis dengan pikiran Allah.[1]
Bentuk-bentuk Ajaran
Ajaran dari Quietisme ini menyatakan tentang kesempurnaan yang dicapai dengan jalan untuk berdiam diri, baik itu dari pikiran maupun dari kehendak. keadaan seperti ini dicapai dengan doa-doa spiritual, sehingga jiwa akan beristirahat dengan tenang di hadapan Allah dan Allah akan bekerja menurut kehendak-Nya. [3] Jikalau seseorang telah mencapai suatu keadaan yang demikian, maka dosa tidak mungkin ada lagi dan perbuatan yang baik akan diperlukan oleh seseorang. [3] Seseorang pernah digoda untuk melakukan dosa, namun karena orang tersebut telah berada pada keadaan yang sempurana, sehingga semua godaan tersebut tidak akan membuat orang tersebut melakukan perbuatan dosa. [3] Ajaran Quietisme juga lebih mengutamakan tentang suatu ketenangan dan melupakan keaktifan. [5] Dalam hal ini, hidup dengan Allah merupakan hidup yang tenang, artinya segala godaan dan cobaan yang berupa kegembiraan, kesedihan tidak boleh menganggu suatu ketenangan. [5] Oleh karena seseorang harus hidup di dalam ketenangan.[5]
Referensi
- ^ a b c d e f g h SJ, Heuken A. 1994. Ensiklopedia gereja. jakarta: Cipta Loka Caraka. hlm.76
- ^ Collins, Michael dan Price, Matthew A. 2006. Millennium The Story of Christianity: Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Kanisius. hlm.159
- ^ a b c d Wellem, FD Dr. 2006. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 386
- ^ Sherbok, Cohn Lavinia. 2002. Who's Who in Christianity. London: Routledge. hlm. 337
- ^ a b c Soedarmo, R Dr. 2010. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm 77