Suku Sunda

kelompok etnis yang berasal dari pulau Jawa bagian barat di Indonesia

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme dan Hindu. Kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.

Suku Sunda
Urang Sunda
Berkas:Famoussunda.jpg Berkas:Tokoh Sunda.JPG
Daerah dengan populasi signifikan
Jawa Barat: 26,4 juta.

Banten: 1,9 juta.
Jakarta: 1,3 juta.

Lampung: 600 ribu.
Bahasa
bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia.
Agama
Sebagian besar Islam, namun ada sedikit yang beragama Hindu, Sunda Wiwitan, dan Kristen
Kelompok etnik terkait
suku Jawa dan suku Betawi.
Wanita Sunda pemetik teh di masa Hindia Belanda

Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang, akan tetapi mereka dapat bersifat pemalu dan terlalu perasa secara emosional.[1] Karakter orang Sunda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer dalam kebudayaan Sunda; Kabayan dan Cepot. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal.

Prestasi yang cukup membanggakan adalah banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.[2]

Etimologi

Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman Kerajaan Salakanagara.

Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

 
Peta linguistik Jawa Barat

Bahasa

Lihat : Bahasa Sunda

Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam bertutur kata.[3] Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung dan Bogor, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.

Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, antara lain dialek Sunda-Banten, dialek Sunda-Bogor, dialek Sunda-Priangan, dialek Sunda-Jawa, dan beberapa dialek lainnya yang telah bercampur baur dengan bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, bahasa Sunda - terutama dialek Sunda Priangan - mengenal beberapa tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun di wilayah-wilayah pedesaan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma tetap dominan.

Profesi

Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, dan berladang, ini disebabkan tanah Sunda yang subur.[4] Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda yang berladang secara berpindah-pindah.

Selain bertani, masyarakat Sunda seringkali memilih untuk menjadi pengusaha dan pedagang sebagai mata pencariannya, meskipun kebanyakan berupa wirausaha kecil-kecilan yang sederhana, seperti menjadi penjaja makanan keliling, membuka warung atau rumah makan, membuka toko barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau membuka usaha cukur rambut. Beberapa jenis makanan jajanan tradisional Indonesia, seperti siomay, gado-gado, karedok, nasi goreng, cendol, bubur ayam, roti bakar, bubur kacang hijau dan warung Indomie diketahui penjualnya kebanyakan adalah suku Sunda. Profesi pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya dan Garut. Di wilayah perkotaan, banyak orang Sunda yang berprofesi sebagai pegawai negeri, penyanyi, seniman, dan pengusaha.

Tokoh

Referensi

  1. ^ Sundanese Culture
  2. ^ Rosidi, Ayip. Revitalisasi dan Aplikasi Nilai-nilai Budaya Sunda dalam Pembangunan Daerah.  line feed character di |title= pada posisi 17 (bantuan)
  3. ^ Hasbullah, Moeflich. Tergerusnya Kebudayaan Sunda. Kompas Cetak. 
  4. ^ Hendayana, Yayat. Jawa Barat 2010, Terdepan atau Terpinggirkan?. Pikiran Rakyat. 

Lihat pula