Deforestasi

kegiatan penebangan hutan sehingga lahannya dapat dialihkan untuk penggunaan selain hutan seperti pertanian, peternakan, atau permukiman
Revisi sejak 18 Oktober 2011 10.57 oleh Attayaya (bicara | kontrib)

Pengawahutanan[1] atau penghilangan hutan atau penggundulan hutan atau deforestasi adalah kegiatan penebangan hutan atau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan (non-forest use)[2], yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan.

Hutan yang telah dibakar untuk pertanian di bagian selatan Meksiko.
Pengawahutanan di Gran Caku, Paraguai

Dalam pengertian lain, Deforestasi Hutan merupakan penurunan luas hutan baik secara kualitas dan kuantitas. Deforestasi secara kualitas berupa penurunan ekosistem flora dan fauna yang terdapat pada hutan tersebut. Deforestasi secara kuantitas (sangat jelas) berupa penurunan luas hutan. Dapat disebutkan bahwa Deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Sedangkan Degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok carbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.

Istilah 'pengawahutanan' sering disalahartikan untuk menggambarkan kegiatan penebangan yang semua pohonnya di suatu daerah ditebang habis. Namun, di daerah beriklim ugahari yang cukup lengas (temperate mesic climate), penebangan semua pohon—sesuai dengan langkah-langkah pelaksanaan kehutanan yang berkelanjutan (sustainable forestry)—tepatnya disebut sebagai 'panen permudaan' (harvest regeneration).[3] Di daerah tersebut, permudaan alami oleh tegakan hutan biasanya tidak akan terjadi tanpa gangguan, baik secara alami maupun akibat manusia.[4] Selain itu, akibat dari panen permudaan seringkali mirip dengan gangguan alami, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) setelah perusakan hutan hujan (rainforest) yang terjadi secara alami.[5][6]

Pengawahutanan dapat terjadi karena pelbagai alasan: pohon atau arang yang diperoleh dari hutan dapat digunakan atau dijual untuk bahan bakar atau sebagai kayu saja, sedangkan lahannya dapat dialihgunakan sebagai padang rumput untuk ternak, perkebunan untuk barang dagangan (commodity), atau untuk permukiman (settlement). Penebangan pohon tanpa penghutanan kembali (reforestation) yang cukup dapat merusak lingkungan tinggal (habitat), hilangnya keanekaragaman hayati dan kegersangan (aridity). Penebangan juga berdampak buruk terhadap penyitaan hayati (biosequestration) karbon dioksida dari udara. Daerah-daerah yang telah ditebang habis biasanya mengalami pengikisan tanah yang parah dan sering menjadi gurun.

Pengabaian atau ketidaktahuan nilai hakiki (intrinsic value), kurangnya nilai yang terwariskan (ascribed value), kelengahan dalam pengelolaan hutan dan hukum lingkungan yang kurang memadai merupakan beberapa alasan yang memungkinkan terjadinya pengawahutanan secara besar-besaran. Banyak negara di dunia mengalami pengawahutanan terus-menerus, baik secara alami maupun akibat manusia. Pengawahutanan dapat menyebabkan kepunahan, perubahan iklim, penggurunan (desertification), dan ketersingkiran penduduk semula. Perubahan tersebut juga pernah terjadi di masa lalu dan dapat dibuktikan melalui penelitian rekaman sisa purba (fossil record).[5]

Akan tetapi, angka pengawahutanan bersih sudah tidak lagi meningkat di antara negara-negara dengan PDB per kapita yang sedikitnya AS$4.600.[7][8]

Penyebab

Banyak pengawahutanan di masa kini terjadi karena penyelewengan kuasa pemerintahan (political corruption) di kalangan lembaga pemerintah,[9][10] ketidakadilan dalam pembagian kekayaan (wealth) dan kekuasaan,[11] pertumbuhan penduduk[12] dan ledakan penduduk (overpopulation),[13][14] maupun pengkotaan (urbanization).[15] Kesejagatan (globalization) seringkali dipandang sebagai akar penyebab lain yang mengakibatkan pengawahutanan,[16][17] meskipun ada pula dampak baik dari kesejagatan (datangnya tenaga kerja, modal, barang dagangan dan gagasan baru) yang telah menggalakkan pemulihan hutan setempat.[18]

Pada tahun 2000, Perhimpunan Pangan dan Pertanian (FAO) menemukan bahwa "peran keberubahan penduduk (population dynamics) dalam keadaan setempat dapat berubah-ubah dari sangat berpengaruh hingga tidak berpengaruh sama sekali," dan pengawahutanan dapat terjadi karena "tekanan penduduk dan kemandekan keadaan ekonomi (stagnating economic conditions), masyarakat maupun teknologi."[12]

