Dewi Sartika

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Raden Dewi Sartika (bahasa Sunda: ᮛᮓᮦᮔ᮪ ᮓᮦᮝᮤ ᮞᮁᮒᮤᮊ, translit. Radén Déwi Sartika; 4 Desember 1884 – 11 September 1947) adalah seorang advokat dan tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita.[1] Ia juga merupakan salah satu tokoh perempuan Indonesia paling terkenal. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.

Dewi Sartika
Lahir(1884-12-04)4 Desember 1884
Cicalengka, Bandung, Keresidenan Priangan, Hindia Belanda
Meninggal11 September 1947(1947-09-11) (umur 62)
Cineam, Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Dikenal atasPahlawan Nasional; Perintis pendidikan wanita
Suami/istriRaden Kanduruhan Agah Suriawinata

Biografi tentang Dewi Sartika

sunting

Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A. Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884.[2][3] Ketika masih kanak-kanak, ia selalu bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya.[2][4] Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai budaya barat.[5] Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung.[4]

Pada 16 Januari 1904, ia mendirikan Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung, berkat dukungan dari kakeknya yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bandung, Raden Adipati Aria Martanagara, dan Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran.[6] Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910.[7][8] Ia mengajarkan para wanita membaca, menulis, berhitung, pendidikan agama dan berbagai keterampilan. Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920.[5] Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.[5]

Sekolah Raden Dewi berkembang dengan pesat. Namun, masa pendudukan Jepang membuat sekolah tersebut mengalami krisis keuangan dan peralatan.

Pasca kemerdekaan, kesehatan Dewi Sartika mulai menurun. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda dalam masa perang kemerdekaan, ia terpaksa ikut mengungsi ke Tasikmalaya. Dewi Sartika meninggal pada 11 September 1947 di Cineam dan dimakamkan di sana. Ia wafat tepat dua tahun Radio Republik Indonesia mengudara di seantero Indonesia. Setelah keadaan aman, makamnya dipindahkan ke Jalan Karang Anyar, Bandung.[5][9]

Masa kecil

sunting

Dewi Sartika adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal atas kontribusinya dalam pendidikan perempuan di tanah Sunda. Masa kecilnya penuh dengan pengaruh lingkungan yang membentuk karakternya sebagai pejuang pendidikan. Ia lahir pada 4 Desember 1884 di Cicalengka, Kabupaten Bandung, dari pasangan Raden Rangga Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Keluarganya berasal dari kalangan priyayi Sunda, yang memberikan Dewi Sartika akses kepada pendidikan, sesuatu yang jarang didapat oleh perempuan pada masa itu.[10]

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan minat yang besar dalam dunia pendidikan. Ketika tinggal di Bandung bersama pamannya, seorang Patih Bandung, ia sering memperhatikan cara-cara belajar anak-anak Belanda di sekolah. Rasa keingintahuan ini membuat Dewi Sartika mencoba mengajarkan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung kepada anak-anak di sekitar rumahnya, meskipun dalam lingkungan yang serba terbatas. Dengan menggunakan peralatan sederhana seperti batu tulis, ia berhasil mengajarkan dasar-dasar pendidikan.[11]

Dorongan dari keluarganya yang berpendidikan serta kecerdasannya yang alami membuat Dewi Sartika semakin bertekad untuk memperjuangkan pendidikan bagi perempuan. Meski menghadapi tantangan besar, ia percaya bahwa pendidikan merupakan kunci untuk membebaskan perempuan dari keterbatasan yang dipaksakan oleh budaya dan adat istiadat pada masa itu.[12] Pada tahun 1904, ia mendirikan sekolah perempuan pertama di Jawa Barat, yaitu Sakola Istri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah ini kemudian berkembang dan menjadi inspirasi bagi lahirnya sekolah-sekolah perempuan lainnya di Indonesia.[10]

Peninggalan

sunting

Sekolah Kautamaan Istri adalah salah satu tonggak penting dalam sejarah pendidikan perempuan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Sekolah ini didirikan oleh Dewi Sartika, seorang pahlawan nasional Indonesia yang terkenal atas perjuangannya dalam memajukan pendidikan bagi perempuan.[13]

