Harijadi Sumodidjojo
Harijadi Sumodidjojo (25 Juli 1919 – 3 Juni 1997) adalah seniman realis yang berkarya di masa Revolusi Indonesia melalui karya seninya yang menjunjung paham kerakyatan. [1] Hasil karyanya mampu menggambarkan wujud fisik dan pikiran rakyat yang dapat dengan nyata dinikmati oleh masyarakat.[2] Beberapa karya seni yang dihasilkannya adalah lukisan Awan Berarak Jalan Bersimpang dan Biografi II di Malioboro, Anak Tetangga Kita, relief batu berjudul Pesta Pura di Bali, dan mural yang dilukis di dinding Museum Sejarah Jakarta.[1] Mural seluas 200 m² yang belum terselesaikan itu menggambarkan kehidupan di kota Batavia dari tahun 1880 hingga 1920.[3]
Harijadi merupakan salah satu pelukis yang sering diajak berdiskusi tentang lukisan oleh Soekarno.[2] Kepercayaan Harijadi kepada ideologi kebangsaan yang diajarkan Soekarno telah membatasinya untuk berkarya di masa orde baru (1968-1998).[1] Hal ini dikarenakan pada masa tersebut, paham yang berkaitan dengan Soekarno telah menjadi suatu ketakutan.[1] Hingga akhir hidupnya, dia tetap memegang prinsip untuk menggunakan pekerjaan seninya untuk rakyat dan menolak menjadi abdi para penguasa.[1]
Riwayat Hidup
Harijadi Sumodidjojo dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1921 di Ketawang, Kutoardjo, Jawa Tengah.[1] Di beberapa sumber, tahun kelahirannya tercatat pada 1921.[4] Ini dilakukan supaya dia bisa masuk menjadi Tentara Pelajar.[5] Sebelum menjadi seniman otodidak, Harijadi sempat menempuh pendidikan di bidang bisnis. Karir melukisnya diawali dengan bekerja sebagai pembuat poster film bioskop.[4] Di tahun 1940-1941, dia bekerja sebagai seniman komersial pada sebuah firma di Jakarta.[5] Dia dikenal sebagai salah satu seniman tempaan SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan Sindoesoedarsono Sudjojono pada tahun 1940-an.[1]
Selama Perang Dunia II berlangsung, Harijadi sempat bergabung sebagai ahli meteorologi yang bekerja untuk Tentara Sekutu dan turut berperang di Malaya dan Sumatera.[5] Di tahun 1949, dia bergabung dengan Brigadir 17 dari TNI untuk bertempur di Yogyakarta selama revolusi berlangsung.[5] Pada tahun 1965, Soekarno mengirim Harijadi untuk belajar mengenai museum di Meksico.[5] Di sana, dia bertemu dengan seniman mural dan pelukis realis kiri Meksiko, Jose David Alvaro Siquiros.[4] Dia menjadi salah satu anggota Organisacion International de Muralistos del Mundo di Amerika Selatan.[5] Semasa hidupnya, dia menikah sebanyak dua kali dan memiliki enam orang anak.[5] Selain melukis, Harijadi juga pernah membuat relief batu andesit berjudul Pesta Pura di Bali, seluas 68 m² yang diletakkan di dinding Hotel Indonesia.[1]
Mural di Museum Sejarah Jakarta
Pada awal tahun 1970-an, petugas PBB dalam bidang rencana pembangunan mengusulkan kepada Ali Sadikin selaku Gubernur Jakarta saat itu, untuk melakukan revitalisasi kawasan tua dan bersejarah di Jakarta sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan di bidang pariwisata.[6] Usulan tersebut diterima dan Ali Sadikin memanggil beberapa seniman untuk membuat karya yang menarik bagi bekas Balai Kota yang diubah menjadi Museum Sejarah Jakarta.[6] Pada awalnya, Harijadi Sumodidjojo direncanakan akan melukis di kanvas seluas 20 m² yang akan dipajang di salah satu ruangan museum itu.[6] Ternyata, dia malah membuat mural secara langsung di permukaan dinding seluas 200 m².[6] Bagian atas mural setinggi enam meter masih berupa sketsa tanpa warna dan tidak diselesaikan oleh Harijadi sampai akhir hayatnya.[3] Lokasi museum yang berada sangat dekat dengan laut dan konstruksi bangunan abad ke-18 menyebabkan dinding tersebut menjadi terlalu lembab dan tidak bisa ditempeli cat.[6]
Sejak tahun 1974, ruangan berisi mural tersebut sempat dipakai untuk penyimpanan objek etnografi sehingga dikenal sebagai Ruang Etnografi.[6] Namun, ruangan itu akhirnya digunakan sebagai ruang penyimpanan barang karena petugas museum sulit menjelaskan keberadaan mural tersebut apabila ditanyakan oleh pengunjung.[6] Hingga pada tahun 2010, sekelompok seniman Inggris dan Indonesia tak sengaja menemukan mural itu kembali.[3] Mereka bekerja bersama berbagai ahli dalam dan luar negeri untuk menerjemahkan misteri lukisan tersebut dan membuatnya menjadi proyek Misteri Batavia yang dapat dinikmati melalui pertunjukkan interaktif.[3]
Secara keseluruhan, lukisan ini menggambarkan kehidupan di Batavia antara tahun 1980-1920. Interaksi manusia yang hidup bersama di kota itu diceritakan berasal dari berbagai kultur dan etnik, mulai dari Melayu, Arab, Cina, dan Eropa.[6] Di bagian atas mural yang belum diwarnai, terlukis Stasiun Jatinegara, Harmoni, Kota, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok, serta pecinan.[6] Selain itu, digambarkan pula adanya pintu gerbang Amsterdam dan Kali Ciliwung.[3] Berbagai pemandangan sehari-hari yang terjadi di Batavia ditampilkan di mural tersebut, di antaranya suasana pasar, pedagang pikul dan gerobak dorong, nelayan, saudagar Arab yang sedang mengawasi hasil laut, tukang cukur, pesta makan malam yang dihiasi budak, gambaran keluarga yang diusir dari rumahnya, serta pencopet yang berada di balik pesta topeng ondel-ondel.[3][6] Mural tersebut juga berisi berbagai model transportasi yang pernah ada di Batavia pada masa itu, mulai dari sado atau delman yang ditarik kuda, sepeda, trem, mobil tua, hingga penggunaan Sungai Ciliwung.[6]
Referensi
- ^ a b c d e f g h Mysteryofbatavia.com Agus Dermawan T. Harijadi S, Sang Ikon. Diakses pada 14 Mei 2011.
- ^ a b Agus Dermawan T. Bukit-bukit perhatian: dari seniman politik, lukisan palsu sampai kosmologi seni Bung Karno. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Hal.14 dan 59.
- ^ a b c d e f Koran TEMPO Budaya:Misteri di Balik Mural Tersembunyi. Diakses pada 14 Mei 2011.
- ^ a b c Ensiklopedi Jakarta:Harijadi Sumodidjojo Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta. Diakses pada 14 Mei 2011. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Ref5" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b c d e f g Mistery of Batavia: Harijadi Sumodidjojo dan Muralnya (Halaman 4). Panduan yang diproduksi oleh LOPIAN & British Coucil.
- ^ a b c d e f g h i j k NOW! Jakarta, Mystery of Batavia (2 April 2011). Diakses pada 15 Mei 2011.