Terjadinya kemerosotan lingkungan alam hutan (forest ecosystem) juga dapat berakar dari dorongan-dorongan ekonomi yang menonjolkan keuntungan pengalihgunaan hutan daripada pelestarian hutan.[19] Banyak kegunaan hutan yang penting tidak ada pasaran, maka dari itu, tidak ada nilai ekonomi yang bermanfaat bagi para pemilik hutan atau masyarakat yang bergantung pada hutan untuk kesejahteraan mereka.[19] Dari sudut pandang negara berkembang, hilangnya manfaat hutan (sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau cagar keanekaragaman hayati (biodiversity reserve)), ketika sebagian besar sisa pohonnya dikirim ke negara-negara maju, merupakan hal yang tidak adil karena tidak ada imbalan yang cukup untuk jasa tersebut. Negara-negara berkembang merasa beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, telah mendapatkan banyak manfaat dengan menebang hutannya sendiri berabad-abad yang lalu, dan adalah hal yang munafik apabila negara-negara maju tidak membiarkan negara-negara berkembang dengan kesempatan yang sama: bahwa negara miskin tidak harus menanggung biaya pelestarian karena negara kayalah yang telah menciptakan masalahnya.[20]

Para pakar tidak sepakat bahwa pembalakan (logging) besar-besaran bagi perdagangan memainkan peran penting bagi pengawahutanan sejagat (global deforestation).[21][22] Beberapa pakar berpendapat bahwa orang miskin lebih cenderung menebangi hutan karena mereka tidak punya jalan keluar yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa masyarakat miskin tidak mampu membayar bahan dan tenaga kerja yang diperlukan untuk menebang hutan.[21] Hasil dari salah satu pengkajian pengawahutanan menyatakan bahwa hanya 8% penebangan hutan beriklim panas terjadi karena peningkatan jumlah penduduk oleh angka kesuburan yang tinggi (high fertility rate).[23]

Secara singkat, penyebab deforestasi hutan adalah :

  • Hak Penguasaan Hutan, dimana lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Tetapi, banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan menyebabkan pengawasan terhadap pengelolaan hutan menjadi sangat lemah dan lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan, bahkan telah berubah menjadi perkebunan.
  • Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, dan cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Penanaman kayu jenis akasia untuk memenuhi kebutuhan industri pulp tidaklah mengurangi CO2 yang telah meningkat akhir-akhir ini.
  • Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Banyak perusahaan yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Hal ini terjadi dimana perusahaan HPH tersebut menebang habis seluruh hutan konsesi dan merubahnya menjadi perkebunan. Padahal seharusnya hutan tersebut diremajakan oleh perusahaan tersebut.
  • llegal logging (Pembalakan liar) adalah merupakan praktek langsung pada penebangan pohon di kawasan hutan negara secara illegal. Umumnya memang dilakukan oleh masyarakat. Tetapi ini terjadi karena "bujukan" perusahaan pulp atau perusahaan kayu lainnya untuk memenuhi bahan baku perusahaan. Kayu-kayu yang ditebang masyarakt sekitar hutan dibeli oleh perusahaan. Padahal seharusnya perusahaan-perusahaan tersebut meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dengan bentuk usaha lain, bukan dengan membeli tebangan kayu masyarakat.
  • Program Transmigrasi yang berlangsung dari tahun 1960-an sampai 1999, yaitu memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya, diperkirakan oleh Departemen Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta ha selama keseluruhan periode tersebut. Disamping itu, para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar disekitar wilayah yang dibuka untuk transmigrasi. Belakangan ini, transmigrasi "spontan" meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis.
  • Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh masyarakat lokal untuk memproses pembukaan lahan perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnyan semakin meningkat. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan 4,6 juta ha hutan lainnya terbakar pada tahun 1997-98. Sebagian dari lahan ini tumbuh kembali menjadi semak belukar, sebagian digunakan oleh para petani skala kecil, tetapi sedikit sekali usaha sistematis yang dilakukan untuk memulihkan tutupan hutan atau mengembangkan pertanian yang produktif.
  • Konvensi Lahan akibat pertanian tradisional skala kecil dilakukan oleh masyarakat lokal untuk (umumnya) memperluas lahan pertanian. Sedikit berbeda dengan Transmigrasi dimana pembukaan lahan hutan dilakukan pemerintah.