Sejak kecil Dewi Sartika, ia telah menunjukkan ketertarikannya pada pendidikan. Terinspirasi oleh pendidikan Barat yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda, Dewi Sartika mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi perempuan, yang pada masa itu masih sangat terbatas. Perempuan seringkali hanya diajarkan keterampilan domestik, tanpa akses pada ilmu pengetahuan formal.[13]

Pada 16 Januari 1904, di rumah orang tuanya di Bandung, Dewi Sartika mendirikan Sekolah Kautamaan Istri, yang merupakan sekolah pertama di Jawa Barat khusus untuk perempuan pribumi. Sekolah ini memberikan pendidikan dasar, termasuk membaca, menulis, berhitung, dan keterampilan rumah tangga seperti menjahit, memasak, dan mengelola keuangan keluarga. Tujuannya adalah untuk membekali perempuan dengan pengetahuan dan keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari dan mempersiapkan mereka untuk menjadi istri dan ibu yang cerdas dan mandiri.[14]

Sekolah Kautamaan Istri mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat, dan dalam beberapa tahun, jumlah murid terus bertambah. Dengan dukungan masyarakat dan pemerintah Hindia Belanda, sekolah ini berkembang pesat dan membuka cabang di beberapa kota di Jawa Barat. Pada tahun 1910, Sekolah Kautamaan Istri telah menjadi model pendidikan perempuan yang banyak diadopsi di wilayah lain di Indonesia.[14]

Keberhasilan Dewi Sartika dalam mendirikan dan mengelola Sekolah Kautamaan Istri merupakan bukti nyata dari komitmennya terhadap kemajuan pendidikan perempuan. Lewat sekolah ini, ia berhasil membuka jalan bagi generasi perempuan Indonesia untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara dengan laki-laki, sekaligus berperan aktif dalam pembangunan masyarakat. Dewi Sartika wafat pada 11 September 1947, namun warisannya dalam bidang pendidikan perempuan tetap hidup dan dikenang hingga saat ini.[14]

Penghargaan

sunting

Ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan.[5][9] Pada 1 Desember 1966, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional.[8][9]

Kehidupan pribadi

sunting

Pada tahun 1906, ia menikah dengan Raden Kanduruhan Agah Suriawinata yang merupakan guru dari Sekolah Karang Pamulang.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ "11 September Hari Wafatnya Raden Dewi Sartika, Simak Biografi dan Perjuangannya Memajukan Pendidikan Wanita". Pikiran Rakyat. Diakses tanggal 2023-05-22. 
  2. ^ a b Aning S. 2005, hlm. 65
  3. ^ Agustina 2009, hlm. 41
  4. ^ a b Sudarmanto 2007, hlm. 154
  5. ^ a b c d e f Agustina 2009, hlm. 42
  6. ^ Astaningrum, Meita (1 Maret 2023). "Biografi Dewi Sartika, Pahlawan Pendidikan Perempuan". GNFI. Diakses tanggal 12 April 2023. 
  7. ^ Aning S. 2005, hlm. 65–66
  8. ^ a b "Dewi Pendidikan dari Cicalengka". tokohindonesia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 6 Januari 2011. 
  9. ^ a b c Aning S. 2005, hlm. 66
  10. ^ a b Budianta, Melani (1995). Perempuan-Perempuan Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 
  11. ^ Lestari, Dini R. (2017). "Dewi Sartika dan Pendidikan Perempuan di Jawa Barat". Jurnal Pendidikan Sejarah. 12 (2): 108–118. 
  12. ^ Sartono, Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia. 
  13. ^ a b Suryakusuma, Julia I (1996). The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia. Cornell University Southeast Asia Program. 
  14. ^ a b c Abdullah, Saidi (1996). Pergerakan Perempuan di Indonesia. Yayasan Masyarakat Sejarah Indonesia. 

Bibliografi

sunting

Bacaan lebih lanjut

sunting