Penahbisan

Proses di mana individu ditahbiskan sebagai pendeta

Penahbisan merupakan suatu praktik yang terdapat dalam suatu masyarakat atau komunitas.[1] Penahbisan juga bisa berarti sebuah cara penerimaan seorang ke dalam suatu struktur.[2][3] Praktik penahbisan ini pada umumnya dilakukan untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin baik di masyarakat maupun dalam komunitas.[1] Cara penahbisan yang dilakukan bergantung pada kepercayaan dari komunitas atau masyarakat tersebut.[1] Salah satu contohnya adalah apabila dalam suatu kebudayaan menekankan mengenai hubungan dengan yang ilahi maka orang yang ditahbiskan kemungkinan besar adalah imam.[1] Dalam beberapa agama atau masyarakat, diadakan syarat-syarat untuk para kandidat sebelum mereka ditahbiskan.[1] Terkadang dalam beberapa kebudayaan syarat tersebut didasarkan pada keturunan.[1] Kandidat yang hendak ditahbiskan juga sangat bergantung pada kebudayaan dari masyarakat tersebut, apabila masyarakat tersebut menganut paham patriakal maka yang ditahbiskan dikhususkan untuk laki-laki tetapi ada juga yang tidak demikian.[1] Persyaratan lain adalah kecocokan akan orang yang hendak ditahbiskan dengan tugas yang hendak ia laksanakan.[1] Dalam beberapa tradisi, hal ini bisa dilakukan dengan mendemonstrasikan kemampuan dari sang calon, tetapi juga ada yang melalui beberapa tahap yang berupa pelatihan.[1] Orang yang telah ditahbiskan ini kemudian akan memperoleh gelar baik dalam masyarakat maupun agama, seperti pendeta, imam, presbiter, dan sebagainya.[1]

Proses penahbisan oleh Uskup Henryk Hoser.

Penahbisan Dalam agama-agama

Praktek penahbisan merupakan suatu praktek yang umum dilakukan dalam agama maupun dalam masyarakat.[1] Agama yang mempraktekkan hal ini pun sangat banyak dan tidak hanya terbatas pada agama-agama besar seperti Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya.[1]

Dalam Zoroaster

Dalam agama Zoroaster, imam mempunyai peranan penting.[1] Hal ini dikarenakan imam merupakan penghubung antara manusia dan yang ilahi.[1] Imam mempunyai tugas dalam hal pembersihan, penyucian, pemberian kurban dan acara-acara sakral lainnya.[1] Dalam zoroaster, calon imam haruslah dari keluarga imam yang sudah melewati proses inisiasi atau naojot.[1] Anak ini memakai pakaian suci dan memakai ikat pinggang.[1] Ada 2 tahap penahbisan yang akan dilalui oleh calon imam.[1] Tahap pertama disebut navar dan martab.[1] Kedua tahap ini akan membuktikan apakah calon imam tersebut mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang imam.[1] Tahap pertama merupakan suatu tahap dimana sang calon imam harus menjalani dua Bareshnum atau bentuk tertinggi dari ritual pembersihan atau penyucian.[1] Dalam tahap ini seluruh badan sang calon imam akan diolesi oleh cairan suci.[1] Setelah itu, Ia akan berada dalam kuil api.[1] Setelah dua ritual tersebut, sang calon imam akan dimandikan dan akan dipakaikan pakaian putih dan sorban putih.[1] Setelah itu, sang kandidat akan dibawa oleh salah satu imam kepada kumpulan imam lain dan menanyakan apakah anak ini diizinkan untuk melanjutkan proses inisiasi tersebut.[1] Apabila kumpulan dari imam tersebut diam maka itu menandakan bahwa mereka setuju akan hal itu.[1] Setelah itu, ia akan dibawa ke dalam suatu kamar pengorbanan untuk melakukan nyanyian dari nyanyian liturgi yang berasal dari agama zoroaster.[1] Setelah itu, Tahap kedua merupakan tahap Martab di mana sang kandidat akan melalui periode penyucian yaitu dengan mejalankan liturgi Yasna dalam sepuluh hari.[1] Setelah itu, sang kandidat akan diakui sebagai mobad priest.[1]

Dalam Hindu

Dalam agama Hindu, kandidat imam haruslah seorang laki-laki dari kasta Brahmana.[1] Kandidat tersebut harus melalui proses inisiasi yang bernama upanayana dan menerima sebuah benang suci sebagai sebuah tanda kelahiran yang kedua seorang Brahamana.[1] Kandidat tersebut merupakan seorang anak laki-laki yang akan dilatih oleh seorang guru untuk membacakan kitab suci agama Hindu.[1] Setelah itu, Kandidat tersebut akan menjalani beberapa masa untuk menjadi seorang asisten bagi imam senior.[1] Dalam melakukan ritual sang kandidat akan dudut di belakang imam senior.[1] Ia akan membantu imam senior untuk membacakan beberapa mantra atau doa.[1] Setelah itu, ia akan mendapatkan kepercayaan untuk dapat duduk di sebelah guru yang telah melatihnya.[1] Setelah itu, ia dianggap sah sebagai imam.[1]

Dalam Kekristenan

Pelayanan penahbisan sangat sering dilakukan dalam perjamuan kudus.[4] Dalam penahbisan ini juga termasuk penumpangan tangan dari uskup juga pembacaan doa untuk penahbisan.[4][5] Secara tradisional, Calon orang yang ditahbiskan adalah laki-laki yang mempunyai [[moral yang baik.[4] Namun demikian, pada beberapa gereja seperti gereja Inggris yang bergabung dengan komunitas dari Anglikan, melayani penahbisan untuk wanita.[4] Dalam kekristenan awal, penahbisan hanya terdiri dari Doa biasanya hanya satu doa dan penumpangan tangan.[2] Dalam hal setidaknya ada 1 atau 2 upacara yang dimasukkan.[2] Penahbisan dalam Perjanjian Baru selalu ditemani dengan Doa.[2] Setelah periode para rasul, tidak ada deskripsi yang jelas mengenai penahbisan.[2] Hal ini karena begitu bentuk dari penahbisan.[2] Pada saat itu gereja juga membuat keputusan dan beberapa dari keputusan itu tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai liturgi ekaristi tetapi memberi beberapa doa yang berkaitan dengan penahbisan seperti Canon of Hippolytus.[2] Dalam penahbisan uskup ada beberapa cara yang dipakai.[2] Penahbisan tersebut juga tidak lepas dari peran uskup-uskup lain.[2] Uskup-uskup lain yang telah ditahbiskan menumpangkan tangan atas calon uskup yang akan dibaptis.[2] Kadang hanya satu uskup yang menumpangkan tangan tetapi pada saat tertentu semua uskup yang ada pada saat itu juga bisa ikut menumpangkan tangan.[2] Hal ini juga berlaku untuk pengucapan doa dalam penahbisan, terkadang satu uskup yang membacakan doa tetapi kadang bisa juga semua uskup turut mengucapkan doa.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak Mircea Eliade. 1987. The Encyclopedia of Religion. New York: Macmillan. Hlm 97-104.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l James Hastings. 1951. Encyclopedia of Religion and Ethic. Hlm 540-555.
  3. ^ (Inggris) Shailer Matthews. 1973. A Dictionary of Religion And Ethic. Hlm 320.
  4. ^ a b c d Ron Geaves. 2002. Continuum Glossary of Religious Terms. Hlm 285.
  5. ^ (Inggris) Leffert A. Loetscher. 1955. Twentieth Century Encyclopedia of Religious Knowledge. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House. Hlm 822-823.