Lihat pula

Pranala Luar

Rujukan

  1. ^ Kamus Lengkap Indonesia-Inggris. Diambil pada tanggal 21 Mei 2011.
  2. ^ SAFnet Dictionary|Definition For [deforestation]. Dictionaryofforestry.org (29 Juli 2008). Diambil pada tanggal 15 Mei 2011.
  3. ^ SAFnet Dictionary|Definition For [regeneration_cut(ting)]. Dictionaryofforestry.org (14 Agustus 2008). Diambil pada tanggal 15 Mei 2011.
  4. ^ Oliver, C.D. Forest Development in North America following major disturbances. For. Ecol. Mgmt. 3(1980):153–168
  5. ^ a b Sahney, S., Benton, M.J. & Falcon-Lang, H.J. (2010). "Rainforest collapse triggered Pennsylvanian tetrapod diversification in Euramerica" (PDF). Geology. 38 (12): 1079–1082. doi:10.1130/G31182.1. 
  6. ^ Patel-Weynand, Toral. 2002. Biodiversity and sustainable forestry: State of the science review. The National Commission on Science for Sustainable Forestry, Washington DC
  7. ^ Kauppi, P. E.; Ausubel, J. H.; Fang, J.; Mather, A. S.; Sedjo, R. A.; Waggoner, P. E. (2006). "Returning forests analyzed with the forest identity". Proceedings of the National Academy of Sciences. 103 (46): 17574. doi:10.1073/pnas.0608343103. PMC 1635979 . PMID 17101996. 
  8. ^ "Use Energy, Get Rich and Save the Planet", The New York Times, April 20, 2009
  9. ^ Burgonio, T.J. (January 3, 2008). "Corruption blamed for deforestation". Philippine Daily Inquirer. 
  10. ^ "WRM Bulletin Number 74". World Rainforest Movement. September 2003. 
  11. ^ "Global Deforestation". Global Change Curriculum. University of Michigan Global Change Program. January 4, 2006. 
  12. ^ a b Alain Marcoux (August 2000). "Population and deforestation". SD Dimensions. Sustainable Development Department, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 
  13. ^ Butler, Rhett A. "Impact of Population and Poverty on Rainforests". Mongabay.com / A Place Out of Time: Tropical Rainforests and the Perils They Face. Diakses tanggal May 13, 2009. 
  14. ^ Jocelyn Stock, Andy Rochen. "The Choice: Doomsday or Arbor Day". Diakses tanggal May 13, 2009. 
  15. ^ Karen. "Demographics, Democracy, Development, Disparity and Deforestation: A Crossnational Assessment of the Social Causes of Deforestation". Paper presented at the annual meeting of the American Sociological Association, Atlanta Hilton Hotel, Atlanta, GA, Aug 16, 2003. Diakses tanggal May 13, 2009. 
  16. ^ "The Double Edge of Globalization". YaleGlobal Online. Yale University Press. June 2007. 
  17. ^ Butler, Rhett A. "Human Threats to Rainforests—Economic Restructuring". Mongabay.com / A Place Out of Time: Tropical Rainforests and the Perils They Face. Diakses tanggal May 13, 2009. 
  18. ^ Susanna B. Hecht, Susan Kandel, Ileana Gomes, Nelson Cuellar and Herman Rosa (2006). "Globalization, Forest Resurgence, and Environmental Politics in El Salvador" (PDF). World Development Vol. 34, No. 2. hlm. 308–323. 
  19. ^ a b Pearce, David W (2001). "The Economic Value of Forest Ecosystems" (PDF). Ecosystem Health, Vol. 7, no. 4. hlm. 284–296. 
  20. ^ Erwin H Bulte; Mark Joenje; Hans G P Jansen (2000). "Is there too much or too little natural forest in the Atlantic Zone of Costa Rica?". Canadian Journal of Forest Research; 30:3. hlm. 495–506. 
  21. ^ a b Arild Angelsen, David Kaimowitz (February 1999). "Rethinking the causes of deforestation: Lessons from economic models". The World Bank Research Observer, 14:1. Oxford University Press. hlm. 73–98. 
  22. ^ Laurance, William F. (December 1999). "Reflections on the tropical deforestation crisis" (PDF). Biological Conservation, Volume 91, Issues 2–3. hlm. 109–117. 
  23. ^ Helmut J. Geist And Eric F. Lambin (February 2002). "Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical Deforestation" (PDF). BioScience, Vol. 52, No. 2. hlm. 143–150.